Pov : Gaza "Win, apakah laki-laki yang kamu maksud itu aku?" tanyaku lagi untuk ketiga kalinya, tapi Windy masih tak mau bicara. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Tak ingin kisah Andah terulang kembali di saat aku bersama Aisyah nanti. Ah Aisyah, mungkinkah memang dia yang harus kupilih? "Bukan, Za. Bukan kamu," ucapnya lirih. Dia tak mau menoleh. Hanya menyeka kembali kedua pipinya yang basah. "Seandainya nanti jawaban istikharahku dan Aisyah sama, apa kamu menyetujuinya?" Windy menoleh lalu tersenyum tipis.
Hari semakin bergulir. Aku sudah berusaha menekan sedemikian rupa ego dan cinta yang masih begitu tinggi padanya. Perempuan yang pertama kali membuatku jatuh hati. Namun waktu memang tak bisa kuulangi lagi. Mau tak mau aku harus menghadapi takdirku sendiri. Hidup tanpa cintanya yang pernah kusemat dalam doa dan mimpi. Jika memang aku belum bisa mencintai dan meneroma perjodohanku dengan Aisyah nanti, setidaknya aku berusaha menyenangkan hati Ummi. Bukankah DIA Sang Pembolak-balik hati? Mungkin jika nanti dia melanjutkan ta'aruf ini, di tengah jalan Allah menghadirkan kemantapan dalam dada. Atau bisa saja saat sudah berumah tangga dengannya, akan tumbuh benih-benih cintaku untuknya. Bukankah orang bilang, cinta datang karena terbiasa bersama? Mungkin pula memang begitu adanya. Aku akan mencintainya setelah tinggal satu atap dengannya. Dengan kemeja dan celana panjang, aku kembali datang ke rumah ini. Rumah berlantai dua yang beberapa minggu lalu sempat kudatangi bersama Abah da
POV : GAZA Ummi masih sibuk menelpon Rania di teras sementara aku dan yang lain masih tetap di ruang tamu seperti semula. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Azka dan Rania. Yang jelas kudengar dari ucapan Ummi, saat ini sudah ada ibu dan Mas Alif di sana. Karena itulah Ummi bilang pada Abah tak harus buru-buru pulang. "Rania kenapa, Mi?" tanya Abah saat Ummi mematikan ponsel dan memasukkannya ke saku gamis. Perlahan, Ummi kembali duduk di sampingku. "Rania jatuh dari motor, Bah. Terpaksa berangkat sendiri karena Azka baru saja pulang, katanya. Azka masih di kamar mandi saat Rania pamit ke mini market," jawab Ummi sembari menghela napas. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Kok bisa, Mi?" Abah ikut kaget mendengar kabar dari Ummi tentang Rania. Mendengarnya celaka, di sudut hati lain aku pun ikut panik dan takut perempuan yang pernah mengisi hatiku itu kenapa-kenapa. Namun, aku berusaha tetap tenang seperti sedia kala sebab tak ingin membuat Aisyah curiga jika aku belum bena
Pov : Azka "Ka, Ummi mau bicara sebentar. Bisa? Ummi tunggu di ruang tenga, ya?" ucap Ummi dengan senyum tipisnya saat aku masih menimang Althaf dalam gendongan, sementara Rania masih di tiduran atas ranjang. Rania baru saja memberi Althaf ASI dan sekarang malaikat kecilku itu mulai terlelap. Kuletakkan bayi mungil itu ke dalam boxnya. "Makasih, Mas." Perempuan cantik itu mengusap lenganku pelan lalu tersenyum tipis. Selalu begitu tiap kali aku membantunya mengasuh buah hati kami. Seolah itu adalah hal besar yang begitu dia syukuri, padahal sejatinya pekerjaan apapun dalam rumah tangga bukanlah tanggungjawab sang istri saja melainkan berdua. "Makasih buat apa, Sayang?" "Terima kasih karena kamu sudah banyak berkorban waktu dan tenaga untukku, Mas. Aku benar-benar sangat bersyukur memiliki suami pengertian dan perhatian seperti kamu," lanjutnya lirih. Kuusap pucuk kepalanya sembari menggeleng pelan. "Nggak perlu ada kata terima kasih karena ini memang bagian dari tugasku. Tu
POV : AZKA Aku tak tahu kenapa alur hidupku sedemikian rumit. Dulu aku masih bisa memaklumi jika Ummi dan Abah menitipkanku pada nenek, karena keadaanku yang tak memungkinkan untuk dibawa pergi ke kota. Aku pun mengerti saat nenek cerita jika ekonomi Ummi dan Abah saat itu masih porak poranda. Tak diasuh kedua orang tua itu cukup menyakitkan, meski dengan alasan bermacam-macam. Apalagi saudara kembarku sendiri begitu dimanja dan diperhatikan. Tak cukupkah derita yang kuterima saat masa kecil dulu? Hingga sampai sekarang pun, saat aku ingin mengecap manisnya kehidupan, saat aku baru saja mendapatkan apa arti cinta dan kasih sayang, saat itu pula lagi dan lagi aku harus mendapatkan teguran. Aku seolah boneka dengan remot kontrol yang tak bisa bergerak sesuai kemauanku sendiri. Semua harus atas seizin Ummi. Aku tahu berulang kali Abah menasehati Ummi untuk lebih membebaskanku, tapi tetap saja Ummi mengompori Abah untuk lebih keras mendidikku. Ummi bilang, didikan seorang nenek dan
Suasana agak canggung. Aku diam saja saat Ummi memintaku untuk duduk di ruang tengah. Tak banyak barang di ruangan ini karena memang Rania ingin tempat yang simple saja untuk bersantai. Hanya ada sofa di samping jendela dan rak untuk meletakkan tivi dengan karpet lebar di lantainya. Dinding pun hanya ada jam dan foto pernikahanku dengan Rania. Sesimple itu. "Kamu jangan salah paham, Ka. Ummi yang minta Gaza untuk jaga Althaf sebentar karena tadi Rania keluar dipanggil tetangga sebelah. Jangan berpikir aneh-aneh tentang mereka, lagipula besok malam kakakmu juga melamar Aisyah," ucap Ummi tiba-tiba tanpa kuminta. Dia bersedekap sembari menatapku tajam. Aku hanya menundu
Pov : AZKA |Ka, kamu tak perlu risau soal perasaanku pada Rania. Memang masih ada cinta di sana. Namun aku mulai menyadari, mungkin dia memang bukan jodohku. Semua salahku dan aku tak mungkin bisa mengulang apa yang telah terjadi. Tapi kejadian kemarin sungguh tak seperti yang kamu pikir. Aku hanya diminta Ummi menolong Althaf yang nangis, Ka. Ummi masih buang air, sementara istrimu dipanggil tetangga sebelah entah untuk apa. Hanya itu. Nggak ada maksud lain.| |Aku, Mas. Aku juga percaya kalau Rania tak akan mungkin mengkhianati cintaku padanya. Meski mungkin cinta ini terlalu sederhana, tapi aku begitu menjaganya dengan baik. Aku sangat percaya Rania bisa menjaga dan mengendalikan hatinya. Aku tak tahu apakah dia masih memiliki rasa yang sama dengan Mas Gaza, tapi bagiku itu tak jadi soal. Aku fokus mencintainya, sebab cinta yang tulus akan meluluhkan benteng yang tinggi dan kaku| |Iya, Ka. Kamu benar, menjadi suami Rania adalah sebuah keberuntungan besar dan kamu harus bersyuku
|Ka, Rania sudah siap-siap, kan? Soalnya Ummi telpon nggak diangkat. Kamu jaga Althaf dulu kalau Rania sibuk. Suami istri itu harus saling membantu satu sama lain. Jangan semua dibebankan ke istri, apalahi Rania baru melahirkan bulan lalu. Ummi tunggu kalian di rumah. Datang segera, ya?| Pesan dari Ummi kembali masuk ke whatsappku. Ummi seolah lupa, jika ⁶,setiap hari aku membantu Rania. Tak pernah kubiarkan dia kecapekan dengan segala aktivitas rumah tangga. Sejak awal menikah, justru aku yang mengajarinya banyak hal. Dia tak bisa memasak saat itu dan aku berusaha mengajarinya meski masak ala kadarnya. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai belajar dari internet untuk memasak beragam menu keluarga. Masakan Rania sangat enak menurutku. Tak hanya menurutku, bahkan Mas Gaza pun sempat memuji masakannya saat di rumah Ummi dulu. Aku tak pernah mencela apapun yang ada padanya sebab cintaku tulus. Tak hanya menyukai kelebihannya saja, tapi aku juga menerima segala kekurangannya. Te
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak