Pemandangan apartemen berinterior hitam dan putih yang mendominasi hampir di setiap sudutnya. Kemudian sebuah jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota London. Selama setahun ke depan hingga akhir nafasku nanti akan menjadi hal yang sangat familiar. Aku masih saja berdecak kagum melihat pemandangan dari atas sofa yang diletakan tepat di hadapan jendela besar.
Bruuuakk
Hingga suara berdebum yang sepertinya berasal dari beberapa barang membuatku mengalihkan pandangan ke arah sumber dari suara keras itu.
‘Sepertinya itu Sebastian.’ Suamiku itu saat ini memang sedang merapikankamar yang seharusnya akan kutempati.
Tanganku merentang lebar dan bergerak ke kanan kiri, mencoba melemaskan setiap otot-otot dan sarafku. Rambut mahoni yang telah menutupi pantatku pun telah tergulung rapi.
‘Baiklah, saatnya bekerja, Rael!’
Sebuah pintu kamar yang berada tepat di depan kamar Sebastian terbuka lebar. Karena rasa penasaran, akhirnya langkah kaki yang seharusnya mengarah lurus menuju dapur justru berbelok. Kepalaku menyembul dari balik pintu, sedikit mengintip. Dan beberapa saat kemudian aku terkejut saat menemukan apa yang ada di balik pintu hitam ini. Sebuah kamar bernuansa musim gugur. Bisa dibilang kamar ini adalah satu-satunya kamar yang memiliki warna kehangatan dan kenyamanan.“Holly shit … astaga, ya Tuhan,” kagumku.
Ranjang kayu dan dinding berwarna putih gading, kemudian dua buah rak buku kayu dan meja kerja masih berbahan kayu telah mengisi sudut kamar. Di dalamnya telah diisi dengan beberapa barang, bahkan fotoku dan ayah sudah tertata rapi di meja.
“Kau ingin mengutuk atau memuji Tuhan? Pilih salah satu, Rael.”
Seorang pria bersurai pirang yang saat ini tengah mengenakan celana olahraga dan atasan kaos hitam polos panjang sedang berdiri membelakangiku. Pria itu tampak sibuk memasang perangkat komputer keluaran terbaru di meja.
Wah, padahal setahuku orang sekaya dia pasti lebih memilih mengeluarkan uang dan tinggal menerima hasil akhir saja dengan duduk santai. Tapi mengapa pria ini memilih melakukan hal repot seperti ini.
“Oh, Rael bagaimana kau menyukainya?” tanyanya sembari menata beberapa dekorasi labu dan beberapa bingkai foto tua. Aku tersenyum mengangguk cepat membuatnya tertawa senang.
“Syukurlah, aku menata segalanya sendiri meskipun beberapa aku meminta Felix untuk mencarikan barang-barang yang sesuai dengan kesu-“
Ucapan pria bodoh di hadapanku ini terhenti saat tiba-tiba saja tubuhku langsung melompat ke dalam pelukannya, sudah sangat lama untukku mendapat kejutan seperti ini. Terakhir adalah ketika umurku masih 20 tahun itu berarti sudah empat tahun waktu berlalu. Aku berteriak tertahan terlalu senang hingga baru menyadari tingkah kekanakan ku, saat aku hendak melepaskan pelukan pria ini justru membalas pelukanku.
“Sama-sama, aku senang kau menyukai hadiah kecil ini.”
Cukup lama kami terdiam hingga suara langkah seseorang membuatku segera melepas pelukan kami secara paksa, Sebastian hanya terkekeh dan mengacak rambutku pelan.
“Tentu saja, aku menyukainya,” lirihku.
Sekali lagi aku memperhatikan setiap benda di kamar baruku yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kamar di rumah dahulu. Sebuah meja rias dan walk-in closet ku sendiri tak lupa barang-barang yang berasal dari apartemen lamaku.
Yah, setelah sempat ada insiden lain di mana kami hampir ketahuan tidak dalam hubungan suami-istri yang nyata, meskipun aku memerintahkannya menjadi suamiku dalam kontrak. Tapi aku memutuskan untuk tinggal di apartemenku sendiri⸺itu hanya alasan.
‘Sebenarnya aku hanya tidak nyaman menerima semua sikap manis memabukannya itu. Aku bisa mengidap diabetes!’
Setelah menjadi seorang istri dari direktur muda nan tampan, namaku melejit bahkan beberapa platform media sosial yang memuat artikel tentang kami. Dan sewaktu aku hendak keluar sendirian seseorang mengikuti bahkan hampir saja aku celaka.
‘Padahal aku bukan istri dari seorang artis, astaga!’
Jika saat itu Felix tidak segera tiba mungkin kami akan ketahuan jika tinggal secara terpisah, dan pada akhirnya aku pun memutuskan untuk tinggal bersama suami iblisku ini.
‘Bagaimanapun juga aku akan rugi jika tidak memanfaatkan apa yang sudah kubeli bukan?’
Apalagi jika kubeli seharga nyawaku sendiri. Karena itu aku akan merasakan kembali arti dari dicintai karena aku tak pernah merasakannya, kecuali apa yang telah diberikan ayah.
Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan kamar yang saat ini tengah diterangi satu penerangan saja. Berasal dari lampu dengan sinar berwarna kuning di atas nakas meja. Aku tersenyum kecil dan berjalan menuju pantry setelah menutup pintu kamar, lalu mengambil apron berwarna beige yang baru saja beberapa minggu yang lalu aku beli saat hari pertama permainan kami dimulai, tepatnya setelah ibu dan Emilie menemui Sebastian.
Hingga saat ini Sebastian masih mengulur waktu untuk mempertimbangkan keikutsertaan ‘Eden’ dalam proyek Oswald, dan rencananya kami akan datang ke acara peringatan kematian Ayah dimana seluruh keluarga besar Oswald akan hadir.
Saat ini aku sibuk mengambil beberapa potong daging, keju, kentang, dan sayuran. Tak lupa sekotak jamur yang akan kusulap menjadi semangkuk sup jamur hangat karena suhu di London menjelang musim dingin seakan bisa membekukkan aliran darah.
“Baiklah … sudah, ini … itu. Okay, persiapan sudah selesai,” ucapku setelah semua bahan tersedia.
Dalam hitungan detik selanjutnya tanganku mulai sibuk mengupas wortel dan kentang lalu mencucinya bersih. Begitu pula dengan daging dan bahan lainnya. Kegiatanku terhenti saat mendengar derit kursi ditarik sehingga aku memutar balikkan badanku dan menemukan Sebastian telah duduk manis sembari memperhatikanku.
“Kau ingin camilan dulu? Makan malam belum siap,” kataku. Tanpa menunggu respon si pria pirang sepiring muffin telah tersaji rapi di atas meja. Bagaimanapun aku adalah istrinya, maka aku mencoba memenuhi tugas dan kewajibanku.
"Apakah setiap istri seperti ini?" tanyanya tiba-tiba membuatku yang masih memotong sayur berhenti.
"Entahlah, ayah dan ibu tidak pernah seperti ini. Hanya saja aku ingin menjadi sosok istri yang seperti ini."
Aku tak ingin melihat bagaimana rautnya karena masih merasa malu akan sikapku yang memeluknya spontan. Telingaku dapat menangkap suara tegukan, Sebastian mulai meminum teh yang kuseduh dan dari sudut mataku aku dapat melihat iris obsidiannya berbinar kala memasukan muffin ke dalam mulutnya.
“Jadi, apa mereka masih mengikutimu?” tanya Sebastian dengan mulut penuh, aku yang memulai memasukan loyang berisi bubble and squeak sedikit mendengus jika mengingat kehidupan baruku yang tidak tenang.
“Aku sangat bingung, apakah kau adalah seorang idol atau apa? Bagaimana bisa seorang Direktur sekaligus Profesor bisa memiliki fans,” gerutuku, karena mengingat bagaimana diriku hampir berakhir menjadi tuli karena diserbu pertanyaan dari banyak pihak.
Sebastian tertawa terbahak bahkan ia harus menyeka air mata di sudut matanya, selanjutnya ia tampak berkutat pada layar ponsel lalu menunjukkan sesuatu padaku. Aku melihat postingan tiga orang pria salah satunya adalah dirinya yang berambut hitam dan dua di antaranya setahuku mereka adalah salah satu idol di negeri Ginseng.
“Mereka adalah Iblis sama sepertiku.”
Mataku berkedip beberapa kali, aku tertawa terbahak keras masih melanjutkan kegiatan memasukan bumbu ke dalam air di dalam panci. Sebastian berdecak menatap datar diriku yang masih berusaha menahan diri untuk tidak terlihat semakin jahat.
“Aku serius, mereka juga sama Iblis sepertiku dan kami berteman dekat,” lanjut Sebastian yang kembali menggigit muffinnya keras dan mengunyahnya gemas karena aku yang tidak percaya dengan ucapannya. Tanganku mengeluarkan sebuah roti dan memotongnya, meletakkannya di meja bersama jus apel yang sudah kubuat.
“Baiklah aku percaya,” timpalku dengan senyum miring berusaha menggoda pria yang kini tengah menekan sesuatu di layar ponselnya, hingga terdengar nada sambungan beberapa detik kemudian tergantikan sebuah suara seseorang dari ujung sana.
‘Sebastian, tumben sekali kau melakukan panggilan video padaku,’ seru suara di seberang sana, dan detik berikutnya tanganku menjatuhkan sendok sayur dan segera berlari menuju samping Sebastian yang sudah tersenyum penuh kemenangan.
‘Wow, sialan bagaimana kau bisa mendapat gadis manis sepertinya?’ umpat sosok tampan di ujung sana. Aku masih menutup mulut tak percaya salah satu idol kesukaan editorku, Michael adalah sahabat dari suamiku, lalu apa dia adalah Iblis, astaga!?
“Istriku, dia tidak percaya jika kita bersahabat, dan lagi … hei! karena kau mengunggah foto kita, hidupku jadi semakin seperti seorang selebriti padahal aku adalah seorang Direktur rumah sakit,” seloroh Sebastian.
Kedua pipiku merona saat Sebastian menyebut kata ‘istri’, sehingga aku memilih kembali ke tempatku dengan berlari kecil dan menutupi wajahku dengan tangan. Senyum tipis terukir di sudut bibirku, aku cukup lupa bagaimana kehangatan yang kurasakan saat makan bersama seseorang atau bersenda gurau.
‘Ah … I really miss this moment.”
Tinggal bersama Sebastian dan mencoba menerima apa yang kuminta padanya sepertinya memang bukan hal yang buruk. Hidupku yang selama ini suram dan kelam menjadi sedikit lebih penuh warna.
Sambungan telah terputus tepat saat hidangan makan malam sudah siap. Aku terkekeh saat melihat raut Sebastian seperti anak kecil yang tengah menatap penuh binar pada seloyang pie, sepertinya ia menyukai makanan manis.
‘Yah, ini memang tidaklah buruk.’
Awal tahun merupakan waktu dimana setiap harapan baru lahir dan lembaran baru dibuka guna menggoreskan tinta kehidupan yang lain di bab yang baru sebelum mencapai akhir buku kehidupan. Jika beberapa orang menghabiskan waktu awal tahunnya dengan canda, tawa, dan bersulang. Seorang wanita justru duduk di dalam selimut menatap jendela besar di samping tempat tidurnya sembari menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan. Hidung mancungnya tampak memerah, jejak air mata tertinggal di kedua sisi pipi putihnya. Tangannya bergetar menggenggam gunting. Menangis dalam gelapnya ruan
“Rael itu hanya pernah berpacaran satu kali, itu pun ia justru dikhianati sahabatnya sendiri. Siapa ya … Penelope, sepertinya itu namanya.” Ibu memasang sedih dan penuh iba lagi padaku,tangannya mengusap pipi putihku dengan sorot matanya memandangku rendah, “Aku tidak tahu bagaimana bisa memiliki Putri sepertinya. Mungkin ini karena mendiang suami Ibu dulu sering memanjakannya.” ‘Sudah cukup, aku muak dengan omong kosong ini.’ Bahkan mereka berani mengatakan itu semua di hadapan suamiku, jika bukan karena kontrak kami dan seandainya Sebastian adalah suamiku sesungguhnya Ia pasti sudah berlari meninggalkanku. Kedua tanganku terkepal, hingga tanpa sadar kuku panjang yang tajam milikku menembus lapisan kulit. Sudah cukup berhenti gemetar, aku tidak ingin hin
Sebastian memasuki apartemen masih menggenggam tanganku yang sepertinya sudah sedingin es batu. Udara hangat langsung melingkupi tubuhku yang bergetar hebat, aku hanya berjalan mengikuti kemana pria ini akan melangkah. Ternyata ia membawaku menuju kamarku dan menghidupkan lampu juga diffuser beraroma lavender kesukaanku. Kami duduk berhadapan dengan aku yang masih tertunduk. Suasana sangat hening bahkan aku bisa mendengar deru mesin diffuser dan tetesan air. Kemudian aku merasakan tubuhku ditarik dan menabrak dada bidang miliknya, tangannya menjulur mengusap punggungku. Aku tidak menolak dan kini malah menangis dalam dekapannya. “Maafkan aku h-hiks ...” “ I-itu salahku jadi kau basah, ma-maaf.” Tidak dapat berkata-kata apa-apa lagi, bagaimana bisa s
Semerbak aroma sup dan daging bacon menguar memenuhi apartemen hingga menelusup masuk setiap ruang, termasuk kamar dan mulai menggelitik hidung. Merasa terusik akhirnya kedua mataku mengerjap beberapa kali berusaha memfokuskan pandangan melihat sekeliling kamar bernuansa hitam dan putih. ‘Tunggu, hitam dan putih?’ Segera terduduk dengan cepat, sekali lagi aku mengedarkan pandanganku dan baru menyadari semalam aku tertidur di kamar Sebastian. Dan tiba-tiba kepalaku terserang sakit kepala yang amat sangat, tanganku meraba dahi lebar ku dan menemukan kompres gel yang sudah menempel di sana⸺tak lupa dua buah selimut yang sudah membungkusku. Celingukan, aku seperti seorang perampok yang tengah menghindari si pemilik rumah. Aku berencana untuk diam-diam menyelinap ke dapur mengambil sarapan yang disiapkan Sebastian yan
Agatha Grey adalah salah seorang penulis novel bergenre romansa-thriller yang terkenal kerap menulis kisah romantis yang mengerikan. Permainan plot yang mendebarkan jiwa pembaca, senang bermain-main dengan clue, juga menaikkan emosi pembaca seperti tengah berada di atas roller coaster.Tetapi, inilah yang membuat penulis misterius ini semakin digandrungi kalangan pecinta romansa anti-mainstream karena bumbu thriller yang membuat merinding sekujur tubuh. Dan ia adalah aku. Identitas yang bahkan tak diketahui siapapun tentang sosok Agatha Grey, bahkan saat menggelar tanda tangan akan selalu mengenakan Hoodie hitam, jaket kulit, topi, serta masker. Yang lebih mengejutkan, penggemar si penulis justru semakin histeris karena sosok Agatha me
Lagi-lagi aku berjalan tanpa arah di tengah derasnya salju yang turun malam ini. Meskipun musim semi hampir tiba, namun tubuhku masih merasakan dingin menjalar. Tanganku mencengkram erat dadaku yang terasa sesak dan sakit. Aku tidak mengerti, kenapa air mataku terus mengalir. Padahal jelas-jelas aku mengetahui apa yang dilakukan Sebastian hanya bagian dari rencana, lagi pula ia tidak menerima tawaran Emilia untuk tidur bersama. Ia hanya memancing agar wanita itu melakukan penawaran, seperti yang biasanya ia lakukan pada pria-pria lain untuk dapat menjalin kerja sama dengan Oswald.Langkahku semakin cepat, aku berlari hingga beberapa kali menabrak ora
Nuansa ruangan monokrom yang biasanya diliputi aroma citrus dan musk kini telah berganti dengan aroma alkohol serta obat-obatan yang menusuk. Tidak ketinggalan seorang gadis bermanik hazel yang masih menutup matanya rapat tengah tertidur di atas ranjang berukuran king milik Sebastian. Benar, sejak semalam kamar pria bersurai pirang itu telah disulap menjadi sebuah ruang perawatan karena keadaan sang gadis yang sekarat karena hipotermia. Tak habis pikir entah apa yang merasuki istrinya itu hingga lagi-lagi hampir mengakhiri nyawanya dengan berjalan di tengah badai tanpa mengenakan alas kaki di atas jalanan bersalju. "Ada apa ini? Mengapa perasaanku gelisah sejak tadi?" ujar sang iblis tepat setelah ia menyelesaikan jadwalnya pada hari itu. Sebastian m
London, Inggris kini telah turut serta sebagai jajaran kota metropolitan di dunia. Pasalnya gedung-gedung pencakar langit telah menjadi pemandangan sehari-hari warga London. Jalanan beraspal pun telah menyelimuti setiap sudut kota. Salah satu bangunan yang mengisi London adalah gedung milik perusahaan farmasi Oswald. Perusahaan yang telah berdiri selama hampir 15 tahun itu menjadi incaran para sarjana untuk memulai keberuntungan mereka selepas berhasil meraih gelar dari tempat mereka menimba ilmu. Emillia Oswald adalah direktur utama dari Oswald. Wanita berparas ayu dengan rambut coklat sebahu masih tampak seperti gadis berusia 25 tahun, sekalipun sebenarnya di tahun ini ia telah berkepala tiga. Putri Sulung dari Johanna ini dikenal akan kepribadiannya yang ramah, cerdas, dan tegas di antara para Karyawannya. Langit musim dingin di London terlihat bersahabat karena warna biru yang menjadi dasar tempat gumpalan-gumpalan putih bergantung, sehingg
"Mereka adalah kenalan Istri saya ketika masih berkuliah." Satu kalimat jawaban yang baru saja meluncur dari mulut Sebastian berhasil membuat pasangan Porlock hampir tersedak. Mereka terlalu terkejut dengan tanggapan jujur pria bersurai pirang tersebut. Veronica langsung menjatuhkan pandangannya ke arah sosok gadis bermanik hazel yang sedari tadi tampak tenang, bahkan terlalu tenang meski mereka saat ini sedang berdiri berhadapan satu sama lain. Terasa aneh menurut gadis bersurai kemerahan itu mengingat apa yang telah terjadi diantara mereka pasti membuat keadaan menjadi canggung. Dan mungkin Rael tidak akan dapat tenang bertemu dengan orang-orang dari masa lalu, apalagi memperkenalkan dirinya sebagai teman semasa kuliah, Veronica benar-benar dibuat terkejut. “Benarkah begitu, Nyonya Dayton? Astaga … pantas saja Anda berdua tampak menawan, ternyata para wanita cantik ini berasal dari satu tempat yang sama,” ujar si pria tambun dengan tawa yang cukup keras. Rael tersenyum manis. G
Surai pirang yang berkilauan tampak seperti helaian sutera berwarna emas, paras tampannya berhasil menghipnotis kaum hawa di seluruh penjuru ruangan, bahkan termasuk wanita milik pengacara Porlock, “Kau memandangi pria lain di hadapan Suamimu secara terang-terangan? Veronica, kau pasti kehilangan akal sehatmu.”Mendengar teguran sarkas sang suami berhasil membuat Veronica mendelik tajam. Tapi tidak lama ia langsung meneguk sampanye yang berada di atas baki salah seorang pelayan, “Aku tidak memandanginya … aku hanya tidak percaya sosok yang baru saja kita bicarakan akan muncul. Apakah kau tidak pernah tahu suami Rael terkadang akan menggantikan?”Anthony menggeleng dan menyibakkan rambutnya frustasi. Sungguh, ia sendiri tidak akan mengira pria itu akan benar-benar muncul di hadapannya. “Ini benar-benar sebuah kebetulan yang tidak diharapkan. Seharusnya, suami Rael tidak muncul. Meskipun bagian dari Dayton, kupikir pria itu tipikal yang membenci bisnis dan semacamnya,” kata Anthony den
Rosewood London adalah salah satu dari jajaran hotel terbaik yang terletak di jantung kota London. Tamu-tamu mereka bukan sekedar turis belaka, beberapa di antaranya merupakan para pebisnis atau orang-orang penting, seperti orang-orang berdarah biru. Dan hotel dengan bangunan pencakar langit menjulang itu tengah dipadati mobil-mobil seharga gedung apartemen pinggiran Inggris, alasannya hanya satu⸺perayaan ulang tahun perusahaan perbankan terkenal Inggris raya⸺Dayton. “Akhirnya seseorang menyadari bakatmu,” ucap seorang wanita bersurai kemerahan yang baru saja turun dari salah satu mobil ferrari. Lipstik kemerahan yang merona menghiasi bibir mungil nan seksinya. “Sudah kubilang, ini hanya perihal waktu. Perusahaan waktu itu hanya sebuah umpan sampai predator yang lebih besar muncul dan menyadari keberadaanku.”“Suamiku memang sangat hebat … aku bahkan tidak akan menyangka kita akan mendatangi Rosewood. Tapi aku sedikit cemas, maksudku aku tidak akan menyangka nama keluarga suami Rael
“Baiklah, sekarang jelaskan padaku. Mengapa ekspresimu sangat bahagia setelah bertemu dengan mereka? Atau kau baru saja mendapat lotre?”Aku langsung mencecar Sebastian begitu kami mendudukan diri di dalam mobil. Pria itu terkekeh pelan dan justru mengecup dahiku kilat. Sial! Ia berhasil membuat semburat kemerahan muncul di kedua pipiku, “Tidak bukan begitu, jika aku mendapat lotre itu karena kau menjadi Istriku.” Panas yang melingkupi wajahku semakin menjadi-jadi. Aku sedang serius bertanya dan benar-benar penasaran, ia justru melontarkan gombalan ala hidung belang, “Aku membutuhkan jawaban, Sebastian. Bukan gombalan maut mu itu.”“Padahal aku tahu kau juga menyukainya, bukan? Gombalan mautku ….”“Sebastian, jika sekali lagi kau mempermainkanku akan kupastikan semua koleksi biji kopimu berakhir ke dalam tempat sampah.” Sebastian yang semula tertawa akhirnya menekuk alis dan bibirnya⸺kesal dengan ancaman yang baru saja kuberikan. Pria itu sangat mencintai kopi, sampai-sampai ia rela
“Raeliana …? Kau benar Rael?” Sebuah suara yang menyebut namaku untuk kedua kalinya berhasil menghentikan kegiatanku dan Sebastian. Bibir ranumku telah menjauh, tapi manik hazelku masih terpaku pada iris obsidiannya. Seluruh saraf di tubuhku membeku. Bahkan untuk menggerakan ujung jariku hampir mustahil dan penyebabnya adalah sosok yang aku yakin saat ini sedang berdiri di balikku. Aku mengenal suara ini, setidaknya beberapa tahun terakhir sebelum aku memilih meninggalkan ibu kota. Tidak kusangka ternyata takdir akan mempertemukan wanita yang berhasil menghancurkan cinta dan namaku. “Rael, jangan menjadi pengecut. Kau sudah memilikiku, jadi sunggingkan senyum terbaikmu,” bisik Sebastian di telingaku dan mendaratkan kecupan penyemangat. Pria itu benar. Alasan aku sampai menjual jiwaku sendiri padanya hanya untuk membalaskan setiap luka yang dibuatnya disini. Rael! Jangan menjadi pengecut, seperti yang diucapkan Sebastian aku sudah tidak sendirian lagi. Setelah menghembuskan nafas p
Sebuah salah satu gedung pencakar langit yang mengisi ibu kota Inggris menjadi tujuan kami hari ini. Sebastian tampak tampan dalam balutan kemeja hitam dan sebuah topi berwarna senada, aku pun memilih mengenakan pakaian yang lebih tipis mengingat musim dingin telah berakhir. Alasan kami kemari tidak lain adalah untuk mengawasi target selanjutnya, jika tidak begitu mengapa kami yang sudah memiliki apartemen mewah harus mengunjungi hotel? “Siapa tadi nama mantan kekasihmu yang bajingan itu?” tanya Sebastian setelah pelayan membawa pergi daftar pesanan kami. Aku mendengus kesal karena pria bersurai pirang itu tampak sengaja mengulang pertanyaan yang sama beberapa kali. “Anthony Porlock, apakah kau harus menanyakan hal yang sama? Padahal kau sudah hafal jadwalnya, tapi menghafal namanya saja tidak bisa.” “Maafkan aku Istriku tersayang. Maklum saja, aku tidak pernah mengira harus mengingat nama seekor babi hutan,” kata Sebastian yang telah terkikik kecil. Kali ini aku memilih untuk tert
Mataku terasa begitu berat. Tapi cahaya matahari yang menelisik masuk melalui tirai terlanjur mengusik tidurku, sehingga dengan berat hati aku terpaksa membuka mata dan memperhatikan ruangan yang tidak lain adalah kamarku. Aku melenguh ketika merasakan otot-otot tubuhku terasa kaku. Entah sejak kapan aku sudah berada di apartemen, dan lagi aku mengenakan piyama. Aku tidak terlalu ingat mengganti pakaianku dengan ini. Malas berpikir lebih jauh membuatku mengabaikannya saja, toh aku sudah terlanjur berganti pakaian. Disaat sedang sibuk bergelung di dalam selimut kilasan kejadian kemarin terlintas. Aku dan Sebastian pergi ke pantai. Kami berjalan-jalan menyusuri pantai di udara yang dingin sembari menonton para peselancar bermain kejar-kejaran bersama ombak. Seulas senyum terukir di sudut bibirku s
Butiran salju yang menumpuk dan dinginnya udara yang membekukan aliran darah menjadi fokus perhatianku sejak mobil milik Sebastian meluncur di jalanan beraspal. Kami baru saja meninggalkan salah satu penjara wanita Wakefield. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya ada deru mesin mobil saja yang mengisi suasana hening. Entah mengapa aku sendiri tidak begitu tertarik hanya untuk memecah keheningan, sehingga aku memilih diam. “Rael … apakah kau ingin pergi ke pantai?” Sebuah pertanyaan yang baru saja dilemparkan pria bersurai legam di sampingku berhasil membuat kerutan samar terukir di dahiku. “Di tengah musim dingin seperti ini? Kau mengajakku untuk pergi ke pantai?” Sebastian tidak segera menanggapi pria itu justru tertawa kecil dan mengangguk, “Kau pasti belum pernah bukan? Kita hanya akan menikmat
“Apa yang kalian lihat?! Aku akan mencabut kedua bola mata kalian jika sekali lagi melihatku!” Seorang wanita berambut mahoni berteriak marah kepada beberapa orang wanita lain yang berada di satu ruangan dengannya. “Aku akan membuat Robert membayar semua ini. Beraninya dia mengkhianatiku, setelah aku memberikan segalanya pada pria itu … lihat saja, mereka pasti akan meregang nyawa di tanganku,” gumamnya lagi. Ia menggigit kuku-kuku jarinya untuk meredakan rasa cemas yang telah menggelayuti sejak hari pertama dirinya mengenakan setelan orange neon. “Emilia, kau ada tamu.” Pintu besi terbuka menampilkan wanita berseragam kebiruan⸺opsir penjaga sel⸺telah berdiri di ambang pintu untuk membawa Emilia menemui seseorang. Mendengar namanya disebut Emilia tersenyum lebar. Ia bahkan sampai terbahak dan berulang kali menunjuk narapidana wanita lain yang berada di