Pov Sutinah Pagi-pagi sekali fokusku sudah teralihkan oleh suara orang mual di kamar mandi berulang kali. Aku melangkah mendekat dan membuka sedikit pintu kamar mandi yang belum tertutup sepenuhnya. Kulihat Farah, istri Purwanto sedang berjongkok sembari memegang gayung penuh air di tangan kirinya dan kulihat dia berusaha memuntahkan sesuatu dari mulutnya, hanya saja tak bisa.Aku langsung berinisiatif memijat tengkuk lehernya, tak lama muntahan nasi ayam yang baru saja dia telan sebelumnya sebagai sarapannya, ke luar begitu saja. Tak lama ia ke luar dari kamar mandi.“Siramkan muntahanku, Bu. Kepalaku pusing aku mau tidur, istirahat.” Tanpa banyak bicara aku mengambil gayung berisi air yang ada di tangannya, kemudian membersihkan bekas muntahan yang sudah menyebar di lantai kamar mandi.Setelahnya, aku pergi ke dapur ingin membuatkan air hangat buat menantuku itu, sepertinya dia sedang tidak enak badan terlihat dari gaya berjalannya yang sedikit limbung. Begitu air hangat siap, aku
“Persyaratan diterima bekerja di salonnya ya harus masih cewek, Bu. Kalau ketahuan sudah punya suami dan anak, sementara kontraknya masih berjalan. Farah harus mengganti uang kerugian karena berbohong dengan bayar denda yang cukup banyak termasuk mengembalikan lima puluh persen dari gaji yang selama ini dia dapatkan.” Aku benar-benar pusing. Kok bisa? “Jadi selama ini Farah mengaku sebagai gadis ketika bekerja di salon? Kok bisa?” cecar ku tak habis pikir.“Ya bisalah, Bu. Karena mencari kerjaan itu nggak gampang. Setingkat Farah yang lulusan sarjana muda saja musti bolak balik mencari pekerjaan ke sana ke sini, kalau nggak berbohong mana mungkin bisa dapat kerjaan, lagian Farah itu juga nggak ada keahlian yang dia punya. Makanya dia selalu ditolak tiap melamar, sudah untung dia kerja di salon meski kerjanya hanya memijat orang tapi minimal dia ada kerja dan bisa menghasilkan.” Sahut Purwanto. Aku diam tak bisa menjawab omongannya, benar-benar kaget.“Tapi, masih banyak kerjaan yan
“Bu, bangun … Bu.” Aku mengerjapkan mata memperhatikan dengan samar Farah mengendong Sekar sudah ada di hadapanku, aku yang tadinya terlelap seakan bermimpi. Tanpa basa basi ia langsung menyerahkan Sekar ke padaku. Mataku belum sepenuhnya terbuka, seketika langsung kaget begitu saja.“Malam ini Sekar tidur sama Ibu, aku nggak mau mengurusnya. Jangan lupa ambil dot sama termos air panasnya di kamar, kepalaku pusing mau tidur, cepat ya sebelum aku tutup pintu kamar,” perintahnya. Aku hanya bisa mengelus dada berusaha sabar.“Termos sama dotnya bisa kamu bawa sekalian atau suruh aja suamimu yang antar, Ibu lagi nggak enak badan agak demam.” Ujarku seraya menidurkan Sekar di sampingku. “Nggak bisa, Bu. Ini jadwal Purwanto main game, katanya tadi lagi ada turnamen dan dia nggak bisa diganggu malah biasanya dia main sampai subuh itu, Ibu aja ke kamarku cepat … pusing kepalaku.” Tanpa mendengar jawabanku, ia langsung ke luar kamar menuju ke kamarnya. Mau tak mau aku bangkit dari tempat ti
Part 57 Pov Sutinah“Bu, cucikan baju yang mau kupakai buat kerja besok ya,” Iwan, anak bungsuku tiba-tiba datang dan menambah tumpukan cucian yang sudah kuhadapi sejak pagi dan sudah beberapa jam namun belum ada tanda-tanda mau selesai. “Kamu nggak lihat cucian Ibu juga banyak, sudah empat hari Ibu nggak mencuci. Suruh aja istrimu yang menyiapkan baju kerjamu, jangan Ibu deh.” Sahutku masih fokus menyikat jeans milik Purwanto. “Ya, Iwan lihat kalau Ibu banyak cucian, tapi kan Ibu bisa tuh nyucikan baju Purwanto yang pengangguran, bedakan sama aku yang bekerja tapi Ibu malah menyuruh istriku yang menyiapkan, seharusnya Ibu jangan membeda-bedakan kasih sayang, si Farah hamil dan istriku juga lagi hamil, kalau Farah aja bisa tuh kasih semua pekerjaan ke Ibu, terus masa iya istriku yang juga tengah hamil harus mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan Farah?” pertanyaan lebih tepatnya pernyataan yang ia katakan padaku membuat tanganku berhenti.“Kamu anggap Ibu ini pembantu, kah? Ko
Part 58 Aku membisu, tak tahu apalagi yang harus aku lakukan. Meminta uang ke Didik rasanya itu tidak mungkin karena dua minggu lagi baru Didik gajian, tadi pagi saja meminta uang dua ratus ribu untuk mengganti termos air panas yang rusak, Didik sudah menggerutu. Apalagi sampai tiga juta dua ratus, bisa ngamuk dia.Aku harus pikirkan bagaimana caranya supaya aku selamat dari amukan ibu-ibu arisan karena aku seharusnya memberikan uang tiga juta dua ratus itu nanti sore. Semua terasa buntu, aku tidak mungkin mendapatkan uang hanya dalam beberapa jam ke depan. Aku meraih telpon kentang milikku, setelahnya menghubungi Didik yang saat ini mungkin tengah bekerja. Hanya satu kali deringan saja, Didik sudah mengangkatnya dengan sigap.“Ada apa, Bu?” sambarnya tanpa membalaskan salamku. Aku menghela napas khawatir apa yang akan aku omongkan tidak ia setujui.“Dik, uang tiga juta dua ratus dari uang arisan yang Ibu pakai buat membayar uang motor kemarin itu belum bisa diganti sama Iwan, katan
Part 59 Pov DidikSeketika merasa kesal dengan keluargaku, keinginan Ibu yang bertubi-tubi membuatku merasa seperti dimanfaatkan untuk memenuhi semua kebutuhan adik-adikku beserta keluarga mereka, padahal aku sendiri juga punya keinginan dan kebutuhan sendiri. Bahkan untuk membiayai rumah tanggaku saja dulu selalu saja dihalang-halangi. Sebelumnya saat aku menganggur, tidak ada yang mau mendukungku termasuk Ibu, tapi begitu aku sudah mulai bekerja dan Ibu tahu besaran gaji juga bonus yang aku terima, Ibuku menguasai sepenuhnya hidupku. Mengambil kreditan motor pun karena permintaan Ibu yang menginginkan agar Iwan tidak terlalu capek mengeluarkan uang untuk membayar ojek setiap harinya, Farah dan Purwanto memang tidak perlu diributkan Ibu, karena sejak pertama kali menikah, orang tua Farah membelikan sepeda motor buat anak kesayangannya itu bekerja. Tinggal Iwan saja, dengan gajinya sebagai tenaga administrasi membuatnya tak bisa sekalipun mencicil aset meski hanya sebuah sepeda mo
Part 60 Pov MayangAku memperhatikan kedua adikku yang mulai menertawakan Mas Didik. Aku langsung memberi isyarat agar mereka tak lagi melakukannya, seketika kedua adikku menutup mulut sebisa mungkin memberhentikan tawa mereka. “Maafkan Emi dan Farida, mereka nggak bermaksud….” Aku belum menyelesaikan kalimatku, Mas Didik sudah memotong ucapanku.“Nggak apa-apa, Mayang. Memang sudah seharusnya aku diperlakukan seperti tadi. Masa iya seorang Bapak sepertiku kasih mainan ecek-ecek buat anak yang tidak pernah kujenguk lama, tahu-tahunya malah mamanya yang sudah rejeki lebih kasih mainan yang sangat bagus, aku benar-benar malu sebagai seorang Bapak.” Terangnya, aku menarik napas panjang. Timbul juga rasa iba di hatiku. Bukan rasa cinta dan sayang seperti saat aku masih bersamanya.Meski penampilan mantan suamiku ini sudah terbilang keren semenjak dia bekerja namun dari bobot tubuhnya terlihat berkurang alias lebih kurus dari dua bulan sebelum aku meninggalkan rumahnya waktu itu, kelih
Pov SutinahTinggal beberapa menit lagi acara arisan akan berlangsung, sejak tadi aku sudah kayak setrikaan bolak balik menunggu Didik yang katanya akan membawa uang arisan yang akan kubayar sore ini, namun semakin ditunggu tak jua ada tanda-tanda anak sulungku itu datang. Aku meminta Iwan agar menghubungi kakaknya yang mungkin saja masih berada di kantor, akan tetapi aku harus kecewa ternyata Didik sudah lama meninggalkan kantor dan informasi dari teman kantornya bahwa ia akan mampir menjenguk anaknya. Siapa lagi kalau bukan Arthur, anaknya dari Mayang. Perempuan miskin dan hanya lulusan SMP yang sangat ku benci itu. Begitu mengetahui ia mampir ke sana, aku langsung menelponnya dan memintanya untuk pulang segera karena acara arisan akan segera dimulai, dan yang membuatku semakin jengkel karena ia tak menampik jika dirinya memang berada di sana. Pikirku, sekali-kali haru ada shock terapi lagi buat Mayang, biar dia nggak seenaknya membujuk dan menggoda Didik agar mau kembali lagi pad
Part 90 “Pernikahan siapa yang kamu maksud gagal?” aku sontak menoleh kaget. Purwanto persis di belakangku. Aku harus mencari jawaban segera atas pertanyaannya.“Tadi … itu si Mayang ke sini dan marah-marahin Ibu, katanya dia tak terima kalau sampai pernikahan Emi dengan Syawal sampai gagal, dia menuduh Ibu yang menggagalkan pernikahan adiknya itu. Kalau mau tahu pastinya tanya Ibu deh sana.” Purwanto masih diam di tempatnya terus menatapku penuh kecurigaan, bahkan ia kini memicingkan matanya.Purwanto langsung mengambil handphone dari tanganku dengan cepat, kemudian membaca layar di gawaiku. Di sana kutulis nama Syahrini, aku sengaja menulisnya dengan nama perempuan supaya suamiku bahkan orang di rumah ini tidak ada satupun yang curiga. Benar saja, setelahnya Purwanto mengembalikan handphone ke tanganku.“Ya sudah… aku pikir tadi apa, lagian berita tentang si Mayang itu nggak penting sama sekali.” Sebutnya, aku bisa bernapas lega begitu melihatnya menanggapi dengan santai apa yang k
Part 89Aku menghampiri Emi, adik bungsuku yang terlihat menelungkupkan wajahnya di lengannya, tubuhnya nampak terguncang. Kelihatannya ia sedang menangis. Kubelai rambutnya yang terurai panjang itu, ia belum mau mendongakkan kepalanya.“Mi, Syawal tadi sudah menceritakan semuanya. Apa kamu nggak mau memikirkan ulang apa yang terjadi?” kataku dengan hati-hati. Emi memperbaiki posisinya, tebakanku benar. Ia tengah menangis. “Apalagi yang harus dipikirkan, Kak. Jelas-jelas perempuan itu punya bukti kalau dia memang ada hubungannya dengan Kak Syawal, terus apalagi yang mau dipikirkan dan dia kok masih saja mau mengelak, dasar memang laki-laki selalu begitu. Gayanya aja mau menikah, tapi ujung-ujungnya sudah punya anak dari perempuan lain. Beruntung saja semua ini aku dapati sebelum menikah jadi bisa kuputuskan kalau rencana kami sebaiknya dibatalkan saja.” Terdengar tegas hanya aku tahu Emi masih berharap apa yang terjadi hanyalah mimpi saja.“Tetap harus kamu pikirkan dengan tenang, de
Part 88 Pov Mayang Dua minggu kemudian Aku bersyukur harapanku dengan kedua adikku akhirnya terwujud. Toko kue sekaligus tempat tinggal kami dengan mudahnya diberikan oleh bank melalui pinjaman yang kami ajukan. Ruko yang kami beli berada di pusat kota, meski harganya fantastis, minimal dengan usaha yang lancar maka kami yakin akan bisa membayarnya. Tentu dengan kerja keras. Hari ini merupakan hari kedua kami membuka toko, awal pembukaan toko kemarin sudah ramai dengan pengunjung, sebab dengan kepandaian dan gerak gesit Farida di media sosial membuat pelanggan berdatangan. “Ya Allah, luar biasa sekali ya, Kak. Aku yakin kalau begini terus ramenya pasti kita akan bisa dengan mudah mencicil membayar pada bank, apalagi toko ini sekalian tempat tinggal kita sehingga memudahkan kita tetap stand by di toko.” Farida menyapaku pagi ini. Aku mengangguk setuju. Sejak dibukanya toko kue, kami menambah satu orang lagi bernama Marlena untuk menjaga toko bersama Farida, sedangkan Kiki dan aku
Part 87Pov Farah Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam yang dijual tak jauh dari rumah, di rumah hanya ada Purwanto dan Sekar, sedangkan Ibu entah ke mana. Mas Didik seperti biasa pergi bekerja.“Pur, kita makan mie ayam yuk.” Ajakku ke padanya. Purwanto yang tengah asik bermain game online sama sekali tak menoleh dan mempedulikanku. Itulah yang membuatku semakin hari semakin bosan padanya. Tak pernah ada niatan di hatinya untuk bergerak mencari pekerjaan dan lebih banyak menggantungkan hidup padaku atau pada Mas Didik.Selama Purwanto tidak bekerja, setiap bulan aku selalu minta jatah pada Mamaku, beruntung Mama tidak keberatan memberikan uang memenuhi kebutuhanku dan Sekar, Punya suami percuma saja, tidak berguna sama sekali.“Ya sudah kamu jaga Sekar, aku mau makan mie ayam di depan sana.” Tetap saja ia tak menoleh dan tak menyahut. Dasar, benar-benar laki-laki tidak ada gunanya. Mataku memperhatikannya selama semenit, tapi aku seperti berbicara dengan patung. Lalu kuputusk
Part 86 Pov DidikTak menyangka, rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Mayang, kehamilan Farah? Dia benar-benar menuduhku telah menghamili Farah sementara hal ini tidak pernah sekalipun keluargaku bahas dengan orang lain, kecuali semuanya ke luar langsung dari mulut istri adikku itu. “Kenapa? Kaget? Karena aku akhirnya tahu gimana busuknya kamu, yang tak lebih dari sampah dengan menghamili adik iparnya sendiri.” Pandangan kilat kemarahan kulihat di mata Mayang. Apa dia cemburu atau memang malah jijik ke padaku.“Kamu salah sangka, aku tak pernah sekalipun menyentuhnya apalagi sampai menghamilinya. Ia sendiri yang mengarang cerita dan membuatnya seakan-akan aku orang yang tertuduh, kamu percayalah bahwa aku masih tetap menjaga hatiku untukmu.” Aku tahu jika Mayang sangat membenciku, membenci semua kelakuanku padanya sejak aku mulai bisa mencari uang. Kuakui aku berubah dan lebih memprioritaskan kebutuhan keluargaku dengan menggapai surga yang berada di telapak
Part 85 “Sebenarnya itu pengajuan saat Saya marah, hari ini Saya datang bersama Ibu Saya ingin meminta maaf dengan Mayang dan ingin meminta agar kami bisa kembali lagi sebagai pasangan suami istri.” Mataku melotot seakan ke luar dari tempatnya. Kok seenaknya Mas Didik berbicara begitu seakan-akan dosa yang ia lakukan padaku dan Arthur dengan begitu mudahnya membuatku memaafkannya lalu menerimanya kembali. Tak semudah itu Fergusso. Betapa selama beberapa bulan ini ia tak berpikir untuk menafkahiku sejak ia mulai bekerja, ia lebih memilih mementingkan urusan keluarganya ketimbang aku dan anak semata wayangnya. Lalu, buat apalagi kami harus menjalin kembali tali pernikahan kami sementara ia sendiri yang membuatnya putus. “Bagaimana, Ibu Mayang. Mungkin apa yang dikatakan penggugat bisa diterima? Atau ada yang ingin Ibu sampaikan.” Tanya petugas yang kutahu bernama Junaedi. “Saya setuju tetap berpisah dengan Pak Didik, soal permintaan maaf tetap akan Saya maafkan hanya untuk kembali
Part 84 “Kaget kamu, kan? nggak menyangka, kan? tapi begitulah kenyataannya aku dan Mas Didik sudah lama berhubungan dan tidak lama lagi aku akan punya anak dari dia.” Kata-kata Farah semakin di luar nalar, benar-benar membuatku syok. Meski aku memilih berpisah dari Mas Didik, namun ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Farah masih tersisa rasa perih di hatiku mengetahui kenyataan ini. Rasanya tak adalagi yang kulakukan di sini, sebaiknya aku pergi. Lebih baik menyisih sebentar demi kewarasan hatiku menghadapi orang-orang toxic yang ada di rumah mantan Ibu Mertuaku ini. Entah aku salah atau apa yang disampaikan oleh farah memang benar adanya, yang jelas aku harus pergi secepatnya.Segera kutarik tangan Farida mengajaknya meninggalkan tempat ini. Setelahnya tanpa berkata apa-apa lagi kami pun pergi. Sepanjang perjalanan aku dan Farida lebih banyak diam. “Kak, kamu yakin apa yang dikatakan oleh Farah tadi, apa benar Mas Didik menghamili Farah. Kok makin aneh-aneh keluarga itu.”
Part 83Pov Mayang Aku kesal karena panggilan sidang dari pengadilan agama yang masuk sesi pertama yakni sidang mediasi, justru tak dihadiri oleh Mas Didik dan sidang harus ditunda. Ketidakhadirannya membuatku berpikir apakah dia memang sengaja ingin mengulur-ulur perpisahan kami atau memang dia benar-benar sedang berhalangan. Pengadilan agama menunda hingga dua pekan lagi, dan sekarang ini sudah berjalan seminggu aku berusaha menyibukkan diri sehingga saat harinya akan digelar, aku lebih tenang. “Kak, jam delapan ini ada pengantaran tempat Bu Trisno kan? Biar aku aja yang antar ya?” pinta Emi membuat aku, Farida juga Kiki kompak tertawa. Kami langsung tahu maksud perkataannya.“Cieee … ada yang sibuk PDKT sama calon mertua nih, ya udah kamu aja yang antar,” godaku, Emi tersipu malu. Wajah putih pucat nya mendadak merona.“Ya nggaklah, Kak. Aku sekalian mau catat pesanan Bu Ida, katanya dia mau pesan untuk acara apa gitu aku lupa,” sebut Emi, aku terkekeh melihat perubahan wajahny
Part 82 “Sekarang … Apa Ibu masih percaya kalau Farah hamil karena aku yang melakukannya?” pertanyaan Didik membuatku terdiam. Meski aku yakin bahwa Didik tidak melakukannya, hanya saja rasa bimbang tetap juga ada, jadi bingung memikirkannya.“Entahlah, Nak. Ibu juga masih belum pasti. Purwanto begitu yakin jika kamu adalah Bapak dari anak yang dikandung oleh istrinya, Ibu masih belum bisa menjawab soal itu. Jika memang kamu bersikeras tak melakukannya, suatu saat pasti akan terbongkar juga yang sebenarnya."Didik dan aku kembali melanjutkan makan kami yang tadi sempat tertunda, hanya sebentar saja Purwanto dan Farah datang. Begitu melihat kami berdua makan, mereka tertawa pelan.“Kasihan … harus makan gorengan yang dijual di pinggir jalan, kayak kami dong, Mas. Barusan makan di restoran.” Suara Purwanto membuat Didik terlihat kesal. Matanya mendelik melihat ke arah menantu dan anakku itu.“Lebih baik makan gorengan di pinggir jalan tapi jelas pakai uang sendiri, ketimbang makan