Alya membawa bekal lalu duduk di sofa ruanganku. Kulihat Fery mengusir karyawan yang mengintip. Mati aku digosipin. Kenapa juga Deswita bisa nekat seperti tadi. Geli dan ngeri aku melihatnya."Lain kali kalau kencan jangan di ruangan kerja, ada banyak pasang mata yang harus kita jaga. Aku rasa seorang Dave Abimanyu telah berjuang mempertahankan posisi dan jabatannya untuk sampai sejauh ini." Dia dengan santai menasehatiku sambil membukakan bekal."Aku tidak ingin dicap sebagai istri yang korupsi makanya aku bawakan bekal," sambungnya lagi. Aku bahkan sampai dibuat terhipnotis olehnya."Makanlah ... biar kotak bekalnya aku bawa pulang, sekalian kotak bekal kemarin aku bawa juga."Setelah membukakan bekal dia duduk manis, selama nikah aku tidak pernah melihatnya bermain ponsel. Apa dia juga tidak punya ponsel? Kenapa semak
Alya melepas pelukanku. Sekarang baru terasa malunya, apa aku terlalu baper dengan kejadian hari ini hingga aku tak peduli dengan harga diriku. Alya memandangku dengan tatapan heran. Bukankah tadi adegan yang paling romantis antara suami istri."Sepertinya Abang perlu dirukiyah, aneh aku rasa." Dia menggelitik heran melihatku. Astaghfirullah itu murni Alya perasaanku padamu, masak tidak bisa dibedakan."Aku ke kamar dulu, Abang lanjutkan saja makannya. O, ya Jan lupa hapus dulu air matanya. Geli aku lihat," sambungnya. Duuh, mau ditaruh dimana wajahku ini, bisa-bisanya si Alya meledekku. Malunya minta ampun.Aku membasuh muka lalu secepat kilat ke kamar melihat Alya, entah mengapa aku takut dia pergi."Sebelum pergi temani aku makan dulu.""Aku sudah makan, bang. Sebelum kesini.""Temani aku. No debat!" Alya menghela nafas lebih dalam. Aduh, mengapa aku jadi begini, apa aku terlihat memalukan. Setelah mencari barang yang akan dibawa ke hotel, Alya menemaniku makan."Sendokin aku maka
Pak haji sudah siap ingin merukiyahku. Mati aku, bagaimana caranya menjelaskan bahwa itu hanya akal-akalan Alya saja."Maaf pak haji, sepertinya pak haji salah alamat, disini tidak ada namanya pak Dave." Dia melihatku dari atas sampai bawah."Ini memang anda pak Dave, bahkan foto baju yang pak Dave pakai dikirim oleh istri pak Dave." Astagfirullah Alya, bisa-bisanya dia memotretku."Aku kembaran pak Dave, oke? Tak ada paksaan bagi yang tidak ingin dirukiyah 'kan, pak haji.""Tapi ...."Secepat kilat aku menutup pintu agar pak haji pergi. Astaghfirullah ada-ada saja Alya ini, masak dia memanggil perukiyah ke rumahku. Alya bahkan mengirim foto dengan pakaian yang kugunakan.Malam ini aku tidur sendiri dengan banyak rasa di hatiku. Jengkel, mara
"Mas Dave kenapa?" tanya Nirani heran yang melihatku melepas pelukannya dengan paksa."Istriku melihatmu memelukku.""Mas Dave sudah menikah?""Iya, baru sepuluh hari." Nirani menutup mulut tak percaya."Ini tidak mungkin, bukannya Mas Dave sangat mencintaiku?""Itu, dulu, Nirani. Sekarang aku mulai belajar menerima istriku." Aku melepas tangan Nirani lalu berlari mengejar Alya yang entah kemana rimbanya.Mengapa rasanya dadaku begitu sakit. Apa pernikahanku akan kandas? Alya tidak mungkin akan mempertahankanku. Apalagi ini yang sudah kedua kali aku menyakitinya.Meliha
"Aku telpon mas berapa kali, tapi tidak diangkat." Luar biasa sekali Nirani, ternyata dia lebih berani dari Deswita."Aku Nirani, mbak." Dia mengulurkan tangan ke Alya."Saya Alya. Maaf tangan saya bekas basuh kepiting agak amis," jawabnya santai. Aduh mengapa pula ini jantung terasa copot. Namun, si Nirani mentalnya sangat berani."Oh, gak masalah, mbak." Nirani berubah seratus delapan puluh derajat. Entah apa dia datang ke rumah, padahal aku sudah katakan padanya punya istri."Bang, ajak tamunya, aku siapkan minuman terlebih dahulu." Alya menuju ke arah dapur lalu berhenti di dekatku dan berbisik, "Abang cocok dengannya, semoga aku tidak khilaf menambah minumannya dengan sianida." Astaghfirullah Alya. Apa yang akan dilakukan Alya terha
"Nirani kamu membawa mobil?" tanyaku."Iya, mas.""Kalau tidak biar pulang dengan dokter ini saja.""Sorry, aku tidak bisa. Aku anti gonceng wanita sebelum nikah," jawabnya. Diiih, sok kecakepan sekali ini dokter."Kecuali kalau sama Alya, dia adalah cinta tak berbalasku," bisiknya padaku.Hebat sekali si Alya membuat banyak laki-laki mengejarnya."Aku permisi dulu, ya. Alya ... aku pamit."
Nirani dan semua yang ada di ruangan ini menatapku. Harusnya aku memang sadar bahwa pernikahan bukan mainan. Apalagi terhitung pernikahan ini masih sepuluh hari."Pulanglah Nirani ...." Nada suaraku memelas, ini demi kebaikan Nirani jangan sampai dia masuk rumah sakit dijambak oleh ibu.Kali ini Nirani menyerah mengikuti apa yang kuucapkan, dia tidak sekeras tadi. Baru kutahu motif Nirani ini hanya ingin harta saja. Dia bahkan sudah menikah."Tunggu! Ibu belum puas ingin menjambaknya!" teriak ibu."Sudahlah bu, jujur Dave juga bosan. Nirani pulanglah, kedepannya kuminta kamu jangan pernah mengganggu pernikahanku." Aku masuk kamar meninggalkan mereka semua. Aku seperti terjebak dengan perasaanku sendiri. Takut justru Alya yang pergi dan menggugat aku ke pengadilan.Nirani t
Kami berangkat dalam keadaan diam. Alya mengikutiku untuk duduk di depan bersamaku. Suasana yang hening membuat perjalanan ini benar-benar horor. Apalagi acara tahunan, acara yang tidak kusukai karena tak sedikit sikut menyikut mengingat disini aku yang paling muda. Tak sedikit dari mereka yang tidak terima aku jadi manager bank cabang disini."Tadi bicarakan apa sama ibu?" tanyaku memberanikan diri memulai percakapan dengannya."Biasa, bang.""Apa kamu akan menggugatku Alya.""Jika itu yang terbaik, bang. Kita tidak bisa memaksa hati siapa pun termasuk hati suami sendiri.""Bolehkah aku minta kita bertahan dalam pernikahan ini. Aku sadar aku sudah keterlaluan.""Boleh asal tanpa syarat. Tapi kalau syarat abang aku harus dandan tiap hari sepertinya aku t
Alya begitu sibuk di dapur menyiapkan si kecil makanan. Kadang dia menggendongnya sambil menggoreng. Bukan tak mau cari asisten rumah tangga, Alya ingin memberikan yang terbaik untuk laki-laki kecil kami yang bernama Althaf itu. "Duduk di sini, dulu, sayang." Alya begitu sibuk, kadang dia suka lupa makan. Itu yang membuatku tak tega melihatnya. "Sudah makan?" tanyaku. Dia menggeleng pelan. Aku langsung mengambiil Althaf, kesehatan Alya yang paling utama. Seringkali aku menegurnya agar tidak lupa untuk makan. "Jangan tidak makan, tubuh kita juga butuh nutrisi." Selama ada Althaf, Alya memang begitu sibuk. Tak jarang dia bisa hanya sekedar makan. Bayi yang beranjak semakin besar itu terlihat semakin sehat diasuh Alya. Semakin hari dia semakin menggemaskan. Kami dibuat semakin menyanyanginya. "Dia sudah berceloteh, Bang." "Alhamdulillah, apakah melelahkan, sayang?" tanyaku. Aku begitu menyanyangi Alya, hingga khawatir dia sakit atau tidak makan. Alya fokus menjaga kami, dia memili
Aku selalu yakin jika takdir itu selalu pada orang yang tepat. Selalu pada orang yang dipilih. Semesta seperti turut mendukung karena Tuhan selalu menggariskan pada orang yang tepat menurut-Nya. Iham langsung memberikan hasil tes DNA nya. Respon Alya seperti biasa. Dia tipe orang yang tidak begitu euforia terhadap sesuatu. Beda jauh denganku yang suka heboh sendiri. Apalagi kali ini takdirku dengannya tetap bersatu. "Kenapa bisa sekandung?" tanyaku penasaran."Aku dan Alya memiliki ayah yang sama." Alya tetap tenang tak ada sama sekali guratan terkejut di wajahnya."Ibunya Alya adalah cinta pertama ayahku."Lagi, aku memandang Alya yang nampak tenang. Dia sama sekali tak terkejut mendengar penuturan Ilham.“Al, kenapa kamu bisa setenang itu?”tanyaku lagi.“Karena waktu tes DNA aku dan papanya Ilham ke rumah sakit bersamaan," jawabnya santai. Astgafirullah, kembali aku elus dada. Ilham juga Nampak terkejut. Bisa-bisanya dia lebih tahu duluan.“Siapa yang mengarahkanmu untuk tes DNA
POV ILHAMWanita idolaku itu selalu berdiam diri di sudut sekolah, entah bagaimana ceritanya dia masuk SMK yang sama denganku, aku dan dia mengambil jurusan yang berbeda, aku mengambil Desain. Sementara, dia mengambil teknik. Semua laki-laki di sekolaku memujinya, meski bar-bar dia tetap santun sesuai kodratnya sebagai perempuan. Itu yang membuat satu sekolah sungkan dengannya. Sampai menjelang kuliah tak ada laki-laki yang dekat dengannya. Aku menyukainya karena dia apa adanya, walau tak pernah kulihat dia dandan sedikit pun. Siapa lagi kalau bukan Alya Putri.Berkali-kali kudekat dengannya selalu ditolak entah apa salahku padanya. Segala hal kulakukan hanya demi dekat dengannya selalu dia buang muka.“Jangan pernah dekat denganku Ilham!” aku ditolak berkali-kali tanpa ampun sedikit pun.Apa aku begitu memuakkan baginya hingga dia sama sekali tidak melirikku. Aku begitu insecure dengannya.“Bagaimana, Bro. Apa dia bisa ditaklukkan?” tanya Fondy sahabatku. Hanya dia yang tahu bagaim
Cukup lama aku memeluknya, merasakan cinta yang terus bersemi dan bermekar di hati ini. Cinta ini terus tumbuh tanpa bisa kutahan. "Bang, kapan selesainya kalau dipeluk terus?" tanya Alya menyadarkanku. Duh, sekarang terasa malunya. Aku membenci diriku yang mengatakan bahwa dia layak bahagia dengan yang lainnya, padahal aku sendiri begitu terluka. Lidah memang tak bertulang, gampang berucap sulit untuk dilakukan."Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku.Alya hanya membalas dengan senyuman. Dengan telaten dia menyiapkan sarapan untukku. Makanan yang disajikan simpel, tapi rasanya begitu enak di lidah. Namun, entah mengapa aku tak tertarik kali ini. Pikiranku isinya hanya Ilham dan Alya. Apa Ilham akan tetap berjuang atau sebaliknya. Aku membenci segala prasangka ini. "Makan yang banyak, ibu sedang sakit jangan sampai kita lemah," jelasnya.Benar, harusnya kata-kata itu diucapkan oleh suami. Namun, ini justru sebaliknya. Aku akui, aku memang lemah. "Terima kasih, Al." Aku menyan
Aku selalu berharap ada ruang untuk kita bisa bersama, merangkai rindu yang pernah hilang. Merangkai banyak cerita yang pernah sulit kita lalui, meski aku sadar diri untuk tidak berharap lebih dari dirimu. ~Dave_Abimanyu****"Kenapa senyum-senyum gitu, Bang?" tanya Alya."Aku bahagia, Al. Cinta yang kurasakan berbalas." Dia tersenyum, andai aku serakah mungkin aku langsung memeluknya. Namun, aku sadar diri bahwa luka yang kutoreh tidak sedikit. Harus diobati perlahan-lahan. "Ayo kita masuk, Bang. Angin malam tidak terlalu baik," ajak Alya. Aku hanya membalas dengan anggukan meski rasa canggung ini jangan ditanya.Aku memilih tidur di luar dengan pak Sahmat sementara Alya bersama bik Inah ada di dalam."Kenapa senyum-senyum gitu mas Dave. Ciyee, ada yang CLBK," kata pak Sahmat meledekku. Ada-ada aja pak Sahmat."Tipis harapan pak Mat," balasku. Meski begitu aku bahagia karena kami saling mencintai. Rasanya seperti jatuh cinta lagi seperti anak muda."Harapan itu selalu ada selagi ki
"Jangan siksa dirimu, Nak. Jika kamu tidak sanggup melanjutkan pernikahan dengan Dave, ibu terima apa pun keputusanmu," balas ibu."Iya, Bu. Istirahatlah," balas Alya sopan. Tidak mengiyakan atau menolak ucapan ibu, dia hanya membalas dengan senyuman.Aku benar-benar merasa tidak percaya diri. Sejauh apa pun aku melangkah dan kembali, tidak ada yang bisa memaksa keadaan. Begitu pun dengan Alya, dia berhak bahagia dengan siapa pun yang dia mau.Aku mundur teratur membiarkan ibu dengan Alya. Aku memang anak yang tidak berguna membiarkan ibu lebih merasa nyaman dengan Alya, dibandingkan dengan aku, anaknya.Ibu bahkan lebih fokus dengan Alya tanpa melihatku di sampingnya. Tangan Alya terus dipegang. Orang akan memperlakukanmu seperti caramu memperlakukannya. Ibu lebih nyaman dengan Alya, mengajaknya bicara dari hati ke hati.
Terbuat dari apa hatimu yang begitu tenang, setenang air. _Dave"Tenanglah, do'a anak yang soleh itu sampai ke langit ketujuh," ucap Alya menasehatiku. Dia begitu tenang, sementara aku jangan ditanya debaran di dada ini."Ibu sakit sejak enam bulan yang lalu, beberapa kali ibu mengeluhkan kepalanya yang sakit." Alya menceritakanku dengan suara yang begitu tenang."Setelah diperiksa beliau hipertensi dan gula darahnya juga tinggi.""Tapi mengapa kalian tidak mengabariku?""Ibu yang minta, sebagian dari pikiran orang tua selalu tentang kenyamanan anaknya, meskipun mengabaikan diri sendiri. Ibu kulihat seperti itu, beda dari orang tua yang lainnya yang kadang egoisnya lebih tinggi, " sambung Alya. Seperti pukulan telak bagiku yang menelantarkan ibu."Sifat
Kamu tahu hal yang membuatmu dijauhi orang lain adalah kamu tidak bisa mengontrol ucapanmu, membiarkan setiap bait yang keluar dari mulutmu adalah bahwa apa yang kamu ucapkan semuanya benar, tanpa kamu sadari bahwa itu bisa melukai orang lain. ~Alya_Putri ***"Abang kira mudah menjadi aku?" Alya mulai membuka suaranya."Abang bahkan tahu prinsipku, jika harga diriku terluka dan ideologi tidak sama denganmu, maka jangan salahkan aku jika aku pergi meninggalkanmu." "Abang kira mudah begitu saja bagiku memaafkan, ha? Kurasa orang yang paling egois di sini itu adalah abang." "Menghilang, tapi memberi harapan." Lagi, dia menekan suaranya membuatku semakin bersalah.Kubiarkan dia mengeluarkan segala yang ada di hatinya, mungkin itu membuatnya lebih tenang. Cukup lama kami saling menatap, meski titik-titik air itu terus turun tanpa diminta. Aku bahkan menghapus air yang terus turun dari matanya. "Maafkan aku, Al.""Aku benci, Abang. Sangat benci!" teriaknya sambil menangis dan memukulku.
Pulang dari masjid ibu sudah bangun, wajahnya lebih segar mungkin efek obat yang diminum."Ibu ...." Aku mencium tangannya berkali-kali. Kali ini lebih terasa karena ibu lebih terlihat segar."Dave ...." Ibu terisak memelukku."Maafkan Dave, Bu." Ibu menggeleng. Kami menangis tersedu-sedu."Yang penting kamu sehat, Nak," ucap Ibu memelukku dengan erat."Alya mana? Apa Alya belum datang?" tanyanya. Maksud ibu?"Iya, Bu. Kan sudah ada Dave," jawabku. Namun, ibu menggeleng."Ibu maunya ada Alya di sini," balas ibu.Sekarang aku yang bingung mau jawab apa."Nanti Dave panggil Alya, ya," jawabku. Kenapa ibu sangat manja pada Alya."Hanya dia yang paham takaran makan minum ibu," ucap ibu.Aku semakin bingung dengan kondisi ibu. Apa selama ini Alya selalu dat