Air mata bahagia tiada henti membasahi pipi seiring rasa haru dan syukur saat keluarga Nasrul berkemas untuk pindah ke rumah Nur. Terutama Utami yang merasa semua ini seperti mimpi baginya. Nasrul tidak mendapatkan apa-apa darinya, tetapi sekarang Allah memberikan yang lebih banyak. "Ya Allah, sungguh janji--Mu akan memberikan kemulyaan pada orang yang sabar dan ikhlas itu sungguh nyata adanya." Utami berucap lirih. Pipi wanita itu memang basah oleh air mata karena cairan bening itu terus mengalir meski sudah ditahan dengan sekuat tenaga, tetapi itu bukan air mata kesedihan melainkan air mata kebahagiaan.Rumah yang dulu ia tinggali bersama suaminya tidak ada apa-apanya jika dibanding rumah Nur. Sawah yang seharusnya menjadi hak Nasrul, tetapi tidak pernah ia terima, kini lelaki itu mendapat ganti berupa kios di pasar dan toko sembako yang tentu saja nilainya jauh lebih banyak. "Ibu, do'a apa yang telah Ibu panjatkan untukku sehingga aku bisa dapat karunia sebesar ini?" tanya Nasr
Kepala Diana terasa panas, dadanya bergemuruh hebat. Wanita itu merasa sangat lelah membujuk anak-anak agar mau pulang bersamanya. "Bawa sini hapenya kalau nggak mau nurut sama Mama!" Diana mengambil paksa ponsel dari tangan Fara dan Deva. Bukannya menurut, dua anak yang usianya berjarak lima tahun itu malah menangis kencang memekakkan telinga. "Ada apa, sih, Di? Anak-anak anteng dari tadi, tapi saat kamu datang malah jadi ribut," ucap Ambar dengan muka masam. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah lebih dari setengah abad itu mengerucutkan bibir. "Aku kesel, Bu. Mereka nggak mau pulang kalau bukan papanya yang jemput seperti biasa," "Itu salah kamu sendiri, sudah tahu kalau anak-anak hanya mau sama Erwin, tapi malah kamu jemput sendiri." Ambar menatap wajahnya di depan cermin kecil di atas meja. "Aku mau menginap sini bersama anak-anak. Boleh, kan, Bu?" tanya Diana dengan suara bergetar. Sejak menikah dengan Erwin, ia memang jarang, bahkan tidak pernah menginap
"Kamu yakin nggak mau pulang, Mas?" tanya Jenny dengan menggelayut manja di lengan Wirya. Wirya mengambil bajunya yang berceceran di lantai lalu memakainya. "Malas. Lebih baik di sini saja agar bisa terus berduaan dengan kamu, Sayang. Di rumah, Nella terus marah-marah karena bayi yang dikandungnya tidak dapat diselamatkan. Padahal aku biasa saja. Toh, kami sudah punya dua orang anak, kan?"Wirya membungkuk lalu mendaratkan bibirnya di bibir Jenny yang sedang duduk di atas ranjang dengan berselimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Kedua insan yang baru saja memadu kasih tanpa memiliki hubungan yang sah sebagai suami istri itu kembali larut dalam adegan panas. "Aku sama sekali tidak sedih Nella kehilangan anaknya. Yang penting aku masih memiliki kamu yang selalu membuatku puas. Sekarang kita makan dulu, yuk." Wirya bangkit dari duduknya. "Makan?" tanya Jenny. "Aku pikir kamu sudah kenyang dengan memandangku, Mas?" Wirya tertawa lalu menjulurkan tangan mencubit hidung Jenny yang
Erwin dan Nella akhirnya mendapatkan alamat dari wanita itu setelah berjanji tidak akan menyakiti ibunya lagi. Iya, mereka ingin bertemu dengan wanita yang sudah melahirkan mereka berdua itu memang karena ingin minta maaf bukan karena ada tujuan lain. Panggilan dari ibunya agar segera pulang karena anak-anak mulai mencarinya tidak ia hiraukan. Yang ada di pikiran Nella saat ini hanyalah ingin bertemu Utami dan minta maaf. Dua kakak beradik itu telah sampai di depan sebuah rumah besar dan mewah dengan halaman yang sangat luas. Aneka tanaman bunga yang sedang bermekaran begitu memanjakan mata serta ditumbuhi rumput gajah mini yang tertata rapi laksana karpet hijau. Rumah berlantai dua dengan cat warna cokelat itu tampak sepi, tetapi beberapa jendelanya terbuka dan terlihat ada besi sebagai pengaman. Dahi Nella berkerut melihat pemandangan di depannya yang sangat jauh dari ekspektasi. Wanita itu mengambil secarik kertas dari tetangga Nasrul yang berisikan alamat itu. "Benar nggak si
Tangisan Erwin dan Nella menular pada Utami hingga menjadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Nasrul dan Arum serta Nur.Utami meraih pundak Nella dan membimbingnya untuk berdiri. Posisi keduanya kini berhadapan. "Ibu sudah memaafkan kamu, La. Jauh sebelum kamu minta maaf," ucap Utami dengan suara parau. Tangan wanita tua itu terulur ke atas untuk mengusap pipi Nella. Ia harus sedikit mendongak karena badan sang anak lebih tinggi darinya. Nella meraih tangan ibunya yang sedang berada di pipinya. "Ibu sekarang tinggal di mana? Aku dan Mas Erwin mencari-cari dari tadi. Minta alamat sama tetangga kontrakan lama Nasrul malah dibohongi dengan memberikan alamat palsu," ucap Nella dengan bibir mengerucut. Dahi Utami berkerut. "Alamat palsu? Siapa yang tega memberi alamat palsu?" "Itu, Bu. Tetangga kontrakan Nasrul. Kami diberi alamat dan tenyata kami malah sampai di sebuah rumah besar dengan halaman yang sangat luas." Nella cerita dengan semangat. Utami dan Nasrul saling pandang.
"Aku mohon maafkan aku, Sayang," ucap Wirya dengan mata berkaca-kaca. Nella menatap lelaki yang sudah memberinya dua anak itu. Dilema mulai melanda hatinya. Wanita itu mende s@h pelan. Dimainkannya jari tangannya sendiri. "Yang kamu lakukan itu fatal, Mas. Kamu telah menodai pernikahan kita. Luka ini begitu dalam dan menganga. Tentu butuh waktu untuk bisa sembuh." Wirya meraih tangan Nella dan wanita itu hanya bisa pasrah saat tangannya dici um oleh suaminya itu. "Aku mohon beri aku kesempatan kedua, Sayang. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi dan akan menjadi suami yang baik untukmu dan ayah bagi anak-anak kita," ucap Wirya penuh harap. Nella menggeleng. "Beri aku waktu untuk memikirkannya, Mas. Wirya mengangguk. "Baik. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk memikirkannya. Satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, asal jangan sampai satu tahun. Aku pasti akan sabar menunggu."Nella tersenyum sinis. "Seperti luka yang juga butuh waktu untuk sembuh, Mas. Aku nggak bis
Hati Diana merasa sangat kesal karena mendapat penolakan dari Utami. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum karena mendapat ide cemerlang. "Baguslah kalau Nasrul tinggal di rumah besar begitu. Itu artinya ia punya uang dan aku bisa minta uang pada Ibu untuk mengganti ruang dapurku yang kebakaran," ucap Diana sambil senyum-senyum sendiri. "Sekarang aku harus bertemu Mas Erwin agar dia mau membujuk Ibu untuk merayu Nasrul agar memberikan uang padaku." Diana kembali bermonolog. Diana memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Ia ingin cepat sampai tujuan dan tidak sabar bertemu dengan Erwin. "Hati-hati, Ma. Aku takut," ucap Fara saat Diana mulai tidak terkendali dalam mengemudikan mobilnya. Emosi yang sudah menguasai jiwa membuat wanita itu tidak mempedulikan kedua anaknya yang mulai panik apalagi saat mobil yang mereka tumpangi menyalip kendaraan lain secara asal sehingga tidak jarang mendapat omelan dari pengguna jalan yang lain. "Hati-hati, woy!" teriak salah seorang pengendara yang
Semenjak Diana dirawat di rumah sakit, Deva dan Fara ikut tinggal di rumah Nasrul untuk sementara waktu. Keduanya langsung akrab dengan Salsa. Mereka sangat senang tinggal di sana, pun dengan Salsa. Gadis kecil itu sama sekali tidak keberatan kedua sepupunya itu ikut tinggal bersama. Justru ia senang karena punya teman sehingga tidak kesepian lagi. "Enak?" "Enak banget, Bi. Ini siapa yang masak?""Bibi lah, dengan bantuan Mbak Sarah." "Kalau kayak gini aku bisa minta nambah berkali-kali tanpa harus nunggu dimarahi." Fara bersemangat mengambil ayam goreng lagi. Arum tersenyum melihat dua keponakannya itu makan dengan sangat lahap, bahkan Deva sampai minta tambah. Bukan hanya ayam goreng yang dilahapnya, tetapi tumis kangkung dengan saus tiram itu juga tidak luput dari jangkauannya. "Aku baru tahu, lho, Bi, kalau ternyata kangkung itu sangat enak. Aku mau lagi, boleh?" tanya Fara seraya menunjukkan isi piringnya yang hanya menyisakan sedikit nasi. "Iya, aku juga mau!" sahut Deva d
Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.
"Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak
Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva
Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere
"Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa
"Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang
(Mas Wirya, tolong beri nama anak kita Alvarendra. Aku ingin dia menjadi anak yang beruntung dan bijaksana meski dia terlahir dalam keadaan yang menyedihkan saat mamanya berada dalam penjara. Aku akan mengambilnya kembali setelah keluar dari penjara nanti. Aku janji tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi) Tertanda Jenny. Hanum membaca surat yang diberikan wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Bahkan tulisan tangan yang berantakan karena ditulis dengan tangan gemetar itu terlihat memburam. Wanita bertubuh gemuk bernama Mira itu mengusap sayang kepala bayi yang tertutup topi rajut itu. "Sebenarnya saya juga kesal dengan anak ini, Bu. Jenny yang kukira sedang bekerja di kota untuk mencari uang nyatanya malah di penjara dan punya anak tanpa suami. Kemarin saya sempat ingin mem bu nuhnya, tetapi syukurlah saya masih waras dan berpikir jernih. Saya bisa masuk penjara bersama Jenny jika membunuh bayi tidak berdosa ini." Hanum tergugu. Air matanya jatuh membasahi selimut yang menutupi
Nasrul dan Utami serta Nur bergegas beranjak dari duduknya begitu pintu terbuka bersamaan dengan munculnya seorang dokter wanita serta perawat di belakangnya. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Nasrul. Lelaki itu sesekali mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Bayangan Arum yang berwajah pucat dan tubuhnya lemah akibat mengeluarkan banyak darah akibat terjatuh di kamar mandi membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Wanita cantik berbaju putih dengan name tag Ana itu menghela napas sebelum menjelaskan pada Nasrul. "Maafkan kami, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kami selaku dokter dan perawat di sini hanya mampu berusaha selebihnya Allah yang menentukan. Janin yang ada di dalam rahim Bu Arum tidak dapat kami selamatkan." Pandangan Nasrul mengabur mendengar penjelasan dokter. Tubuhnya seakan lemas tidak bertulang. Bayangan percakapan antara dirinya bersama Salsa dan Arum kembali terbayang dalam ingatannya. "Alhamdulillah, Salsa akan memiliki adik lak
Hanum duduk terpekur di samping gundukan tanah merah yang masih basah dengan taburan bunga mawar di atasnya. Bulir bening ia biarkan jatuh membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Angin sepoi-sepoi yang berembus menerbangkan kerudung panjang yang ia pakai. Kain yang tadinya menutupi kepala itu jatuh di pundaknya. Wanita itu memejamkan mata. Ucapan polisi yang menemuinya saat ia sampai di kantor polisi itu kembali terngiang di kepala. "Wirya kehilangan banyak darah setelah menyayat pergelangan tangannya dengan pecahan gelas kaca, Bu," Bayangan wajah Wirya yang pucat dengan mata tertutup rapat dan tubuh kurus kering kembali hadir dalam ingatannya. Anak lelaki yang dulu menjadi rebutan para wanita karena ketampanannya itu telah berubah.Hanum tergugu. Diusapnya tanah yang di bawahnya terbaring jasad anak yang sangat ia sayangi itu. "Kenapa pikiranmu begitu pendek, Wir. Padahal Mama hanya ingin kamu menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dengan mendekam di penjara sebentar