“Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?”
“Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya.
Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang.
“Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini jarang saya tempati.”
“Justru ini jauh lebih rapi daripada kamar Adik laki-laki saya,” sahut Nara jujur. Matanya memandang sekitar.
Didominasi warna putih dan cokelat kayu, unit apartemen Sagara memiliki sebuah ruang keluarga yang langsung menyambut begitu masuk unit. Di sebelahnya, terdapat pintu geser kaca yang langsung terhubung ke balkon yang dilengkapi kursi santai. Bergeser ke kanan, ada dapur, ruang laundry, serta toilet. Sementara di seberang dapur, terdapat dua kamar tidur yang saling berhadapan.
Meski tampak menenangkan, tapi Nara bisa merasakan sepi jauh lebih mendominasi keseluruhan unit ini. Terlebih hanya ada furnitur-furnitur utama tanpa pajangan apa pun di sini, seolah si pemilik tidak ingin mengekspresikan diri lebih jauh lagi.
“Oh ya? Jadi, kamu punya adik?” Sagara muncul dari arah dapur sambil membawa sebotol air mineral dingin. Ia menghampiri Nara yang duduk di sofa panjang dan mengulurkan botol itu ke arah Nara. “Maaf, cuma ada ini di kulkas. Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, ini sudah lebih dari cukup. Makasih, Mas Saga” jawab Nara seraya menerima botol itu. Matanya berbinar. Akhirnya, dahaganya bisa terobati. Namun sialnya, botol itu malah tidak bisa diajak kompromi. Tutupnya sulit dibuka.
Melihat hal itu, Sagara segera mengambil alih botol dari tangan Nara. Satu kali putar dan botol itu terbuka. Nara mengucapkan terima kasih untuk ke sekian kalinya kepada Sagara sambil menerima kembali botolnya. Perempuan itu lalu meneguk isinya hingga rasa hausnya teratasi.
“Iya, saya punya adik, satu. Tapi dia nyebelin banget dan kadang suka nggak tahu diri, padahal keadaan ekonomi keluarga kami jauh dari kata mewah. Astaga, maaf, maaf saya jadi kebablasan. Anggap saja Mas Saga nggak pernah dengar omongan saya barusan. Maaf.”
Nara gelagapan. Ia tak menyangka sampai kebablasan curhat colongan kepada Sagara. Bagaimanapun juga Sagara tetaplah orang asing bagi Nara, terlepas mereka sudah saling kenal nama dan beberapa kali laki-laki itu membantunya. Ia hanya tidak ingin masalah keluarganya menjadi konsumsi publik.
“Oke, saya paham. Hanya saja kalau saya boleh tahu, kenapa orang-orang tadi mengejar-ngejar kamu? Apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya Sagara. Namun, menyadari kelancangannya barusan, ia buru-buru melanjutkan, “Tapi kalau kamu nggak mau jawab, juga nggak apa-apa kok. Saya bisa paham.”
Hening menyelimuti, hingga suara hujan di luar sana akhirnya menginterupsi keheningan yang tercipta di antara mereka. Nara menoleh ke pintu kaca geser. Di luar, hujan semakin deras. Pemandangan itu tanpa sadar mengingatkannya dengan keadaan rumah yang pasti sama kacaunya dengan efek hujan yang tiba-tiba turun di tengah cuaca terik.
“Terus kamu nggak kasihan sama Nara? Kamu nggak kasihan ngebiarin dia nikah sama orang yang sama sekali nggak dia cinta demi gantiin utang-utang kamu? Tega ya kamu, Mas.”
Suara kecewa ibu kembali terdengar di benak Nara. Membuat perempuan itu memejamkan mata karena yang terdengar berikutnya adalah suara ayah di dapur tadi. Tangannya tanpa sadar ikut terkepal.
“Bukannya aku nggak kasihan, tapi itu memang sudah tugasnya Nara. Dia anak sulung, jadi wajar kalau dia harus selalu siap bantuin orang tuanya. Sudahlah, nggak perlu dipermasalahkan lagi, toh Nara sendiri juga sudah setuju. Yang penting sekarang, kita sudah terbebas dari semua utang. Lagian, bukannya bagus kalau Nara jadi nikah sama Amar? Itu berarti sedikit banyak kita pasti juga akan kecipratan kekayaan keluarganya Amar nanti.”
“Nara!”
Panggilan itu sontak menyadarkan Nara dari lamunannya. Perempuan itu tersentak kaget dan buru-buru menoleh. Sebelum ia sempat membalas, suara Sagara sudah lebih dulu terdengar.
“Saya perhatikan dari awal kita bertemu sampai sekarang, kamu sering banget melamun, ya. Kamu baik-baik saja, Nara?”
Ditanya begitu, entah kenapa menimbulkan perasaan aneh dalam diri Nara. Ia tersenyum tipis. Belum pernah ada yang menanyakan pertanyaan semacam itu padanya. “Jujur, sebenarnya saya juga nggak tahu saya baik-baik saja atau nggak,” akunya kemudian.
Pikirannya terasa penuh dan mungkin tak ada salahnya sedikit berbagi cerita dengan orang asing. Jadi, Nara pun melanjutkan, “Ayah punya utang sama bosnya dan bosnya kasih penawaran. Utang-utang itu bakalan lunas kalau saya bersedia nikah sama anaknya, tapi kalau saya nolak, rumah kami bakalan ikut disita sama dia. Nggak adil banget, kan? Mentang-mentang orang kaya, terus dia seenaknya saja menindas orang kecil kayak keluarga saya. Keterlaluan banget kan, Mas?”
Sagara mengangguk. “Tapi bukannya dengan kamu kabur begini, itu malah bisa dimanfaatkan bos Ayah kamu buat menyita rumah kalian, ya?”
“Saya tahu, tapi saya nggak punya pilihan lain. Ada hal lain yang nggak bisa saya ceritakan ke Mas Saga,” sahut Nara, setengah frustrasi memikirkan semua masalah yang terjadi.
Perdebatan orang tuanya di dapur tadi adalah penyebab utama ia memutuskan kabur. Meski ulahnya itu bisa semakin membuat semuanya runyam, tapi ia sungguh berharap orang tuanya mendapat pelajaran juga dari sana, terutama ayah. Bukankah anak tidak seharusnya menjadi alat pengganti untuk membayar utang? Dan lagi, ia kecewa dengan sikap ayah yang terlalu sering mengagungkan adik laki-lakinya hingga tak boleh ikut menanggung masalah ini.
“Begini saja, Nara. Bagaimana kalau saya bantu melunasi semua utang Ayah kamu?”
Satu pertanyaan itu berhasil menarik perhatian Nara. Alisnya terangkat naik.
“Nara, saya tahu kita memang baru kenal dan mungkin itu juga yang bikin kamu ragu terima bantuan saya. Tapi saya benar-benar ingin membantu kamu, meski mungkin ini nggak sebanding dengan bantuan kamu yang sudah menyelamatkan ponsel saya dari copet kemarin. Data di ponsel ini sangat berharga bagi saya,” terang Sagara.
“Atau begini, kita bikin kesepakatan saja. Saya akan bantu kamu apa pun yang kamu minta, asal kamu juga bisa bantu saya. Bagaimana?”
Mendadak Nara seperti diingatkan kembali pada penawaran Pak Johan beberapa hari lalu. Alisnya terangkat. “Bantu ... apa, Mas?” tanyanya ragu. Ia sungguh tidak siap kalau misalnya tawaran kesepakatan yang diajukan Sagara ternyata sama seperti tawaran Pak Johan, apalagi ini juga berkaitan dengan uang.
“Kamu ... jadilah ibu untuk anak saya.”
“Apa?!”
Sagara baik.Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghada
Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara. Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara."Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol. "Pak Sagara juga berpesa
“Mas Saga kenapa ngelihatin saya begitu? Ada yang salah sama wajah saya, ya?”Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Sagara dari fokusnya memandang wajah perempuan di hadapannya. Laki-laki itu mengerjap, berdeham pelan, lalu menggeleng cepat. “Enggak. Enggak ada yang salah sama kamu.”“Terus kenapa dari tadi Mas Saga ngelihatin saya?” Nara menyipitkan mata ke arah Sagara. “Mas ... terpesona ya sama saya?” tanyanya, yang seketika langsung ia sesali dalam hati.Tawa pelan terdengar. “Ternyata selain suka melamun, kamu juga suka asal nuduh, ya?” Sagara geleng-geleng kepala. Laki-laki itu meletakkan sendok, kemudian meraih cangkir kopinya. “Maaf, Nara, saya bukan terpesona sama kamu, tapi saya cuma baru sadar kalau ternyata tawa kamu nyeremin. Semoga saja besok, anak saya nggak nangis karena dengar kamu ketawa, ya.”Nara meringis kecil. “Saya nggak tahu harus sedih atau malah berterima kasih setelah dengar kejujuran Mas Saga barusan. Tapi harus saya akui, kadang saya juga ngerasa seram denga
Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi ketika Nara menyelesaikan agenda bersih-bersihnya. Nara menyeka keringat di dahi sambil memandang puas hasil pekerjaannya. Lantai sudah disapu dan dipel, furnitur-furnitur bersih dari debu, tirai dan jendela dibuka agar sirkulasi udara berganti.Sebenarnya Nara tidak rajin-rajin amat. Semua ini Nara lakukan karena Sagara sudah banyak membantunya, juga untuk membunuh perasaan bersalahnya setelah mengetahui kondisi rumah pasca ia kabur kemarin. Pesan dari Rian semalam berhasil membuat Nara tidak tidur nyenyak dan berakhir bangun lebih pagi, lalu memutuskan membersihkan unit apartemen Sagara sebagai pengalihan.Nara lantas bergegas mandi. Ia butuh menyegarkan tubuh yang lengket karena keringat. Beberapa menit kemudian, Nara keluar kamar mandi dengan memakai kaus garis-garis lengan pendek dan celana panjang warna cokelat. Perutnya yang meronta kelaparan sejak di dalam kamar mandi tadi membuat Nara segera beranjak ke dapur, mengecek semua rak d
Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se
Sagara tiba di apartemen dua setengah jam kemudian, masih mengenakan kemeja abu-abu muda yang dilapisi blazer hitam. Laki-laki itu sudah akan mengetuk pintu unit ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang perempuan berkaus putih yang sama terkejutnya dengan dirinya. Belum sempat Sagara bertanya siapa perempuan itu, sebuah suara dari arah dalam unit tiba-tiba terdengar. Membuat kedua orang itu sontak menoleh ke sumber suara. "Lo ngapain berhenti di pintu sih, Sal? Kata--loh, Mas Saga? Kok nggak bilang mau ke sini? Rapatnya sudah selesai?" Nara yang datang menyusul Salma pun berdiri kikuk di sebelah sahabatnya. Ia pikir Sagara masih belum selesai rapat karena laki-laki itu belum mengabarinya. "Oh iya, Mas, kenalin ini Salma. Maaf, tadi saya lupa izin sama Mas Saga kalau saya bawa teman ke sini," ujar Nara memperkenalkan Salma kepada Sagara. "Dan Sal, kenalin ini Mas Sagara yang tadi gue ceritain. Dia yang sudah bantuin gue beberapa hari ini."Sagara dan Sal
"Terima kasih kembali, Nara," balas Sagara seraya mengulurkan selembar tisu yang lantas diterima Nara. "Nah, sekarang kamu masih mau lanjut nangis atau mau pulang?" Sagara menoleh. "Kalau kamu masih mau nangis, nggak apa-apa kamu lanjutin nangisnya. Saya tungguin sampai kamu merasa lega. Tapi kalau kamu mau pulang, tolong kasih tahu saya alamat rumah kamu karena saya nggak tahu di mana rumah kamu."Mendengar itu, Nara buru-buru menyusut ingusnya dengan tisu pemberian Sagara. Gara-gara menangis tadi, ia baru sadar kalau sekarang mereka sudah sampai di area pertokoan tempat ia bertemu Sagara kemarin."Maaf, maaf. Gapura merah itu masuk, Mas. Nanti lurus terus sampai ada pos kampling kiri jalan. Rumah saya seberang pos itu," tunjuk Nara pada sebuah gang dengan gapura bercat merah pudar, tepat di samping warung nasi."Oke." Sagara kembali mengemudikan mobil menuju gang yang ditunjuk Nara. Begitu mobil sudah melewati gapura, kesan pertama yang Sagara dapatkan adalah rumah-rumah di gang i
Pada akhirnya, Nara memang tidak bisa mengabaikan permintaan tolong sang ibu untuk datang ke toko dan mengecek keadaan ayahnya. Ditambah lagi, perkataan Sagara sedikit banyak juga membayangi benaknya. Karena itu, setelah menerima pakaian akad—yang batal ia pakai gara-gara ditinggal kabur—dan bekal makan siang untuk ayah, Nara segera mengajak Sagara pergi. "Itu tokonya. Yang depannya ada balon joget itu, Mas," beritahu Nara saat mereka sampai di ujung lain gang rumahnya.Tempat yang mereka tuju berada di seberang jalan, beberapa meter ke kanan dari gang. Lokasinya yang strategis, ditambah tidak adanya toko bangunan lain di sekitar sana, membuat toko bangunan milik Pak Johan sebagai satu-satunya yang terbesar di daerah itu. Sesaat Sagara tertegun. Toko bangunan yang dimaksud Nara tampak tidak asing. Tapi sayangnya, ia tidak punya cukup waktu untuk menggali ingatan karena ada hal lain yang lebih penting.Nara keluar lebih dulu dan menunggu di dekat balon joget sambil menenteng tas beka
"Breath, Nara," ujar Sagara ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Hari ini, Sagara datang ke rumah Nara untuk menjemput dan meminta izin orang tuanya agar Nara diizinkan bekerja dengannya. Menurut, Nara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Diulangi kegiatan itu beberapa kali hingga ia merasa lega. "Thank you," balasnya. "Kita berangkat sekarang saja, ya?" Sagara mulai menyalakan mesin mobil. Nara hanya mengangguk singkat sebagai jawaban, lalu memasang sabuk pengamannya dalam diam, seolah ia tidak punya tenaga lagi untuk sekadar berkata "ya". Tubuhnya memang berada di mobil ini bersama Sagara, tapi pikirannya justru terlempar ke beberapa waktu lalu sebelum kedatangan laki-laki itu. Tadi pagi, ayah tiba-tiba menanyakan tentang pekerjaan Nara di toko Maharani, padahal sebelum ini ayah tidak pernah mau peduli. Tidak ingin menambah dosa karena berbohong, Nara pun memberitahu kalau ia sudah berhenti bekerja di Maharani dan jawaban tersebut malah membuat ayah mara
Beberapa kali bertemu Darwin, Nara berpikir laki-laki itu adalah orang yang ramah dan mudah bergaul. Pemikiran tersebut terbukti benar, apalagi setelah ia dan Darwin mengobrol sambil menikmati makan siang—dua porsi mi ayam dan dua gelas es teh manis—di warung mi ayam bakso di seberang toko. Laki-laki itu tiba-tiba mengajak Nara makan siang bareng setelah keluar dari ruangan Bu Maharani, padahal lima belas menit lagi jam istirahat Nara habis.“Kamu tenang saja. Saya sudah izin Tante Rani untuk ajak kamu makan siang. Nggak lama kok, nggak akan lewat dari jam istirahat kamu,” ujar Darwin, yang akhirnya disetujui Nara karena perutnya juga lapar. Sementara Salma dan Maya, sudah makan saat Nara masih berada di ruangan bosnya.Dari obrolan mereka pula, Nara jadi tahu kalau ternyata laki-laki yang dua bulan lagi berulang tahun ke tiga puluh itu adalah keponakan Bu Maharani. Sejak orang tuanya meninggal saat ia berusia lima belas tahun, Darwin tinggal bersama Bu Maharani, yang juga merupakan a
Keesokan harinya, Nara segera bersiap-siap untuk berangkat ke toko. Kebetulan pula hari ini jadwalnya ia sif pagi. Setelah memastikan kalau ayahnya sudah berangkat kerja, barulah Nara pergi.Ya, sejak pertengkaran semalam, Nara dan ayahnya terlibat perang dingin. Entah, ia lupa ini perang dingin ke berapa selama ia hidup. Mereka tidak saling bicara, bahkan ayah terang-terangan membuang muka ketika tak sengaja berpapasan dengannya. Namun, Nara tidak mau ambil pusing dengan hal itu karena ia paham betul memang begitulah sifat buruk ayahnya.“Lo benaran mau resign, Ra?” tanya Salma sambil melirik kaca spion kirinya. Motor yang ia kendarai melaju dengan kecepatan sedang menuju toko Maharani.“Yakin. Gue nggak bisa nunda, Sal, waktunya sudah mepet,” jawab Nara. Semalam, ia sudah memberitahu ibunya dan Salma tentang keputusannya berhenti bekerja di toko Maharani, dan mereka mendukung apa pun keputusan yang diambilnya selama itu yang terbaik. Meskipun ia masih belum memberitahu ibunya apa pe
“Namanya Sagara. Dia bos baru Nara dan dia juga nggak punya istri atau pasangan seperti yang Ayah kira.”Ucapan itu berhasil membuat dua orang dewasa di ruang makan itu menoleh. Nara yang awalnya ingin menahan pembahasan ini hingga selesai makan malam nanti, terpaksa harus mengurungkan niatnya demi menengahi pertengkaran yang terjadi.“Dan soal kenapa Mas Sagara mau bantuin Nara untuk melunasi utang-utang Ayah ...” Nara menoleh. “Itu karena dia tahu kalau anak nggak seharusnya dijadikan alat pelunas utang. Anak bukan barang yang bisa ditukar seenaknya dengan apa pun sesu—”Satu tamparan tiba-tiba mendarat di wajah Nara, bersamaan dengan suara pekikan ibu. Nara meringis. Rasa panas juga perih menjalari pipi kanannya yang baru saja ditampar ayah. Berikutnya, makian demi makian ganti menampar Nara lebih keras lagi.“Anak kurang ajar! Percuma Ayah sekolahin kamu capek-capek, tapi kamu nggak tahu balas budi sama orang tua! Bukannya bantuin orang tua, malah pergi keluyuran sama laki-laki. M
“Saya sudah transfer dua puluh lima juta ke rekening Anda. Silakan, Anda bisa cek mutasi rekening Anda,” ucap Sagara seraya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan sebuah bukti transfer kepada seorang pria di sofa tunggal.Pria itu mengecek ponselnya. “Nah, begini dong! Jadi kan sama-sama enak. Saya nggak perlu lagi capek-capek nagih utang kalian kayak kemarin,” balasnya puas begitu melihat angka-angka di rekeningnya bertambah. “Oke, saya ambilkan sertifikat kalian dulu.”Pak Johan lantas beranjak meninggalkan ketiga tamunya. Tak lama, pria itu kembali ke ruang tamu seraya membawa sebuah map berwarna merah. Map tersebut kemudian diletakkan di atas meja, tepat di hadapan Sagara.“Kamu cek dulu, Ra.” Sagara menggeser map tersebut ke arah Nara, yang langsung diterima oleh perempuan itu. Aman. Sertifikat rumah atas nama Marni di dalam map tersebut, aman. Semua sama seperti terakhir kali Nara mengeceknya bersama ibu setelah sertifikat baru itu jadi. “Jadi, semua sudah clear ya, Pak?
Pada akhirnya, Nara memang tidak bisa mengabaikan permintaan tolong sang ibu untuk datang ke toko dan mengecek keadaan ayahnya. Ditambah lagi, perkataan Sagara sedikit banyak juga membayangi benaknya. Karena itu, setelah menerima pakaian akad—yang batal ia pakai gara-gara ditinggal kabur—dan bekal makan siang untuk ayah, Nara segera mengajak Sagara pergi. "Itu tokonya. Yang depannya ada balon joget itu, Mas," beritahu Nara saat mereka sampai di ujung lain gang rumahnya.Tempat yang mereka tuju berada di seberang jalan, beberapa meter ke kanan dari gang. Lokasinya yang strategis, ditambah tidak adanya toko bangunan lain di sekitar sana, membuat toko bangunan milik Pak Johan sebagai satu-satunya yang terbesar di daerah itu. Sesaat Sagara tertegun. Toko bangunan yang dimaksud Nara tampak tidak asing. Tapi sayangnya, ia tidak punya cukup waktu untuk menggali ingatan karena ada hal lain yang lebih penting.Nara keluar lebih dulu dan menunggu di dekat balon joget sambil menenteng tas beka
"Terima kasih kembali, Nara," balas Sagara seraya mengulurkan selembar tisu yang lantas diterima Nara. "Nah, sekarang kamu masih mau lanjut nangis atau mau pulang?" Sagara menoleh. "Kalau kamu masih mau nangis, nggak apa-apa kamu lanjutin nangisnya. Saya tungguin sampai kamu merasa lega. Tapi kalau kamu mau pulang, tolong kasih tahu saya alamat rumah kamu karena saya nggak tahu di mana rumah kamu."Mendengar itu, Nara buru-buru menyusut ingusnya dengan tisu pemberian Sagara. Gara-gara menangis tadi, ia baru sadar kalau sekarang mereka sudah sampai di area pertokoan tempat ia bertemu Sagara kemarin."Maaf, maaf. Gapura merah itu masuk, Mas. Nanti lurus terus sampai ada pos kampling kiri jalan. Rumah saya seberang pos itu," tunjuk Nara pada sebuah gang dengan gapura bercat merah pudar, tepat di samping warung nasi."Oke." Sagara kembali mengemudikan mobil menuju gang yang ditunjuk Nara. Begitu mobil sudah melewati gapura, kesan pertama yang Sagara dapatkan adalah rumah-rumah di gang i
Sagara tiba di apartemen dua setengah jam kemudian, masih mengenakan kemeja abu-abu muda yang dilapisi blazer hitam. Laki-laki itu sudah akan mengetuk pintu unit ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang perempuan berkaus putih yang sama terkejutnya dengan dirinya. Belum sempat Sagara bertanya siapa perempuan itu, sebuah suara dari arah dalam unit tiba-tiba terdengar. Membuat kedua orang itu sontak menoleh ke sumber suara. "Lo ngapain berhenti di pintu sih, Sal? Kata--loh, Mas Saga? Kok nggak bilang mau ke sini? Rapatnya sudah selesai?" Nara yang datang menyusul Salma pun berdiri kikuk di sebelah sahabatnya. Ia pikir Sagara masih belum selesai rapat karena laki-laki itu belum mengabarinya. "Oh iya, Mas, kenalin ini Salma. Maaf, tadi saya lupa izin sama Mas Saga kalau saya bawa teman ke sini," ujar Nara memperkenalkan Salma kepada Sagara. "Dan Sal, kenalin ini Mas Sagara yang tadi gue ceritain. Dia yang sudah bantuin gue beberapa hari ini."Sagara dan Sal
Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se