Pov : Azka
"Maaf, Ka. Apa nggak sebaiknya kamu sendiri yang bilang sama abah dan ummi soal rekaman ini?" Pertanyaan Mas Alif membuatku sedikit berpikir.
"Baiknya kita sama-sama bilang, ya, Mas? Kalau misal aku sendiri yang bilang, biasanya ummi nggak begitu menggubris. Beda kalau ada Mas Alif," jawabku kemudian.
Mas Alif menatapku beberapa saat lalu menganggukkan kepala. Tandanya dia mengikuti saran yang kuberikan.
Sambil mengobrol ringan, aku dan Mas Alif menuju taman belakang dimana ummi dan abah biasa santai bersama. Sementara Rania masih ada di kamarnya, membaca novel dari penulis kesayangan.
Dia memang senang membaca, namun cukup pemilih siapa saja penulis favoritnya. Kemarin sengaja aku membelikan dia tiga novel penulis favoritnya secara online. Sebuah kejutan kecil yang membuat Rania tampak begitu bahagia dan aku senang bisa membuatnya tersenyum begitu ceria.
"Assalamu'alaikum, Mi, Bah. Ada Mas Alif," uca
Pov : Azka Kisah cintaku dimulai dari sini. Saat aku berhasil membuat wajahnya yang ayu tampak malu-malu. Senyum manis itu pun mengembang di kedua sudut bibir tipisnya. Rania ... Perlahan dia berani membuka hijab yang selama ini menutupi rambut panjangnya. Wangi shampo menguar ke penciuman hingga membuatku terhanyut dalam dekap cintanya yang menenangkan dan menyenangkan. Dalam keletihan, kupandangi wajahnya yang begitu mempesona. Dia adalah salah satu anugerah terindah dariNya dalam hidupku. Dia mampu membalut sedikit demi sedikit hatiku yang penuh luka dengan tawa. Dia mampu menyirami jiwaku yang penuh duka dengan kelembutan dan cintanya yang tak biasa. Sederhana tapi sangat terasa dalam dada. Sejak ada dia dalam hidupku, tiap denting waktu terasa begitu istimewa. Senyumnya ... tawanya ... kelembutannya ... dan semua yang ada pada dia begitu membuatku tergi°a-gi°a. Sejak ada dia, ada kenikmatan berbeda tiap kali kumembuka mata
POV : Gaza Pikiranku mendadak kacau sejak membaca pesan panjang yang dikirimkan Azka. Sahabat-sahabatku yang sengaja menghancurkan pernikahanku dengan Rania? Benarkah? Kali ini bercandanya memang benar-benar kelewatan. Bagaimana mungkin persahabatan yang selama ini aku genggam erat bisa dijadikannya lelucon murahan. Tapi ... bukankah selama ini Azka memang hampir tak pernah bercanda? Apalagi denganku?Jadi gimana? Apa benar dua diantara ketiga sahabatku itu dalang dari ini semua? |Mas Gaza, baiknya kamu tanyakan sendiri apa yang sudah dua sahabatmu lakukan pada Rania. Sahabat yang begitu kamu percaya ternyata menusukmu dari belakang.| Dua sahabatku. Siapakah itu? Ahdan dengan Windy? Windy dengan Yoanda? Ahdan dengan Yoanda atau siapa diantara mereka yang sudah bersekongkol menghancurkanku? Kepala mendadak pusing memikirkan semuanya. Mereka benar-benar kelewatan jika memang ucapan Azka benar adanya. Kurang apa aku sebagai sahabat? Tiap ke makan atau ke mall, selalu aku yang ke
Pov : Azka "Za, kapan sampai rumah? Kok nggak bilang ummi dulu kalau mau pulang. Nggak ada yang jemput dong jadinya," ucap ummi begitu berbinar, saat ia dapati Mas Gaza sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sejak pagi hingga sesore ini ummi memang nggak ada di rumah, ada kegiatan dengan kawan arisannya. Sedangkan aku dan Rania baru pulang dari rumah ibu, kebetulan bertemu ummi di pertigaan gang perumahan. "Baru sampai kok, Mi. Setengah jam yang lalu," ucapnya sembari melirikku. Aku? Atau Rania? Entah! "Gimana kabarnya, Mas? Baik?" tanyaku mencoba kembali beramah-tamah padanya, meski kulihat wajahnya masih tampak tak bersahabat. Mungkin karena lelah. Mungkin juga karena memikirkan pesan yang kukirimkan padanya kemarin. Sementara Rania masih menggamit lenganku mesra. Aku laki-laki, bisa merasakan jika kini dia agak salah tingkah. Beberapa kali kutemukan matanya menatap lenganku. Tatapannya pada Rania juga sudah berubah. Tak seperti sebelum pergi ke Kairo yang terlihat jijik dan pen
Pov : Azka "Rania, aku minta maaf." Laki-laki yang wajahnya serupa denganku itu menundukkan kepalanya. Baru kali ini kudengar sebuah kata maaf keluar dari bibir itu. Biasanya, dia terlalu angkuh untuk sekadar mengakui kesalahan dan minta maaf atas kekeliruannya. Hanya alibi dan berbagai alasan yang dia ungkapkan tanpa mau introspeksi atas kesalahan yang dia lakukan. Sebuah keajaiban bisa menundukkan wajah Mas Gaza dan membuatnya minta maaf. Rania yang masih duduk di pembaringan hanya menatapnya sekilas, lalu kembali terisak di pundakku. Kedua tangannya melingkar di pinggangku, sementara tanganku masih terus mengusap punggungnya pelan. Ummi pun masih menangis di samping abah, sementara mas Alif terdiam di sofa kamar, menatap adik perempuannya dengan tatapan iba dan cinta. "Aku benar-benar minta maaf, Rania. Harusnya aku memang mendengarkan penjelasanmu dulu, bukan langsung menjatuhkan talak itu. Aku sangat
Pov : Azka "Aku sudah memenjarakan mereka, Rania. Aku sudah membuat mereka jera. Apa dengan itu, kamu sudi memaafkanku?" Pertanyaan laki-laki yang kutahu masih begitu mengharapkan Rania itu membuat dada sedikit sesak. Ada perih yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Siapalah aku dibandingkan Mas Gaza. Tak ada apa-apanya. Tak ada yang lebih istimewa. Apakah Rania benar-benar memaafkannya? Lalu ... kembali memberinya kesempatan kedua? Entah mengapa, tiba-tiba air mata ini menggenang. Bahkan aku kesulitan bernapas sekarang. "Aku berusaha melupakan semuanya, Mas. Aku terus berusaha memaafkanmu meski kamu pun tahu jika itu terlalu sulit buatku. Tapi sudahlah, bukankah kita bagian dari keluarga yang harusnya memang saling memaafkan?" Kutatap wajah Rania yang mulai tenang. Namun entah mengapa ketenangannya justru membuatku sedikit gelisah. Benarkah dia hanya sekadar memaafkan? Tak berniat untuk kembali berhubungan? Astaghfirullah ... lama-lama hati ini mulai kacau. Selalu diseli
Pov : Azka Orang bilang, tetangga adalah saudara terdekat yang seringkali menjadi orang pertama yang membantu kita saat membutuhkan pertolongan. Memang benar, karena itu pula aku selalu berusaha untuk berbuat baik pada siapa pun, apalagi pada tetangga. Tak suka berbuat ulah, ghibah, atau pun ribut dengan mereka. Namun, entah mengapa kurasakan sikap mereka cukup berbeda akhir-akhir ini. Tak ada tanya atau pun sapa saat aku di depan kontrakan bersama Rania, yang ada justru tatapan sinis yang mereka lakukan. Sering kali bisik-bisik nggak jelas lalu menatap kami bergantian. Bahkan saat ada abang sayur lewat, mereka suka bergerombol lalu melirik ke arah kami hingga aku semakin yakin jika aku dan Rania memang sedang menjadi bahan perbincangan. Aku juga tak paham kesalahan apa yang sudah kulakukan hingga membuat mereka seperti ini. Padahal sebelumnya begitu ramah, baik dan sering menyapa tiap kali aku akan berangkat ke outlet martabak cinta. "Mas, sepertinya tetangga kita mulai aneh,
POV : GAZA Malam semakin larut. Denting jarum jam terdengar begitu kerasnya, seolah memang sengaja menemani malam gulita. Sejak dua jam lalu membaringkan badan di tempat tidur, mata tak bisa diajak kerjasama. Ingin rasanya terlelap, melepas semua beban di dada namun nyatanya sia-sia. Sesak itu semakin lama semakin begitu terasa. Kupikir, keputusanku untuk memilih tinggal di sini bersama ummi dan tak melanjutkan study di Kairo adalah keputusan yang tepat. Aku bisa dekat dengan ummi lagi dan yang paling penting bisa mencuri kembali hati Rania. Dia yang pada akhirnya harus terpaksa menerima lamaran Azka, daripada menanggung malu atas talakku di malam pertama itu. Aku bisa memastikan jika Rania terpaksa menerima lamaran Azka untuk menutupi semuanya. Setidaknya agar kabar buruk itu tak terus mengudara dan membuat keluarga malu di depan banyak orang. Aku percaya ada sebuah keterpaksaan di sana. Tak mungkin secepat itu Rania menambatkan hatinya untuk laki-laki lain selain aku bukan? Apala
Detik ini, Ummi terlihat rapi dengan gamis dan hijabnya yang senada. Cinta pertamaku di dunia itu terlihat semringah saat menghampiriku di sofa ruang tengah. "Ummi, tumben pagi-pagi cerita begini." Aku mulai menyelidik. Tak biasanya Ummi sesemangat ini mengawali hari. "Iya, dong. Selalu ceria biar awet muda," balasnya dengan senyum tipis sembari membenarkan pucuk hijabnya yang sedikit berantakan. "Sekarang antar ummi ke rumah ibu," ucap Ummi lagi setelah memperbaiki penampilannya. Pagi ini Ummi benar-benar berbeda. Bisa kubilang terlalu bersemangat. Entah kabar apa yang dikatakan Azka padanya, sampai berhasil membuat ummi terlihat begitu bahagia. Aku benar-benar cemburu melihat Ummi mulai dekat dengan saudara kembarku itu. Aku cemburu. Aku pun tak paham dengan hatiku sendiri, mengapa selalu saja cemburu bila melihat kebahagiaan Azka. Padahal selama ini, dia jarang sekali terlihat bahagia. Selalu aku yang diutamakan dan dinomorsatukan ummi dalam hal apa pun. Aku pula yang selalu b
~ Beberapa Bulan Kemudian ~ Gerimis pagi mulai datang mengguyur, membuat banyak orang makin malas beranjak dari tempat tidurnya termasuk Aisyah dan Gaza, meski denting alarm sebagai tanda waktu menunjukkan pukul empat pagi sudah berbunyi. Biasanya Aisyah segera bangun, membuat sarapan sembari menunggu adzan subuh berkumandang. Tapi kali ini dia berbeda. Lebih nyaman tenggelam dalam dekapan suaminya dan mengirup wangi tubuhnya dibandingkan harus ke luar kamar dan berkutat dengan perabot dapur. "Sayang ... nggak bangun?" tanya Gaza lirih. Lengan kekarnya masih terus memeluk Aisyah di dalam selimut tebalnya. "Hujan, Mas. Malas masak," balas Ais pelan tanpa membuka kedua matanya. "Oohh ... ya sudah sarapan roti panggang aja nanti. Buat makan malam mah gampang bisa gofood," jawab Gaza santai. Dia memang sosok suami tersantai kalau soal makanan. Istrinya rajin masak oke, nggak mau masak pun nggak masalah. Bisa beli di luar. "Mas ... tapi perutku tiba-tiba mulas," bisik Ais lagi. Ga
Pagi menjelang siang. Perempuan yang selalu usil dan kesal dengan Ais itu pun diizinkan pulang dari rumah sakit. Kaki kirinya patah, butuh waktu cukup lama agar bisa pulih kembali. Sekarang tak ada yang bisa dia sombongkan, karena kaki jenjangnya bisa bergerak juga atas bantuan kruk. "Ndah, kamu di mana? Aku udah pulang dari rumah sakit," ucap Jesy melalui sambungan teleponnya. Dia begitu kesal dengan Andah yang hanya menjenguknya di hari pertama masuk rumah sakit, sedangkan rencana itu memang dilakukan berdua. Jesy berpikir Andah lepas tangan dan pergi begitu saja saat dia membutuhkan pertolongan. "Ke Jakarta, Jes. Nggak balik Jogja lagi," jawab Andah lesu. Dia menghela napas lalu menyandarkan badan ke sofa. Sejak omelan dan ancaman Gaza tempo hari, Andah memang masih cukup shock bahkan tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apa pun. Salon di Jogja resmi dihandle Budhenya, sementara yang di Jakarta masih digarap sepupu dan karyawannya. Dia hanya sesekali datang untuk cek la
"Ketemu Arif, kan?" tanya Gaza cepat saat melihat istrinya memasuki ruang tamu. Sudah sejak setengah jam lalu dia menunggu Ais dengan perasaan tak menentu. Ais pun mulai berdebar tak karuan, tapi dia akan jujur apa yang dia bahas dengan dosen tampannya itu. Tadi dia sengaja mematikan panggilan suaminya karena tak ingin terjadi kesalahpahaman lagi. Ais hanya ingin menjelaskan secara langsung apa yang dia lakukan bersama dosennya. Setidaknya jika dijelaskan di rumah, saling tatap berdua akan lebih meminimalisir curiga. Bohong pun percuma sebab suaminya tahu kedua matadan gestur tubuhnya tak bisa diajak berdusta. "Iya, Mas. Aku bertemu Kak Arif. Kamu tahu, kan? Kemarin kamu juga sudah baca chatnya," ucap Ais sambil tersenyum. Gaza sedikit kaget mendengar ucapan istrinya. "Ngintip, ya? Pura-pura tidur," ucap Gaza sembari mengacak pelan pucuk kepala Ais yang tertutup jilbab merah tua. Ais hanya terkikik melihat ekspresi terkejut dari Gaza. "Jadi ngapain kalian di sana? Ngobrolin a
|Ais, sepertinya kita harus bertemu. Aku harus ngomong sesuatu sama kamu. Sekalian tanya suatu hal agar tak ada lagi ganjalan dan penasaran| Pesan dari Kak Arif kembali dibaca Ais. Tak hanya sekali dua kali namun berulang kali. Mungkin memang kini saatnya dia bertemu dan bicara soal pernikahannya dengan laki-laki itu agar semua sama-sama bahagia. Tak ada ganjalan berarti nantinya. |Baik, Kak. Kita ketemu di mana? Nanti aku ajak Nur, supaya nggak ada fitnah di antara kita| Akhirnya Ais mengirimkan balasan itu untuk Kak Arif setelah berpikir cukup panjang. Ais berpikir, semoga pertemuan nanti bisa membuat persoalan hati itu selesai dan sama-sama ikhlas untuk menerima semuanya. |Di warung steak dekat candi Prambanan, besok jam empat sore, ya. Aku tunggu di sana| Ais menghela napasnya lalu memejamkan mata perlahan. Terdengar suara Gaza dari lantai bawah, menaiki tangga dengan tergesa. Dia sedikit jongkok saat sampai di depan pintu kamarnya yang terbuka. "Ngapain lari-lari begitu si
"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Entah siapa tamu yang datang sore-sore begini. Ais masih duduk santai di samping jendela sembari membaca buku saat terdengar bel dan salam dari luar."Wa'alaikumsalam," ucap Ais kemudian. Dia segera meletakkan novel kesayangannya ke atas meja lalu melangkah perlahan ke pintu utama. Gaza masih sibuk di kamarnya untuk membersihkan badan karena baru saja pulang dari kantor. "Aissss ... menantu ummi yang cantik!" ucap ummi tiba-tiba saat pintu terbuka. Ais pun membelalak seketika saat melihat ummi dan mamanya tiba-tiba datang ke rumah. Tak memberi kabar terlebih dahulu, berasa benar-benar kejutan spesial. Mama pun memeluk dan mencium keningnya beberapa saat untuk melepas kerinduan."Ayo masuk dulu, Ma, Mi. Mas Gaza ada di atas, baru saja pulang ngantor. Mungkin istirahat atau bersih-bersih," ucap Ais lagi. Ummi dan Mama saling pandang seketika."Gaza di atas, Is? Kamu bilang sama ummi waktu itu katanya enak tidur di bawah? Jadi kalian-- Lagi
|Baiklah kalau memang itu maumu. Kita bersaing secara sehat, Rif. Tapi ingat, jika Aisyah lebih memilih aku maka kamu harus mundur. Aku akan memperjuangkan pernikahan ini, dan aku juga akan memperjuangkan cintaku padanya. Aku tak akan membiarkan dia berpaling dariku. Ingat itu!| Gaza kembali mengingat pesan yang dikirimkannya sendiri untuk Arif. Dosen tampan dan pintar di kampus Ais yang kini benar-benar menyatakan perang padanya. Dia yang nyatanya masih begitu mencintai Aisyah, sementara Gaza yakin Ais masih cukup bingung akan cintanya sendiri. Bertahan dengan kebimbangan atau pergi dengan kepincangan. Gaza ke luar kamarnya mendapati Ais yang masih termenung di anak tangga paling bawah. Sudah seminggu belakangan mereka memang kembali tidur di kamar masing-masing, meski baju masih tetap di tempat semula. Nggak berpindah, sebagian baju Aisyah ada di lemari Gaza di kamar atas pun sebaliknya. Sebagian baju Gaza ada di kamar bawah-- kamar milik Aisyah. Aisyah masih memikirkan Andah ya
|Kenapa, Mas? Bukan kah kamu sendiri yang sering membuat huru-hara? Kamu ngapain makan berdua dengan perempuan centil itu? Kamu mau membuatku cemburu? Atau kamu memang sengaja memberikan harapan untuk perempuan itu?| 'Gimana, Mas? Bingung sekarang kan? Sepertinya kamu memang sengaja menabuh genderang perang denganku. Jika kamu sengaja membuatku cemburu, terlalu mudah bagiku membuatmu terbakar juga.' Batin Aisyah kesal. Dia terus menggerutu. |Kamu mengancam? Kenapa memutar balikkan pesanku?| Ais tersenyum tipis, sepertinya rencananya berhasil membuat Gaza bertambah kesal. Pesan Andah tadi masih terngiang di benak Ais. Bagaimana mungkin suaminya masih saja berteman dan mempercayai omongan perempuan bermulut ember seperti Andah. Tukang fitnah dan adu domba seperti dia seharusnya tak perlu ditanggapi, tapi nyatanya Gaza masih saja terperdaya. Dia lebih percaya orang lain dibandingkan istrinya sendiri. Benar-benar aneh. Ais kembali mengomel dalam hati. Sementara Gaza masih ter
Ais benar-benar terlonjak saat melihat suaminya sudah berdiri di ambang pintu. "Kenapa? Kaget begitu," ucap Gaza santai. Kaki kanannya menghadang ke tengah pintu, membuat Ais tak bisa ke luar dari kamarnya. Hati Ais makin berdebar tak karuan saat Gaza menurunkan kakinya dari bingkai pintu lalu masuk ke kamar Ais. Perlahan dia menutup pintu kamar Ais dan mengajak perempuan cantik itu duduk di atas ranjang. Mereka saling tatap beberapa saat, membuat Ais benar-benar salah tingkah. Sedari tadi dia menunduk malu, apalagi tiap melirik ada mata Gaza yang meliriknya balik. "Jadi gimana, Ais?" tanya Gaza singkat. "Gimana apanya, Mas?" tanya Ais kembali berdebar, sementara Gaza tersenyum tipis menatap istrinya. "Mau tidur di sini atau di kamar atas?" tanyanya singkat sembari mengedarkan pandangan. Aisyah tampak gugup dan salah tingkah. Dia benar-benar dalam keadaan cemas dan gemetaran apalagi saat Gaza menoleh ke arahnya, jarak diantara keduanya hanya sejengkal saja membuat Ais rasanya ta
Jam delapan pagi, Gaza dan Aisyah ke luar dari hotel menuju rumah ummi. Meski semalam sudah berbaikan, namun mereka masih saja canggung. Hanya diam di dalam mobil meski sesekali saling senyum dan lirik. Benar-benar mirip ABG yang masih sok jual mahal. Sekitar satu jam dari hotel akhirnya mereka sampai di rumah ummi. Itu pun karena macet. Jika tidak, hanya butuh sekitar tiga puluh menit saja untuk sampai ke rumah ummi. Hati Aisyah cukup berdebar saat mobil Gaza mulai memasuki garasi yang cukup luas. Mobil Azka pun terparkir di sana, mungkin semalam dia dan Rania menginap. "Ayo turun," ucap Gaza setelah mesin mobil terhenti. Aisyah tampak menghembuskan napas panjang lalu menganggukkan kepala. Dia mengambil sebuah kado berisi gamis cantik merk favorit ummi dari jok belakang lalu membuka pintu perlahan. "Ais ...." Panggilan Gaza membuat Ais berhenti membuka pintu. Dia menoleh seketika ke arah suaminya. "Bersikap lebih romantis bisa, kan?" tanya Gaza singkat. Debar di dada Ais mak