"Aku mohon maafkan aku, Bu. Tolong restui aku untuk kembali pada Nella. Demi anak-anak." Wirya mengulangi karena Utami masih diam saja. Dalam posisi menunduk, Wirya memutar bola mata dan tersenyum sinis sambil berkata dalam hati. 'Kalau bukan karena terpaksa mana mau aku minta maaf sambil nangis kayak gini. Untung mata ini bisa diajak kerja sama sehingga bisa meneteskan air mata dan drama menyebalkan ini berjalan lancar.'Utami meraih pundak menantunya itu dan memintanya untuk berdiri. "Nella, ajak cucu-cucuku masuk dulu. Biarkan mereka istirahat di dalam," ucap Utami. Nella mengangguk lalu menggandeng dua anaknya masuk. "Setelah itu kamu ke sini lagi," imbuh Utami. Di dalam rumah, Anak-anak diminta untuk duduk sambil menonton televisi bersama Sarah. Setelah memastikan anak-anak tidak ikut mendengarkan pembicaraan para orang dewasa itu, Utami kembali melanjutkan berbicara dengan Wirya yang masih sesenggukan. Utami lalu mengajak Wirya dan Nella duduk di kursi teras menghadap tan
"Masuk, Mas, Mbak. Maaf, kami nggak bisa jemput karena harus jaga anak-anak," ucap Arum yang sudah berdiri di depan pintu. "Kami bisa pulang sendiri, Rum. Nggak usahlah dijemput." Erwin tersenyum. Tanpa diminta Arum membantu membawakan tas berisi pakaian milik Diana. "Aku langsung pulang saja. Ke sini hanya mau jemput Deva dan Fara." Diana menarik tasnya dari tangan adik iparnya itu. "Iya, Rum. Kami langsung pulang saja biar Diana bisa istirahat. Terima kasih telah menjaga anak-anak kami dengan baik dan maaf telah merepotkan. Allah yang akan membalasnya karena sungguh kami tidak mampu melakukannya," ucap Erwin. Lelaki itu tersenyum sendiri. Ada rasa haru merasuki relung hatinya. Ternyata rukun dengan saudara itu rasanya tenang. Lelaki itu lalu menggandeng tangan Deva. "Aku nggak mau pulang, Pa. Mau di sini saja." Deva menggeleng. "Iya, Pa. Aku mau di sini saja. Banyak temen. Apalagi kalau sore ngaji bersama Salsa. Asyik." Fara sependapat dengan sang adik yang juga tidak mau pu
Diana tersenyum, di meja makan kali ini tidak ada drama seperti sebelum-sebelumnya. Anak-anak makan dengan lahap dan diam meski menu yang disajikan hanya berupa nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya serta beberapa irisan ketimun. Erwin yang memasaknya. Erwin dan Diana saling pandang menyadari ada yang berubah dari anak-anak. Berubah lebih baik tentunya. "Mama, kami berangkat ke sekolah dulu, ya. Assalamualaikum," ucap Fara yang diikuti oleh Deva. Dua kakak beradik itu sudah rapi dengan seragam sekolah. Keduanya mengulurkan tangan hendak menyalami Diana. Sementara Erwin sudah menunggu di luar untuk mengantarnya. Dahi Diana berkerut. Adegan seperti itu tidak pernah ada dalam rumah mereka sebelumnya. Anak-anak mau berangkat sekolah langsung berangkat tanpa ada yang berpamitan apalagi bersalaman padanya seperti itu. "Aku melihat Salsa selalu melakukan ini sebelum berangkat sekolah, Ma. Dan sekarang aku mau melakukannya," ucap Fara seolah tahu isi hati Diana karena sang mama mas
Muka Wirya memucat. Ditatapnya sang ibu yang baru saja mengusirnya. Namun, sesaat kemudian lelaki itu tersenyum. Dikoreknya telinga dengan ujung jari, berharap ia salah dengar dengan ucapan yang terlontar dari mulut Hanum. "Ibu, aku ini anakmu," ucap Wirya dengan tatapan mengiba. "Iya, kamu memang anakku. Empat puluh tahun yang lalu kamu adalah bayi mungil yang kulahirkan dan kubesarkan dengan penuh kasih sayang, tetapi nyatanya ini balasannya Kamu telah membuat ibumu ini malu, Wirya. Malu! Bisa-bisanya kamu tidur dengan wanita lain. Apa kurangnya Nella?" ucap Hanum dengan nada tinggi. Wanita itu menekan da danya yang bergejolak. Napasnya ngos-ngosan karena berbicara dengan tempo cepat. "Dengarkan aku dulu, Bu. Ini fitnah. Video itu nggak bener. Itu hanya editan!"Hanum tersenyum sinis. "Editan? Buat apa Bu Utami mengedit foto seperti ini segala?"Wirya menelan ludah. Digaruknya kepala yang tidak gatal. Dia merasa akan kalah saat berdebat dengan ibunya. "Baiklah, aku mengaku kalau
"Terima kasih, Sayang." Jenny membuka amplop cokelat berisi tumpukan uang yang baru saja diterimanya dari Danu--seorang pria dewasa berwajah tampan yang membuat wanita itu terpesona. Tetapi bukan karena itu Jenny menerimanya melainkan karena uang ia punya. "Kapan-kapan aku mau lagi. Boleh?" Lelaki gagah itu membungkuk dan mendaratkan ci uman di kening Jenny. Jenny yang masih berada di tempat tidur dan menutupi tubuh polosnya dengan selimut itu tersenyum simpul dan mengangguk. "Tentu. Kalau kamu mau datanglah kapan saja. Asal jangan lupa ini." Jenny menautkan jempol dan jari telunjuk yang menimbulkan bunyi sebagai kode uang. Danu tertawa lebar. "Kalau hanya masalah itu, gampang. Aku bisa memberi berapa pun yang kamu mau asal aku puas. Apakah yang itu masih kurang? Hm?" Lelaki itu meraih dagu Jenny dan mendongakkan wajahnya lalu kembali mendaratkan bibirnya di bibir Jenny. Jenny tersenyum. "Untuk saat ini cukup, tetapi kalau nanti aku butuh, boleh minta lagi, kan?" "Apa sih yang
Jenny meronta dengan bibir terus memohon agar tangannya dilepaskan, tetapi Wirya tidak menggubrisnya. "Dengarkan aku dulu, Wirya. Apa untungnya jika aku di penjara? Toh, kamu juga sudah tidak bersama Nella lagi. Kalau aku sampai dipenjara gara-gara kamu, itu artinya kita berdua yang kalah. Aku dipenjara dan kamu tetap menjadi gelandangan. Sementara Nella bahagia dengan lelaki yang mau menerimanya dengan tulus nanti," Wirya menghentikan langkah. Pegangan tangannya mulai mengendur. Lelaki itu mencerna ucapan Jenny baik-baik. "Aku benar, kan? Dengan membawaku ke kantor polisi bukan berarti kamu bisa hidup bahagia dengan Nella?Justru Nella akan semakin membencimu karena aku membakar konter itu akibat kamu punya hubungan denganku." Jenny mengibaskan tangan bekas cengkeraman tangan Wirya yang meninggalkan jejak kemerahan. Dahi Wirya berkerut. Tangannya meraba dagu dan manggut-manggut. "Menyerahkan aku ke polisi, sama saja bun*h diri bagimu, Wir. Aku tinggal bilang ke polisi kalau kamu
Jantung Jenny berdegup kencang berhadapan dengan dua orang pria gagah berseragam cokelat itu. Keringat dingin seketika mengucur di pelipis tanpa diminta. Wanita yang penampilannya tidak karuan karena memakai pakaian dengan tergesa itu menghela napas perlahan serta menekan dada perlahan untuk membuang rasa gugup yang menderanya tiba-tiba. "Selamat sore, Bu Jenny," sapa sang polisi seraya mengangkat tangannya dan meletakkan di pelipis sebagai penghormatan. "So--sore. Mau mencari siapa, ya, Pak?" Jenny gugup. "Kami dari pihak kepolisian mendapat tugas untuk menangkap Bu Jenny atas dasar membakar konter milik Bu Nella. Ini surat penangkapannya." Polisi itu menyerahkan amplop cokelat pada Jenny. Muka Jenny memucat dan tangannya gemetar saat menerima amplop cokelat itu. "Sa--saya membakar konter? Tidak, Pak. Saya tidak melakukannya," Jenny merem@s lalu melempar surat penangkapannya itu. Jenny menggigit bibir bawah. 'Si@l. Kenapa polisi bisa tahu? Apa mungkin Baron ketahuan dan dia n
"Ibu dengar kamu berjualan nasi goreng. Benar?" tanya Utami saat Erwin datang berkunjung dan mereka sedang berkumpul bersama di ruang keluarga. Erwin yang sedang minum tersedak mendengar pertanyaan ibunya. "I--iya, Bu, tetapi sepertinya nggak akan lanjut lagi." Lelaki itu nyengir. "Kenapa?" Utami, Nasrul, dan Arum kompak. Erwin memainkan jari tangannya. "Em, nggak laku, Bu. Aku nggak berbakat menjadi penjual nasi goreng seperti Nasrul. Bukannya untung malah buntung. Masa sehari yang beli hanya dua kadang tiga. Padahal aku memasak sudah sesuai dengan resep yang Nasrul berikan. Tombok terus.Aku nyerah." Nasrul tersenyum. Ingatannya kembali melayang pada kejadian beberapa tahun silam saat awal-awal dirinya baru mulai berjualan. "Di dunia ini tidak ada yang instan, Mas. Semua butuh proses. Aku dulu juga begitu. Di awal-awal juga nggak laku, tetapi aku nggak menyerah dan terus berusaha hingga bisa seperti sekarang," kata Nasrul. Lelaki pemilik mata teduh itu mengambil napas sebelum m
Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.
"Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak
Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva
Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere
"Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa
"Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang
(Mas Wirya, tolong beri nama anak kita Alvarendra. Aku ingin dia menjadi anak yang beruntung dan bijaksana meski dia terlahir dalam keadaan yang menyedihkan saat mamanya berada dalam penjara. Aku akan mengambilnya kembali setelah keluar dari penjara nanti. Aku janji tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi) Tertanda Jenny. Hanum membaca surat yang diberikan wanita itu dengan mata berkaca-kaca. Bahkan tulisan tangan yang berantakan karena ditulis dengan tangan gemetar itu terlihat memburam. Wanita bertubuh gemuk bernama Mira itu mengusap sayang kepala bayi yang tertutup topi rajut itu. "Sebenarnya saya juga kesal dengan anak ini, Bu. Jenny yang kukira sedang bekerja di kota untuk mencari uang nyatanya malah di penjara dan punya anak tanpa suami. Kemarin saya sempat ingin mem bu nuhnya, tetapi syukurlah saya masih waras dan berpikir jernih. Saya bisa masuk penjara bersama Jenny jika membunuh bayi tidak berdosa ini." Hanum tergugu. Air matanya jatuh membasahi selimut yang menutupi
Nasrul dan Utami serta Nur bergegas beranjak dari duduknya begitu pintu terbuka bersamaan dengan munculnya seorang dokter wanita serta perawat di belakangnya. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Nasrul. Lelaki itu sesekali mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Bayangan Arum yang berwajah pucat dan tubuhnya lemah akibat mengeluarkan banyak darah akibat terjatuh di kamar mandi membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Wanita cantik berbaju putih dengan name tag Ana itu menghela napas sebelum menjelaskan pada Nasrul. "Maafkan kami, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi kami selaku dokter dan perawat di sini hanya mampu berusaha selebihnya Allah yang menentukan. Janin yang ada di dalam rahim Bu Arum tidak dapat kami selamatkan." Pandangan Nasrul mengabur mendengar penjelasan dokter. Tubuhnya seakan lemas tidak bertulang. Bayangan percakapan antara dirinya bersama Salsa dan Arum kembali terbayang dalam ingatannya. "Alhamdulillah, Salsa akan memiliki adik lak
Hanum duduk terpekur di samping gundukan tanah merah yang masih basah dengan taburan bunga mawar di atasnya. Bulir bening ia biarkan jatuh membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Angin sepoi-sepoi yang berembus menerbangkan kerudung panjang yang ia pakai. Kain yang tadinya menutupi kepala itu jatuh di pundaknya. Wanita itu memejamkan mata. Ucapan polisi yang menemuinya saat ia sampai di kantor polisi itu kembali terngiang di kepala. "Wirya kehilangan banyak darah setelah menyayat pergelangan tangannya dengan pecahan gelas kaca, Bu," Bayangan wajah Wirya yang pucat dengan mata tertutup rapat dan tubuh kurus kering kembali hadir dalam ingatannya. Anak lelaki yang dulu menjadi rebutan para wanita karena ketampanannya itu telah berubah.Hanum tergugu. Diusapnya tanah yang di bawahnya terbaring jasad anak yang sangat ia sayangi itu. "Kenapa pikiranmu begitu pendek, Wir. Padahal Mama hanya ingin kamu menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dengan mendekam di penjara sebentar