"Mas Tama, gimana keadaanmu Mas?" Dewi langsung mendekati pria yang masih terbaring tak berdaya di atas pembaringan itu saat pintu kamar terbuka. Bu Farida dan Safitri yang kaget, hanya bisa terbengong menyaksikan hal itu. Beberapa detik kemudian saat tersadar, Bu Farida segera mendekat dan bertanya pada wanita yang baru datang ke kamar perawatan anak sulungnya itu. "Kamu siapa?" Bu Farida memandangi wanita yang tengah mendekap erat tas di dadanya itu. Tama yang sempat kaget di atas pembaringannya, masih belum bisa percaya bahwa Dewi nekat menemuinya di rumah sakit."Wi, kam-mu ngapain di sini?" tanyanya lirih dan terbata. "Kamu kenal wanita ini, Le? Dia siapa?" Dengan tatap curiga, Bu Farida kini memandang putranya. Tama terlihat salah tingkah di tengah kesakitannya."Itu Bu, dia De-wi …." "Dewi siapa?" Bu Farida makin lekat menatap Tama. Lalu beralih ke tamu anaknya itu. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian."Aku Dewi, Tante. Aku temannya Mas Tama." Dengan sedikit ragu Dewi mulai men
"Kamu kenapa ke sini, Run? Kamu kan masih sakit." Tama menatap sang istri dengan prihatin. Sementara itu Runa, walaupun begitu kecewa dengan sang suami dan sangat penasaran dengan video yang sempat dikirimkan seseorang padanya beberapa hari sebelumnya, tetap saja memiliki simpati pada pria yang telah menikahinya itu. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku sudah sembuh," jawabnya lemah. "Tapi wajah kamu masih terlihat pucat, Run." Tangan Tama bergerak perlahan, berusaha meraih pipi sang istri, tapi Runa mencegahnya dengan gerakan. "Tidak apa-apa. Paling nggak lama lagi aku pulih. Kamu sendiri gimana, Mas?" Pria itu mengecap bibirnya menahan sakit yang masih sangat sering dirasanya di sekujur tubuh. "Aku juga nggak apa-apa. Kamu nggak usah ikut mikir. Mendingan kamu sekarang pulang aja, Run. Istirahat di rumah biar cepat pulih," usulnya."Iya, nanti Mas. Aku mau di sini dulu sebentar." Tama tentu belum lupa, terakhir kali dia menemui Runa di kamar perawatannya dan wanita justru mengataka
Tak ingin ibu mertua dan iparnya tahu jika dirinya sedang mendengarkan pembicaraan mereka, Runa segera bergegas menuju kamar. Wanita itu menarik nafas berat melihat suaminya sudah memejamkan mata dengan ponsel masih di genggaman saat dia sampai di sana. Perlahan Runa mendekat, membenarkan letak selimut pria itu, lalu meraih ponsel untuk dipindahkannya ke atas nakas. Namun Tama tiba-tiba membuka mata saat merasakan ada gerakan di telapak tangannya."Apa, Run?" tanyanya dengan gugup sembari menarik ponselnya dengan cepat. Sepertinya tadi dia ketiduran saat sedang beraktifitas dengan benda pipihnya itu."Enggak, aku cuma mau simpan ponselmu saja, Mas. Kalau mau istirahat, jangan sambil mainan HP," sindir Runa. "Aku nggak mainan, tadi lagi chat aja sama orang kantor kok," kilahnya. Runa hanya mengulas senyum miris mendengar itu. "Aku lapar, Run. Ambilin makan dong," lanjutnya lagi. Sepertinya Tama tidak mau istrinya bertanya lebih lanjut kegiatannya dengan HPnya."Iya, sebentar aku am
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Nama itu seperti tak asing di telinga Runa. Dia sepertinya telah beberapa kali mendengarnya disebutkan dalam perbincangan ibu mertua dan adik iparnya belum lama ini. "Ada perlu dengan saya?" tanya Runa hati-hati usai mendudukkan diri di kursi tamu. Sepertinya dia agak sedikit waspada dengan maksud dan tujuan wanita di depannya itu menemuinya. Wanita itu malah tertawa kecil dengan nada seperti meremehkan. "Kalau tidak ada perlu, aku nggak akan ke sini mencarimu, Nyonya Tama," katanya. Runa sedikit terkejut. Mereka berdua baru pertama kali bertemu, tapi gelagat wanita itu seolah sudah mengenal Runa lama. Sikapnya, bagi Runa juga kurang sopan. "Maaf, tapi sepertinya kita belum pernah bertemu," ucap Runa dengan dahi berkerut. Sepertinya dia pun mulai mencoba mengingat-ingat siapa gerangan wanita di hadapannya saat ini. "Suamimu sudah banyak cerita soal kamu, Runa." Jantung Runa rasanya langsung berhenti berdetak mendengar kalimat itu. Suaminya? Itu berarti Tama? Jadi, wanita inikah
Seminggu setelah Runa kembali bekerja, Tama semakin sering uring-uringan. Entah kenapa dengan lelaki itu. Padahal biasanya dia tak terlalu peduli dengan kehadiran istrinya itu di sampingnya. Namun semenjak tak dilihatnya Runa hingga beberapa jam di rumah, Tama merasa ada yang kurang. Tak ada yang bolak balik keluar masuk ke dalam kamar mereka dan menanyakan makan seperti biasa. Pun tak ada yang bisa dia suruh- suruh ini dan itu beberapa hari ini. Meski Dewi tak pernah absen mengirimkan pesan setiap hari, bahkan jika Bu Farida sedang keluar, Tama dengan berani menelpon wanita simpanannya itu hanya untuk mengobrol tak jelas di kamarnya. Safitri satu-satunya orang yang kerap jadi sasaran amarahnya sekarang. Jelas dia tak akan berani marah pada sang ibu.Seperti hari ini, Tama begitu rewel minta ini dan itu pada asisten rumah tangga itu sambil marah-marah tak jelas, membuat Safitri hampir kehilangan kesabarannya. Namun sebagai seorang pembantu, wanita itu tak bisa berbuat banyak. Akhirny
"Run! Runaaa!"Terdengar suara teriakan Tama dari kamarnya. Bu Farida yang sedang membantu Safitri membereskan jemuran di halaman belakang sampai kaget mendengar itu. Wanita paruh baya itu pun bergegas masuk ke rumah. "Ada apa, Tam? Kenapa teriak-teriak gitu?" tanya sang ibu."Ini lho, Tama mau ambil buku itu. Runa kemana sih?" tanya lelaki itu gusar. "Kamu ini gimana? Tadi pagi bukannya kamu sudah dipamiti sama istrimu kalau hari ini dia mulai kerja. Kok sudah lupa to." Tama merengut. Dia sebenarnya bukan lupa, tapi dia memang hanya ingin berteriak saja karena kesal dengan kondisinya yang tidak bisa apa-apa. "Kalau butuh apa-apa kan bisa panggil ibu. Jangan teriak gitu. Nggak enak didengar tetangga," jelas sang ibu."Nanti ibu capek ngurusin Tama." Lelaki itu merajuk, melengos ke arah lain."Yo ndak apa-apa to capek, namanya juga ngurus anak." Bu Farida terkekeh kecil, menertawakan tingkah sulungnya."Lagian kenapa sih Runa pakai kerja segala. Padahal aku kemarin udah larang dia,
[Aku udah kangen banget, Mas. Aku ke situ ya?] Wanita itu menuliskan kalimat bernada rengekan yang langsung membuat muka Tama merah padam. [Jangan Sayang, sabarlah sedikit. Plis, jangan ke sini.] Di tengah kepanikan, Tama membalas. Dia tahu bagaimana watak Dewi. Terkadang wanita itu bisa sangat nekat jika tak dibujuk pelan-pelan.[Sampai kapan, Mas? Aku udah nggak tahan pengen ketemu kamu.] Wanita di seberang sana terus saja merengek dalam tulisannya.[Wi, tolong jangan kasih aku masalah. Meskipun saat ini kita masih belum bisa ketemu, tapi aku tetep berusaha selalu kasih kamu jatah loh. Jadi tolong mengerti ya, Sayang?][Kamu kapan dong sembuhnya, Mas? Kan waktunya belum jelas. Aku udah nggak tahan. Aku kangen.] Lagi-lagi Tama menghela nafas membaca itu. Sebenarnya dia pun sama tidak tahannya dengan selingkuhannya, tapi apa daya kondisinya tak memungkinkan untuk saling bertemu.[Ya sabar lah, Wi. Sakitku ini kan bukan masuk angin yang sebentar aja udah sembuh. Aku bisa diamuk orang
Hari itu Laras membuat Runa bisa melupakan sedikit masalahnya. Meski sebenarnya tetap saja wanita itu tak bisa begitu saja menikmati momen jalan-jalan mereka dengan segala kerumitan hidup yang sedang dialaminya. "Ras, mbak boleh minta tolong nggak sama kamu?" Runa tiba-tiba bertanya saat keduanya sedang berhenti untuk makan di foodcourt sebuah mall. Laras yang baru saja menata beberapa paperbag belanjaannya di kursi samping, langsung menatap Runa dengan antusias. Biasanya Runa jarang mau minta bantuannya jika tidak sedang sangat terpaksa selama ini. "Apa itu, Mbak? Bilang saja. Laras pasti bantu kalau bisa," katanya. "Ini Ras, mbak kayaknya pengen kerja lagi deh. Mbak kangen kerja kayak dulu," ucap wanita itu hati-hati. Bukannya dia takut Laras tidak akan suka dengan keputusan itu, tapi dari awal sebelum menikah dengan Tama, Runa memang sudah berjanji untuk menjadi ibu rumah tangga saja dan menemani Bu Farida di rumah. Laras pun tahu akan hal itu. "Mbak Runa mau kerja? Serius, Mb
Tak ingin ibu mertua dan iparnya tahu jika dirinya sedang mendengarkan pembicaraan mereka, Runa segera bergegas menuju kamar. Wanita itu menarik nafas berat melihat suaminya sudah memejamkan mata dengan ponsel masih di genggaman saat dia sampai di sana. Perlahan Runa mendekat, membenarkan letak selimut pria itu, lalu meraih ponsel untuk dipindahkannya ke atas nakas. Namun Tama tiba-tiba membuka mata saat merasakan ada gerakan di telapak tangannya."Apa, Run?" tanyanya dengan gugup sembari menarik ponselnya dengan cepat. Sepertinya tadi dia ketiduran saat sedang beraktifitas dengan benda pipihnya itu."Enggak, aku cuma mau simpan ponselmu saja, Mas. Kalau mau istirahat, jangan sambil mainan HP," sindir Runa. "Aku nggak mainan, tadi lagi chat aja sama orang kantor kok," kilahnya. Runa hanya mengulas senyum miris mendengar itu. "Aku lapar, Run. Ambilin makan dong," lanjutnya lagi. Sepertinya Tama tidak mau istrinya bertanya lebih lanjut kegiatannya dengan HPnya."Iya, sebentar aku am
"Kamu kenapa ke sini, Run? Kamu kan masih sakit." Tama menatap sang istri dengan prihatin. Sementara itu Runa, walaupun begitu kecewa dengan sang suami dan sangat penasaran dengan video yang sempat dikirimkan seseorang padanya beberapa hari sebelumnya, tetap saja memiliki simpati pada pria yang telah menikahinya itu. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku sudah sembuh," jawabnya lemah. "Tapi wajah kamu masih terlihat pucat, Run." Tangan Tama bergerak perlahan, berusaha meraih pipi sang istri, tapi Runa mencegahnya dengan gerakan. "Tidak apa-apa. Paling nggak lama lagi aku pulih. Kamu sendiri gimana, Mas?" Pria itu mengecap bibirnya menahan sakit yang masih sangat sering dirasanya di sekujur tubuh. "Aku juga nggak apa-apa. Kamu nggak usah ikut mikir. Mendingan kamu sekarang pulang aja, Run. Istirahat di rumah biar cepat pulih," usulnya."Iya, nanti Mas. Aku mau di sini dulu sebentar." Tama tentu belum lupa, terakhir kali dia menemui Runa di kamar perawatannya dan wanita justru mengataka
"Mas Tama, gimana keadaanmu Mas?" Dewi langsung mendekati pria yang masih terbaring tak berdaya di atas pembaringan itu saat pintu kamar terbuka. Bu Farida dan Safitri yang kaget, hanya bisa terbengong menyaksikan hal itu. Beberapa detik kemudian saat tersadar, Bu Farida segera mendekat dan bertanya pada wanita yang baru datang ke kamar perawatan anak sulungnya itu. "Kamu siapa?" Bu Farida memandangi wanita yang tengah mendekap erat tas di dadanya itu. Tama yang sempat kaget di atas pembaringannya, masih belum bisa percaya bahwa Dewi nekat menemuinya di rumah sakit."Wi, kam-mu ngapain di sini?" tanyanya lirih dan terbata. "Kamu kenal wanita ini, Le? Dia siapa?" Dengan tatap curiga, Bu Farida kini memandang putranya. Tama terlihat salah tingkah di tengah kesakitannya."Itu Bu, dia De-wi …." "Dewi siapa?" Bu Farida makin lekat menatap Tama. Lalu beralih ke tamu anaknya itu. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian."Aku Dewi, Tante. Aku temannya Mas Tama." Dengan sedikit ragu Dewi mulai men
"Kamu ngapain sih ke sini lagi, hah?!" Pagi itu, Laras dikejutkan lagi oleh kedatangan Dewi yang tiba-tiba. Gadis itu baru hendak masuk ke mobil untuk berangkat kerja saat Dewi datang dan mencegahnya menutup mobil. "Ras, tolong Ras, bilang sama aku dimana Mas Tama sekarang!" Ekspresi Dewi sama sekali berbeda dari saat datang di hari sebelumnya. Kali ini dia begitu panik. Entah apa yang telah terjadi pada wanita itu. Laras menatapnya dari kursi kemudi di dalam mobil dengan keheranan. "Ngapain lagi sih kamu nyari kakakku? Kalian itu bukan suami istri. Ingat itu!" ketus Laras."Tapi aku nggak bisa hubungin Mas Tama dari kemarin, Ras. Dia dimana sih? Dia ada di rumah kan? Iya kan, Ras?" tebak wanita itu, padahal dia ragu dengan pernyataannya sendiri karena tak dilihatnya mobil Tama di garasi."Nggak ada! Apa kamu nggak lihat rumah sudah aku kunci semua gitu? Nggak ada siapa-siapa di rumah, Wi. Pergi kamu! Nggak usah dateng-dateng ke sini lagi!" bentaknya."Tapi Ras, aku butuh ketemu M