Kepalaku masih terasa pening ketika aku berusaha membuka mataku. Dengan perlahan kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, hingga akhirnya aku menemukan senyum itu. Tian, lelaki yang setahun belakangan ini berstatus kekasihku. Aku hendak buru-buru bangun dari posisiku yang sedang berbaring. Aku teringat Ibu, bukankah hari ini aku harus mengantarnya untuk cek kesehatan rutin ke dokter?“Jangan bangun dulu kalau masih pusing, Sher.” Suara Tian lembut di telingaku.“Kenapa aku bisa berada di sini, Ti? Ini di mana? Di mana Ibu?”“Aku juga nggak tau apa yang terjadi, Sher. Tadi saat aku datang kamu sudah pingsan di depan pintu rumahmu, dan Ibu langsung panik dan menyuruhku membawamu ke sini.”“Ini di mana, Ti? Bagaimana bisa kamu membawaku kemari?”“Ini di puskesmas dekat kelurahan, Sher. Beruntung tadi ada yang bisa menolong membawamu ke sini. Kata Ibu beliau adalah atasan di kantormu.”Aku kembali teringat apa yang membuatku tiba-tiba gemetaran tadi, kemunculan Pak Randy secara tiba-t
“Ada apa beliau kemari, Nak? Tidak biasanya atasanmu sampai datang ke rumah kita. Apa ada masalah di kantor?”“Sherin juga enggak tau, Bu. Mungkin ada yang hendak ditanyakannya mengenai pekerjaan Sherin namun belum sempat bicara Sherin sudah pingsan tadi. Nanti Sherin akan menghubungi beliau dan menanyakannya, Bu. Tapi bukan hari ini, karena Sherin memang sudah meminta izin hari ini untuk mengantar Ibu.” Semoga Ibu menerima penjelasanku.Ibu menghela nafas berat namun senyumnya tetap tak beranjak dari bibirnya ketika menatapku.“Tapi kenapa tadi istrinya menyusul, Nak? Bahkan mereka berdebat sebentar di depan rumah kita dan sempat menjadi tontonan para tetangga sebelum akhirnya beliau mengantarmu ke puskesmas bersama Tian.”‘Oh, jadi suara wanita yang kudengar sebelum tak sadarkan diri tadi adalah suara Bu Dewi?’ batinku.“Sherin enggak tau, Bu. Ibu enggak usah pikirkan mereka, ya. Mungkin hanya kebetulan saja mereka berdua lewat di sekitar sini.”Ibu mengangguk, namun kurasa wanita y
Pov Randy.Aku segera meninggalkan puskesmas setelah mengantar Sherin dan lelaki yang menggendongnya tadi. Dari gelagatnya, kurasa lelaki itu adalah kekasih Sherin, karena saat di mobilku tadi ia berkali-kali menepuk-nepuk pipi Sherin untuk menyadarkan Sherin dan sesekali memanggilnya dengan kata “sayang”.Kulirik mereka berdua yang berada di kursi belakang lewat kaca spion di atas kepalaku. Aku merasa seperti seorang supir yang sedang mengantar sepasang kekasih. Seharusnya aku kesal, namun rasa bersalahku pada Sherin membuatku tak protes apapun lagi.“Terima kasih, Pak. Oiya, perkenalkan nama saya Tian, pacar Sherin. Boleh tau nama Anda? Saya dengar dari Ibu tadi katanya Anda adalah atasan Sherin.” Lelaki itu memperkenalkan dirinya.“Sama-sama. Iya saya atasan Sherin, dan nama saya Randy.”“Sekali lagi terima kasih, Pak Randy,” ucapnya lagi kemudian membopong tubuh Sherin.Aku memandang punggungnya yang menjauh sambil membopong Sherin. Lelaki itu adalah kekasih Sherin, apa yang akan
Aku kembali menghela napas. Sebenarnya ucapan Dewi ada benarnya. Aku menolaknya bukan hanya semata karena ia tengah hamil. Tapi aku baru saja merasakan kepuasan batin sebelumnya saat menembus Sherin, maka aku belum membutuhkan pelampiasan saat ini. Aku bahkan masih terbayang-bayang nikmatnya sensasi semalam.“Mas, ingat ya. Kamu berada di posisi ini sekarang karena aku dan Almarhum Ayah memberi kepercayaan padamu. Aku tak akan segan-segan mencabut itu semua jika Mas Randy macam-macam.”“Kenapa selalu mencurigaiku, Wi?”Sebenarnya aku tersinggung, tapi aku membiarkannya. Dewi selalu mengancamku seperti itu padahal ia tak pernah tau apa saja yang telah kulakukan untuk perusahaan Pak Nugi. Aku sudah memenangkan beberapa tender penting dan mambawa perusahaannya semakin maju. Maka aku juga sudah mengamankan beberapa aset yang berhasil kuperoleh selama aku berjuang di sana. Aku memang harus melakukannya karena tak ada jaminan untukku untuk terus berada di bawah bayang-banyang Pak Nugi. Aku
PoV Hannan.Sejujurnya aku merasa risih ketika bertemu dengan Randy dan istrinya di bandara. Bagiamana tidak, Zayn melihatnya tepat di saat Randy berciuman di depan pintu masuk. Sungguh aku tak mengerti kenapa pria itu sekarang menjadi seperti itu, padahal saat bersamaku dulu, kami selalu menyembunyikan kemesraan kami di depan umum, bahkan di depan anak-anak. Kami hanya menikmatinya ketika sedang berdua. Tapi lihatlah sekarang, Randy tanpa risih mempertontonkan ciumannya di tempat umum, dan sialnya lagi Zayn melihat semuanya. Aku belum sempat memalingkan wajah Zayn ketika bocah balitaku itu sudah berteriak memanggil ayahnya.Randy pun terlihat sedikit grogi ketika tau kami ada di sana. Seperti biasa pria itu menyambut Zayn dengan pelukan hangat seorang ayah ketika Zayn berlari menghampirinya. Namun tiba-tiba saja ia mendekatiku dan mengajakku bicara. Aku melirik Ray untuk meminta izin pada pria yang sudah menjadi imamku itu, dan ternyata Ray mengangguk mengiyakan.“Kamu apa-apaan, Bun
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Ray saat kami berdua sudah berada di dalam pesawat yang akan membawa kami ke Bali.“Oh, nggak. Zayn itu loh bisa-bisanya ia ngomong pada Ayahnya kalau Bunda dan Papinya mau bulan madu. Pasti Papa yang ngajarin.” Aku terkekeh.’“Hah? Zayn bilang pada Ayahnya kita akan bulan madu?.” Ray pun ikut terkekeh. “Pantas saja muka Pak Randy sampai ketekuk gitu tadi. Rupanya Zayn yang manas-manasin ayahnya,” lanjutnya masih dengan tawanya.“Maksudnya?”“Kamu nggak liat wajah Pak Randy tadi? Dia kelihatan nggak suka liat kita, apalagi aku. Kurasa ia cemburu.”“Ngaco ah! Ngapain juga dia cemburu, kamu nggak liat di sampingnya ada istrinya. Bahkan tadi mereka ciuman panas gitu di tempat umum.” Aku bergidik.“Aku laki-laki, Bun. Aku tau tatapan cemburunya tadi. Oiya, apa kamu mau kita ciuman di tempat umum juga kayak mereka tadi? Sepertinya seru.” Ray menaikkan sebelah alisnya.“Ih, kayak nggak ada tempat lain aja. Risih tau liatnya. Sayangnya Zayn juga sempat mel
“Tapi, Pak Randy. Ini sudah melanggar peraturan kepegawaian di kantor kita. Beberapa karyawan lain bahkan sudah mulai berspekulasi mengenai Mbak Sherin karena merasa perusahaan memperlakukannya istimewa. Apalagi rekomendasinya dari Pak Randy langsung.”“Sudahlah. Jangan membahas Sherin dulu. Sekarang tolong tempatkan salah satu karyawan yang berkompeten yang bisa menggantikan Sherin untuk sementara waktu. Banyak jadwalku yang terbengkalai beberapa hari ini karena tak ada yang mengaturnya.”“Baik, Pak Randy.”“Untuk urusan Sherin, nanti setelah meeting dengan klien perusahaan aku akan mengurusnya,” lanjutku, kepalaku rasanya semakin pening.Aku merasa heran ketika Bu Cici masih belum beranjak dari hadapanku. Ia justru sedang menatap heran padaku.“Kenapa harus Pak Randy yang turun tangan langsung untuk urusan Sherin? Padahal Bapak bisa menginstruksikannya pada kami,” tanya Bu Cici heran.Hufftt! Aku menggaruk tengkukku.“Kembalilah bekerja dan pastikan menempatkan salah satu karyawan s
PoV Sherin“Kamu belum masuk kerja, Nak?” Suara Ibu membuyarkan lamunanku pagi ini.“Eh, Ibu. Iya, Bu. Sherin masih dapat izin beberapa hari dari kantor,” jawabku kembali dengan alasan yang sama dengan yang kemarin-kemarin.Lalu aku kembali menunduk ketika ibu menatapku. Aku tau, Ibu pasti merasa aneh melihatku. Ibu pun pasti merasa jika alasanku ini hanya kubuat-buat. Tapi, aku tak punya cara lain. Aku pun masih merasa bingung dengan apa yang harus kulakukan saat ini. Aku tak punya keberanian untuk datang ke kantor seperti biasanya. Aku tak punya keberanian untuk bertemu Pak Randy, aku takut aku akan kembali gemetar saat melihat atasanku itu.“Kamu ada masalah di kantor, Nak?” Itu adalah pertanyaan yang paling sering ditanyakan Ibuku sejak aku memilih tak masuk kerja. Jawabanku pun tetap sama, hanya gelengan kepala dengan senyum yang kupaksakan.“Enggak ada, Bu.”“Kamu masih menganggap Ibu ini Ibumu kan, Nak? Ceritalah pada Ibu. Ibu yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan.” Aku kemb
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik