Pov AuthorKeringat dingin mengucur membasahi tubuh Nasrul. Napasnya tersengal dan jantungnya berdebar kencang. Berulang kali ia mengusap pelipisnya. Arum bergegas berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air minum dan mengulurkan pada suaminya. "Aku mimpi buruk, Dik. Aku takut jika terjadi sesuatu pada Ibu," kata Nasrul setelah berhasil menenangkan diri. "Istigfar, Mas. Tenang. Mimpi itu hanya bunga tidur," kata Arum. "Iya, aku tahu kalau mimpi hanya bunga tidur, tetapi tadi aku merasa begitu nyata, sampai-sampai aku ketakutan begini." Nasrul menunjukkan tangannya yang merinding. "Berdoa saja semoga Ibu baik-baik saja. Sekarang Mas tidur lagi, ya. Ini masih malam." Arum membimbing suaminya untuk berbaring lalu merapikan selimut dan menutupinya hingga sebatas dada. Tangan Arum melingkar di tubuh Nasrul sambil berbisik. "Ibu pasti baik-baik saja, Mas." Nasrul menggenggam tangan Arum yang berada di lengannya. "Terima kasih, Dik. Aku sudah tidak sabar menunggu pagi agar
Azan Subuh baru saja berkumandang, tetapi Nasrul masih berada di atas kain sajadah sejak tadi. Setelah mimpi buruk yang ia alami membuatnya tidak bisa tidur lagi sehingga memutuskan salat malam agar jiwanya lebih tenang. "Semoga Ibu baik-baik saja," ucapnya lirih. Setelah Salsa berangkat sekolah, Nasrul dan Arum bersiap menuju kediaman Erwin.Punggung Utami terasa pegal setelah menyapu dan mengepel ruang tamu yang luasnya sama dengan rumah Nasrul secara keseluruhan itu. Berulang kali ia mengusap keringat yang bercucuran dan napasnya tersengal. Senyum Utami mengembang meski rasa capek yang mendera saat melihat ruangan kini menjadi bersih. Wanita yang usianya sudah tidak lagi muda itu duduk bersandar di sofa dengan tangan mendekap sapu. Mata tuanya yang lelah membuatnya ingin terpejam, tetapi belum juga matanya menutup, terdengar suara berisik dari luar. Gegas Utami melihat dari balik jendela. Rasa lelah itu menguap seketika saat melihat Deva pulang sekolah dengan diantar ojek lang
Mata Utami berkaca-kaca melihat Nasrul dan Arum berada tidak jauh darinya yang sedang berbicara dengan DianaIa menggosok matanya perlahan. Takut jika ini hanya mimpi di waktu pagi. Semoga apa yang ia lihat bukan hanya ilusi semata.Ia juga mencoba men cu bit pipinya dan terasa sakit sebagai pertanda apa yang dilihat benar adanya. Anak bungsu yang namanya ia sebut sepanjang malam itu kini telah berada di hadapannya. Hatinya riuh bersyukur, Allah telah mengabulkan permintaannya. Untuk kedua kalinya Nasrul telah menyelamatkannya. Jika Nasrul tidak datang, entah sampai kapan dirinya akan merasa tersiksa di rumah yang seperti neraka baginya itu. Utami berjalan dengan setengah berlari lalu menubruk Nasrul hingga membuat lelaki itu bengong pun dengan Arum. Diana kaget melihat Utami yang tiba-tiba sudah berada di antara mereka. 'Ih, kenapa nenek tua itu harus keluar, sih? Kalau kayak gini gagal sudah rencanaku menjadikan ibu sebagai pembantu di rumah ini,' Diana berkata dalam hati. Ia be
"Di rumah Mbak Diana kenapa? Di sana makanannya enak-enak. Benar, kan?" Nasrul mengulangi pertanyaannya karena Utami malah bengong dan wajahnya memucat. "Rul, tadi sebelum kamu datang, Ibu sedang memanaskan sayur bayam dan lupa mematikan kompor," ucap Utami panik. "Apa? Maksudnya Ibu meninggalkan dapur dalam keadaan kompor masih menyala?"Utami mengangguk. "Semoga Mbak Diana ke dapur dan melihat kompor itu sehingga apa yang kita khawatirkan tidak terjadi," sahut Arum. "Iya, Aamiin. Meski Diana jahat, tetapi Ibu idak mau terjadi apa-apa dengannya." Utami mengambil air putih lalu menenggaknya sampai habis untuk menenangkan pikirannya. "Jahat? Mbak Diana jahat kenapa, Bu?" tanya Nasrul. Utami memandang Nasrul dan Arum secara bergantian lalu meluncurlah ceritanya selama tinggal sehari semalam di rumah Diana yang megah itu. "Astagfirullah, jadi saat tinggal di rumah Mas Erwin, Ibu disuruh makan di tempat yang berbeda dan menu yang berbeda pula? Bahkan tadi pagi Mbak Diana menyuruh i
"Ayo berangkat ke rumah Nasrul untuk minta tanggung jawab Ibu." Diana mendorong tubuh Erwin. "Sekarang?"Diana mengerucutkan bibir. "Tahun depan. Ya sekarang, Mas. Ayo buruan nanti keburu gelap!""Diana? Aku ini capek, baru pulang kerja. Masa udah disuruh pergi aja. Belum istirahat apalagi minum." Erwin kesal. "Mau minum apa, hah? Semua perabotan dapur kita sudah ludes. Mau masak juga nggak bisa," ucap Diana ketus. Para tetangga yang tadi menemani Diana saling pandang. Melihat pasangan suami istri yang sedang bertengkar membuat mereka merasa tidak enak hati sehingga satu per satu dari mereka pamit pulang. "Saya pulang dulu, Mbak Diana. Yang sabar, ya," kata salah seorang tetangga yang rumahnya paling dekat dengan rumah Diana. Dia juga yang pertama kali mendengar teriakan Diana dan meminta bantuan pada orang-orang. "Iya, Bu. Terima kasih." Erwin mewakili menjawab karena Diana diam saja. "Saya juga pamit, Mbak," sahut yang lain. "Saya juga." "Saya juga." Rumah yang tadinya rama
Erwin mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu rumah Nasrul saat mendengar percakapan antara Nasrul, Arum, dan ibunya di dalam sana. Ia sengaja menempelkan telinga di daun pintu agar lebih jelas. Lelaki itu sama sekali tidak menyangka, adiknya saat ini sedang punya rezeki. Tangannya mengepal seiring rasa iri yang membakar hatinya kala ingat ia sendiri sedang mengalami kesialan yang bertubi-tubi. Dapurnya terbakar dan ia tidak punya pekerjaan. Erwin masih menyimak percakapan Nasrul di dalam sana hingga akhirnya Diana mengirim pesan dan meminta agar ia cepat pulang setelah urusannya selesai. Akhirnya dengan segera ia mengetuk pintu. "Mas Erwin?" seru Nasrul begitu pintu terbuka. Erwin masuk meski belum dipersilakan. Ia menatap tajam sang ibu yang sedang duduk bersama Arum di meja makan. "Apa maksud Ibu membakar rumahku? Ibu marah karena tidak kuizinkan tinggal di sana, hah?" Erwin langsung menuduh. "Apa maksudmu, Win?" Utami bengong. "Dapur rumahku terbakar dan itu karena Ibu. S
Dilema melanda hati Utami. Jika bilang pada Nella tentu rumah tangga sang anak yang sudah dijalaninya selama lebih dari sepuluh tahun dan telah dikaruniai dua orang anak itu akan menjadi taruhannya, tetapi jika diam saja ia merasa kasihan juga dengan Nella yang telah dibohongi suaminya. Seburuk apa pun sikap Nella pada dirinya, Utami tetap menyayanginya. "Ya Allah ... Apa yang harus kulakukan?" ucap Utami lirih. Ia memainkan tangannya sendiri. Bayangan Nella yang selalu ceria dan Wirya yang sedang bermesraan dengan wanita lain datang silih berganti. Utami memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di dinding kamar. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk memberitahukan perbuatan Wirya pada Nella dan berharap Nella bisa menasihati suaminya itu agar mau berubah. Utami bangkit dari duduknya lalu keluar kamar menuju kamar Nasrul yang letaknya hanya bersebelahan dengan kamarnya itu. "Ada apa, Bu?" tanya Nasrul setelah ia membuka pintu akibat diketuk oleh sang ibu.
"Hei, kenapa cemberut gitu? cantiknya ilang, lho?" Wirya menjawil dagu Nella yang sedang duduk dengan tangan bersedekap dan kaki terjulur berada atas meja. "Kasihan calon anak kita kalau ibunya tidak ceria. Dia pasti ikut merasakannya juga." Wirya mengusap perut sang istri yang masih rata lalu membungkuk dan menci umnya. Setelahnya lelaki itu mengangkat kepalanya dan beralih mencium pipi dan bibir Nella yang seperti buah ceri.Ucapan ibunya terngiang di kepala Nella saat bibirnya bertemu dengan bibir Wirya yang terasa hangat dan selalu membuatnya candu. Bagaimana mungkin suami yang selalu memperlakukan dia dengan penuh kasih sayang dan selalu mesra di setiap saat dan kesempatan bisa main gila dengan wanita lain di belakangnya? Nella memejamkan mata menikmati serangan suaminya yang panas dan melupakan sejenak ucapan ibunya. Ya, meski tidak percaya, tetapi tetap terselip rasa khawatir di hatinya. Setelah adegan ci um an panas yang menghanyutkan, Nella menggelayut manja di lengan sua
Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.
"Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak
Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva
Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere
"Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa
"Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang
(Mas Wirya, tolong beri nama anak kita Alvarendra. Aku ingin dia menjadi anak yang beruntung dan bijaksana meski dia terlahir dalam keadaan yang menyedihkan saat mamanya berada dalam penjara. Aku akan mengambilnya kembali setelah keluar dari penjara nanti. Aku janji tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi) Tertanda Jenny. Hanum membaca surat yang diberikan wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Bahkan tulisan tangan yang berantakan karena ditulis dengan tangan gemetar itu terlihat memburam. Wanita bertubuh gemuk bernama Mira itu mengusap sayang kepala bayi yang tertutup topi rajut itu. "Sebenarnya saya juga kesal dengan anak ini, Bu. Jenny yang kukira sedang bekerja di kota untuk mencari uang nyatanya malah di penjara dan punya anak tanpa suami. Kemarin saya sempat ingin mem bu nuhnya, tetapi syukurlah saya masih waras dan berpikir jernih. Saya bisa masuk penjara bersama Jenny jika membunuh bayi tidak berdosa ini." Hanum tergugu. Air matanya jatuh membasahi selimut yang menutupi
Nasrul dan Utami serta Nur bergegas beranjak dari duduknya begitu pintu terbuka bersamaan dengan munculnya seorang dokter wanita serta perawat di belakangnya. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Nasrul. Lelaki itu sesekali mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Bayangan Arum yang berwajah pucat dan tubuhnya lemah akibat mengeluarkan banyak darah akibat terjatuh di kamar mandi membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Wanita cantik berbaju putih dengan name tag Ana itu menghela napas sebelum menjelaskan pada Nasrul. "Maafkan kami, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kami selaku dokter dan perawat di sini hanya mampu berusaha selebihnya Allah yang menentukan. Janin yang ada di dalam rahim Bu Arum tidak dapat kami selamatkan." Pandangan Nasrul mengabur mendengar penjelasan dokter. Tubuhnya seakan lemas tidak bertulang. Bayangan percakapan antara dirinya bersama Salsa dan Arum kembali terbayang dalam ingatannya. "Alhamdulillah, Salsa akan memiliki adik lak
Hanum duduk terpekur di samping gundukan tanah merah yang masih basah dengan taburan bunga mawar di atasnya. Bulir bening ia biarkan jatuh membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Angin sepoi-sepoi yang berembus menerbangkan kerudung panjang yang ia pakai. Kain yang tadinya menutupi kepala itu jatuh di pundaknya. Wanita itu memejamkan mata. Ucapan polisi yang menemuinya saat ia sampai di kantor polisi itu kembali terngiang di kepala. "Wirya kehilangan banyak darah setelah menyayat pergelangan tangannya dengan pecahan gelas kaca, Bu," Bayangan wajah Wirya yang pucat dengan mata tertutup rapat dan tubuh kurus kering kembali hadir dalam ingatannya. Anak lelaki yang dulu menjadi rebutan para wanita karena ketampanannya itu telah berubah.Hanum tergugu. Diusapnya tanah yang di bawahnya terbaring jasad anak yang sangat ia sayangi itu. "Kenapa pikiranmu begitu pendek, Wir. Padahal Mama hanya ingin kamu menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dengan mendekam di penjara sebentar