POV Damar!*Aku pura-pura memejamkan mata, sesaat sebelum Nita memasuki ruangan yang sekarang tempatku berada.Kulihat dia terburu mendekati brankar tempat kuberbaring, ia memegang telapak tangan kuerat.Dalam hati, aku tersenyum senang karena dia sepertinya sangat mengkhawatirkan kondisiku. Ingin rasanya aku jingkrak-jingkrak sekarang juga, tapi drama harus tetap berjalan apa adanya. Seperti sesuai rencana aku, Aryo dan juga Putri."Kamu cepat sembuh dong, kamu nggak rindu sama aku ya, Mas. Kok kamu betah banget tidurnya. Aku aja udah sehat lho, Mas."Iya, Sayang, aku sebenarnya udah sembuh dan agak baikan kok. Namun sekarang aku hanya ingin melihat seberapa besar cintamu yang tersisa untukku, batinku menjawab ucapannya."Mas, kamu itu udah kurus jangan tambah kurus dong, nanti kita nggak serasi. Setidaknya aku yang kurus kamunya lagi yang melebar."Haish! Permintaan macam apa ini, bisa-bisanya dia meminta yang begituan di sana suaminya sekarang sedang terpejam mata. Akan tetapi, pe
"Aku pengen kita sama-sama memperbaiki diri. Aku minta maaf pernah menorehkan luka yang begitu besar dalam hatimu, kamu mau maafin aku, 'kan?" tanyaku padanya. Aku sangat berharap jawabannya iya. Meskipun tadi aku sudah mendengar bahwa dia memaafkan, hanya saja hati ini rasanya masih belum puasa dengan perkataan yang dia ucapkan saat aku pura-pura memejamkan mata tadi."Mas, a-aku ....""Aku benar-benar bodoh, kenapa tidak bisa membencimu yang jelas-jelas selalu menyakiti hatiku. Aku bodoh, Mas," ujarnya tiba-tiba memukul kepalanya berkali-kali.Aku lalu duduk dari posisi berbaring dan segera membawanya ke dalam pelukan."Maafkan aku. Andai dari awal aku tak seceroboh dan sekeras itu. Mungkin luka yang aku berikan tak akan sedalam yang kamu rasakan saat ini," ujarku memeluknya erat.Terlihat bahu Nina yang bergetar, dia menangis? Padahal baru saja tadi aku menggodanya dan sekarang dia kembali menangis lagi.Tangisannya hanya membuat aku merasa semakin bersalah."Maafin aku, Nita," li
"Pantesan kamu marah-marah terus ya tadi di rumah sakit, ternyata lagi PMS," ucap Damar saat mereka sekarang sudah berada di rumah."Mas, apaan sih. Nggak usah ngomong gitu bisa nggak," ucap Nita pada sang suami yang terlihat menyebalkan.Mereka sekarang berada di dalam kamar yang sama, tak lagi berpisah seperti dulunya.Saat Nita berjalan menuju kamar mandi, Damar langsung menarik Nita duduk ke pangkuannya. Nita sedikit terhenyak saat mendapatkan perlakuan begitu."Kamu cantik," goda Damar. Ia sangat senang melihat pipi memerah milik sang istri. Terasa begitu menggemaskan saja menurutnya."Mas, nggak usah mulai deh," ujar Nita terlihat kesal. Bukan karena apa, pasalnya jantung ia berdegup sangat kencang. Tak bisa diajak kompromi untuk biasa-biasa saja ketika berdekatan dengan Damar."Kenapa? Sama istri sendiri nggak papa, 'kan," ucap Damar lagi."Mas, jangan kayak gini deh. Aku ... aku nggak bisa, Mas." Nita langsung berdiri dari pangkuan Damar, ia sangat terpukul atas kejadian yang
Selesai mandi, dia lalu ke luar kamar. Pergi ke ruang kerjanya. Padahal dia baru saja ke luar dari rumah sakit, hanya saja karena banyak pekerjaan yang bertumpuk. Mau tak mau dia harus mengerjakannya malam ini juga.Karena Sarah, perusahaannya hampir saja mengalami kebangkrutan. Untungnya ada Aryo yang siap sedia menangani masalah demi masalah yang sedang terjadi. Jadi itu semua bisa dikendalikan sebelum akhirnya berakibat fatal."Tuan, tuan belum makan. Bibi sudah siapkan di atas meja ya." Mpok Wati berbicara dari balik pintu, Damar yang mendengar menghentikan pekerjaannya terlebih dahulu.Ia membuka pintu ruang kerjanya, lalu melangkahkan kaki menuju meja makan."Anita belum bangun, Mpok?" tanyanya saat melihat Mpok Wati menata makanan di atas meja."Belum, Tuan, saya belum melihat Nyonya daritadi," ujar Mpok Wati. Damar menganggukkan kepala, Nita memang harus banyak istirahat. Bukan hanya karena kejadian itu, tapi sekarang hormonnya sedang tidak stabil. Mungkin karena fase yang ser
***Nita bangun sedikit lebih pagi. Badannya pun terasa lebih enakkan sekarang. Ia lalu memutuskan untuk mandi dan bersiap membantu Mpok Wati membuat sarapan.Saat ingin bangun, tiba-tiba saja tangannya ditarik oleh Damar. Nita lalu kembali terjatuh ke atas ranjang."Mau ke mana?" tanya Damar dengan mata terpejam dan suara yang serak."Aku mau mandi, Mas. Sekalian mau cuci pakaian yang sudah menumpuk di keranjang pakaian,", jawab Nita.Damar lalu menaruh kepalanya di antara bahu dan leher Nita. Bulu kuduk Nita merinding mendapatkan perlakuan begitu."M-mas, kamu mau a-apa?" tanya Nita sambil mengontrol jantung yang mulai jedag-jedug."Nanti saja mandinya, kamu masih harum," ujar Damar semakin menenggelamkan kepalanya di leher Nita. Dan ini sangat membuat Nita merinding."Mas, aku harus bersiap. Hari ini aku juga akan ke toko kue. Karena sudah lama tidak ke sana,* ujar Nita mencoba memberi pemahaman pada sang suami."Nanti saja, aku masih kangen sama kamu." Damar melingkarkan tangannya
Nita sekarang sudah berdiri di depan toko kue miliknya. Matanya berbinar merindukan toko yang sudah lama ia kelola.Dari depan toko ini terlihat sepi, padahal buka. Namun, Nita berusaha berpikir positif mungkin karyawannya sedang sibuk di dalam sana. Perlahan tapi pasti, Nita melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam toko. "SURPRISE!!" Teriakkan yang menggema mengejutkan Nita, Nita memegang dadanya yang berdegup sangat kencang.Dengan penuh rasa haru ia meneteskan air mata, karena karyawannya berinisiatif untuk memberikan surprise kepadanya dirinya."Selamat datang kembali, Ibu, kami semua merindukan Ibu," ucap salah satu karyawati kepercayaan Nita. Namanya Dina, Nita menyambut bunga yang berada dalang genggaman tangan Dina. "Terima kasih, Dina. Sudah menjadi karyawan yang sangat jujur, bertanggungjawab. Terima kasih juga untuk karyawan saya yang lain, tanpa kalian apalah saya sekarang," ujar Nita sambil menangis tersedu.Dina lalu memeluk Nita yang mulai terbawa perasaan, disusul ole
"Dia udah sering ke tokomu?" tanya Damar pada Anita. Saat ini mereka baru saja melakukan perjalanan untuk kembali ke rumah."Kalo dari info yang Dina kasih, katanya sih iya, Mas. Pak Adit sering pesan kue di toko, baik itu untuk acara penting maupun tidak." Anita menjelaskan pada suaminya."Oh gitu, jangan terlalu dekat sama dia. Aku takut dia punya niat buruk sama kamu," ujar Damar sambil memfokuskan pandang ke jalanan yang lumayan padat."Kamu cemburu, Mas?" tanya Nita ketika melihat raut wajah sang suami yang terlihat tak suka."Enggak, aku kayak gini demi kebaikan kita bersama. Aku cuma nggak mau aja kejadian buruk terjadi di antara kita berdua," ucap Damar menjelaskan. Namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam memang tersimpan rasa cemburu yang begitu besar."Yah, aku pikir kamu cemburu. Baru saja aku mau senang," ucap Nita dengan sendu. Ia sengaja melakukan itu, ingin melihat bagaimana tanggapan sang suami terhadap apa yang ia katakan."Kalo aku bilang aku cemburu? Kamu senang g
"Enak 'kan, Mas, baksonya?" tanya Nita saat melihat sang suami menghabiskan tiga mangkok bakso di depannya.Nita menggelengkan kepalanya kecil melihat tingkah laku sang suami yang seperti anak kecil."Enak, Sayang. Kamu kok baru sekarang sih ngajak aku ke sini, kalo tau di sini baksonya enak. Setiap pulang kerja, pasti aku bakalan mampir terus ke sini," ucap Damar sambil memasukkan sebiji pentol ke dalam mulutnya."Ya kan kemarin kita nggak seakrab sekarang, Mas. Jadi gimana aku mau ngajak kamu ke sini, orang setiap bicara aja kamu selalu ngehindar," ujar Nita dengan nada suara yang seolah-olah sangat sedih. Padahal aslinya tidak.Damar mengunyah makanan dengan sangat cepat, ia ingin segera menjawab perkataan sang istri. "Maafin aku ya, Sayang, kemarin itu bukan aku. Mungkin bisa jadi aku, tapi ... ah gimana ya jelasinnya pokoknya gitu lho, saat ini aku benar-benar sudah sangat mencintaimu. Kamu percaya kan sama aku," ujar Damar lalu memegang telapak tangan Anita.Anita tersenyum man
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"
Putri menepis tangan Aryo dan mengusap air matanya kasar. Ia berlalu pergi dari hadapan tiga orang itu dan masuk ke kamar untuk membereskan pakaiannya."Mi, Pi? Ada apa ini, kenapa istriku menangis?" tanya Aryo yang tak paham dengan keadaan saat ini."Kami hanya ingin yang terbaik untukmu," ujar Resa cuek."Maksud kalian bagaimana?" tanya Aryo masih tak paham."Aku hanya meminta dia meninggalkanmu dan akan memberikan imbalan padanya jika menuruti keinginan kami sebagai orangtuamu, tapi sepertinya perempuan itu terlalu angkuh, padahal dia hanyalah seseorang yang berada di kalangan bawah.""Entah apa yang diajarkan orangtuanya dulu, sehingga putri mereka besar menjadi seorang penggoda, apalagi untuk menggoda laki-laki kaya dan--""STOP!" bentak Aryo pada maminya. Resa yang mendengar bentakan sang anak langsung membulatkan matanya dengan sempurna."Aryo!" bentak sang Ayah tak terima dengan perlakuan putranya pada sang istri."Aku tak pernah menyangka kedatangan kalian ke sini hanya untuk
Putri bangun dengan badan yang terasa sedikit pegal. Putri melirik jam di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.Ia sudah tak bekerja lagi, dia memilih untuk resign dari pekerjaannya. Namun, walau begitu Aryo tak pernah memaksa Putri untuk berhenti bekerja.Toh, seandainya Putri tak bekerja Aryo masih bisa memberikan apapun yang Putri inginkan. Putri lalu memilih untuk pergi ke kamar mandi sambil membersihkan diri. Baru kali ini dia bangun kesiangan, hingga melewatkan salat subuh. Biasanya Putri selalu terbangun pagi, mungkin karena kelelahan ia jadi kebablasan untuk tidur.Setelah selesai mandi, Putri lalu memakai pakaian dan bergegas untuk pergi ke dapur menyiapkan makan pagi.Saat baru saja melangkahkan kaki ke dapur, tiba-tiba Resa, mertuanya berbicara dengan kalimat yang menyakitkan."Bagus! Enak ya, tidur sampai siang. Suami kerja nggak dibikinkan sarapan. Memang sih ya, paling enak jadi benalu. Apalagi dari keluarga yang kurang berada, lalu menikah dengan
*Nita terbangun sambil membuka matanya yang terasa berat akibat menangis semalaman."Mas,", panggil Nita saat melihat sang suami sudah tak berada di kamar. Ia lalu mengambil posisi duduk dan memegang kepalanya yang terasa sakit."Mas Damar," panggilnya sekali lagi. Namun masih tak kunjung ada sahutan, Nita lalu terdiam."Mungkin Mas Damar sudah berangkat bekerja,* gumam Nita, lalu turun dari tempat tidurnya. Ia segera mandi dan bergegas untuk ke kamar sang putra."Mama," panggil Nita saat melihat Aidansedang bercanda dengan Arkanza di ruang keluarga."Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Aida yang melihat sang menantu sudah ke luar dari kamar. Nita terlihat lebih segar dari kemarin."Ma, maaf ya, Nita kesiangan," ucap Nita pada Aida."Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti dengan keadaanmu. Kamu harus bisa menerimanya dengan lapang dada, ya. Sejatinya manusia memang akan berpulang pada sang pencipta." Aida tersenyum sambil menatap Nita yang berjalan mendekati mereka berdua."Iya, Ma. Nita