Tak kupedulikan dia yang menyediakan aku satu bungkus mie dan satu buah telur. Benar-benar sudah diperhitungkan olehnya. Aku sampai gigit jari. Apa dia dulu mahasiswi tercerdas sampai begitu detailnya menyiapkan nota tiga puluh ribu padaku.
Lama kelamaan aku bisa mati mendadak dibuatnya. Ting! Satu notifikasi pesan dari Fery.[Bro, jangan lupa kita ke lamaran Danu malam ini.] Aku bahkan sampai lupa jika ada undangan malam ini. Lumayan menghindari mie instan dan satu buah telur."Bang, aku mau keluar malam ini," ucapnya. Tak lupa dia meniup-niup jilbabnya. Benar-benar tidak ada feminimnya si Alya ini. Bahkan celana training tak pernah lepas dari tubuhnya. "Keluar saja, pakai izin segala.""Sudah kewajiban istri izin jika keluar, terima kasih sudah mengizinkan," sambungnya lagi sambil memasang wajah imut. Pen mual lihatnya. Dia terlihat berkemas menyiapkan diri. Sekarang aku yang bingung tidak ada makanan apa pun di rumah ini. Padahal sebelumnya cemilan selalu Alya siapkan setiap sore tanpa meminta uang sedikit pun dariku. Namun, semenjak aku minta nikah lagi, dia langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Wanita yang aneh memang si Alya ini. "Bang, aku berangkat, ya. Jan lupa mie instan dari sisa nafkah tiga puluh rebu direbus. Barangkali bisa kenyang Ampe pagi." Diiih, gayanya. Dia belum tau uang didompetku sampai tak bisa ditutup saking banyaknya. "Berangkat saja!" Aku sampai tak ada niat hanya sekedar menatapnya. Harusnya pakai bedak sama poles-poles dikit lah tu wajah. Ini sat set tanpa dandan sudah mau keluar. Siapa juga yang tertarik melihatnya.Dia pergi. Kutatap lagi mi instan di meja dapur. Ya ampun aku benar-benar lapar hingga merebus mie campur telur. Walau aku bingung bagaimana pasang selang gas. Sempat-sempatnya si Alya memutus gas itu hingga keringatku keluar untuk pasang selang gas ini. Mungkin karena kelebihan air, mie ini benar-benar tidak enak. Ini gara-gara si Alya wonder woman itu!****Tepat pukul delapan malam aku bersiap. Perutku yang keroncong memaksaku harus segera ke kondangan. Dapur yang semula bersih itu jadi berantakan karena ulahku yang masak mie rebus kelebihan air. Biarlah si Alya yang bersihkan tu dapur. Ternyata sulit juga jadi wanita apalagi si Alya itu wanita serba bisa.Akhirnya sampai juga ke acaranya Danu. Tamu begitu banyak yang hadir. "Bro, mana istrimu?" Tanya Fery yang disamping istrinya begitu manis. Terlihat sekali jika dia pandai merawat diri."Dia anti ikut acara begini," jawabku sekenanya. Padahal aku tak tahu si Alya kemana rimbanya."Mas Dave," panggil Maharani mantanku dulu yang membuatku tak berkedip. Dandanan glamour seperti artis itu terus tersenyum disamping suaminya yang kutahu bekerja di BUMN juga."Rani ....""Istrinya mana?" "Dia tidak bisa hadir," jawabku lagi. Entah berapa banyak lagi orang yang akan bertanya dengan si Alya. Melihat Maharani aku semakin mati kutu, dia dulu kuputuskan begitu saja karena bukan termasuk seleraku."Padahal aku penasaran seperti apa istri manager bank yang begitu totalitas menjaga penampilan," sindirnya padaku. Aku semakin tak berkutik."Aku pamit dulu," sambungnya lagi.Acara segera dimulai tamu undangan berkumpul. Untung ada Fery disampingku. Istrinya minta izin berkumpul dengan teman sesama sosialitanya. Hingga langkah wanita yang tak begitu asing memecah suasana pesta malam ini. Napasku sampai tercekat melihat keanggunan wanita itu. Dengan polesan minimalis yang digunakannya membuat semua orang menatapnya."Riasannya natural menambah kecantikan yang ada pada wanita itu," ucap istri Fery yang tiba-tiba disamping kami."Aku rasa dia seperti putri pangeran versi now.""Iya betul seperti riasan istri pangeran di inggris. Riasannya sederhana, tapi memukau."Semua orang sibuk membahas wanita yang membuatku tak bisa napas."Dave bukannya itu istrimu!" teriak Fery.Aku sampai tidak percaya hingga memanggil namanya."Alya ...." Dia menoleh sambil menyunggingkan senyum.Aku diam tanpa sepatah kata pun. Lama-lama aku bisa mati mendadak dibuat oleh si Alya.Hahaha ... kapok lo Dave!Namaku Alya putri lulusan tekhnik sipil. Hidup lebih banyak di panti asuhan. Sejak umur 13 tahun ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan tunggal. Saat itu mama bertengkar hebat dengan papa. Pekerjaan mama sebagai model tentu membuatnya selalu tampil menarik di depan semua orang hingga mama kedapatan selingkuh oleh papa. Entah bagaimana ceritanya kecelakaan itu terjadi. Sejak saat itu aku tidak tertarik dengan yang namanya make up. Rasa trauma menderaku. Umur tiga belas tahun aku sudah paham tentang banyak rasa seperti kerisauan papa yang melihat istrinya selalu berpenampilam menor dan glamour setiap harinya. Mama dan papa bukan orang kalangan bawah. Harta yang mereka titipkan sangat cukup untuk hidupku sebagai anak tunggal. Namun, aku memilih untuk tinggal di panti asuhan dengan jarak tidak jauh dari rumahku. Papa yang sibuk, dan mama yang tak kalah sibuknya membuatku lebih sering bermain disana. Entah mengapa aku lebih dekat dengan ibu panti daripada mama sendiri."Alya ini wasia
Kembali kupandang dari jauh Alya yang begitu menawan malam ini. Apa dia punya kembaran? Kenapa dia hanya tersenyum tanpa menyapaku?"Kurasa ente perlu melihat secara detail istri yang baru dinikahi seminggu ini, bro.""Lihat dia begitu mempesona dihadapan pria lain." Si Fery begitu cerewet walau ada benarnya.Alya sama sekali tidak melirikku apalagi menyapaku, dia lebih fokus menyapa teman-temannya. Dia sudah seperti tamu kenegeraan saja. Gayanya sungguh beda dari biasanya. Apa memang aku yang salah selama ini tidak memperhatikannya lebih detail?"Gigit jari, bro," ledek Fery. Ini kenapa si Fery sama sekali tidak mendukungku, dia lebih tertarik dengan si Alya itu. Duuh, kemana gaya totalitasku selama ini. Aku bahkan dibuat mati kutu oleh Alya."Mas kenapa lirik gadis itu terus?" Maharani tiba-tiba tepat berada di depanku. Kenapa juga dia yang lebih tertarik dengan Alya."Aku rasa jika wanita yang kau nikahi seperti itu, pasti pasangan yang sangat serasi." Kembali Maharani menyerangku
Acara selesai aku langsung mencari Alya untuk kugandeng pulang. Namun, nihil dia hilang entah kemana. Sepintas kulihat yang mirip dengan dia naik ke mobil keluaran terbaru. Ah, mungkin hanya prasangka saja melihat Alya naik ke dalam mobil yang pernah kutaksir. Tak mungkin dia sekaya itu. Atau dia pulang dengan si Ilham. Mungkin dikira aku cemburu kali padanya.Semua kususuri, tapi Alya tetap tidak ada di tempat. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri. Daripada muter tidak jelas di acara orang. Hebat sekali si Alya sama sekali tidak peduli denganku.Sampai rumah, dapur masih berantakan itu artinya Alya belum pulang. Apa benar aku tadi salah lihat jika Alya yang naik mobil. Namun, tak berselang lama ada mobil terparkir, ternyata benar Alya diantar oleh orang yang bernama Ilham itu. Benar-benar menjengkelkan! Oh, mungkin dia ingin membuatku cemburu? Jangan harap.Dia masuk sambil menenteng sandal hak tingginya. Ckck ... lelah mungkin kakinya jalan."Maaf, bang. Aku pulang sama mas
Aku langsung terdiam menikmati sarapan di depannya. Setelah selesai, dia menitipkan kotak bekal untuk kubawa ke kantor."Ini bekalnya, bang. Kalau tidak dimakan kasih OB kantor saja," ucapnya enteng."Jangan lupa bawa kotak bekalnya pulang." Astagfirullah, ini aku yang pelit atau dia sih. Kotak bekal diharuskan bawa pulang."Jangan sampai kotak bekalnya hilang, ini kotak bekal limited edition." Diih, kotak bekal apa, sih, yang mahal. Akal-akalannya si Alya ini mah."Iya, cerewet!" ketusku."Biar aku tidak dianggap korupsi oleh manager bank, makanya kusiapkan bekal. Untuk nota belanja tiga puluh hari kedepan aku akan buat rinciannya," jawabnya lagi.Lebih baik aku segera ke kantor. Makin mumet aku di rumah olehnya. Seperti biasa tampilannya kembali
"Aku akan membawa Deswita ke rumah," ucapnya begitu enteng. Di dunia ini ada yang memiliki ego yang tinggi termasuk Dave Abimanyu. Kadang egonya yang tinggi membuat dia selalu memiliki alasan agar orang di dekatnya sedikit terluka.Aku yang tidak pernah merasakan cinta dan dekat dengan laki-laki menganggap hal itu justru lucu. Lebih tepatnya sifat ke kanak-kanakan. Kita lihat saja sampai kapan dia bertahan dengan egois yang dimiliki.Cukup diam saja memiliki laki-laki yang unik dan pelit ini. Sekelas manager bank begitu sangat perhitungan. Itu mungkin yang membuatnya cepat naik jabatan.Kadang keadaan membuat orang berubah. Aku tipe orang yang cuek, jika orang lain tidak suka tak perlu aku paksa untuk menyukaiku. Setiap orang berhak atas kenyamanan hidupnya dan aku tipe orang yang jika orang tidak suka aku tinggalkan. Kita perlu hidup aman dari orang-orang
Ibu dengan melotot mengintrogasi kami. Tangan Deswita terus gemetar, entah apa yang dibisikkan oleh Alya."Hei, Dave! Sepertinya kamu harus segera dikeluarkan dari daftar keluarga dan semua wasiat. Bisa-bisanya baru nikah satu Minggu kamu mau nikah lagi!" Ibu sudah seperti polisi dan kami tahanannya."Eh, kamu juga gatel sekali jadi wanita. Aku tahu tongkronganmu sering ke club malam. Iya 'kan?!"Deswita terus menunduk. Dia sama sekali tak berkutik, apalagi memandang Alya yang ada di sampingnya. Hebat sekali si Alya tanpa ada rasa empati dia santai minum segelas kopi dan cemilan yang dibuatnya. Bahkan bajunya terlihat rapi dan wangi padahal tadi pagi dia kembali ke asalnya menggunakan training dan jilbab instan."Ma ...af Tante, pak Dave memaksaku kesini. Biarkan aku pulang, tante." Deswita begitu gelagapan. Eh, maksdunya? Buk
Alya membawa bekal lalu duduk di sofa ruanganku. Kulihat Fery mengusir karyawan yang mengintip. Mati aku digosipin. Kenapa juga Deswita bisa nekat seperti tadi. Geli dan ngeri aku melihatnya."Lain kali kalau kencan jangan di ruangan kerja, ada banyak pasang mata yang harus kita jaga. Aku rasa seorang Dave Abimanyu telah berjuang mempertahankan posisi dan jabatannya untuk sampai sejauh ini." Dia dengan santai menasehatiku sambil membukakan bekal."Aku tidak ingin dicap sebagai istri yang korupsi makanya aku bawakan bekal," sambungnya lagi. Aku bahkan sampai dibuat terhipnotis olehnya."Makanlah ... biar kotak bekalnya aku bawa pulang, sekalian kotak bekal kemarin aku bawa juga."Setelah membukakan bekal dia duduk manis, selama nikah aku tidak pernah melihatnya bermain ponsel. Apa dia juga tidak punya ponsel? Kenapa semak
Alya melepas pelukanku. Sekarang baru terasa malunya, apa aku terlalu baper dengan kejadian hari ini hingga aku tak peduli dengan harga diriku. Alya memandangku dengan tatapan heran. Bukankah tadi adegan yang paling romantis antara suami istri."Sepertinya Abang perlu dirukiyah, aneh aku rasa." Dia menggelitik heran melihatku. Astaghfirullah itu murni Alya perasaanku padamu, masak tidak bisa dibedakan."Aku ke kamar dulu, Abang lanjutkan saja makannya. O, ya Jan lupa hapus dulu air matanya. Geli aku lihat," sambungnya. Duuh, mau ditaruh dimana wajahku ini, bisa-bisanya si Alya meledekku. Malunya minta ampun.Aku membasuh muka lalu secepat kilat ke kamar melihat Alya, entah mengapa aku takut dia pergi."Sebelum pergi temani aku makan dulu.""Aku sudah makan, bang. Sebelum kesini.""Temani aku. No debat!" Alya menghela nafas lebih dalam. Aduh, mengapa aku jadi begini, apa aku terlihat memalukan. Setelah mencari barang yang akan dibawa ke hotel, Alya menemaniku makan."Sendokin aku maka
Alya begitu sibuk di dapur menyiapkan si kecil makanan. Kadang dia menggendongnya sambil menggoreng. Bukan tak mau cari asisten rumah tangga, Alya ingin memberikan yang terbaik untuk laki-laki kecil kami yang bernama Althaf itu. "Duduk di sini, dulu, sayang." Alya begitu sibuk, kadang dia suka lupa makan. Itu yang membuatku tak tega melihatnya. "Sudah makan?" tanyaku. Dia menggeleng pelan. Aku langsung mengambiil Althaf, kesehatan Alya yang paling utama. Seringkali aku menegurnya agar tidak lupa untuk makan. "Jangan tidak makan, tubuh kita juga butuh nutrisi." Selama ada Althaf, Alya memang begitu sibuk. Tak jarang dia bisa hanya sekedar makan. Bayi yang beranjak semakin besar itu terlihat semakin sehat diasuh Alya. Semakin hari dia semakin menggemaskan. Kami dibuat semakin menyanyanginya. "Dia sudah berceloteh, Bang." "Alhamdulillah, apakah melelahkan, sayang?" tanyaku. Aku begitu menyanyangi Alya, hingga khawatir dia sakit atau tidak makan. Alya fokus menjaga kami, dia memili
Aku selalu yakin jika takdir itu selalu pada orang yang tepat. Selalu pada orang yang dipilih. Semesta seperti turut mendukung karena Tuhan selalu menggariskan pada orang yang tepat menurut-Nya. Iham langsung memberikan hasil tes DNA nya. Respon Alya seperti biasa. Dia tipe orang yang tidak begitu euforia terhadap sesuatu. Beda jauh denganku yang suka heboh sendiri. Apalagi kali ini takdirku dengannya tetap bersatu. "Kenapa bisa sekandung?" tanyaku penasaran."Aku dan Alya memiliki ayah yang sama." Alya tetap tenang tak ada sama sekali guratan terkejut di wajahnya."Ibunya Alya adalah cinta pertama ayahku."Lagi, aku memandang Alya yang nampak tenang. Dia sama sekali tak terkejut mendengar penuturan Ilham.“Al, kenapa kamu bisa setenang itu?”tanyaku lagi.“Karena waktu tes DNA aku dan papanya Ilham ke rumah sakit bersamaan," jawabnya santai. Astgafirullah, kembali aku elus dada. Ilham juga Nampak terkejut. Bisa-bisanya dia lebih tahu duluan.“Siapa yang mengarahkanmu untuk tes DNA
POV ILHAMWanita idolaku itu selalu berdiam diri di sudut sekolah, entah bagaimana ceritanya dia masuk SMK yang sama denganku, aku dan dia mengambil jurusan yang berbeda, aku mengambil Desain. Sementara, dia mengambil teknik. Semua laki-laki di sekolaku memujinya, meski bar-bar dia tetap santun sesuai kodratnya sebagai perempuan. Itu yang membuat satu sekolah sungkan dengannya. Sampai menjelang kuliah tak ada laki-laki yang dekat dengannya. Aku menyukainya karena dia apa adanya, walau tak pernah kulihat dia dandan sedikit pun. Siapa lagi kalau bukan Alya Putri.Berkali-kali kudekat dengannya selalu ditolak entah apa salahku padanya. Segala hal kulakukan hanya demi dekat dengannya selalu dia buang muka.“Jangan pernah dekat denganku Ilham!” aku ditolak berkali-kali tanpa ampun sedikit pun.Apa aku begitu memuakkan baginya hingga dia sama sekali tidak melirikku. Aku begitu insecure dengannya.“Bagaimana, Bro. Apa dia bisa ditaklukkan?” tanya Fondy sahabatku. Hanya dia yang tahu bagaim
Cukup lama aku memeluknya, merasakan cinta yang terus bersemi dan bermekar di hati ini. Cinta ini terus tumbuh tanpa bisa kutahan. "Bang, kapan selesainya kalau dipeluk terus?" tanya Alya menyadarkanku. Duh, sekarang terasa malunya. Aku membenci diriku yang mengatakan bahwa dia layak bahagia dengan yang lainnya, padahal aku sendiri begitu terluka. Lidah memang tak bertulang, gampang berucap sulit untuk dilakukan."Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Alya hanya membalas dengan senyuman. Dengan telaten dia menyiapkan sarapan untukku. Makanan yang disajikan simpel, tapi rasanya begitu enak di lidah. Namun, entah mengapa aku tak tertarik kali ini. Pikiranku isinya hanya Ilham dan Alya. Apa Ilham akan tetap berjuang atau sebaliknya. Aku membenci segala prasangka ini. "Makan yang banyak, ibu sedang sakit jangan sampai kita lemah," jelasnya.Benar, harusnya kata-kata itu diucapkan oleh suami. Namun, ini justru sebaliknya. Aku akui, aku memang lemah. "Terima kasih, Al." Aku menyan
Aku selalu berharap ada ruang untuk kita bisa bersama, merangkai rindu yang pernah hilang. Merangkai banyak cerita yang pernah sulit kita lalui, meski aku sadar diri untuk tidak berharap lebih dari dirimu. ~Dave_Abimanyu****"Kenapa senyum-senyum gitu, Bang?" tanya Alya."Aku bahagia, Al. Cinta yang kurasakan berbalas." Dia tersenyum, andai aku serakah mungkin aku langsung memeluknya. Namun, aku sadar diri bahwa luka yang kutoreh tidak sedikit. Harus diobati perlahan-lahan. "Ayo kita masuk, Bang. Angin malam tidak terlalu baik," ajak Alya. Aku hanya membalas dengan anggukan meski rasa canggung ini jangan ditanya.Aku memilih tidur di luar dengan pak Sahmat sementara Alya bersama bik Inah ada di dalam."Kenapa senyum-senyum gitu mas Dave. Ciyee, ada yang CLBK," kata pak Sahmat meledekku. Ada-ada aja pak Sahmat."Tipis harapan pak Mat," balasku. Meski begitu aku bahagia karena kami saling mencintai. Rasanya seperti jatuh cinta lagi seperti anak muda."Harapan itu selalu ada selagi ki
"Jangan siksa dirimu, Nak. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan pernikahan dengan Dave, ibu terima apa pun keputusanmu," balas ibu."Iya, Bu. Istirahatlah," balas Alya sopan. Tidak mengiyakan atau menolak ucapan ibu, dia hanya membalas dengan senyuman.Aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Sejauh apa pun aku melangkah dan kembali, tidak ada yang bisa memaksa keadaan. Begitu pun dengan Alya, dia berhak bahagia dengan siapa pun yang dia mau.Aku mundur teratur membiarkan ibu dengan Alya. Aku memang anak yang tidak berguna membiarkan ibu lebih merasa nyaman dengan Alya, dibandingkan dengan aku, anaknya.Ibu bahkan lebih fokus dengan Alya tanpa melihatku di sampingnya. Tangan Alya terus dipegang. Orang akan memperlakukanmu seperti caramu memperlakukannya. Ibu lebih nyaman dengan Alya, mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Terbuat dari apa hatimu yang begitu tenang, setenang air. _Dave"Tenanglah, do'a anak yang soleh itu sampai ke langit ketujuh," ucap Alya menasehatiku. Dia begitu tenang, sementara aku jangan ditanya debaran di dada ini."Ibu sakit sejak enam bulan yang lalu, beberapa kali ibu mengeluhkan kepalanya yang sakit." Alya menceritakanku dengan suara yang begitu tenang."Setelah diperiksa beliau hipertensi dan gula darahnya juga tinggi.""Tapi mengapa kalian tidak mengabariku?""Ibu yang minta, sebagian dari pikiran orang tua selalu tentang kenyamanan anaknya, meskipun mengabaikan diri sendiri. Ibu kulihat seperti itu, beda dari orang tua yang lainnya yang kadang egoisnya lebih tinggi, " sambung Alya. Seperti pukulan telak bagiku yang menelantarkan ibu."Sifat
Kamu tahu hal yang membuatmu dijauhi orang lain adalah kamu tidak bisa mengontrol ucapanmu, membiarkan setiap bait yang keluar dari mulutmu adalah bahwa apa yang kamu ucapkan semuanya benar, tanpa kamu sadari bahwa itu bisa melukai orang lain. ~Alya_Putri ***"Abang kira mudah menjadi aku?" Alya mulai membuka suaranya."Abang bahkan tahu prinsipku, jika harga diriku terluka dan ideologi tidak sama denganmu, maka jangan salahkan aku jika aku pergi meninggalkanmu." "Abang kira mudah begitu saja bagiku memaafkan, ha? Kurasa orang yang paling egois di sini itu adalah abang." "Menghilang, tapi memberi harapan." Lagi, dia menekan suaranya membuatku semakin bersalah.Kubiarkan dia mengeluarkan segala yang ada di hatinya, mungkin itu membuatnya lebih tenang. Cukup lama kami saling menatap, meski titik-titik air itu terus turun tanpa diminta. Aku bahkan menghapus air yang terus turun dari matanya. "Maafkan aku, Al.""Aku benci, Abang. Sangat benci!" teriaknya sambil menangis dan memukulku.
Pulang dari masjid ibu sudah bangun, wajahnya lebih segar mungkin efek obat yang diminum."Ibu ...." Aku mencium tangannya berkali-kali. Kali ini lebih terasa karena ibu lebih terlihat segar."Dave ...." Ibu terisak memelukku."Maafkan Dave, Bu." Ibu menggeleng. Kami menangis tersedu-sedu."Yang penting kamu sehat, Nak," ucap Ibu memelukku dengan erat."Alya mana? Apa Alya belum datang?" tanyanya. Maksud ibu?"Iya, Bu. Kan sudah ada Dave," jawabku. Namun, ibu menggeleng."Ibu maunya ada Alya di sini," balas ibu.Sekarang aku yang bingung mau jawab apa."Nanti Dave panggil Alya, ya," jawabku. Kenapa ibu sangat manja pada Alya."Hanya dia yang paham takaran makan minum ibu," ucap ibu.Aku semakin bingung dengan kondisi ibu. Apa selama ini Alya selalu dat