Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.
"Nggak bisa, Bu. Aku dan Mas Wirya sibuk," Aku hanya bisa menghela napas berat mendengar ucapan Nella saat aku mengutarakan maksudku untuk ikut tinggal di rumahnya yang sangat besar itu. "Ibu tidak akan merepotkanmu, Nak. Ibu masih bisa melakukan apa-apa sendiri." Aku mencoba menawar penolakannya berharap ia berubah pikiran. Setelah suamiku meninggal, aku tinggal sendiri. Kesepian, tiada yang menemani. Anakku yang berjumlah tiga sudah menikah dan punya kehidupan masing-masing. Apa aku salah jika ingin ikut dengan salah satu dari mereka?"Enggak bisa, Bu. Lagi pula anak Ibu bukan hanya aku. Ada Mas Erwin juga," imbuh Nella dengan mata tetap fokus pada layar ponsel di depannya. Aku memejamkan mata. Anak perempuan yang selama ini kumanja dan kubanggakan sama sekali tidak peduli denganku. Apakah dia tidak ingat, kios yang menjual ponsel beserta aksesorisnya serta pulsa dari semua operator itu modalnya dariku dengan menjual sawah? "Sudah, ya, Bu. Sebaiknya Ibu ikut Mas Erwin saja. Dia
Mataku terasa panas karena bulir bening ini terus menetes tiada henti. Setiap kali kuseka menetes lagi hingga aku merasa mataku bengkak dibuatnya. Rasa dingin terkena gerimis tidak ku rasakan lagi akibat rasa malu dan penyesalan yang begitu dalam. Aku malu pada Arum yang dulu sangat kubenci, tetapi dia malah mau menerimaku. Ya Allah, ternyata bidadari tidak bersayap itu memang benar-benar ada di dunia nyata dan menantuku adalah salah satunya. Namun, aku tidak pernah menyadarinya. "Tangan Ibu dingin sekali. Bajunya sudah basah. Sebaiknya Ibu ganti baju dulu agar tidak masuk angin," kata Arum setelah menyentuh lengan bajuku. Nyeri hati ini melihat Arum yang begitu perhatian. "Mas, ajak Ibu masuk. Aku akan menyiapkan air hangat untuk Ibu." Arum berbalik. "Ayo, Bu." Nasrul menggandeng tanganku. Kakiku terasa berat seolah ditindih batu besar saat melangkah memasuki rumah kontrakan sederhana bercat kuning yang sepertinya catnya baru diperbarui. Bau cat masih tercium tajam. Di saat p
"Itu ayam goreng untuk Nella dan Erwin. Kamu cukup makan tahu tempe saja." Aku melotot saat melihat tangan Arum terulur untuk mengambil ayam di depannya. Aku tersenyum lega saat melihat Arum mengurungkan niatnya mengambil ayam goreng. Waktu itu usia pernikahannya baru satu bulan dan aku sudah menabuh genderang perang padanya. Nasrul yang duduk di sampingnya mengusap lengan sang istri. Meski tanpa kata, tetapi aku tahu ia meminta pada wanita yang sudah menjadi miliknya itu untuk bersabar. "Jangan begitu, Bu. Ayamnya masih banyak. Biarkan saja Arum mengambilnya," kata suamiku. Ini yang membuatku kadang merasa kesal. Pikiranku dan ayahnya Nasrul tidak sama. Dia mau menerima Arum sebagai menantu di istana kami sedangkan aku bersumpah tidak akan menerima wanita miskin itu menjadi bagian dari keluarga ini. "Enggak bisa, Pak. Ayam ini khusus untuk anakku yang paling cantik dan pintar. Arum cukup makan tahu saja. Itu pun sudah cukup baik dan bergizi baginya," ucapku tidak mau kalah. "Ib
Azzahra Salsabila khairun Nisa nama yang disematkan pada bayi yang dilahirkan oleh Arum--buah cintanya dengan Nasrul. Sebuah nama yang sangat bagus, tetapi terasa gatal di telingaku saat mereka memanggil namanya. "Nama Salsabilla terlalu bagus untuk anak daru seorang Arum. Lebih baik diganti saja," ucapku saat Arum menyusui bayinya. Wanita yang sangat kubenci itu mendongak dan menatapku. Ia letakkan bayinya setelah puas menyusu dan terlelap. "Mas Nas yang memberi nama pada cucu Ibu ini. Salsabila diambil dari Al-Quran yang artinya mata air surga. Kami berharap dia akan menjadi penyebab kami masuk surga nantinya," jawab Arum dengan seulas senyum. Aku mendengkus. Dia bilang bayi mungil itu adalah cucuku. Dia memang tidak salah, bayi yang sedang terlelap dengan selimut warna pink bergambar princess itu memang cucuku. Dalam tubuhnya mengalir darahku, tetapi aku tidak sudi mengakuinya. Dia lahir dari rahim seorang wanita yang tidak kusuka. Menantu yang tidak pernah kuharap kehadirannya
Tubuhku gemetar. Bayangan penolakanku pada waktu itu kembali menyiksa pikiranku. Gadis kecil itu sangat cantik. Ah, kenapa semakin ke sini semakin terlihat kalau dia sangat mirip dengan Nasrul. Hidung dan bibirnya Nasrul banget. Orang tidak akan menyangkal jika antara keduanya ada hubungan darah. Kuturunkan tanganku yang sempat terentang dan ingin m3meluknya. Aku menggeleng lemah. Dulu aku selalu bilang kalau gadis kecil berhidung bangir itu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami, tidak pantas menjadi cucuku, tetapi sekarang ... akulah yang tidak pantas mendapat sebutan 'nenek' darinya. Jika ada sebutan untuk nenek durhaka, maka akulah orangnya. "Aku tidak berbohong, kan, Bu? Salsa baik-baik saja. Sini, Sayang." Nasrul melambaikan tangan pada gadis kecil itu. Gadis kecil itu berjalan mendekat. Tangannya terulur dan menyalami Nasrul serta Arum secara bergantian dan m3nc!umnya dengan takzim dan tanpa ragu ia juga melakukan hal yang sama denganku. Tanganku ini gemetar saat
Aku menyeka air mata yang terus bercucuran. Jika Salsa tidak mau mengakui aku sebagai neneknya apakah itu artinya aku tidak boleh ikut tinggal di sini? Ya Allah, ini sudah sore dan sebentar lagi gelap. Ke mana aku harus pergi? "Ibu memang tidak pantas disebut Nenek. Nenek jahat. Sebaiknya Ibu pergi saja," ucapku dengan suara parau. Aku mengambil tas dan bersiap melangkah keluar, tetapi ditahan oleh Nasrul. "Ibu mau ke mana?" "Seorang Ibu yang jahat sepertiku tidak pantas ikut tinggal di sini, Rul. Sebaiknya Ibu pergi saja." "Walau pun Salsa tidak mau mengakui Ibu sebagai neneknya, tetapi dia tetap mengizinkan Ibu untuk tinggal di sini. Iya, kan, Sayang?" Nasrul menatap putrinya seraya mengedipkan mata. Sungguh di luar dugaanku, gadis kecil itu mengangguk. "Kata Ibu, kepada sesama manusia kita harus selalu tolong-menolong. Siapa pun dia yang sedang membutuhkan harus kita bantu semampu kita. Insya Allah, akan dapat pahala," ucap Salsa bijak dengan suara yang menggetarkan jiwa.
"Ibu?" Akhirnya Nasrul menyadari keberadaanku. "Bagaimana tadi malam, Bu? Apakah bisa tidur nyenyak di kamar yang sangat sempit itu?" tanya Nasrul. Aku tersenyum dan menjawab dengan suara khas orang baru bangun karena aku memang baru saja bangun. "Iya, Rul. Ibu merasa nyaman kok tidur di sini malah saking nyamannya sampai bangun kesiangan dan sekarang belum saat Subuh. Kenapa kamu tidak membangunkan Ibu tadi?" "Aku lihat Ibu sangat pulas sehingga tidak tega untuk membangunkan." Aku meringis. Mukaku terasa hangat karena malu pada anak dan menantuku itu. Mereka berdua sudah bangun dan salat Subuh dari tadi, bahkan aku juga sudah mendengar suara Salsa sedang mengaji, tetapi aku malah baru bangun. Tadi malam aku gelisah sehingga sulit tidur dan baru memejamkan mata setelah lebih dari pu kul dua dini hari. Iya, aku masih melihat jam weker yang ada di atas meja pada pu kul segitu, itu artinya pada waktu itu aku masih terjaga. Itulah sebabnya aku tertidur pulas di pagi hari, bahkan sam
Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.
"Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak
Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva
Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere
"Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa
"Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang
(Mas Wirya, tolong beri nama anak kita Alvarendra. Aku ingin dia menjadi anak yang beruntung dan bijaksana meski dia terlahir dalam keadaan yang menyedihkan saat mamanya berada dalam penjara. Aku akan mengambilnya kembali setelah keluar dari penjara nanti. Aku janji tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi) Tertanda Jenny. Hanum membaca surat yang diberikan wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Bahkan tulisan tangan yang berantakan karena ditulis dengan tangan gemetar itu terlihat memburam. Wanita bertubuh gemuk bernama Mira itu mengusap sayang kepala bayi yang tertutup topi rajut itu. "Sebenarnya saya juga kesal dengan anak ini, Bu. Jenny yang kukira sedang bekerja di kota untuk mencari uang nyatanya malah di penjara dan punya anak tanpa suami. Kemarin saya sempat ingin mem bu nuhnya, tetapi syukurlah saya masih waras dan berpikir jernih. Saya bisa masuk penjara bersama Jenny jika membunuh bayi tidak berdosa ini." Hanum tergugu. Air matanya jatuh membasahi selimut yang menutupi
Nasrul dan Utami serta Nur bergegas beranjak dari duduknya begitu pintu terbuka bersamaan dengan munculnya seorang dokter wanita serta perawat di belakangnya. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Nasrul. Lelaki itu sesekali mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Bayangan Arum yang berwajah pucat dan tubuhnya lemah akibat mengeluarkan banyak darah akibat terjatuh di kamar mandi membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Wanita cantik berbaju putih dengan name tag Ana itu menghela napas sebelum menjelaskan pada Nasrul. "Maafkan kami, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kami selaku dokter dan perawat di sini hanya mampu berusaha selebihnya Allah yang menentukan. Janin yang ada di dalam rahim Bu Arum tidak dapat kami selamatkan." Pandangan Nasrul mengabur mendengar penjelasan dokter. Tubuhnya seakan lemas tidak bertulang. Bayangan percakapan antara dirinya bersama Salsa dan Arum kembali terbayang dalam ingatannya. "Alhamdulillah, Salsa akan memiliki adik lak
Hanum duduk terpekur di samping gundukan tanah merah yang masih basah dengan taburan bunga mawar di atasnya. Bulir bening ia biarkan jatuh membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Angin sepoi-sepoi yang berembus menerbangkan kerudung panjang yang ia pakai. Kain yang tadinya menutupi kepala itu jatuh di pundaknya. Wanita itu memejamkan mata. Ucapan polisi yang menemuinya saat ia sampai di kantor polisi itu kembali terngiang di kepala. "Wirya kehilangan banyak darah setelah menyayat pergelangan tangannya dengan pecahan gelas kaca, Bu," Bayangan wajah Wirya yang pucat dengan mata tertutup rapat dan tubuh kurus kering kembali hadir dalam ingatannya. Anak lelaki yang dulu menjadi rebutan para wanita karena ketampanannya itu telah berubah.Hanum tergugu. Diusapnya tanah yang di bawahnya terbaring jasad anak yang sangat ia sayangi itu. "Kenapa pikiranmu begitu pendek, Wir. Padahal Mama hanya ingin kamu menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dengan mendekam di penjara sebentar