Beranda / Romansa / Ibu Bayaran Anak Bos Tampan / Bab 2. Sebuah Penawaran

Share

Bab 2. Sebuah Penawaran

Penulis: Orion Hunter
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Satu hal yang ada di benak Nara setelah telepon berakhir adalah memastikan langsung kebenaran kabar itu. Kepanikan melanda sepanjang perjalanan ke toko, membuat ia tak berhenti merapal, semoga kabar itu tidak benar.

Sayangnya, rentetan pesan masuk di grup chat karyawan justru tak lagi bisa meredakan kepanikan Nara. Saking paniknya, ia terburu-buru turun dari ojek online yang ditumpanginya dan menabrak salah seorang pejalan kaki di depan toko.

“Maaf, maaf, saya nggak sengaja. Ini ponsel Anda. Permisi. Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap Nara sambil mengulurkan sebuah ponsel kepada pejalan kaki tadi, lalu bergegas melangkah ke sebuah bangunan dengan plang “Maharani” di bagian depan.

Maharani adalah sebuah toko pakaian milik seorang ibu tunggal yang anak laki-lakinya pernah Nara tolong saat nyaris terserempet mobil. Atas jasanya tersebut, Nara—yang kebetulan sedang mencari pekerjaan—lantas ditawari bekerja sebagai pramuniaga di toko pakaian milik wanita itu. Ia pun dengan senang hati menerima tawaran tersebut dan hari ini tepat tiga tahun ia bekerja di Maharani. Juga hari di mana ia—dan karyawan lain—menerima kenaikan gaji. Setidaknya, sebelum satu kabar buruk yang disebarkan sahabatnya mengacaukan semuanya.

Toko sepi ketika Nara masuk. Pengunjung terakhir baru keluar bersamaan dengan kedatangan Nara. Di tengah ruangan, tampak empat orang berbaju biru muda tengah berkumpul. Raut wajah mereka tampak kusut. Seketika satu kesimpulan terlintas di benak Nara. Ia pun buru-buru menghampiri mereka dan bertanya kebenaran kabar buruk yang disampaikan Salma tadi. Mereka kompak mengangguk.

“Gue sudah coba hubungi Mbak Sindi—telepon, chat, sampai DM sosmednya berkali-kali, tapi sama sekali nggak direspons. Gue jadi yakin alasan dia izin pulang cepat kemarin tuh bukan karena dia sakit, tapi karena dia sebenarnya mau kabur. Ah, tahu gini kemarin nggak gue kasih izin dia pulang cepat! Sorry, ya guys,” ujar Maya merasa bersalah. Tadi pagi ia berniat mengajak Sindi berangkat kerja bersama, tapi ketika tiba di kos Sindi, ia justru diberitahu bahwa perempuan itu sudah pindah kos sejak kemarin siang dan kamarnya pun sudah kosong. Akhirnya, ia pun mengabari temannya yang satu sif.

Ya, Sindi adalah karyawan senior di Maharani. Sosoknya yang kalem, tapi juga tegas itu membuat ia dipercaya Bu Maharani sebagai manajer toko dan orang kepercayaannya. Namun, Sindi justru menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan Bu Maharani padanya. Dan Nara yakin penilaian semua teman-temannya pada Sindi pasti sudah berubah gara-gara masalah ini.

“Terus sudah lapor Bu Bos?” tanya Nara. Ia berdiri gelisah di samping Salma sambil tetap berusaha menghubungi Sindi, tapi hasilnya nihil. Alih-alih suara seniornya, yang terdengar justru suara operator yang mengatakan nomor tujuan tidak dapat dihubungi.

“Sudah gue telepon, tapi Bu Bos nggak angkat. Mungkin masih di acara saudaranya. Tapi tadi gue sudah kirim pesan, kasih tahu semuanya soal Sindi. Semoga segera direspons sama Bu Bos. Sabar, ya,” jawab Ayu.

Namun, kata ‘sabar’ tak cukup menenangkan bagi semua orang di ruangan itu, terutama Nara. Kenaikan gaji yang sudah ditunggu-tunggu sejak minggu lalu itu, kini terasa abu-abu. Tak yakin bisa diharapkan dan sudah pasti tanggal gajian akan diundur sampai bos mereka pulang dari luar kota. Padahal Nara sudah berniat menyisihkan sebagian gaji itu untuk membantu ayah membayar utang.

Kepala Nara mendadak terasa berputar-putar. Tubuhnya nyaris membentur lantai andai Salma tidak segera menangkapnya. Dibantu Ayu, Nara lalu dipapah ke kursi panjang terdekat.

“Lo nggak apa-apa, Ra? Muka lo pucat banget. Lo sakit?” tanya Salma beruntun, tapi Nara menjawab dirinya baik-baik saja. Walaupun jawaban itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang dirasakan Nara sebenarnya.

Di tengah permasalahan itu, ponsel Nara tiba-tiba berdering. Nama kontak ‘Ibu’ tertera di layar. Tanpa berlama-lama, Nara segera menggeser ikon jawab dan menempelkan ponsel di telinga kiri. “Halo, Bu?”

Nara, kamu bisa pulang sebentar sekarang? Ada masalah penting di rumah.

***

Nara tak tahu ada masalah penting apa di rumah sampai ibu mendadak memintanya pulang, tapi ia yakin pasti masalahnya tidak jauh-jauh dari utang. Dan benar saja, ketika tiba di rumah, ia mendapati Pak Johan sudah duduk di ruang tamu berhadapan dengan orang tuanya. Di sebelah pria itu, duduk seorang laki-laki muda berkemeja lengan panjang dan berwajah dingin.

“Ini ada apa sih sebenarnya? Kenapa Ibu tiba-tiba nyuruh Nara pulang? Terus ini kenapa ada Pak Johan di rumah kita? Bapak ke sini mau nagih utang lagi, ya?” Rentetan pertanyaan itu keluar dari mulut Nara tanpa bisa dicegah. Sebelum mulutnya kembali berkata-kata, ibu sudah keburu menarik Nara untuk duduk di sebelahnya.

Pak Johan tertawa. “Tenang, Nara. Tujuan saya datang ke sini bukan untuk menagih utang Ayah kamu. Saya ke sini karena ingin memberikan penawaran menarik kepada kalian,” jawabnya.

“Penawaran?” Alis Nara terangkat. Mendadak alarm bahaya di kepalanya berbunyi. Entah kenapa, ia merasa apa pun penawaran yang ditawarkan Pak Johan nanti, pasti bukanlah sesuatu yang bagus. Bisa jadi itu lebih buruk daripada dugaannya.

“Kalian masih ingat perkataan saya kemarin, kan? Saya kasih waktu dua minggu untuk melunasi semua utang kalian. Tapi saya tahu kalian pasti kesulitan mengumpulkan uang dua puluh juta dalam dua minggu, kan?” Ayah perlahan mengangguk. “Maka dari itu, saya ke sini mau kasih penawaran ke kalian.

“Penawarannya adalah saya akan anggap semua utang kalian lunas, jika Nara bersedia menikah dengan anak saya, Amar,” lanjut Pak Johan seraya menepuk pelan bahu laki-laki di sebelahnya, tapi laki-laki itu hanya bersikap biasa saja. “Tapi jika Nara menolak, itu berarti kalian harus melunasi semua utang kalian minggu depan atau rumah ini akan saya sita.”

Nara dan orang tuanya sontak membeliakkan mata. Sama sekali tidak menyangka dengan apa yang baru saja mereka dengar.

“Loh, nggak bisa gitu dong, Pak! Kemarin keputusannya kan rumah ini akan disita kalau kami nggak bisa bayar utang dalam waktu dua minggu. Tapi ini baru satu hari, Bapak malah ganti aturan begini. Ini namanya Bapak menindas kami!” protes Nara tak terima. Saking emosinya, ia tak sadar sampai berdiri hingga membuat ibu segera menahan lengan Nara agar kembali duduk.

“Yang dikatakan Nara benar, Pak. Penawaran ini rasanya tidak adil bagi kami. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi saja, Pak? Tapi saya mohon, jangan libatkan Nara dalam masalah ini. Dia tidak tahu apa-apa,” sahut ayah.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Marwan. Soal kalian mau terima tawaran saya atau tidak, itu urusan kalian. Hanya saja kalian pasti sudah tahu apa risikonya.”

“Tapi saya nggak mau nikah sama Amar! Saya nggak cinta sama Anak Bapak!” tegas Nara.

“Itu terserah kamu, Nara. Semua keputusan ada di tangan kamu. Lagi pula, bukannya kamu sendiri yang kemarin bilang akan melunasi utang-utang Ayah kamu? Jadi saya rasa ini cara terbaiknya. Kamu mau menikah dengan Amar dan utang Ayah kamu lunas, atau kamu mau membiarkan orang tua kamu semakin menderita dan harus keluar dari rumah ini.”

Berengsek!

Bab terkait

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 3. Keputusan Nara

    Ruang tamu terasa melegakan begitu kedua tamu itu pergi. Namun, kelegaan itu berbanding terbalik dengan kerumitan yang memenuhi isi kepala Nara. Penawaran Pak Johan adalah sebuah petaka baru bagi keluarganya yang tak bisa lagi disepelekan. Pria itu memberi waktu dua hari bagi Nara untuk memikirkan penawaran itu. Hal ini membuat Nara harus memikirkan semuanya matang-matang agar tidak salah langkah dan dirundung penyesalan.Suara ibu yang menyuruh makan siang membuyarkan lamunan Nara. Ia menoleh dan mendapati ibu berdiri di sebelahnya. Ayah sudah tidak terlihat lagi, entah pergi ke mana. Namun, Nara menolak dan memilih kembali ke toko. Lagi pula bagaimana mungkin ia bisa makan di tempat yang baru saja membuat kepalanya pusing?Sepanjang perjalanan ke toko, Nara tidak berhenti berpikir. Kenapa masalah datang bertubi-tubi begini? Tak adakah hari tenang untuknya barang sehari saja? Ia kan juga butuh—“Awas!”—istirahat.“Mbak nggak apa-apa?”Pertanyaan itu sontak membuat Nara mengerjap. Ma

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 4. Kabur

    Seberkas cahaya yang masuk melalui celah tirai jendela berhasil mengusik tidur Nara. Perempuan itu beranjak duduk. Kepalanya terasa agak pusing, tapi sesak yang semalam ia rasakan sudah mereda. Entah berapa lama ia menangis hingga akhirnya tertidur dengan posisi meringkuk di balik selimut, Nara sama sekali tidak ingat. Bahkan ia juga tidak ingat sejak kapan lampu kamarnya mati. Yang Nara ingat, semalam ia tidak bisa tidur, lalu ibu masuk kamarnya dan mereka bicara—sebuah pembicaraan yang kemudian membuatnya merasa sesak tak karuan. Nara memijat pelipisnya, berusaha meredakan rasa sakit. Namun belum reda rasa sakitnya, netranya sudah keburu jatuh pada gantungan pakaian di pintu kamar. Sebuah kebaya brokat berwarna putih, lengkap dengan bawahan batik, tergantung di sana. Nara terdiam. Ia sadar pernikahannya dengan Amar benar-benar sudah di depan mata dan ia tidak bisa mundur lagi. Namun sayangnya, keraguan dan penyesalan justru kembali muncul di benak Nara. Membuat ia kembali bimbang

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 5. Bantuan Sagara

    “Loh, kita ngapain ke sini?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Nara begitu mobil hitam Sagara memasuki basement sebuah gedung bertingkat. Perempuan itu menatap sangsi laki-laki di sebelahnya. “Mas Saga nggak niat nyulik saya, kan?” “Memangnya muka saya mirip penculik, ya?” Sagara balik bertanya. Ia mematikan mesin mobil, kemudian melepas sabuk pengamannya. “Tenang saja, Nara. Saya nggak akan nyulik kamu. Sekarang, ayo turun,” lanjutnya. Meski ragu, Nara tetap mengikuti Sagara turun dari mobil. Tak lupa ia mengambil tas ranselnya di kursi belakang. Mereka lalu naik lift menuju lantai tujuan. Tidak ada pembicaraan tercipta selama di dalam lift. Nara masih merasa waswas, sementara Sagara sendiri tampaknya juga belum mau mengatakan apa-apa soal tempat yang mereka tuju sekarang. “Ini apartemen saya,” aku Sagara saat mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu yang tertutup. Laki-laki itu membuka pintu tersebut, lalu mempersilakan Nara masuk. “Maaf kalau agak berantakan. Apartemen ini

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 6. Ibu Sambung

    Sagara baik.Begitu penilaian Nara sejak pertama kali Sagara menolongnya. Namun yang tidak ia sangka, setelah pertemuan ketiga mereka, Sagara ternyata sama saja seperti kebanyakan laki-laki di dunia ini.Apa tadi katanya? Jadi ibu untuk anaknya? Astaga, yang benar saja! Baru juga kenal, sudah berani gombal. Dasar buaya!“Kalau Mas Saga mau ngegombal, mending gombal ke cewek lain saja, jangan ke saya. Saya sama sekali nggak tertarik,” sinis Nara. Ia kembali menatap ke luar pintu geser. Hujan masih deras, bahkan jauh lebih parah.“Gombal?” Sagara kontan mengangkat alis. Sedetik kemudian, ia paham. “Maaf, saya nggak bermaksud gombalin kamu, Nara. Apa yang saya katakan tadi serius. Saya akan bantu melunasi semua utang Ayah kamu, kalau kamu juga bisa bantu jadi ibu untuk anak saya.”Mendengar nada serius Sagara, Nara kembali menoleh. “Tunggu, ini maksudnya gimana, ya? Jadi ibu untuk anaknya Mas Saga? Gimana sih, Mas? Saya nggak paham,” sahut Nara. Ia sudah mengubah posisi duduknya menghada

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 7. Perkara Makan Bareng

    Gelap adalah hal pertama yang Nara dapati saat membuka mata. Satu-satunya cahaya hanya berasal dari seleret sinar bulan yang menembus jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Perempuan itu seketika terlonjak bangun. Tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari ponsel yang berhasil ketemu dalam hitungan detik dan langsung menyalakannya. Angka 18.20 tertera di layar kunci. Nara mendesah, sadar ia sudah tidur hampir lima jam di kamar Sagara. Jangan tanya di mana Sagara sekarang, karena ia sendiri juga tidak tahu. Terakhir yang Nara ingat, siang tadi ia kedatangan tamu—seorang laki-laki berpakaian kantor yang mengaku sebagai asisten Sagara."Selamat siang, Bu. Perkenalkan saya Darwin, asisten Pak Sagara. Saya datang ke sini karena diminta Pak Sagara mengantarkan ini untuk Ibu." Darwin mengulurkan dua plastik belanjaan, yang lantas diterima Nara dengan ragu. Satu berisi makanan dari salah satu restoran cepat saji dan satu lagi berisi camilan serta minuman botol. "Pak Sagara juga berpesa

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 8. Nyaman?

    “Mas Saga kenapa ngelihatin saya begitu? Ada yang salah sama wajah saya, ya?”Pertanyaan itu berhasil menyadarkan Sagara dari fokusnya memandang wajah perempuan di hadapannya. Laki-laki itu mengerjap, berdeham pelan, lalu menggeleng cepat. “Enggak. Enggak ada yang salah sama kamu.”“Terus kenapa dari tadi Mas Saga ngelihatin saya?” Nara menyipitkan mata ke arah Sagara. “Mas ... terpesona ya sama saya?” tanyanya, yang seketika langsung ia sesali dalam hati.Tawa pelan terdengar. “Ternyata selain suka melamun, kamu juga suka asal nuduh, ya?” Sagara geleng-geleng kepala. Laki-laki itu meletakkan sendok, kemudian meraih cangkir kopinya. “Maaf, Nara, saya bukan terpesona sama kamu, tapi saya cuma baru sadar kalau ternyata tawa kamu nyeremin. Semoga saja besok, anak saya nggak nangis karena dengar kamu ketawa, ya.”Nara meringis kecil. “Saya nggak tahu harus sedih atau malah berterima kasih setelah dengar kejujuran Mas Saga barusan. Tapi harus saya akui, kadang saya juga ngerasa seram denga

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 9. Rencana Pulang

    Jam baru menunjukkan pukul setengah enam pagi ketika Nara menyelesaikan agenda bersih-bersihnya. Nara menyeka keringat di dahi sambil memandang puas hasil pekerjaannya. Lantai sudah disapu dan dipel, furnitur-furnitur bersih dari debu, tirai dan jendela dibuka agar sirkulasi udara berganti.Sebenarnya Nara tidak rajin-rajin amat. Semua ini Nara lakukan karena Sagara sudah banyak membantunya, juga untuk membunuh perasaan bersalahnya setelah mengetahui kondisi rumah pasca ia kabur kemarin. Pesan dari Rian semalam berhasil membuat Nara tidak tidur nyenyak dan berakhir bangun lebih pagi, lalu memutuskan membersihkan unit apartemen Sagara sebagai pengalihan.Nara lantas bergegas mandi. Ia butuh menyegarkan tubuh yang lengket karena keringat. Beberapa menit kemudian, Nara keluar kamar mandi dengan memakai kaus garis-garis lengan pendek dan celana panjang warna cokelat. Perutnya yang meronta kelaparan sejak di dalam kamar mandi tadi membuat Nara segera beranjak ke dapur, mengecek semua rak d

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 10. Kepedulian Sagara

    Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se

Bab terbaru

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 18. First Meet

    "Breath, Nara," ujar Sagara ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Hari ini, Sagara datang ke rumah Nara untuk menjemput dan meminta izin orang tuanya agar Nara diizinkan bekerja dengannya. Menurut, Nara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Diulangi kegiatan itu beberapa kali hingga ia merasa lega. "Thank you," balasnya. "Kita berangkat sekarang saja, ya?" Sagara mulai menyalakan mesin mobil. Nara hanya mengangguk singkat sebagai jawaban, lalu memasang sabuk pengamannya dalam diam, seolah ia tidak punya tenaga lagi untuk sekadar berkata "ya". Tubuhnya memang berada di mobil ini bersama Sagara, tapi pikirannya justru terlempar ke beberapa waktu lalu sebelum kedatangan laki-laki itu. Tadi pagi, ayah tiba-tiba menanyakan tentang pekerjaan Nara di toko Maharani, padahal sebelum ini ayah tidak pernah mau peduli. Tidak ingin menambah dosa karena berbohong, Nara pun memberitahu kalau ia sudah berhenti bekerja di Maharani dan jawaban tersebut malah membuat ayah mara

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 17. Resmi Resign

    Beberapa kali bertemu Darwin, Nara berpikir laki-laki itu adalah orang yang ramah dan mudah bergaul. Pemikiran tersebut terbukti benar, apalagi setelah ia dan Darwin mengobrol sambil menikmati makan siang—dua porsi mi ayam dan dua gelas es teh manis—di warung mi ayam bakso di seberang toko. Laki-laki itu tiba-tiba mengajak Nara makan siang bareng setelah keluar dari ruangan Bu Maharani, padahal lima belas menit lagi jam istirahat Nara habis.“Kamu tenang saja. Saya sudah izin Tante Rani untuk ajak kamu makan siang. Nggak lama kok, nggak akan lewat dari jam istirahat kamu,” ujar Darwin, yang akhirnya disetujui Nara karena perutnya juga lapar. Sementara Salma dan Maya, sudah makan saat Nara masih berada di ruangan bosnya.Dari obrolan mereka pula, Nara jadi tahu kalau ternyata laki-laki yang dua bulan lagi berulang tahun ke tiga puluh itu adalah keponakan Bu Maharani. Sejak orang tuanya meninggal saat ia berusia lima belas tahun, Darwin tinggal bersama Bu Maharani, yang juga merupakan a

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 16. Resign

    Keesokan harinya, Nara segera bersiap-siap untuk berangkat ke toko. Kebetulan pula hari ini jadwalnya ia sif pagi. Setelah memastikan kalau ayahnya sudah berangkat kerja, barulah Nara pergi.Ya, sejak pertengkaran semalam, Nara dan ayahnya terlibat perang dingin. Entah, ia lupa ini perang dingin ke berapa selama ia hidup. Mereka tidak saling bicara, bahkan ayah terang-terangan membuang muka ketika tak sengaja berpapasan dengannya. Namun, Nara tidak mau ambil pusing dengan hal itu karena ia paham betul memang begitulah sifat buruk ayahnya.“Lo benaran mau resign, Ra?” tanya Salma sambil melirik kaca spion kirinya. Motor yang ia kendarai melaju dengan kecepatan sedang menuju toko Maharani.“Yakin. Gue nggak bisa nunda, Sal, waktunya sudah mepet,” jawab Nara. Semalam, ia sudah memberitahu ibunya dan Salma tentang keputusannya berhenti bekerja di toko Maharani, dan mereka mendukung apa pun keputusan yang diambilnya selama itu yang terbaik. Meskipun ia masih belum memberitahu ibunya apa pe

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 15. Pelukan Paling Nyaman

    “Namanya Sagara. Dia bos baru Nara dan dia juga nggak punya istri atau pasangan seperti yang Ayah kira.”Ucapan itu berhasil membuat dua orang dewasa di ruang makan itu menoleh. Nara yang awalnya ingin menahan pembahasan ini hingga selesai makan malam nanti, terpaksa harus mengurungkan niatnya demi menengahi pertengkaran yang terjadi.“Dan soal kenapa Mas Sagara mau bantuin Nara untuk melunasi utang-utang Ayah ...” Nara menoleh. “Itu karena dia tahu kalau anak nggak seharusnya dijadikan alat pelunas utang. Anak bukan barang yang bisa ditukar seenaknya dengan apa pun sesu—”Satu tamparan tiba-tiba mendarat di wajah Nara, bersamaan dengan suara pekikan ibu. Nara meringis. Rasa panas juga perih menjalari pipi kanannya yang baru saja ditampar ayah. Berikutnya, makian demi makian ganti menampar Nara lebih keras lagi.“Anak kurang ajar! Percuma Ayah sekolahin kamu capek-capek, tapi kamu nggak tahu balas budi sama orang tua! Bukannya bantuin orang tua, malah pergi keluyuran sama laki-laki. M

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 14. Keributan Baru

    “Saya sudah transfer dua puluh lima juta ke rekening Anda. Silakan, Anda bisa cek mutasi rekening Anda,” ucap Sagara seraya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan sebuah bukti transfer kepada seorang pria di sofa tunggal.Pria itu mengecek ponselnya. “Nah, begini dong! Jadi kan sama-sama enak. Saya nggak perlu lagi capek-capek nagih utang kalian kayak kemarin,” balasnya puas begitu melihat angka-angka di rekeningnya bertambah. “Oke, saya ambilkan sertifikat kalian dulu.”Pak Johan lantas beranjak meninggalkan ketiga tamunya. Tak lama, pria itu kembali ke ruang tamu seraya membawa sebuah map berwarna merah. Map tersebut kemudian diletakkan di atas meja, tepat di hadapan Sagara.“Kamu cek dulu, Ra.” Sagara menggeser map tersebut ke arah Nara, yang langsung diterima oleh perempuan itu. Aman. Sertifikat rumah atas nama Marni di dalam map tersebut, aman. Semua sama seperti terakhir kali Nara mengeceknya bersama ibu setelah sertifikat baru itu jadi. “Jadi, semua sudah clear ya, Pak?

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 13. Bantuan Sagara II

    Pada akhirnya, Nara memang tidak bisa mengabaikan permintaan tolong sang ibu untuk datang ke toko dan mengecek keadaan ayahnya. Ditambah lagi, perkataan Sagara sedikit banyak juga membayangi benaknya. Karena itu, setelah menerima pakaian akad—yang batal ia pakai gara-gara ditinggal kabur—dan bekal makan siang untuk ayah, Nara segera mengajak Sagara pergi. "Itu tokonya. Yang depannya ada balon joget itu, Mas," beritahu Nara saat mereka sampai di ujung lain gang rumahnya.Tempat yang mereka tuju berada di seberang jalan, beberapa meter ke kanan dari gang. Lokasinya yang strategis, ditambah tidak adanya toko bangunan lain di sekitar sana, membuat toko bangunan milik Pak Johan sebagai satu-satunya yang terbesar di daerah itu. Sesaat Sagara tertegun. Toko bangunan yang dimaksud Nara tampak tidak asing. Tapi sayangnya, ia tidak punya cukup waktu untuk menggali ingatan karena ada hal lain yang lebih penting.Nara keluar lebih dulu dan menunggu di dekat balon joget sambil menenteng tas beka

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 12. Pulang II

    "Terima kasih kembali, Nara," balas Sagara seraya mengulurkan selembar tisu yang lantas diterima Nara. "Nah, sekarang kamu masih mau lanjut nangis atau mau pulang?" Sagara menoleh. "Kalau kamu masih mau nangis, nggak apa-apa kamu lanjutin nangisnya. Saya tungguin sampai kamu merasa lega. Tapi kalau kamu mau pulang, tolong kasih tahu saya alamat rumah kamu karena saya nggak tahu di mana rumah kamu."Mendengar itu, Nara buru-buru menyusut ingusnya dengan tisu pemberian Sagara. Gara-gara menangis tadi, ia baru sadar kalau sekarang mereka sudah sampai di area pertokoan tempat ia bertemu Sagara kemarin."Maaf, maaf. Gapura merah itu masuk, Mas. Nanti lurus terus sampai ada pos kampling kiri jalan. Rumah saya seberang pos itu," tunjuk Nara pada sebuah gang dengan gapura bercat merah pudar, tepat di samping warung nasi."Oke." Sagara kembali mengemudikan mobil menuju gang yang ditunjuk Nara. Begitu mobil sudah melewati gapura, kesan pertama yang Sagara dapatkan adalah rumah-rumah di gang i

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 11. Pulang

    Sagara tiba di apartemen dua setengah jam kemudian, masih mengenakan kemeja abu-abu muda yang dilapisi blazer hitam. Laki-laki itu sudah akan mengetuk pintu unit ketika pintu di hadapannya lebih dulu terbuka dan menampilkan seorang perempuan berkaus putih yang sama terkejutnya dengan dirinya. Belum sempat Sagara bertanya siapa perempuan itu, sebuah suara dari arah dalam unit tiba-tiba terdengar. Membuat kedua orang itu sontak menoleh ke sumber suara. "Lo ngapain berhenti di pintu sih, Sal? Kata--loh, Mas Saga? Kok nggak bilang mau ke sini? Rapatnya sudah selesai?" Nara yang datang menyusul Salma pun berdiri kikuk di sebelah sahabatnya. Ia pikir Sagara masih belum selesai rapat karena laki-laki itu belum mengabarinya. "Oh iya, Mas, kenalin ini Salma. Maaf, tadi saya lupa izin sama Mas Saga kalau saya bawa teman ke sini," ujar Nara memperkenalkan Salma kepada Sagara. "Dan Sal, kenalin ini Mas Sagara yang tadi gue ceritain. Dia yang sudah bantuin gue beberapa hari ini."Sagara dan Sal

  • Ibu Bayaran Anak Bos Tampan   Bab 10. Kepedulian Sagara

    Sejak kedatangan Salma setengah jam lalu ke apartemen Sagara, Nara benar-benar tidak bisa menghindar lagi. Pasalnya, Salma langsung menodong penjelasan sedetail-detailnya atas aksi kabur Nara kemarin. Akhirnya, Nara pun menceritakan semua kekacauan yang terjadi selama beberapa hari terakhir.Mulai dari ayahnya ditagih utang sebesar dua puluh juta, kemudian diperparah dengan masalah gaji yang dibawa kabur manajer toko padahal rencananya uang itu akan digunakan untuk mencicil utang ayah. Belum lagi tawaran gila Pak Johan, bos ayahnya, untuk menikah dengan Amar sebagai ganti pelunasan utang, serta fakta bahwa ternyata ayahnya sendiri justru memanfaatkan Nara agar dirinya bisa kecipratan harta kekayaan keluarga Pak Johan jika jadi besan pria itu. Nara juga menceritakan tentang pertemuan tak sengajanya dengan Sagara dan semua kebaikan laki-laki itu kepada Salma. Termasuk soal Sagara yang sudah membantunya kabur dari kejaran orang suruhan Pak Johan. "Gila!" Adalah respons pertama Salma se

DMCA.com Protection Status