“Kamu boleh selingkuh berkali-kali, seratus kali, bahkan seribu sekali pun. It's okay! Tapi dengan nggak ngakuin aku, ini udah keterlaluan, Yo! Kamu benar-benar bikin hati aku hancur berantakan!" teriak Putri mendalami perannya sebagai sosok perempuan yang teraniaya. Air mata di pipinya semakin deras mengalir. Putri memang pantas menjadi pemeran utama dalam sinetron yang banyak menangis.“Sudah lah, Yo! Kamu jangan menjadi lelaki yang begitu, minta maaf padanya. Kalo tidak, Om akan bilang pada ayahmu bagaimana perlakuan kamu terhadap pacarmu sendiri,” ujar Bagas lalu menepuk bahu Aryo. Bagas hanya ikut-ikutan saja, dia percaya bahwa Putri adalah pacar Aryo. Karena selama ini Aryo sangat menutup diri, dan jarang bercerita padanya tentang permasalahan cinta dia.“T-tapi, O-om ….” Ucapan Aryo langsung dipotong oleh Asih. Aryo di sini benar-benar ternistakan, dia yang tak tau ada apa dan masalahnya apa malah menjadi korbannya. Dan sekarang dia hanya bisa pasrah mendengar omelan Bagas k
“Kan dari dulu emang udah nggak cantik. Mau digimanain juga tetap nggak cantik,” ucap Nita sambil tersenyum tipis. Putri yang paham ke mana arah pembicaraan Nita, langsung mencoba menghiburnya."Iya sih, kalo gue lihat-lihat. Lebih cantikan Aryo,” ujar Nita mambil memegang dagunya.“Gue lagi yang kena, dikira gue bencong apa,” geram Aryo melihat tingkah Putri. Nita lalu tertawa mendengar pernyataan yang Putri lontarkan.Teruslah tertawa, Sahabatku. Karena kamu sudah kuanggap seperti adikku sendiri, lukamu adalah lukaku juga. Dan kebahagiaanmu justru juga sebagai kebahagiaanku. Batin Putri sambil melihat Nita yang mulai tertawa dengan lepas.Ia benar-benar senang bisa melihat sahabatnya kembali ceria seperti Nita yang pertama kali dia temui. Tanpa sadar Putri tersenyum.Di sisi lain Aryo juga tak sengaja melihat Putri yang tersenyum. “Manis,” ucapnya di luar kendali.Namun Aryo segera menyadarkan dirinya, dia tak boleh memuji wanita itu. Mana mungkin lelaki yang berkharisma sepertinya m
***Sudah terhitung seminggu aku berada di dalam ruangan yang identik dengan berwarna putih ini. Rasa bosan pun sudah menyelimutiku."Bagaimana keadaanmu, Nak. Apakah sekarang sudah merasa lebih baikkan?" tanya Ibu yang baru saja ke luar dari dalam kamar mandi."Iya, Bu, alhamdulillah Nita udah merasa lebih baik dan lebih sehat dari sebelumnya. In Syaa Allah juga udah bisa pulang ke rumah ini kayaknya," ujarku pada Ibu."Syukurlah, iya nanti kamu akan pulang juga kok, Nak. Sebentar lagi, ya, tunggu Ayah mertuamu membereskan administrasi." Aku lalu menganggukkan kepala dan selanjutnya membantu Ibu membereskan barang-barang yang akan segera dibawa pulang ke rumah."Halo, Sayang, gimana kabarnya?" tanya Mama dengan senyuman manis di bibirnya. Mama tiba-tiba sudah berada ke dalam ruangan ini."Udah agak mendingan, Ma. Nita juga udah merasa lebih baik," jawabku lalu mendekat dan memeluk dirinya."Syukurlah, itu artinya kamu sudah bisa pulang hari ini. Ayo Mama bantu beres-beres supaya lek
Terdengar pintu dibuka dan menampilkan Ayah yang sedang berdiri di sana."Sudah siap untuk pulang?" tanya Ayah padaku. Aku lalu mengangguk kepadanya.Perasaan lega kembali menyelimuti diri, saat orang berharga tak jadi untuk pergi.Bersamaan dengan itu Aryo dan Putri datang bersamaan. Lalu kami saling bersitatap karena mereka datang dengan romantis, tak ada perkelahian di antara keduanya."Aduh yang mau jadi penganten, nempel mulu perasaan dari kemaren-kemaren," ledek Mama kepada Putri dan Aryo yang terlihat tak sadar dengan kehadiran kami semua. Mungkin dikiranya, di dalam ruangan ini hanya ada aku dan Ibu saja."E-eh, Tante. Gimana kabarnya, Tan?" tanya Putri yang terlihat salah tingkah.Sekarang bahkan penampilannya pun terlihat lebih feminim, mungkin ia menyesuaikan dengan Aryo yang sangat cool. Cara bicaranya pun tidak seperti biasanya yang selalu blak-blakan dan seperti orang yang kesurupan."Alhamdulillah, baik. Aduh, tambah cantik saja ya kamu, Putri," ujar Mama sambil menepuk
POV Damar!*Aku pura-pura memejamkan mata, sesaat sebelum Nita memasuki ruangan yang sekarang tempatku berada.Kulihat dia terburu mendekati brankar tempat kuberbaring, ia memegang telapak tangan kuerat.Dalam hati, aku tersenyum senang karena dia sepertinya sangat mengkhawatirkan kondisiku. Ingin rasanya aku jingkrak-jingkrak sekarang juga, tapi drama harus tetap berjalan apa adanya. Seperti sesuai rencana aku, Aryo dan juga Putri."Kamu cepat sembuh dong, kamu nggak rindu sama aku ya, Mas. Kok kamu betah banget tidurnya. Aku aja udah sehat lho, Mas."Iya, Sayang, aku sebenarnya udah sembuh dan agak baikan kok. Namun sekarang aku hanya ingin melihat seberapa besar cintamu yang tersisa untukku, batinku menjawab ucapannya."Mas, kamu itu udah kurus jangan tambah kurus dong, nanti kita nggak serasi. Setidaknya aku yang kurus kamunya lagi yang melebar."Haish! Permintaan macam apa ini, bisa-bisanya dia meminta yang begituan di sana suaminya sekarang sedang terpejam mata. Akan tetapi, pe
"Aku pengen kita sama-sama memperbaiki diri. Aku minta maaf pernah menorehkan luka yang begitu besar dalam hatimu, kamu mau maafin aku, 'kan?" tanyaku padanya. Aku sangat berharap jawabannya iya. Meskipun tadi aku sudah mendengar bahwa dia memaafkan, hanya saja hati ini rasanya masih belum puasa dengan perkataan yang dia ucapkan saat aku pura-pura memejamkan mata tadi."Mas, a-aku ....""Aku benar-benar bodoh, kenapa tidak bisa membencimu yang jelas-jelas selalu menyakiti hatiku. Aku bodoh, Mas," ujarnya tiba-tiba memukul kepalanya berkali-kali.Aku lalu duduk dari posisi berbaring dan segera membawanya ke dalam pelukan."Maafkan aku. Andai dari awal aku tak seceroboh dan sekeras itu. Mungkin luka yang aku berikan tak akan sedalam yang kamu rasakan saat ini," ujarku memeluknya erat.Terlihat bahu Nina yang bergetar, dia menangis? Padahal baru saja tadi aku menggodanya dan sekarang dia kembali menangis lagi.Tangisannya hanya membuat aku merasa semakin bersalah."Maafin aku, Nita," li
"Pantesan kamu marah-marah terus ya tadi di rumah sakit, ternyata lagi PMS," ucap Damar saat mereka sekarang sudah berada di rumah."Mas, apaan sih. Nggak usah ngomong gitu bisa nggak," ucap Nita pada sang suami yang terlihat menyebalkan.Mereka sekarang berada di dalam kamar yang sama, tak lagi berpisah seperti dulunya.Saat Nita berjalan menuju kamar mandi, Damar langsung menarik Nita duduk ke pangkuannya. Nita sedikit terhenyak saat mendapatkan perlakuan begitu."Kamu cantik," goda Damar. Ia sangat senang melihat pipi memerah milik sang istri. Terasa begitu menggemaskan saja menurutnya."Mas, nggak usah mulai deh," ujar Nita terlihat kesal. Bukan karena apa, pasalnya jantung ia berdegup sangat kencang. Tak bisa diajak kompromi untuk biasa-biasa saja ketika berdekatan dengan Damar."Kenapa? Sama istri sendiri nggak papa, 'kan," ucap Damar lagi."Mas, jangan kayak gini deh. Aku ... aku nggak bisa, Mas." Nita langsung berdiri dari pangkuan Damar, ia sangat terpukul atas kejadian yang
Selesai mandi, dia lalu ke luar kamar. Pergi ke ruang kerjanya. Padahal dia baru saja ke luar dari rumah sakit, hanya saja karena banyak pekerjaan yang bertumpuk. Mau tak mau dia harus mengerjakannya malam ini juga.Karena Sarah, perusahaannya hampir saja mengalami kebangkrutan. Untungnya ada Aryo yang siap sedia menangani masalah demi masalah yang sedang terjadi. Jadi itu semua bisa dikendalikan sebelum akhirnya berakibat fatal."Tuan, tuan belum makan. Bibi sudah siapkan di atas meja ya." Mpok Wati berbicara dari balik pintu, Damar yang mendengar menghentikan pekerjaannya terlebih dahulu.Ia membuka pintu ruang kerjanya, lalu melangkahkan kaki menuju meja makan."Anita belum bangun, Mpok?" tanyanya saat melihat Mpok Wati menata makanan di atas meja."Belum, Tuan, saya belum melihat Nyonya daritadi," ujar Mpok Wati. Damar menganggukkan kepala, Nita memang harus banyak istirahat. Bukan hanya karena kejadian itu, tapi sekarang hormonnya sedang tidak stabil. Mungkin karena fase yang ser
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita