Tanganku bergetar hebat tiba-tiba. Serangan itu datang kembali, sekujur tubuhku diguyur keringat dingin. Jantungku seolah dipacu lebih cepat dari sebuah jet⸻nafasku tersengal-sengal akibatnya. Iris madu milikku menangkap deretan kata yang tertera di layar ponselku.
‘Jika kau ingin mati, mati saja tak akan ada siapapun yang akan mengasihanimu.’
‘Itu semua salahmu, apa kau tidak ingat siapa yang sudah menghancurkan hidupku?’
Aku menghentikan langkahku dan bersimpuh begitu saja. Berkat pesan-pesan sialan itu kini kepalaku terasa pening dan pandangan tak lagi fokus. Kakiku kupaksakan untuk kembali melangkah, dan untuk kesekian kalinya tetesan air yang kian deras membasahi tubuhku.
Aku terhuyung-huyung, berjalan tidak tentu arah di jalanan kota London. Tanpa sadar ternyata kakiku telah tiba di salah satu taman kota yang paling terkenal di pusat kota Inggris, Taman Hyde.
Aku tak peduli dengan derasnya hujan dan tetap berjalan, sekalipun hanya diterangi lampu taman yang menyala. Bangku taman panjang menjadi tempat terakhir yang akhirnya dipilih kakiku.
Merasa muak membuatku membanting keras ponsel satu-satunya milikku, tidak peduli bentuknya yang sudah tercerai-berai. Perutku yang sedari bergejolak mengeluarkan semua isi makan malamku hingga habis. . Pandanganku terjatuh pada genangan luas yang berada di seberang sana, danau Serpentine.
‘Benar, mereka memintaku mati. Lalu kenapa tidak aku lakukan saja?’
Otakku menjadi sinting. Tertatih-tatih kakiku berjalan pelan menuju tepi danau yang tidak dibatasi pagar atau apa pun. Bisa kulihat pantulan bayangan menyedihkan dari seorang gadis berambut kusut berwarna mahoni, mata sembab seperti bola baseball⸻itu aku.
Baiklah, ini dia …
Byuurrrrr
Dinginnya air danau langsung menyambut tubuhku. Memeluk mesra sekalipun perlahan aku dapat merasakan sesak perlahan menjalar di dada. Tetapi gemetar juga pening yang semula mendera cukup keras surut menghilang.
Cahaya pantulan lampu dapat kulihat dari gelapnya hijaunya air danau. Jika seandainya aku memiliki kesempatan untuk mendapatkan waktu yang sedikit lebih banyak, memiliki kekasih, lalu suami yang mencintaiku dan seorang putra.
‘Ah, pasti sangat menyenangkan. Sayangnya, aku bukan seorang gadis normal yang memiliki kehidupan penuh kebahagiaan.’
Tubuh terasa semakin berat, rasa kantuk juga mulai bergelayut manja bersama kegelapan yang perlahan mulai berusaha menarikku dalam. Ini adalah akhirnya … begitu pikirku, ternyata perkiraanku salah besar ketika sosok pria bak dewa romawi muncul dan memeluk tubuhku.
Tangannya merangkul pinggangku erat dan berusaha membawa kami ke permukaan. Udara dingin London kembali menyapa, padahal semula aku tidak lagi merasa dingin di dalam air.
“Anda baik-baik saja, Nona?”
Sebuah suara husky tertangkap indera pendengaranku, tapi lagi-lagi aku tetap memilih menutup mata menghiraukan suara yang baru saja membuat bulu kudukku berdiri. Helaan nafas terdengar dan selanjutnya aku merasakan sebuah tangan kekar mengangkat tubuhku yang langsung membuatku membuka mata. Dan pemandangan yang kulihat pertama kali ialah sepasang mata berwarna legam tengah menatapku dengan sorot jenaka.
“Ah, aku pasti sudah mati sampai-sampai bisa bertemu malaikat pencabut nyawa yang tampan,” racauku tidak jelas masih dengan nafas terengah. Pria bersurai hitam itu tertawa keras dan mulai berjalan entah membawaku kemana.
“Terimakasih, namun sayang sekali anda justru bertemu makhluk terkutuk seperti saya.”
Aku hanya mengangguk tak mau ambil pusing, tubuhku sudah tak memiliki tenaga bahkan sekedar membalas ucapannya. Serangan panik yang kambuh itu sudah cukup membuatku kelelahan dan merasa sekarat. Kemudian dinginnya air danau memperburuk keadaan.
“Anda sudah tidak berniat hidup lebih lama, Nona?” Aku tidak menjawabnya, aku lebih memilih untuk tetap bungkam. Sedikit terkejut saat sebuah mantel tiba-tiba melingkupi tubuhku.
Aku hanya menaikkan kedua bahu⸻tidak tahu⸻memang pada dasarnya aku tidak pernah mengetahuinya, apakah aku berkeinginan untuk hidup atau tidak.
“Kalau begitu bagaimana jika serahkan jiwamu yang manis itu padaku?”
Aku terkekeh pelan, apa pria ini tidak waras sama sepertiku. Menanyakan pertanyaan yang sama seperti tokoh film yang biasanya ia bukanlah manusia. Ini sudah abad ke-21 tidak akan ada yang percaya hal kuno seperti itu.
“Saya bersungguh-sungguh, Nona. Lagi pula memang kenapa jika sekarang abad ke-21? Apakah di abad ke-21 iblis itu tidak ada?”
Otak cerdasku berpikir sejenak mencerna ucapannya, karena merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti bagaimana pria ini menjawab pertanyaan yang hanya kuucapkan dalam benakku saja? Apakah ia benar-benar bisa membalaskan setiap rasa sakitku pada mereka semua. Jika apa yang ada di hadapanku benar-benar seorang iblis, pasti itu bisa terjadi.
Aku meringkuk perlahan ketika rasa sakit itu kembali meringsut masuk, aku melingkarkan kedua tanganku pada leher kokohnya yang basah.
Persetan!
Tidak peduli iblis, malaikat atau dewa sekali pun. Aku pasti akan menerima uluran tangan itu, kemudian akan kutancapkan pisau yang sama pada mereka.
“Apa yang akan kudapatkan jika memberikan jiwaku padamu?” Pria itu tertawa keras, aku dapat merasakan dadanya naik turun akibat tawanya.
“Apapun yang kau mau nona, aku dapat melakukannya,” tawar sang iblis.
“Apapun? Apa itu termasuk menghancurkan dan menghabisi hidup makhluk lain?” tanyaku tanpa basa basi. Lagi-lagi pria yang mengaku iblis ini tertawa. Aku heran, apakah pria ini sebenarnya sinting atau bagaimana ?
‘Oh tunggu, aku juga sinting karena percaya dirinya iblis.’
“Menarik sekali! Tentu saja. Aku akan mengabulkan apa pun perintahmu, termasuk merebut nyawa makhluk hidup lain.”
“Hanya saja kontrak kita tidak lebih dari setahun,” tambahnya lagi.
Aku berdeham sebentar mempertimbangkan penawaran yang tampak menggiurkan bagiku. Lagi pula aku pun sudah muak dengan dunia yang bahkan membenciku sedari lahir. Jadi jangan salahkan aku jika bersekutu dengan makhluk terkutuk.
Jika kontrakku hanya berlangsung setahun maka hidupku akan berakhir dalam waktu setahun, bukan hal yang buruk.
“Baiklah, tapi jangan pernah mengkhianatiku apa pun yang terjadi, hingga kontrak kita berakhir. Jangan berpihak pada siapapun dan lindungi aku.”
Tanpa sadar air mataku mengalir kembali, aku mengigit bibirku yang sudah mati rasa ini dengan keras. Wajahnya sedikit melunak dari tawa dan tersenyum, entahlah tapi bagiku itu senyum yang menenangkan. Kemudian pria itu mengangguk masih memasang senyum yang sama.
“Yang terakhir, cintai aku dan jadilah suamiku selama setahun nanti.”
Sinar matahari yang menelisik masuk melalui celah tirai beludru mulai mengusik tidurku, keinginan bergelung di balik selimut tebal masih menggelayut. Kasur yang terasa sangat empuk beraroma citrus berpadu dengan harum musk menggelitik hidung. Tunggu, sejak kapan kamarku yang biasanya beraroma lavender menjadi citrus? ‘Yang terakhir, cintai aku dan jadilah suamiku selama setahun nanti.’ Kilasan balik semalam terbesit kembali dibenakku. Ucapan memalukan pada seseorang membuatku langsung terduduk dengan setengah sadar, membuatku hampir oleng jika sebuah tangan tidak segera menangkapku. Aku berkedip beberapa kali melihat surga di hadapanku. Seorang pria bersurai pirang dengan manik legam tengah mengenakan jubah mandinya tersenyum padaku. Tanpa basa-basi tentu saja aku segera menjauh dan menarik selimut menatapnya dengan raut yang dapat dipastikan sudah memerah. “Selamat pagi
Apa yang paling aku benci selain orang-orang? Keramaian dan tatapan orang-orang seperti saat ini⸻hampir setiap pasang mata memperhatikanku. Bagaimana tidak? Saat ini aku dan suamiku⸻pria yang semalam kutemui⸻baru saja turun dari mobil Bugatti La Voiture Noire. Salah satu mobil yang dinobatkan menjadi mobil termahal di dunia senilai 18,7 Juta USD, tengah mampir di sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota London dan tebak apa jabatan suamiku tersayang ini? Direktur utama sekaligus pemilik dari rumah sakit yang tampak seperti hotel ini. Aku mencoba berdeham beberapa kali dan membenarkan rambutku yang sudah kutata seapik mungkin. Tentu saja, aku tak ingin mempermalukan diriku sendiri dengan berpakaian seperti gembel. Dress berkerah tinggi dengan pita tanpa lengan merek Prada, dipadukan dengan mantel Gucci coklat membalut tubuh rampingku, tak lupa bots berhak tinggi berwarna senada dengan renda hitam di ujung dressku.
Suara ketukan ujung sepatu hak bersahutan menggema di sepanjang lorong sebuah rumah sakit. Dua orang wanita berjalan dengan anggunnya. Beberapa kali perawat adam yang melihat sosok wanita yang berjalan paling belakang terkagum-kagum⸻kecantikannya terlalu mempesona. Tubuh bak gitar spanyol, tinggi semampai, kulit seputih salju dan rambut sepinggang berwarna mahoni yang tertimpa sinar lampu membuatnya tampak berkilau. "Selamat pagi," sapa wanita berbibir tipis yang berbalut lipstik merah tersebut, membuat sejumlah perawat pria yang melihat sosok wanita itu terkagum-kagum. Di sebelah wanita elok tersebut adalah seorang wanita paruh baya yang sedang tersenyum bangga. 'That's my daughter.' Bangga wanita tersebut yang tengah berjalan dengan membusungkan dada, mendengar decak kagum orang-orang pada sang putri. Langkah keduanya terhenti ketika mendapati seorang perawat sedang berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya menunjuk ke arah salah satu pintu kayu be
Nafasku tak beraturan, kepalaku terasa pening seolah batu besar baru saja menghantamku. Belum lagi perutku yang terasa seperti ditekan keras, aku dapat merasakan seluruh tubuhku melemas tepat setelah kedua orang yang tak lain adalah ibu serta kakak sulungku menghilang di balik pintu. *BRUUKK* Tubuhku segera merosot kehilangan tenaga, untungnya pria di sampingku ini segera menahan tubuh serta kepalaku agar tidak menghantam dinding. Aku menatap iris obsidiannya yang tampak tenang setelah melakukan akting yang cukup panjang tadi. Sebastian membawaku dalam gendongannya dan meletakkanku di atas sofa. Pria pirang itu melepaskan sepatu botsku menyisakan paha putih jenjangku yang segera ditutupinya dengan sebuah selimut cadangan baru di lemari belakang sekat tempatku membuat minum tadi. Aku hanya bisa memperhatikan gerak-gerik pria yang saat
Pemandangan apartemen berinterior hitam dan putih yang mendominasi hampir di setiap sudutnya. Kemudian sebuah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota London. Selama setahun ke depan hingga akhir nafasku nanti akan menjadi hal yang sangat familiar. Aku masih saja berdecak kagum melihat pemandangan dari atas sofa yang diletakan tepat di hadapan jendela besar. Bruuuakk Hingga suara berdebum yang sepertinya berasal dari beberapa barang membuatku mengalihkan pandangan ke arah sumber dari suara keras itu. ‘Sepertinya itu Sebastian.’ Suamiku itu saat ini memang sedang merapikankamar yang seharusnya akan kutempati. Tanganku merentang lebar dan bergerak ke kanan kiri, mencoba melemaskan setiap otot-otot dan sarafku. Rambut mahoni yang telah menutupi pantatku pun telah ter
Awal tahun merupakan waktu dimana setiap harapan baru lahir dan lembaran baru dibuka guna menggoreskan tinta kehidupan yang lain di bab yang baru sebelum mencapai akhir buku kehidupan. Jika beberapa orang menghabiskan waktu awal tahunnya dengan canda, tawa, dan bersulang. Seorang wanita justru duduk di dalam selimut menatap jendela besar di samping tempat tidurnya sembari menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan. Hidung mancungnya tampak memerah, jejak air mata tertinggal di kedua sisi pipi putihnya. Tangannya bergetar menggenggam gunting. Menangis dalam gelapnya ruan
“Rael itu hanya pernah berpacaran satu kali, itu pun ia justru dikhianati sahabatnya sendiri. Siapa ya … Penelope, sepertinya itu namanya.” Ibu memasang sedih dan penuh iba lagi padaku,tangannya mengusap pipi putihku dengan sorot matanya memandangku rendah, “Aku tidak tahu bagaimana bisa memiliki Putri sepertinya. Mungkin ini karena mendiang suami Ibu dulu sering memanjakannya.” ‘Sudah cukup, aku muak dengan omong kosong ini.’ Bahkan mereka berani mengatakan itu semua di hadapan suamiku, jika bukan karena kontrak kami dan seandainya Sebastian adalah suamiku sesungguhnya Ia pasti sudah berlari meninggalkanku. Kedua tanganku terkepal, hingga tanpa sadar kuku panjang yang tajam milikku menembus lapisan kulit. Sudah cukup berhenti gemetar, aku tidak ingin hin
Sebastian memasuki apartemen masih menggenggam tanganku yang sepertinya sudah sedingin es batu. Udara hangat langsung melingkupi tubuhku yang bergetar hebat, aku hanya berjalan mengikuti kemana pria ini akan melangkah. Ternyata ia membawaku menuju kamarku dan menghidupkan lampu juga diffuser beraroma lavender kesukaanku. Kami duduk berhadapan dengan aku yang masih tertunduk. Suasana sangat hening bahkan aku bisa mendengar deru mesin diffuser dan tetesan air. Kemudian aku merasakan tubuhku ditarik dan menabrak dada bidang miliknya, tangannya menjulur mengusap punggungku. Aku tidak menolak dan kini malah menangis dalam dekapannya. “Maafkan aku h-hiks ...” “ I-itu salahku jadi kau basah, ma-maaf.” Tidak dapat berkata-kata apa-apa lagi, bagaimana bisa s
"Mereka adalah kenalan Istri saya ketika masih berkuliah." Satu kalimat jawaban yang baru saja meluncur dari mulut Sebastian berhasil membuat pasangan Porlock hampir tersedak. Mereka terlalu terkejut dengan tanggapan jujur pria bersurai pirang tersebut. Veronica langsung menjatuhkan pandangannya ke arah sosok gadis bermanik hazel yang sedari tadi tampak tenang, bahkan terlalu tenang meski mereka saat ini sedang berdiri berhadapan satu sama lain. Terasa aneh menurut gadis bersurai kemerahan itu mengingat apa yang telah terjadi diantara mereka pasti membuat keadaan menjadi canggung. Dan mungkin Rael tidak akan dapat tenang bertemu dengan orang-orang dari masa lalu, apalagi memperkenalkan dirinya sebagai teman semasa kuliah, Veronica benar-benar dibuat terkejut. “Benarkah begitu, Nyonya Dayton? Astaga … pantas saja Anda berdua tampak menawan, ternyata para wanita cantik ini berasal dari satu tempat yang sama,” ujar si pria tambun dengan tawa yang cukup keras. Rael tersenyum manis. G
Surai pirang yang berkilauan tampak seperti helaian sutera berwarna emas, paras tampannya berhasil menghipnotis kaum hawa di seluruh penjuru ruangan, bahkan termasuk wanita milik pengacara Porlock, “Kau memandangi pria lain di hadapan Suamimu secara terang-terangan? Veronica, kau pasti kehilangan akal sehatmu.”Mendengar teguran sarkas sang suami berhasil membuat Veronica mendelik tajam. Tapi tidak lama ia langsung meneguk sampanye yang berada di atas baki salah seorang pelayan, “Aku tidak memandanginya … aku hanya tidak percaya sosok yang baru saja kita bicarakan akan muncul. Apakah kau tidak pernah tahu suami Rael terkadang akan menggantikan?”Anthony menggeleng dan menyibakkan rambutnya frustasi. Sungguh, ia sendiri tidak akan mengira pria itu akan benar-benar muncul di hadapannya. “Ini benar-benar sebuah kebetulan yang tidak diharapkan. Seharusnya, suami Rael tidak muncul. Meskipun bagian dari Dayton, kupikir pria itu tipikal yang membenci bisnis dan semacamnya,” kata Anthony den
Rosewood London adalah salah satu dari jajaran hotel terbaik yang terletak di jantung kota London. Tamu-tamu mereka bukan sekedar turis belaka, beberapa di antaranya merupakan para pebisnis atau orang-orang penting, seperti orang-orang berdarah biru. Dan hotel dengan bangunan pencakar langit menjulang itu tengah dipadati mobil-mobil seharga gedung apartemen pinggiran Inggris, alasannya hanya satu⸺perayaan ulang tahun perusahaan perbankan terkenal Inggris raya⸺Dayton. “Akhirnya seseorang menyadari bakatmu,” ucap seorang wanita bersurai kemerahan yang baru saja turun dari salah satu mobil ferrari. Lipstik kemerahan yang merona menghiasi bibir mungil nan seksinya. “Sudah kubilang, ini hanya perihal waktu. Perusahaan waktu itu hanya sebuah umpan sampai predator yang lebih besar muncul dan menyadari keberadaanku.”“Suamiku memang sangat hebat … aku bahkan tidak akan menyangka kita akan mendatangi Rosewood. Tapi aku sedikit cemas, maksudku aku tidak akan menyangka nama keluarga suami Rael
“Baiklah, sekarang jelaskan padaku. Mengapa ekspresimu sangat bahagia setelah bertemu dengan mereka? Atau kau baru saja mendapat lotre?”Aku langsung mencecar Sebastian begitu kami mendudukan diri di dalam mobil. Pria itu terkekeh pelan dan justru mengecup dahiku kilat. Sial! Ia berhasil membuat semburat kemerahan muncul di kedua pipiku, “Tidak bukan begitu, jika aku mendapat lotre itu karena kau menjadi Istriku.” Panas yang melingkupi wajahku semakin menjadi-jadi. Aku sedang serius bertanya dan benar-benar penasaran, ia justru melontarkan gombalan ala hidung belang, “Aku membutuhkan jawaban, Sebastian. Bukan gombalan maut mu itu.”“Padahal aku tahu kau juga menyukainya, bukan? Gombalan mautku ….”“Sebastian, jika sekali lagi kau mempermainkanku akan kupastikan semua koleksi biji kopimu berakhir ke dalam tempat sampah.” Sebastian yang semula tertawa akhirnya menekuk alis dan bibirnya⸺kesal dengan ancaman yang baru saja kuberikan. Pria itu sangat mencintai kopi, sampai-sampai ia rela
“Raeliana …? Kau benar Rael?” Sebuah suara yang menyebut namaku untuk kedua kalinya berhasil menghentikan kegiatanku dan Sebastian. Bibir ranumku telah menjauh, tapi manik hazelku masih terpaku pada iris obsidiannya. Seluruh saraf di tubuhku membeku. Bahkan untuk menggerakan ujung jariku hampir mustahil dan penyebabnya adalah sosok yang aku yakin saat ini sedang berdiri di balikku. Aku mengenal suara ini, setidaknya beberapa tahun terakhir sebelum aku memilih meninggalkan ibu kota. Tidak kusangka ternyata takdir akan mempertemukan wanita yang berhasil menghancurkan cinta dan namaku. “Rael, jangan menjadi pengecut. Kau sudah memilikiku, jadi sunggingkan senyum terbaikmu,” bisik Sebastian di telingaku dan mendaratkan kecupan penyemangat. Pria itu benar. Alasan aku sampai menjual jiwaku sendiri padanya hanya untuk membalaskan setiap luka yang dibuatnya disini. Rael! Jangan menjadi pengecut, seperti yang diucapkan Sebastian aku sudah tidak sendirian lagi. Setelah menghembuskan nafas p
Sebuah salah satu gedung pencakar langit yang mengisi ibu kota Inggris menjadi tujuan kami hari ini. Sebastian tampak tampan dalam balutan kemeja hitam dan sebuah topi berwarna senada, aku pun memilih mengenakan pakaian yang lebih tipis mengingat musim dingin telah berakhir. Alasan kami kemari tidak lain adalah untuk mengawasi target selanjutnya, jika tidak begitu mengapa kami yang sudah memiliki apartemen mewah harus mengunjungi hotel? “Siapa tadi nama mantan kekasihmu yang bajingan itu?” tanya Sebastian setelah pelayan membawa pergi daftar pesanan kami. Aku mendengus kesal karena pria bersurai pirang itu tampak sengaja mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali. “Anthony Porlock, apakah kau harus menanyakan hal yang sama? Padahal kau sudah hafal jadwalnya, tapi menghafal namanya saja tidak bisa.” “Maafkan aku Istriku tersayang. Maklum saja, aku tidak pernah mengira harus mengingat nama seekor babi hutan,” kata Sebastian yang telah terkikik kecil. Kali ini aku memilih untuk tert
Mataku terasa begitu berat. Tapi cahaya matahari yang menelisik masuk melalui tirai terlanjur mengusik tidurku, sehingga dengan berat hati aku terpaksa membuka mata dan memperhatikan ruangan yang tidak lain adalah kamarku. Aku melenguh ketika merasakan otot-otot tubuhku terasa kaku. Entah sejak kapan aku sudah berada di apartemen, dan lagi aku mengenakan piyama. Aku tidak terlalu ingat mengganti pakaianku dengan ini. Malas berpikir lebih jauh membuatku mengabaikannya saja, toh aku sudah terlanjur berganti pakaian. Disaat sedang sibuk bergelung di dalam selimut kilasan kejadian kemarin terlintas. Aku dan Sebastian pergi ke pantai. Kami berjalan-jalan menyusuri pantai di udara yang dingin sembari menonton para peselancar bermain kejar-kejaran bersama ombak. Seulas senyum terukir di sudut bibirku s
Butiran salju yang menumpuk dan dinginnya udara yang membekukan aliran darah menjadi fokus perhatianku sejak mobil milik Sebastian meluncur di jalanan beraspal. Kami baru saja meninggalkan salah satu penjara wanita Wakefield. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya ada deru mesin mobil saja yang mengisi suasana hening. Entah mengapa aku sendiri tidak begitu tertarik hanya untuk memecah keheningan, sehingga aku memilih diam. “Rael … apakah kau ingin pergi ke pantai?” Sebuah pertanyaan yang baru saja dilemparkan pria bersurai legam di sampingku berhasil membuat kerutan samar terukir di dahiku. “Di tengah musim dingin seperti ini? Kau mengajakku untuk pergi ke pantai?” Sebastian tidak segera menanggapi pria itu justru tertawa kecil dan mengangguk, “Kau pasti belum pernah bukan? Kita hanya akan menikmat
“Apa yang kalian lihat?! Aku akan mencabut kedua bola mata kalian jika sekali lagi melihatku!” Seorang wanita berambut mahoni berteriak marah kepada beberapa orang wanita lain yang berada di satu ruangan dengannya. “Aku akan membuat Robert membayar semua ini. Beraninya dia mengkhianatiku, setelah aku memberikan segalanya pada pria itu … lihat saja, mereka pasti akan meregang nyawa di tanganku,” gumamnya lagi. Ia menggigit kuku-kuku jarinya untuk meredakan rasa cemas yang telah menggelayuti sejak hari pertama dirinya mengenakan setelan orange neon. “Emilia, kau ada tamu.” Pintu besi terbuka menampilkan wanita berseragam kebiruan⸺opsir penjaga sel⸺telah berdiri di ambang pintu untuk membawa Emilia menemui seseorang. Mendengar namanya disebut Emilia tersenyum lebar. Ia bahkan sampai terbahak dan berulang kali menunjuk narapidana wanita lain yang berada di