Wanita itu segera mengalihkan pandangan ke jendela saat bersitatap dengan mata suaminya. Entah kenapa, melihat wajah lelaki itu membuat luka kehilangan calon buah hatinya semakin terasa perih bagai ribuan pedang menusuk jantungnya.
Aditama Wiguna adalah lelaki yang menikahinya satu setengah tahun lalu atas bujukan ibunya."Jaman gini kok masih dijodoh-jodohin to, Bu? Enggak ah, Runa nggak mau," protesnya waktu itu pada sang ibu. Mendengar penolakannya itu, kedua orangtuanya langsung terkekeh"Kamu bilang begitu kan karena kamu belum ketemu saja sama anaknya Tante Farida itu, Run. Nanti kalau kamu sudah lihat orangnya, pasti beda lagi ceritanya. Ya kan, Pak?" Bu Ratna menoleh pada sang suami, yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum."Bapak sih terserah Runa. Semantapnya dia saja. Kalau dia setuju dengan rencana kamu dan Farida untuk menjodohkan mereka ya bapak nggak ada masalah. Yang penting buat bapak itu Runa harus bahagia. Itu aja."Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Runa cukup memahami pendapat bapaknya. Melepasnya menikah dengan orang kota yang akan membawanya tinggal jauh dari mereka tidak akan menjadi masalah besar. Toh masih ada Sukma & Arum - dua kakaknya - yang masih bisa menemani keduanya karena jarak rumah mereka yang tak terlalu jauh."Memangnya kalau Runa dibawa ke kota nanti, bapak nggak sedih apa?" goda Runa pada sang bapak."Yo ndak lah. Kenapa bapak harus sedih kalau anak bapak ini justru bahagia?""Sudah. Ibu sih juga nggak ingin maksa kamu, Run. Cuma nggak ada salahnya coba ketemu dulu. Siapa tahu ternyata kalian cocok. Lagipula kamu juga belum punya calon kan? Siapa tahu kalian berdua berjodoh. Kan malah bisa menyambung silaturahmi ibu dan Tante Farida lagi nanti kalau kalian jadi suami istri. Tante Farida itu sahabat ibu dari SMP lho, Run. Dia orangnya baiiiik banget. Ibu jamin deh, dia pasti akan sangat sayang sama mantunya. Lagipula, perjodohan ini inisiatif dari Tante Farida sendiri lho, nembung kamu buat anaknya.""Iya itu masalahnya, Bu. Yang nembung Runa itu kan Tante Farida. Lha anaknya memangnya mau sama Runa? Runa kan nggak cantik." Wajah Runa langsung bersemu merah usai mengatakan itu."Hei, siapa bilang kamu nggak cantik? Coba tanya sama bapak kamu, siapa wanita tercantik di dunia ini?""Ya Runa lah, anak kesayangan bapak. Siapa lagi?" Pak Ahmad langsung menyahut."Bapak ah gombal. Cantik mana Runa sama Mbak Sukma? Mbak Arum? Ibu?" Anak bungsu itu malah menggoda sang bapak.Pak Ahmad celingukan mendengar anak gadisnya yang tahun sudah genap berusia 23 itu. "Cantik semua," kata lelaki yang sudah hampir kepala enam itu sambil terkekeh."Tuh kan Bapak, nggak konsisten deh sukanya." Lalu ketiganya pun tertawa bersama."Tapi Pak, Bu. Runa sudah seneng lho tinggal di sini. Pengennya Runa tetap di sini saja nemenin bapak sama ibu." Dengan segala cara dia mencoba meyakinkan orangtuanya."Ya nggak bisa begitu. Kamu punya masa depan, Run. Mbakyu-mbakyumu kan semuanya tinggal di kampung. Nggak ada salahnya kamu tinggal agak jauh. Biar jadi orang kota. Nggak di kampung terus. Bapak sama ibu kan juga pengen punya anak yang hidup sukses di kota. Ya Pak, ya?"Pak Ahmad mengangguk. "Bapak manut wis pokoknya. Yang penting kalau Runa senang, yo wis kita nikahkan. Gitu saja. Orangtua kan hanya bisa berdoa saja untuk kebahagiaan anak-anaknya.""Piye, Run?" Bu Ratna kembali bertanya. Runa malah terkikik mendengar tanya sang ibu."Jangan nyengingis aja to. Ibu ini serius nanyanya. Kalau kamu setuju, ibu akan kabari Tante Farida, nanti biar mereka datang ke sini. Biar kalian berdua sama-sama saling kenal dulu."Sejujurnya Runa bukannya tidak memiliki sosok tambatan hati waktu itu. Namun karena sifatnya yang pemalu, sampai di usianya sekarang, Runa tak pernah terlihat ke sana ke mari dengan lawan jenis. Satu-satunya lelaki yang bisa membuatnya susah tidur tiap malam hanyalah Alga, kakak tingkatnya semasa kuliah yang saat ini entah dimana. Keduanya sempat dekat namun hilang kontak setelah Alga lulus satu tahun lebih dulu darinya."Tapi … kerjaan Runa gimana, Bu? Runa udah terlanjur seneng ngajar anak-anak di sekolah.""Kamu itu kan baru jadi guru honorer di sini. Nanti di kota, kamu bisa cari kerja lagi di sana, Run. Itu pun kalau suamimu mengijinkan. Kalau tidak ya nggak apa-apa, jadi ibu rumah tangga aja. Toh Si Tama itu kan pekerjaannya udah mapan. Udah punya jabatan juga di perusahan tempatnya kerja.""Ibu ngomongnya kayak udah kenal aja sama orangnya. Padahal ibu juga belum pernah ketemu sama dia kan?""Eh siapa bilang? Kita sempat ketemu ya Pak waktu ke Jogja, ke pesta nikahannya teman sekolah kita si Adin itu. Ya kan? Tante Farida datang diantar anaknya, Si Tama. Cakep Run orangnya, kayak selebriti yang suka kamu lihat itu lho di HP. Anaknya juga sopan. Coba tanya bapakmu kalau nggak percaya.""Iya, cakep. Tapi tetap masih cakepan bapak," celetuk Pak Ahmad, membuat istri dan anaknya terpingkal.Dan begitulah akhirnya, Runa jatuh cinta pada pandangan pertama saat dipertemukan dengan Tama. Bukan hanya paras lelaki kota itu yang memang rupawan. Sukma sampai bilang kalau wajah lelaki itu mirip sama Iko Uwais. Dua kakaknya itu sampai heboh saat Bu Farida datang hari itu. Ditambah lagi sikapnya yang santun dengan bapak ibunya, sepertinya tak ada alasan Runa untuk menolaknya.Segala kelebihan yang dilihatnya dari Aditama Wiguna itu justru membuat Aruna jadi ragu. Mungkinkah lelaki sekeren itu mau mengambilnya sebagai istri? Apa di kota sedang kekurangan wanita?***"Run, ada kabar dari Tante Farida, Tama menerima perjodohan kalian katanya. Tapi dia minta waktu sebulan buat saling kenal sama kamu."Bu Ratna masuk ke kamarnya malam itu dengan berita gembira. Dua kakaknya yang menginap dan sedang berada di kamar Runa pun langsung heboh mendengar kabar itu. Runa sendiri juga bahagia, hingga hampir tak bisa berkata-kata."Mbak, Mbak Runa kenapa?!" Laras berteriak panik, membuat ibunya yang sedang tertidur di sofa terbangun karena kaget."Kenapa, Ras?" Bu Farida gelagapan mencari penutup kepalanya, lalu tergopoh-gopoh menghampiri Laras yang sedang kebingungan di samping ranjang Aruna."Mbak Runa, Bu!" Laras nyaris terisak saat mengadukan kondisi Runa pada sang ibu. "Panggil suster, Ras. Cepat!" Laras pun segera berlari ke luar ruangan menuju tempat jaga perawat, sementara Bu Farida terlihat langsung mondar mandir memeriksa suhu semua bagian tubuh menantunya. Kondisi Aruna drop. Beberapa menit kemudian setelah salah satu perawat datang untuk memeriksa, terlihat dia keluar lagi untuk memanggil bantuan dua orang temannya. "Mohon Ibu tunggu di luar dulu ya," pintanya pada Bu Farida yang wajahnya sudah pucat pasi melihat kondisi sang menantu. Orang tua itu pun berjalan ke luar ruangan dengan hati cemas. "Telpon masmu, Ras! Kemana sih dia nggak balik-balik dari tadi? Katanya cuma mau beli rokok," gerut
"Sabar ya, Rid. InsyaAllah Tama akan baik-baik saja. Dia laki-laki yang kuat." Bu Ratna memeluk sahabatnya erat. Beberapa saat setelah menerima telepon dari kepolisian, tangis Bu Farida pecah saat kembali ke dalam kamar. Semua jadi panik melihat itu. Apalagi setelah wanita itu menjelaskan apa yang terjadi pada putranya. Tangis Bu Ratna dan Laras pun pecah dan saling berangkulan. Hanya Runa yang tak bereaksi apa-apa. Di atas pembaringannya, wanita itu hanya diam menitikkan air mata tanpa suara."Kalau begitu, tinggalkan saja Runa. Biar aku dan bapaknya yang mengurus dia. Sekarang yang lebih penting Tama, Rid. Urus dulu Tama," kata Bu Ratna sembari mengelus punggung sang sahabat. Bu Farida dan Laras pun menyetujui usul itu."Kamu yang tenang ya, Run. Suamimu pasti nggak kenapa-napa. Ibu tinggal dulu ya? Kamu juga harus semangat dan harus cepat sembuh. Ibu tinggal ya, Sayang," pamit Bu Farida mengedup kening menantunya sebelum akhirnya meninggalkan rumah sakit bersama anak gadisnya. *
Niat awal ingin pulang untuk beristirahat, Laras justru dibuat sakit kepala dengan kedatangan Dewi. Walau akhirnya dia berhasil mengusir teman lamanya itu dari rumahnya, tetap saja gadis itu jadi tak bisa beristirahat dengan tenang. Wajah ibunya terus saja terbayang di pelupuk mata. Tidak mungkin rasanya dia ceritakan masalah itu sekarang pada wanita itu. Ibunya yang sedang bersedih karena sakitnya putra dan menantunya pasti akan bertambah terpuruk jika harus mendengar berita buruk itu juga. Tapi jika tidak disampaikannya, kasihan sekali nasib kakak iparnya. Mbak Runa-nya pasti sangat sengsara jika tahu bahwa suaminya telah berkhianat."Bagaimana ini?" Gadis itu kini nampak hanya berjalan mondar mandir saja di dalam kamarnya. Laras benar-benar bingung harus berbuat apa. ***Sore itu di rumah sakit, Runa nampak sangat gelisah. "Apa sudah ada kabar soal Mas Tama, Bu?" tanyanya pada Bu Ratna. Tak segera menjawab pertanyaan putrinya, Bu Ratna malah bersiap untuk menyuapinya.Runa meng
"Kamu ngapain sih ke sini lagi, hah?!" Pagi itu, Laras dikejutkan lagi oleh kedatangan Dewi yang tiba-tiba. Gadis itu baru hendak masuk ke mobil untuk berangkat kerja saat Dewi datang dan mencegahnya menutup mobil. "Ras, tolong Ras, bilang sama aku dimana Mas Tama sekarang!" Ekspresi Dewi sama sekali berbeda dari saat datang di hari sebelumnya. Kali ini dia begitu panik. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Laras menatapnya dari kursi kemudi di dalam mobil dengan keheranan. "Ngapain lagi sih kamu nyari kakakku? Kalian itu bukan suami istri. Ingat itu!" ketus Laras."Tapi aku nggak bisa hubungin Mas Tama dari kemarin, Ras. Dia dimana sih? Dia ada di rumah kan? Iya kan, Ras?" tebak wanita itu, padahal dia ragu dengan pernyataannya sendiri karena tak dilihatnya mobil Tama di garasi."Nggak ada! Apa kamu nggak lihat rumah sudah aku kunci semua gitu? Nggak ada siapa-siapa di rumah, Wi. Pergi kamu! Nggak usah dateng-dateng ke sini lagi!" bentaknya."Tapi Ras, aku butuh ketemu M
"Mas Tama, gimana keadaanmu Mas?" Dewi langsung mendekati pria yang masih terbaring tak berdaya di atas pembaringan itu saat pintu kamar terbuka. Bu Farida dan Safitri yang kaget, hanya bisa terbengong menyaksikan hal itu. Beberapa detik kemudian saat tersadar, Bu Farida segera mendekat dan bertanya pada wanita yang baru datang ke kamar perawatan anak sulungnya itu. "Kamu siapa?" Bu Farida memandangi wanita yang tengah mendekap erat tas di dadanya itu. Tama yang sempat kaget di atas pembaringannya, masih belum bisa percaya bahwa Dewi nekat menemuinya di rumah sakit."Wi, kam-mu ngapain di sini?" tanyanya lirih dan terbata. "Kamu kenal wanita ini, Le? Dia siapa?" Dengan tatap curiga, Bu Farida kini memandang putranya. Tama terlihat salah tingkah di tengah kesakitannya."Itu Bu, dia De-wi …." "Dewi siapa?" Bu Farida makin lekat menatap Tama. Lalu beralih ke tamu anaknya itu. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian."Aku Dewi, Tante. Aku temannya Mas Tama." Dengan sedikit ragu Dewi mulai men
"Kamu kenapa ke sini, Run? Kamu kan masih sakit." Tama menatap sang istri dengan prihatin. Sementara itu Runa, walaupun begitu kecewa dengan sang suami dan sangat penasaran dengan video yang sempat dikirimkan seseorang padanya beberapa hari sebelumnya, tetap saja memiliki simpati pada pria yang telah menikahinya itu. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku sudah sembuh," jawabnya lemah. "Tapi wajah kamu masih terlihat pucat, Run." Tangan Tama bergerak perlahan, berusaha meraih pipi sang istri, tapi Runa mencegahnya dengan gerakan. "Tidak apa-apa. Paling nggak lama lagi aku pulih. Kamu sendiri gimana, Mas?" Pria itu mengecap bibirnya menahan sakit yang masih sangat sering dirasanya di sekujur tubuh. "Aku juga nggak apa-apa. Kamu nggak usah ikut mikir. Mendingan kamu sekarang pulang aja, Run. Istirahat di rumah biar cepat pulih," usulnya."Iya, nanti Mas. Aku mau di sini dulu sebentar." Tama tentu belum lupa, terakhir kali dia menemui Runa di kamar perawatannya dan wanita justru mengataka
Tak ingin ibu mertua dan iparnya tahu jika dirinya sedang mendengarkan pembicaraan mereka, Runa segera bergegas menuju kamar. Wanita itu menarik nafas berat melihat suaminya sudah memejamkan mata dengan ponsel masih di genggaman saat dia sampai di sana. Perlahan Runa mendekat, membenarkan letak selimut pria itu, lalu meraih ponsel untuk dipindahkannya ke atas nakas. Namun Tama tiba-tiba membuka mata saat merasakan ada gerakan di telapak tangannya."Apa, Run?" tanyanya dengan gugup sembari menarik ponselnya dengan cepat. Sepertinya tadi dia ketiduran saat sedang beraktifitas dengan benda pipihnya itu."Enggak, aku cuma mau simpan ponselmu saja, Mas. Kalau mau istirahat, jangan sambil mainan HP," sindir Runa. "Aku nggak mainan, tadi lagi chat aja sama orang kantor kok," kilahnya. Runa hanya mengulas senyum miris mendengar itu. "Aku lapar, Run. Ambilin makan dong," lanjutnya lagi. Sepertinya Tama tidak mau istrinya bertanya lebih lanjut kegiatannya dengan HPnya."Iya, sebentar aku am
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb
Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb
Tak ingin ibu mertua dan iparnya tahu jika dirinya sedang mendengarkan pembicaraan mereka, Runa segera bergegas menuju kamar. Wanita itu menarik nafas berat melihat suaminya sudah memejamkan mata dengan ponsel masih di genggaman saat dia sampai di sana. Perlahan Runa mendekat, membenarkan letak selimut pria itu, lalu meraih ponsel untuk dipindahkannya ke atas nakas. Namun Tama tiba-tiba membuka mata saat merasakan ada gerakan di telapak tangannya."Apa, Run?" tanyanya dengan gugup sembari menarik ponselnya dengan cepat. Sepertinya tadi dia ketiduran saat sedang beraktifitas dengan benda pipihnya itu."Enggak, aku cuma mau simpan ponselmu saja, Mas. Kalau mau istirahat, jangan sambil mainan HP," sindir Runa. "Aku nggak mainan, tadi lagi chat aja sama orang kantor kok," kilahnya. Runa hanya mengulas senyum miris mendengar itu. "Aku lapar, Run. Ambilin makan dong," lanjutnya lagi. Sepertinya Tama tidak mau istrinya bertanya lebih lanjut kegiatannya dengan HPnya."Iya, sebentar aku am
"Kamu kenapa ke sini, Run? Kamu kan masih sakit." Tama menatap sang istri dengan prihatin. Sementara itu Runa, walaupun begitu kecewa dengan sang suami dan sangat penasaran dengan video yang sempat dikirimkan seseorang padanya beberapa hari sebelumnya, tetap saja memiliki simpati pada pria yang telah menikahinya itu. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku sudah sembuh," jawabnya lemah. "Tapi wajah kamu masih terlihat pucat, Run." Tangan Tama bergerak perlahan, berusaha meraih pipi sang istri, tapi Runa mencegahnya dengan gerakan. "Tidak apa-apa. Paling nggak lama lagi aku pulih. Kamu sendiri gimana, Mas?" Pria itu mengecap bibirnya menahan sakit yang masih sangat sering dirasanya di sekujur tubuh. "Aku juga nggak apa-apa. Kamu nggak usah ikut mikir. Mendingan kamu sekarang pulang aja, Run. Istirahat di rumah biar cepat pulih," usulnya."Iya, nanti Mas. Aku mau di sini dulu sebentar." Tama tentu belum lupa, terakhir kali dia menemui Runa di kamar perawatannya dan wanita justru mengataka
"Mas Tama, gimana keadaanmu Mas?" Dewi langsung mendekati pria yang masih terbaring tak berdaya di atas pembaringan itu saat pintu kamar terbuka. Bu Farida dan Safitri yang kaget, hanya bisa terbengong menyaksikan hal itu. Beberapa detik kemudian saat tersadar, Bu Farida segera mendekat dan bertanya pada wanita yang baru datang ke kamar perawatan anak sulungnya itu. "Kamu siapa?" Bu Farida memandangi wanita yang tengah mendekap erat tas di dadanya itu. Tama yang sempat kaget di atas pembaringannya, masih belum bisa percaya bahwa Dewi nekat menemuinya di rumah sakit."Wi, kam-mu ngapain di sini?" tanyanya lirih dan terbata. "Kamu kenal wanita ini, Le? Dia siapa?" Dengan tatap curiga, Bu Farida kini memandang putranya. Tama terlihat salah tingkah di tengah kesakitannya."Itu Bu, dia De-wi …." "Dewi siapa?" Bu Farida makin lekat menatap Tama. Lalu beralih ke tamu anaknya itu. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian."Aku Dewi, Tante. Aku temannya Mas Tama." Dengan sedikit ragu Dewi mulai men
"Kamu ngapain sih ke sini lagi, hah?!" Pagi itu, Laras dikejutkan lagi oleh kedatangan Dewi yang tiba-tiba. Gadis itu baru hendak masuk ke mobil untuk berangkat kerja saat Dewi datang dan mencegahnya menutup mobil. "Ras, tolong Ras, bilang sama aku dimana Mas Tama sekarang!" Ekspresi Dewi sama sekali berbeda dari saat datang di hari sebelumnya. Kali ini dia begitu panik. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Laras menatapnya dari kursi kemudi di dalam mobil dengan keheranan. "Ngapain lagi sih kamu nyari kakakku? Kalian itu bukan suami istri. Ingat itu!" ketus Laras."Tapi aku nggak bisa hubungin Mas Tama dari kemarin, Ras. Dia dimana sih? Dia ada di rumah kan? Iya kan, Ras?" tebak wanita itu, padahal dia ragu dengan pernyataannya sendiri karena tak dilihatnya mobil Tama di garasi."Nggak ada! Apa kamu nggak lihat rumah sudah aku kunci semua gitu? Nggak ada siapa-siapa di rumah, Wi. Pergi kamu! Nggak usah dateng-dateng ke sini lagi!" bentaknya."Tapi Ras, aku butuh ketemu M