Bab 7
Pov Rina "Heh, diajak ngomong sama mertua, bengong aja! Dasar nggak sopan! Ya udah sana, balik lagi ke belakang! Bereskan semuanya sampai selesai!" bentak ibu mertua memutus lamunanku. "Iya Mbak, jangan lupa cucikan bajuku yang bersih! Pake tangan! Kalau pake mesin cuci suka nggak bersih soalnya!" imbuh Dewi pula, adik iparku, seakan-akan aku adalah pembantu yang dibayar mahal untuk melayani kebutuhannya. "Bajuku juga jangan lupa disetrika, Mbak! Besok pagi mau aku pakai soalnya!" Vita ikut memerintah, seperti putri keraton pada hamba sahayanya. Tapi nggak papa! Aku yakin tak begitu lama lagi kalian pasti akan menangis untuk semua yang sudah kalian lakukan ini! Aku akan pergi dari hidup kalian, sehingga kalian akan merasakan sulitnya tak punya menantu dan kakak ipar sepertiku ... Aku pun segera pergi menuju dapur kembali untuk melakukan pekerjaan yang mereka perintahkan itu. "Ram, beruntung banget hidup kamu kalau kamu jadi menikah dengan Yuni. Kamu bisa punya dua istri yang saling melengkapi. Rina jadi pembantu gratis ibu yang nggak perlu dibayar, sedangkan Yuni jadi mesin ATM yang akan memberikan kamu banyak uang." "Apalagi kalau dia jadi buka cabang baru dan kamu dipercaya mengelolanya. Kamu bisa langsung jadi bos rumah makan tanpa perlu kerja keras lagi. Enak banget jadi kamu, Ram. Pinter nyari istri," puji ibu mertua pada Mas Rama yang bisa kudengar dari balik dinding dapur ini. Mas Rama tertawa lebar mendengar pujian tersebut. "Ibu bisa aja bikin aku tersanjung mendengarnya. Siapa dulu dong Rama? Anak Ibu ... ha ... ha ... ha ...!" Mas Rama kembali tertawa sembari membusungkan dadanya. Aku mencibirkan bibir mendengar perkataan penuh kesombongan dari suamiku itu. Belum tau saja dia kalau aku hanya sedang menunggu waktu. Waktu datangnya karma yang aku yakin akan menimpa setelah dia menikah lagi dengan Mbak Yuni. Dia tak akan lagi menjadi laki laki yang bebas melainkan akan dituntut untuk bekerja dengan sangat keras demi mewujudkan ambisi Mbak Yuni menjadi wanita kaya raya. Aku yakin itu ... Ibu pun ikut tertawa mendengar perkataan putranya itu. "Ibu beruntung sekali punya anak seperti kamu, Ram. Kamu bukan hanya patuh pada orang tua dan menomorsatukan ibu dan adik-adik kamu, tapi kamu juga pandai cari istri yang bisa berguna untuk keluarga ini." "Rina walau pun miskin dan pengangguran, tapi dia berguna menjadi ART gratis ibu. Yuni nanti juga akan berguna jadi tempat ibu makan gratis. Jadi ibu nggak perlu lagi belanja, biar bisa hemat dan uang dari kamu bisa terkumpul semua. Soalnya biaya kuliah Dewi dan Vita makin lama makin mahal. Belum lagi kalau nanti menikah, ibu mau bikin pesta yang sangat meriah. Jadi nggak salah kamu nikah lagi dengan Yuni. Ibu setuju banget, Ram," ucap ibu mertua lagi masih terdengar memuji putranya. "Iya, Mas. Dewi juga bangga punya kakak seperti Mas Rama. Sayang banget sama aku." "Oh ya, kalau nanti Mas udah nikah sama Mbak Yuni, boleh dong aku tinggal bareng kalian. Pengen juga nyicipin tinggal di rumah besar dan mewah seperti punya Mbak Yuni, Mas. Pasti full AC setiap kamar." "Beruntung banget kamu, Mas. Punya calon istri seperti Mbak Yuni. Nanti aku bisa juga dong pinjam mobilnya buat jalan jalan. Iya ngga, Nda?" timpal Dewi pula sambil mengajak Vita berkomentar. "Iya, dong. Vita juga seneng banget dengan rencana pernikahan Mas ini. Pasti enak punya kakak ipar kayak Mbak Yuni. Banyak uangnya," timpal Vita. "Iya, iya. Kalian tenang aja. Mas menikah dengan Yuni juga demi membahagiakan kalian. Percayalah, kalau Mas sudah jadi suami Yuni nanti, mas akan pelan pelan mengambil alih hartanya untuk menyenangkan kalian. Jadi tenang aja ya. Kalian pasti akan hidup lebih enak dari sekarang kalau mas menikah dengan Yuni," jawab Mas Rama pula dengan sombongnya. Lagi-lagi aku hanya tertawa lebar dalam hati. Benar benar tak tahu diri suamiku itu. Dia tak sadar bahwa harapannya itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Apalagi Mbak Yuni kulihat bukan wanita lemah dan bodoh. Dia justru pintar dan ambisius untuk cepat kaya. Bisa bisa kamu bukannya bisa mengambil alih harta benda Mbak Yuni, tapi gajimu yang habis dia minta! Cibirku dalam hati. Sedang asyik aku menguping pembicaraan ibu dan anak itu, tiba-tiba ponselku berdering pelan. Gegas aku membukanya dan tersenyum sangat bahagia saat melihat notifikasi yang baru saja masuk itu. Notifikasi dari m-banking yang beberapa waktu lalu aku urus ke bank, yang memberitahukan kalau barusan di rekeningku telah masuk sejumlah uang sebagai bayaran pertama menjadi seorang konten kreator F* Pro. Nilainya bagiku yang jarang pegang uang ini sangatlah banyak. Hampir lima juta rupiah. Tak sadar, air mata haru dan bahagia pun menetes di pipi. Segera aku mendekati balai-balai di mana tubuh kecil Aldi tengah tertidur karena kecapekan habis menemaniku beres beres tadi dan memeluknya dengan erat. Ya, tak lama lagi aku akan bisa membelikan kebutuhan anakku ini yang selama ini tak bisa aku penuhi dengan baik karena uang belanja yang hanya pas-pasan Mas Rama berikan itu dengan uangku ini. Lihat saja, Mas! Tanpa kamu aku juga bisa mandiri dan menghidupi anakku dengan baik! Tekad ku dalam hati. * "Nina, ini uang yang aku pinjam kemarin, lima ratus ribu rupiah ya. Makasih banyak kamu udah minjamin aku uang, aku jadi bisa bertahan hidup sampai sekarang." "Oh ya ini aku tambahin seratus ribu lagi ya. Itung itung nyicip gaji pertamaku jadi konten kreator. Diterima ya," ucapku pada Nina yang seketika tersenyum sumringah saat aku datang dan mengabarkan jika aku telah mendapatkan gaji pertama sebagai seorang konten kreator. Nina pun memelukku penuh haru. "Masya Allah, semangat ya, Rin, ngontennya. Nggak nyangka aku akhirnya kamu berhasil juga jadi konten kreator. Bangga aku sama kamu," sahut Nina dengan rona bahagia yang kentara di wajahnya. Aku pun balas tersenyum dan memeluknya haru. "Iya, Nin. Makasih support dan doa kamu selama ini, akhirnya aku bisa seperti sekarang." "Kalau gitu aku pulang dulu ya. Mau ngedit video yang mau aku upload ke aplikasi, Nin. Nanti kapan kapan kalau ada waktu dan kamu libur, kita makan di luar ya. Biar aku yang traktir," ujarku. Nina tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Oke, Rin. Nanti aku kabari kalau aku lagi off ya. Ya udah, hati hati di jalan," sahut Nina pula sembari berkali kali tersenyum haru. Aku pun balas tersenyum, lalu setelah mengucapkan salam, aku pun menggendong Aldi meninggalkan halaman rumah Nina. "Bu, ini berapa harganya?" tanyaku sambil menunjuk setelan baju dan celana anak seusia Aldi yang tergantung di gantungan baju sebuah toko pakaian anak-anak. "Oh yang ini murah, Mbak. Cuma enam puluh ribu," jawab pemilik toko. "Kalau yang ini?" "Yang ini seratus ribu karena bahannya lebih tebal dan jahitannya lebih rapi. Bisa dicek, Mbak," sahut pemilik toko lagi sambil menurunkan setelan pakaian anak-anak yang barusan aku tunjuk tadi dan memberikannya padaku. Setelah aku cek dan ternyata bahan pakaian tersebut memang lebih bagus dari yang pertama, akhirnya aku pun mengambil setelan yang kedua itu. Selesai membeli setelan pakaian, aku pun membeli pakaian dalam Aldi. Kasihan, pakaian dalamnya sudah banyak yang rusak dan kendor. Gaji Mas Rama memang sebulan delapan juta rupiah, tapi kebutuhan hidup anak dan istrinya jauh dari kecukupan. Jika tidak dengan penghasilan sebagai konten kreator F* Pro ini, mungkin pakaian dalam Aldi tak akan pernah terganti. Usai membeli kebutuhan sehari-hari Aldi, aku pun mengajak buah hatiku itu makan di sebuah restoran cepat saji. Sudah lama Aldi minta makan di sini, tapi karena uang yang tak pernah cukup, sudah barang tentu makan di sini hanya jadi khayalan semata. Alhamdulillah sekarang ada uang hasil ngonten, aku pun bisa makan di restoran ini. Aku memesan dua porsi ayam goreng berikut nasinya dan dua cup es jeruk. Lahap sekali Aldi makan karena sudah lama sekali memang putraku ini ingin makan di sini. Tak apalah kalau sekali kali. Selesai makan, aku pun mengajak Aldi pulang. Cukup happy-happy hari ini. Insya Allah di sambung besok lagi. Malam ini aku akan mengedit beberapa video lagi untuk aku upload besok hari agar dollarku kembali bertambah untuk memenuhi kebutuhanku sendiri dan Aldi ke depannya tanpa perlu dihina dan direndahkan oleh Mas Rama dan keluarganya lagi. Ya. Sambil menunggu karma itu datang menimpa Mas Rama dan keluarganya, aku akan melewati hari hari dengan bahagia meski harus menyembunyikan semuanya dari suami dan ibu mertua.Bab 8Pov Rina "Rina! Uang kamu 'kan sudah mas ambil semua kemarin! Kok sampai hari ini kamu masih bisa hidup dan makan, malah mas lihat berat badan Aldi sekarang naik, dan lebih sehat dari biasanya. Memangnya kamu ada uang untuk belanja?" tanya Mas Rama beberapa hari kemudian setelah aku mendapatkan gaji pertamaku sebagai seorang konten kreator FB Pro.Sedikit kaget dengan pertanyaan itu, aku menghela nafas sejenak sembari menghentikan gerakanku menyapu ruangan. Benak secepat kilat berusaha mencari jawaban yang paling tepat supaya Mas Rama tak curiga kalau saat aku ini aku punya uang lumayan banyak."Aku ... aku ditawari Nina makanan, Mas. Dia 'kan kerja di rumah makan, jadi sering ada makanan sisa dan diberikan padaku. Itu sebabnya aku dan Aldi masih bisa makan, Mas," jawabku berbohong. Tapi demi kebaikanku dan Aldi, tentu harus aku lakukan. Aku tak mau dia tau kalau aku punya uang hasil menjadi konten kreator FB."Kamu bilang kalau Mas nggak ngasih uang belanja gitu?" Mas Rama tib
Bab 9Pov RinaMalam ini adalah malam p3rtama Mas Rama dengan istri barunya setelah dia menikah lagi.Malam ini juga merupakan malam p3rtamaku tidur tanpa Mas Rama di sisiku. Sakit hatikah aku membayangkan Mas Rama tengah asyik mereguk madu malam p3rtama dengan Mbak Yuni? Tidak!Sekali lagi aku katakan aku telah mematikan segala rasa hingga saat ini yang tertinggal hanyalah benci dan d3ndam yang membumbung tinggi pada Mas Rama dan keluarganya.Tapi sekali lagi aku harus bersabar hingga k4rma itu datang menghampiri hidup Mas Rama sebagai buah dari apa yang telah dia tanam.[Rin, gimana? Bulan ini dapat berapa gaji dari apli-kasi?] tanya Nina di WhatsApp.[Alhamdulillah aku dapat seribu dollar, Nin. Gimana kalau besok aku traktir kamu makan di restoran? Mumpung aku ada duit ini.] balasku gembira.[Masya Allah ... makin sukses kamu, Rin. Boleh ... boleh kalau gitu. Sekalian aku mau shopping sama mau ke salon juga.. Udah lama nggak nyalon aku, Rin. Kamu mau ikutan nggak? Mumpung ada duit,
Bab 10POV Rama "Kenapa, Mas? Makanya makannya pelan pelan, jangan buru buru!" ucap Yuni sambil menyodorkan air minum yang segera aku tenggak sampai habis tak bersisa untuk melegakan tenggorokan yang serasa tercekik akibat pertanyaan Yuni barusan.Aku memaksakan senyum lalu menghembuskan nafas pelan."Makanya kamu juga jangan bahas masalah gaji di saat kita sedang malam pertama dong, Yun. Mending kamu siap siap karena sebentar lagi pesawat tem pur mau mendarat timbang ribut masalah gaji," ucapku pula setengah bercanda untuk mencairkan suasana.Akan tetapi wajah Yuni terlihat tak puas. Wanita itu mencebikkan bibirnya dengan ekspresi penasaran."Ya, tapi masalah ini juga penting, Mas. Pokoknya aku nggak mau gaji mas dikuasai sama Rina sendirian! Aku 'kan juga istri mas! Jadi aku juga berhak dong atas gaji mas!" ucap Yuni lagi membuatku tak mampu berkata apa apa. Dikiranya gajiku habis kuberikan pada Yuni, padahal tidak sama sekali.Perempuan itu hanya kuberi sepersembilan persen dari g
Bab 11Pov Rama"Ada apa ini ribut ribut?" tanya Mas Anton, kakak Yuni sembari menatap tajam ke arahku.Aku menelan ludah dengan perasaan keki. Melihat wajah yang tanpa senyum di depanku, mendadak nyaliku ciut."Eng ... enggak Mas ... nggak ada ....""Ini Mas, Mas Rama. Aku minta uang belanja nggak dikasih!"Belum sempat aku menjawab pertanyaan kakak iparku itu, Yuni keburu buka mulut, mengadu, membuatku membatin kesal di dalam hati.Si4lan memang Yuni, bukannya menutupi kekurangan suaminya, malah membongkar aib suaminya di depan kakak kandungnya sendiri seperti ini.Mas Anton kembali melirikku lalu membuka suaranya."Bener begitu, Ram? Boleh mas tau apa alasannya kamu nggak mau kasih uang belanja ke Yuni? Dia 'kan istri kamu! Kamu udah berjanji akan mempergaulinya dengan baik, memberi nafkah dengan baik. Lalu kenapa sekarang kamu ingkar? Padahal kalian baru tiga hari menikah? Bagaimana kalau sudah bertahun tahun?" Suara Mas Anton seolah mengintimidasiku.Aku menelan ludah mendengar p
Bab 12Pov Rama"Rin, kamu habis beli baju baru?" tanyaku sembari meneliti penampilan istriku itu.Rina tersenyum datar lalu menggelengkan kepalanya."Enggak Mas, ini dikasih Nina," jawab Rina dengan suara tenang.Entah bohong atau tidak dia, tapi aku tak punya alasan untuk mencecarnya. Masuk akal juga kalau baju itu pemberian Nina sebab mereka memang berteman dekat. Bisa aja Nina memberikan baju bekas miliknya yang masih terlihat baru itu pada istriku.Aku pun diam mendengar jawaban istriku itu.Selanjutnya aku kembali menoleh ke arah ibu tepat di saat beliau membuka kembali suaranya."Gimana, Ram? Kamu ditanya kok diam aja? Gimana rasanya punya istri orang kaya? Punya rumah makan sendiri? Nggak seperti istri kamu satunya lagi yang bisanya cuma minta uang sama suami. Kalau nggak dikasih nggak bisa makan. Huh! Perempuan seperti itu mah nggak ada istimewanya! Dibuang di pinggir jalan pun nggak bakalan ada yang mau mungut!" ucap ibu sembari melirik sinis ke arah Rina, menyindirnya.Kuli
Bab 13Pov Rama"Ayo, kita ke rumah Yuni sekarang! Ibu mau kasih pelajaran sama dia! Enak aja baru nikah udah mau jadi raja! Huh!" Ibu tampak sangat kesal pada Yuni dan gegas bangkit dari tempat duduk beliau lalu berjalan cepat menuju pintu mendahuluiku. Tangannya menyingsing lengan baju dengan kasar."Iya, bener, Bu! Vita ikut, Bu! Pengen kasih pelajaran juga ke Mbak Yuni!" timpal Vita pula sembari mengantongi ponselnya lalu mengambil sendal dan menyusul ibu.Begitu pula Dewi yang cepat cepat ikut bangkit menyusul ibu dan Vita.Melihat ketiga orang anggota keluargaku itu begitu semangat menemui Yuni demi memberi pelajaran pada istri keduaku itu, aku pun ikut bersemangat pula menyusul mereka hendak ikut memberi pelajaran juga pada Yuni.Ya, siapa tahu kalau didatangi dan dikero yok rame rame begini, Mas Anton dan Yuni akan mengalah. Jadi selesai sudah masalahnya. Tak perlu diperpanjang lagi, tak akan ada lagi drama berkelanjutan soal uang nafkah ini. Yuni setuju untuk tak minta nafkah
Bab 14Pov Rama"Kenapa diam aja? Ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi sehingga kalian ribut ribut di rumah adik saya?" tanya Mas Anton sekali lagi sembari mengedarkan pandangannya ke arah kami bertiga."Ini, Mas ... Ibunya Mas Rama minta supaya aku nggak minta nafkah lagi dari Mas Rama, Mas. Jadi aku bilang kalau nafkah itu adalah kewajiban Mas Rama sebagai seorang suami. Tapi Mas Rama dan ibunya nggak terima, tetap memaksa aku supaya nggak minta nafkah lagi, atau kalau enggak, aku harus rela dijatuhi talak dan terpaksa jadi janda lagi, Mas," ucap Yuni menjawab pertanyaan kakaknya itu.Mendengar jawaban adiknya itu, Mas Anton terlihat marah. Laki laki itu menyapu wajahku dan ibu bergantian dengan tatapan tajam."Benar itu, Bu? Rama? Kamu minta adik saya untuk nggak minta nafkah lagi dari kamu? Apa alasannya sehingga kamu berani meminta hal seperti itu pada Yuni, hah? Bukankah seorang suami memang sudah kewajibannya memberi nafkah pada istrinya? Apa kamu mau membuat aturan baru?
Bab 15Pov Rama"Rinl, kamu masak apa?" tanyaku saat akhirnya pulang ke rumah. Sudah tiga malam aku tidur di rumah Yuni, jujur rasanya berbeda dengan tidur di rumah sendiri.Sungguh cepat Yuni berubah memang. Tadinya fine fine aja, enjoy enjoy saja diajak ngobrol, tapi setelah jadi istri, bawaannya kok jadi berubah bawel!Tadinya tak pernah sekali pun dia menyinggung masalah gaji, eh setelah malam pertama mulai lah ribut masalah gaji. Menyebalkan memang Yuni. Ibarat musang berbulu domba. Tadinya kelihatannya jinak ternyata lama lama rewel juga."Masak apa? Aku nggak masak, Mas. Sejak mas ambil uangku kemarin, aku numpang makan di rumah Nina," jawab Rina sambil terus melipat pakaian yang kelihatannya habis dicuci.Aku mendengkus pelan mendengar jawaban istriku itu. Numpang makan tapi penampilan sekarang berubah glowing! Apa numpang skincare an di rumah Nina juga sehingga sekarang penampilan istriku itu berubah menjadi lebih cantik juga?"Aldi mana?" tanyaku tanpa berusaha membantah jaw
Bab 24POV Rina "Tunggu, Rin! Kamu mau ke mana?" tanya Mas Rama sembari mencekal lenganku yang hendak berlalu pergi dari hadapannya.Aku menyentak cekalan tangan itu lalu menatapnya dengan tatapan mata tajam."Aku mau ke pasar, Mas! Kamu kan udah nggak ngurus lagi aku mau makan apa! Aldi mau makan apa! Jadi biarkan aku tanggung jawab dengan diriku sendiri dan anak kita! Oke! Kamu silahkan urus istri mudamu dan keluargamu saja!" jawabku dengan nada ketus.Mas Rama terdiam. Namun, tak melepaskan cekalan tangan itu hingga tiba-tiba dari arah depan rumah terdengar suara yang cukup familiar di telinga ini. Suara Mbak Yuni, istri muda suamiku."Jadi begini kelakuan kamu ya, Mas! Ditunggu-tunggu nggak pulang pulang ternyata kamu enak-enakan di rumah istri tua kamu! Kamu udah nggak ingat aku lagi, Mas? Iya?" sambar Mbak Yuni yang tiba-tiba muncul dengan tatapan tajam terarah ke wajah Mas Rama yang sedang mencekal lenganku.Melihat kedatangan istri mudanya itu, seketika wajah Mas Rama tampak
Bab 23POV Rama"Ram, gimana ini? Gimana ceritanya kok kamu bisa dipecat dari pekerjaan? Memangnya kamu salah apa, Ram?" Ibu berteriak panik sesaat setelah istriku Rina, pergi tanpa mampu kami cegah lagi kepergiannya.Aku menghembuskan napas berat lalu duduk di tepian ranjang dengan wajah ditekuk. Lelah."Pak Wahyu marah karena aku telat masuk kantor, Bu, sementara pagi ini ada meeting dengan klien. Gara-gara aku telat, klien itu membatalkan rencana kontrak kerjasama dengan perusahaan kami. Jadi ya, akhirnya Pak Wahyu suruh aku mengundurkan diri kalau nggak mau ganti rugi ke perusahaan, Bu.""Masalahnya aku uang dari mana mau bayar ganti rugi ke perusahaan, Bu? Jadi ya terpaksa akhirnya aku mengundurkan diri," sahutku dengan perasaan putus asa.Masalah bertubi-tubi yang menimpaku saat ini membuat batinku lelah dan tersiksa. Entah sampai kapan semua ini berakhir, sementara Rina yang kuharapkan dukungannya justru pergi menjauh seperti tadi. Arrgh ...!"Terus kita mau makan apa kalau kam
Bab 22POV Rina "Apa? Kamu nggak mau bantu Mas? Tapi kenapa, Rin? Nina itu sahabat kamu. Kalau kamu yang ngomong, pasti dikasih. Tapi kalau Mas? Apa mungkin dia mau ngasih?" Mas Rama mendesak. Laki-laki itu tampak kalut mendengar jawaban penolakan dariku.Namun, aku hanya bergeming. Kembali tersenyum samar mendengar perkataan bernada mengeluh dari laki-laki itu.Rasakan, Mas! Ini baru awal! Selanjutnya akan ada yang lebih mengejutkan dan menyakitkan lagi yang pasti akan kamu dan keluargamu terima! Buah dari apa yang kalian tanam padaku selama ini! Batinku.Ya, setiap orang pasti akan memetik apa yang dia tanam. Jika kebaikan yang ditanam maka kebaikan pula yang akan dipanen. Akan tetapi jika keburukan lah yang ditebar, pastinya keburukan juga yang akan dipetik nantinya. Seperti yang mereka lakukan padaku selama ini."Maaf, Mas. Tapi aku benar-benar nggak bisa bantu kamu. Aku sudah banyak pinjam ke Nina. Jadi nggak mungkin aku tambahi lagi." Aku beralasan."Lagian kamu punya istri seo
Bab 21POV Rina "Dasar menantu kurang ajar! Dibilangin mertua malah melawan!""Kalau kamu nggak punya tabungan ya wajar wong kamu nggak bisa ngelola uang pemberian suami dengan baik! Giliran sekarang Ibu susah, kamu juga susah!""Sudah! Kalau gitu kamu cari tempat utangan! Ibu nggak mau tahu! Pokoknya kamu harus tetap masak! Ibu mau makan!" sahut Ibu beruntun dengan mata melotot lebar.Aku menghembuskan napas mendengar perkataan Ibu mertua.Harus tetap masak? Pakai uangku sendiri? No! Aku tak sudi menggunakan uangku untuk mertua yang sama sekali tak pernah menghargaiku ini!"Bu .... Rina ... ada apa ribut-ribut?"Belum sempat aku menjawab perkataan ibu mertua, di depan pintu tampak sosok Mas Rama datang dengan wajah terlihat murung dan lelah.Namun, melihat putranya datang dengan wajah gelisah, ibu mertua justru tampak makin garang menatapku. Mungkin dianggapnya aku akan takut diadukan pada putranya itu."Ini si Rina, Ram! Disuruh belanja malah bilangnya nggak punya uang! Padahal sel
Bab 20POV Rina "Apa? Uang untuk beli sarapan pagi ini bukan dari Mas Rama? Terus dari siapa, Mbak? Jangan ngeles kamu! Kalau bukan dari Mas Rama terus dari siapa heh?" Memangnya Mbak bisa cari uang sendiri!" hardik Dewi dengan nada sinis dan meremehkan.Ingin rasanya aku menamparnya dengan bukti transfer dari pihak aplikasi ke rekening bank milik bapak yang kupegang, tapi aku tahan. Belum saatnya keluarga mertua mengetahui siapa aku sebenarnya saat ini.Aku pun diam saja. Masih ingin melihat kehancuran mereka lebih dulu sebelum aku jujur mengatakan semuanya dan mengambil tindakan serta keputusan kelak. Aku akan mengakhiri semua ini dengan elegan."Ditanya malah bengong! Dasar kakak ipar nggak ada gunanya! Suami sedang susah! Ibu mertua sedang sakit! Eh malah enak enakan sarapan pagi di rumah sendiri!""Cepat ke rumah Ibu sekarang juga, Mbak! Cucian piring dan baju udah numpuk! Makanan juga belum ada satu pun yang dimasak! Padahal Ibu butuh makan karena mau minum obat! Tapi Mbak ditu
Bab 19POV Rina "I-iya, Mas memang udah telat masuk kerja, tapi ... boleh ya sebentar saja Mas ikut sarapan pagi bersama kalian dulu? Nggak habis kan makanan sebanyak ini dimakan kalian berdua?" tanya Mas Rama dengan nada penuh harap saat melihatku dan Aldi tengah sarapan pagi di meja makan yang letaknya tepat berada di depan pintu kamar tidur.Aku menoleh lalu gegas menutup kembali tudung saji yang barusan kubuka.Sarapan pagi sama-sama? No! Setelah apa yang Mas Rama lakukan padaku dan anaknya sendiri lalu dia ingin ikut sarapan pagi bersama? Tidak! Aku nggak sudi! Masih jelas dalam ingatan saat laki-laki itu dengan begitu teganya merampas jatah bulanan yang tak seberapa yang dia berikan itu saat kemarin dia kecopetan di rumah makan.Tanpa memikirkan aku dan Aldi mau makan apa, dia dengan teganya berlalu begitu saja dari rumah ini. Lantas kenapa sekarang aku harus berbaik hati mengajaknya sarapan bersama meski Mas Rama terlihat begitu lemas dan kelaparan? Jujur ... aku tak sebaik it
Bab 18Pov RamaHari sudah hampir pukul delapan pagi saat aku terjaga dari tidur. Kepala terasa sakit akibat semalaman tak bisa tidur nyenyak. Sikap Rina yang tiba tiba berubah dan tak lagi patuh seperti dulu padaku membuatku resah dan gelisah hingga semalaman hanya bisa bolak balik kebingungan di atas ranjang. Mana sudah hampir dua minggu ini aku tak mendapat jatah malam baik dari Yuni maupun Rina, membuat pikiranku kacau balau.Ya, Yuni ternyata hanya mau uangku saja. Dan Rina? Entah kenapa sejak aku menikah lagi, istriku itu jadi berubah dingin dan acuh tak acuh seperti malam tadi.Ah iya, semalam dia juga mengatakan jika dia bertahan hanya karena ingin melihat bagaimana hidup dan nasibku setelah menikah lagi dengan Yuni.Dan ... jujur harus aku akui aku memang menderita sejak menikah lagi dengan wanita itu, wanita yang ternyata hanya menginginkan uang dan tenagaku saja. Tak mencintaiku sama sekali.Ya. Pantas saja, desas desus soal mantan suami Yuni yang meninggal dunia akibat kec
Bab 17Pov Rama"Akhirnya kamu pulang juga, Mas? Sudah satu minggu kamu nggak pulang! Kamu tahu nggak kalau aku butuh makan?" ucap Yuni dengan nada ketus saat akhirnya aku pulang ke rumahnya.Aku mencengkeram tangan kuat kuat mendengar perkataan Yuni itu lalu menatap istri keduaku itu dengan amarah yang saat ini hanya bisa kupendam di dalam hati saja. Tak mungkin berani mengeluarkannya meski rasanya ingin sekali.Ingatan kalau hal itu aku lakukan, bisa bisa nyawaku pindah ke alam lain karena Mas Anton tak akan rela adiknya dicela kai, membuatku terpaksa menjawab ucapan Yuni itu dengan amarah tertahan."Bukannya rumah makan buka terus, Yun? Terus apa salahnya kamu makan di rumah makan sendiri? Masa iya harus nunggu nafkah dari aku dulu baru bisa makan? Kamu kan tau mas capek habis pulang kerja, mana ibu juga sakit," jawabku dengan benak yang sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Yuni.Bisa bisanya punya rumah makan sendiri tapi masih mengeluh soal perutnya yang lapar. Benar b
Bab 16Pov Rama[Mas, kamu lupa jalan pulang? Kenapa kamu nggak pulang-pulang ke rumahku lagi? Sudah satu minggu ini, Mas! Kamu mau coba coba berbuat nggak adil?]Sedang aku mengganti perban yang membalut luka di lutut ibu akibat terjatuh ke aspal saat di serempet orang kemarin yang hingga kini masih jadi misteri bagi keluarga kami, sebab untuk lapor polisi aku juga tidak berani, pesan what-sapp dari Yuni masuk ke ponselku.Aku menghembuskan nafas pelan lalu mengetik balasan dengan hati gundah.[Kamu kan tau Ibu kecelakaan. Walau pun nggak parah, tapi kan butuh perawatan juga. Siapa lagi yang akan merawat ibu kalau bukan mas, karena Dewi dan Vita kuliah.] jawabku.Ya, untunglah luka ibu tidak parah. Hanya lecet dan gores di beberapa bagian tubuh saja dan sedikit terkilir di kaki, sehingga dokter tak sampai menyuruh untuk dirawat di rumah sakit melainkan boleh berobat jalan. Tapi kan tetap repot juga karena namanya juga merawat orang sakit, pasti ada saja perlunya.Masih untung boleh b