"Breath, Nara," ujar Sagara ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Hari ini, Sagara datang ke rumah Nara untuk menjemput dan meminta izin orang tuanya agar Nara diizinkan bekerja dengannya. Menurut, Nara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Diulangi kegiatan itu beberapa kali hingga ia merasa lega. "Thank you," balasnya. "Kita berangkat sekarang saja, ya?" Sagara mulai menyalakan mesin mobil. Nara hanya mengangguk singkat sebagai jawaban, lalu memasang sabuk pengamannya dalam diam, seolah ia tidak punya tenaga lagi untuk sekadar berkata "ya". Tubuhnya memang berada di mobil ini bersama Sagara, tapi pikirannya justru terlempar ke beberapa waktu lalu sebelum kedatangan laki-laki itu. Tadi pagi, ayah tiba-tiba menanyakan tentang pekerjaan Nara di toko Maharani, padahal sebelum ini ayah tidak pernah mau peduli. Tidak ingin menambah dosa karena berbohong, Nara pun memberitahu kalau ia sudah berhenti bekerja di Maharani dan jawaban tersebut malah membuat ayah mara
“Saya tidak butuh maaf kamu! Yang saya butuhkan itu uang, bukan maaf!” Kerumunan di salah satu sisi jalan berhasil menarik perhatian Nara. Perempuan berbaju abu-abu itu menyipitkan mata, tapi tak urung langkahnya gegas ke arah kerumunan. Menerobos susah payah di antara orang-orang bertubuh lebih besar daripada dirinya. Berikutnya, sebuah pemandangan tak terduga menyambutnya. “Asal kamu tahu, Marwan, utang-utang kamu itu sudah numpuk banyak dan cicilannya belum sampai setengah yang kamu bayar, padahal saya sudah sering kasih kamu toleransi waktu. Kurang baik apa lagi saya? Hah?” Amukan pria gemuk berkumis tebal itu terdengar hingga ke halaman, ke telinga orang-orang yang tengah menatap penasaran dari luar pagar. Kemarahan terpancar jelas di wajah pria bertopi fedora cokelat itu. “Atau jangan-jangan kamu sengaja, ya?” Pria itu menatap menyelidik lawan bicaranya. “Kamu pasti sengaja nunda-nunda terus karena tidak mau bayar utang, kan? Mau lari dari tanggung jawab kamu, iya? Ngaku kamu
Satu hal yang ada di benak Nara setelah telepon berakhir adalah memastikan langsung kebenaran kabar itu. Kepanikan melanda sepanjang perjalanan ke toko, membuat ia tak berhenti merapal, semoga kabar itu tidak benar.Sayangnya, rentetan pesan masuk di grup chat karyawan justru tak lagi bisa meredakan kepanikan Nara. Saking paniknya, ia terburu-buru turun dari ojek online yang ditumpanginya dan menabrak salah seorang pejalan kaki di depan toko.“Maaf, maaf, saya nggak sengaja. Ini ponsel Anda. Permisi. Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap Nara sambil mengulurkan sebuah ponsel kepada pejalan kaki tadi, lalu bergegas melangkah ke sebuah bangunan dengan plang “Maharani” di bagian depan.Maharani adalah sebuah toko pakaian milik seorang ibu tunggal yang anak laki-lakinya pernah Nara tolong saat nyaris terserempet mobil. Atas jasanya tersebut, Nara—yang kebetulan sedang mencari pekerjaan—lantas ditawari bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian milik wanita itu. Ia pun dengan senang hati men
Ruang tamu terasa melegakan begitu kedua tamu itu pergi. Namun, kelegaan itu berbanding terbalik dengan kerumitan yang memenuhi isi kepala Nara. Penawaran Pak Johan adalah sebuah petaka baru bagi keluarganya yang tak bisa lagi disepelekan. Pria itu memberi waktu dua hari bagi Nara untuk memikirkan penawaran itu. Hal ini membuat Nara harus memikirkan semuanya matang-matang agar tidak salah langkah dan dirundung penyesalan.Suara ibu yang menyuruh makan siang membuyarkan lamunan Nara. Ia menoleh dan mendapati ibu berdiri di sebelahnya. Ayah sudah tidak terlihat lagi, entah pergi ke mana. Namun, Nara menolak dan memilih kembali ke toko. Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa makan di tempat yang baru saja membuat kepalanya pusing?Sepanjang perjalanan ke toko, Nara tidak berhenti berpikir. Kenapa masalah datang bertubi-tubi begini? Tak adakah hari tenang untuknya barang sehari saja? Ia kan juga butuh—“Awas!”—istirahat.“Mbak nggak apa-apa?”Pertanyaan itu sontak membuat Nara mengerjap. Ma
Seberkas cahaya yang masuk melalui celah tirai jendela berhasil mengusik tidur Nara. Perempuan itu beranjak duduk. Kepalanya terasa agak pusing, tapi sesak yang semalam ia rasakan sudah mereda. Entah berapa lama ia menangis hingga akhirnya tertidur dengan posisi meringkuk di balik selimut, Nara sama sekali tidak ingat. Bahkan ia juga tidak ingat sejak kapan lampu kamarnya mati. Yang Nara ingat, semalam ia tidak bisa tidur, lalu ibu masuk kamarnya dan mereka bicara—sebuah pembicaraan yang kemudian membuatnya merasa sesak tak karuan. Nara memijat pelipisnya, berusaha meredakan rasa sakit. Namun belum reda rasa sakitnya, netranya sudah keburu jatuh pada gantungan pakaian di pintu kamar. Sebuah kebaya brokat berwarna putih, lengkap dengan bawahan batik, tergantung di sana. Nara terdiam. Ia sadar pernikahannya dengan Amar benar-benar sudah di depan mata dan ia tidak bisa mundur lagi. Namun sayangnya, keraguan dan penyesalan justru kembali muncul di benak Nara. Membuat ia kembali bimbang
“Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?” “Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya. Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang. “Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini
Sagara baik.Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghada
Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara. Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara."Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol. "Pak Sagara juga berpesa
"Breath, Nara," ujar Sagara ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Hari ini, Sagara datang ke rumah Nara untuk menjemput dan meminta izin orang tuanya agar Nara diizinkan bekerja dengannya. Menurut, Nara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Diulangi kegiatan itu beberapa kali hingga ia merasa lega. "Thank you," balasnya. "Kita berangkat sekarang saja, ya?" Sagara mulai menyalakan mesin mobil. Nara hanya mengangguk singkat sebagai jawaban, lalu memasang sabuk pengamannya dalam diam, seolah ia tidak punya tenaga lagi untuk sekadar berkata "ya". Tubuhnya memang berada di mobil ini bersama Sagara, tapi pikirannya justru terlempar ke beberapa waktu lalu sebelum kedatangan laki-laki itu. Tadi pagi, ayah tiba-tiba menanyakan tentang pekerjaan Nara di toko Maharani, padahal sebelum ini ayah tidak pernah mau peduli. Tidak ingin menambah dosa karena berbohong, Nara pun memberitahu kalau ia sudah berhenti bekerja di Maharani dan jawaban tersebut malah membuat ayah mara
Beberapa kali bertemu Darwin, Nara berpikir laki-laki itu adalah orang yang ramah dan mudah bergaul. Pemikiran tersebut terbukti benar, apalagi setelah ia dan Darwin mengobrol sambil menikmati makan siang—dua porsi mi ayam dan dua gelas es teh manis—di warung mi ayam bakso di seberang toko. Laki-laki itu tiba-tiba mengajak Nara makan siang bareng setelah keluar dari ruangan Bu Maharani, padahal lima belas menit lagi jam istirahat Nara habis.“Kamu tenang saja. Saya sudah izin Tante Rani untuk ajak kamu makan siang. Nggak lama kok, nggak akan lewat dari jam istirahat kamu,” ujar Darwin, yang akhirnya disetujui Nara karena perutnya juga lapar. Sementara Salma dan Maya, sudah makan saat Nara masih berada di ruangan bosnya.Dari obrolan mereka pula, Nara jadi tahu kalau ternyata laki-laki yang dua bulan lagi berulang tahun ke tiga puluh itu adalah keponakan Bu Maharani. Sejak orang tuanya meninggal saat ia berusia lima belas tahun, Darwin tinggal bersama Bu Maharani, yang juga merupakan a
Keesokan harinya, Nara segera bersiap-siap untuk berangkat ke toko. Kebetulan pula hari ini jadwalnya ia sif pagi. Setelah memastikan kalau ayahnya sudah berangkat kerja, barulah Nara pergi.Ya, sejak pertengkaran semalam, Nara dan ayahnya terlibat perang dingin. Entah, ia lupa ini perang dingin ke berapa selama ia hidup. Mereka tidak saling bicara, bahkan ayah terang-terangan membuang muka ketika tak sengaja berpapasan dengannya. Namun, Nara tidak mau ambil pusing dengan hal itu karena ia paham betul memang begitulah sifat buruk ayahnya.“Lo benaran mau resign, Ra?” tanya Salma sambil melirik kaca spion kirinya. Motor yang ia kendarai melaju dengan kecepatan sedang menuju toko Maharani.“Yakin. Gue nggak bisa nunda, Sal, waktunya sudah mepet,” jawab Nara. Semalam, ia sudah memberitahu ibunya dan Salma tentang keputusannya berhenti bekerja di toko Maharani, dan mereka mendukung apa pun keputusan yang diambilnya selama itu yang terbaik. Meskipun ia masih belum memberitahu ibunya apa pe
“Namanya Sagara. Dia bos baru Nara dan dia juga nggak punya istri atau pasangan seperti yang Ayah kira.”Ucapan itu berhasil membuat dua orang dewasa di ruang makan itu menoleh. Nara yang awalnya ingin menahan pembahasan ini hingga selesai makan malam nanti, terpaksa harus mengurungkan niatnya demi menengahi pertengkaran yang terjadi.“Dan soal kenapa Mas Sagara mau bantuin Nara untuk melunasi utang-utang Ayah ...” Nara menoleh. “Itu karena dia tahu kalau anak nggak seharusnya dijadikan alat pelunas utang. Anak bukan barang yang bisa ditukar seenaknya dengan apa pun sesu—”Satu tamparan tiba-tiba mendarat di wajah Nara, bersamaan dengan suara pekikan ibu. Nara meringis. Rasa panas juga perih menjalari pipi kanannya yang baru saja ditampar ayah. Berikutnya, makian demi makian ganti menampar Nara lebih keras lagi.“Anak kurang ajar! Percuma Ayah sekolahin kamu capek-capek, tapi kamu nggak tahu balas budi sama orang tua! Bukannya bantuin orang tua, malah pergi keluyuran sama laki-laki. M
“Saya sudah transfer dua puluh lima juta ke rekening Anda. Silakan, Anda bisa cek mutasi rekening Anda,” ucap Sagara seraya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan sebuah bukti transfer kepada seorang pria di sofa tunggal.Pria itu mengecek ponselnya. “Nah, begini dong! Jadi kan sama-sama enak. Saya nggak perlu lagi capek-capek nagih utang kalian kayak kemarin,” balasnya puas begitu melihat angka-angka di rekeningnya bertambah. “Oke, saya ambilkan sertifikat kalian dulu.”Pak Johan lantas beranjak meninggalkan ketiga tamunya. Tak lama, pria itu kembali ke ruang tamu seraya membawa sebuah map berwarna merah. Map tersebut kemudian diletakkan di atas meja, tepat di hadapan Sagara.“Kamu cek dulu, Ra.” Sagara menggeser map tersebut ke arah Nara, yang langsung diterima oleh perempuan itu. Aman. Sertifikat rumah atas nama Marni di dalam map tersebut, aman. Semua sama seperti terakhir kali Nara mengeceknya bersama ibu setelah sertifikat baru itu jadi. “Jadi, semua sudah clear ya, Pak?
Pada akhirnya, Nara memang tidak bisa mengabaikan permintaan tolong sang ibu untuk datang ke toko dan mengecek keadaan ayahnya. Ditambah lagi, perkataan Sagara sedikit banyak juga membayangi benaknya. Karena itu, setelah menerima pakaian akad—yang batal ia pakai gara-gara ditinggal kabur—dan bekal makan siang untuk ayah, Nara segera mengajak Sagara pergi. "Itu tokonya. Yang depannya ada balon joget itu, Mas," beritahu Nara saat mereka sampai di ujung lain gang rumahnya.Tempat yang mereka tuju berada di seberang jalan, beberapa meter ke kanan dari gang. Lokasinya yang strategis, ditambah tidak adanya toko bangunan lain di sekitar sana, membuat toko bangunan milik Pak Johan sebagai satu-satunya yang terbesar di daerah itu. Sesaat Sagara tertegun. Toko bangunan yang dimaksud Nara tampak tidak asing. Tapi sayangnya, ia tidak punya cukup waktu untuk menggali ingatan karena ada hal lain yang lebih penting.Nara keluar lebih dulu dan menunggu di dekat balon joget sambil menenteng tas beka
"Terima kasih kembali, Nara," balas Sagara seraya mengulurkan selembar tisu yang lantas diterima Nara. "Nah, sekarang kamu masih mau lanjut nangis atau mau pulang?" Sagara menoleh. "Kalau kamu masih mau nangis, nggak apa-apa kamu lanjutin nangisnya. Saya tungguin sampai kamu merasa lega. Tapi kalau kamu mau pulang, tolong kasih tahu saya alamat rumah kamu karena saya nggak tahu di mana rumah kamu."Mendengar itu, Nara buru-buru menyusut ingusnya dengan tisu pemberian Sagara. Gara-gara menangis tadi, ia baru sadar kalau sekarang mereka sudah sampai di area pertokoan tempat ia bertemu Sagara kemarin."Maaf, maaf. Gapura merah itu masuk, Mas. Nanti lurus terus sampai ada pos kampling kiri jalan. Rumah saya seberang pos itu," tunjuk Nara pada sebuah gang dengan gapura bercat merah pudar, tepat di samping warung nasi."Oke." Sagara kembali mengemudikan mobil menuju gang yang ditunjuk Nara. Begitu mobil sudah melewati gapura, kesan pertama yang Sagara dapatkan adalah rumah-rumah di gang i
Sagara tiba di apartemen dua setengah jam kemudian, masih mengenakan kemeja abu-abu muda yang dilapisi blazer hitam. Laki-laki itu sudah akan mengetuk pintu unit ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang perempuan berkaus putih yang sama terkejutnya dengan dirinya. Belum sempat Sagara bertanya siapa perempuan itu, sebuah suara dari arah dalam unit tiba-tiba terdengar. Membuat kedua orang itu sontak menoleh ke sumber suara. "Lo ngapain berhenti di pintu sih, Sal? Kata--loh, Mas Saga? Kok nggak bilang mau ke sini? Rapatnya sudah selesai?" Nara yang datang menyusul Salma pun berdiri kikuk di sebelah sahabatnya. Ia pikir Sagara masih belum selesai rapat karena laki-laki itu belum mengabarinya. "Oh iya, Mas, kenalin ini Salma. Maaf, tadi saya lupa izin sama Mas Saga kalau saya bawa teman ke sini," ujar Nara memperkenalkan Salma kepada Sagara. "Dan Sal, kenalin ini Mas Sagara yang tadi gue ceritain. Dia yang sudah bantuin gue beberapa hari ini."Sagara dan Sal
Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se