ARMILA "Mas Andra masuk rumah sakit? Kenapa, Mang?"Hampir saja ponsel ini lepas dari genggaman kala kabar buruk itu datang. Baru seminggu lalu kami liburan, tiba-tiba dapat kabar mas Andra dirawat di rumah sakit.Dugaan awal mas Andra dirampok. Mungkin karena melawan jadilah dihajar habis-habisan. Kata mang Dadang, lebam dan luka di tubuhnya parah.Hatiku langsung kacau mendengar berita ini. Pikiran negatif pun berseliweran di cerukan kepala. Bahkan, bayangan kematian menari tiba-tiba.Mas Andra tak boleh pergi, Affan masih kecil. Aku tak bisa membayangkan anak itu tumbuh tanpa sosok ayah."Mas Andra dirampok orang, Pah. Sekarang dirawat di rumah sakit, aku pengen nengok."Papa dan mama yang mendengar itu spontan terkaget-kaget. Keduanya beristigfar barengan."Kita jenguk sama-sama! Bawa Affan, tapi titip bi Cicah!""Iya, Pah!"Aku langsung menyiapkan perlengkapan pergi. Karena kemungkinan menginap, harus bawa bekal. Pakaian di rumah dulu sudah dibawa ke sini semua."Aku ikut, ya. S
ARMILA"Jika Andra sadar, aku akan menginterogasinya. Jika benar dugaanku ini ada kaitannya dengan Resti, aku akan bertindak. Sudah saatnya dia diberi pelajaran setimpal.""Hati-hati, aku cemas nanti kita diapa-apain sama Resti.""Dih, akak, nih gitu mulu. Kak, kadang hidup itu kudu berani tarung. Orang kayak Resti kudu dihajar. Huh, kalau kasusmu dulu ada di aku, sudah ku krek cowok ama ceweknya!" "Aku gak gitu, Sayang. Beneran.. Gosah sesadis itu. Mengerikan."Kami bertiga tertawa lepas. Di balik kelembutannya, ternyata Irna punya jiwa bar-bar tingkat tinggi. Baguslah, kalau Reiga macam-macam, bisa habis dia."Kak Reiga kudu hati-hati sama macan cantik, ya. Ganas banget, loh!""Kalau ganasnya malam gakpapa, Mil. Seru malah!"Aku dan Reiga tertawa melihat mata Irna melotot. Dia'kan gadis pasti malu banget dicandain gitu.*Hari ini aku diizinkan menjenguk mas Andra sebab masa kritisnya telah lewat. Meski begitu kesadarannya belum pulih.Mamanya memintaku untuk memberi stimulus pada
ANDRAMenunggu jawaban Armila seperti menunggu bom waktu. Detik demi detiknya membuat jantung ini berdetak tak karuan. Karena tak kunjung bicara, aku coba tetap bersabar."Mas, apa tidak terlalu cepat kalau pekan ini? Kita'kan harus siapkan administrasi ke KUA.""Administrasi seminggu juga cukup, kita akad saja dulu, kalau mau pesta lagi bisa bulan depannya, bagaimana?""Aku gak mau pesta lagi. Undang saudara dan tetangga dekat saja. Dan orang-orang yang terlanjur tahu kita pernah bercerai, takut ada fitnah.""Berarti satu minggu cukup, Sayang. Aku akan transfer untuk kebutuhan syukurannya."Armila terdiam lagi. Ia meremas jarinya sendiri, lalu tertunduk untuk beberapa saat. Aku kembali bersabar menanti sebuah keputusan dari lisan mama Affan."Mas bicara saja sama papa, aku akan setuju kalau papa setuju.""Makasih, mama Affan. Semoga niat baik kita mendapat limpahan rahmat dari Allah."Aku sangat ingin merengkuh tubuhnya dalam pelukan, tapi ditahan. Kami belumlah halal untuk saat ini.
Hari ini akad pernikahan akan diikrarkan untuk kedua kalinya. Karena keluarga om dan tante ikut, kami berangkat dengan menggunakan empat mobil SUV dan satu sedan khusus pengantin. Mereka cukup antusias dengan pernikahan episode kedua ini. Katanya ingin jadi saksi momen spesial bersatunya kembali dua jiwa yang sempat berpisah.Aku terharu sebab begitu luas dukungan atas rencana itu. Kuanggap ini adalah berkah melimpah dalam kehidupan kami.Rasa maluku makin besar pada Allah. Sudah berbuat salah, tetap saja diberi pertolongan dan rahmat dalam hidup. Itulah salah satu bentuk kasih sayang-Nya.Kami sampai di rumah Armila tepat pukul sembilan. Di sana disambut hangat oleh keluarga besarnya.. Ternyata cukup membludak juga yang akan menghadiri acara ini. Untunglah rumahnya lumayan besar hingga bisa menampung para undangan.Kelihatannya keluarga Armila memiliki antusias yang sama dengan keluargaku. Maka dari itu bersedia hadir di momen istimewa ini.Lintasan kenangan masa lalu saat pernikaha
RESTIPagi ini, aku sedang merasa keberuntungan selalu menyapa Resti. Dengan mudah, aku menaklukan pria yang semalam kalah tanding di ranjang. Baru satu ronde sudah KO. Resikolah, ya kawin dengan pak tua.Tak apalah, selama pria tua ini masih bisa memuaskan, aku sabar saja dulu. Harus selalu bersikap baik agar dimasukkan dalam daftar pewaris di surat wasiatnya nanti.Gerakan tubuhku yang hendak turun, tertahan oleh tangan mas Bima. Ia menarikku kembali ke pelukannya. Lalu, membisikkan kata-kata yang membuatku bersemangat."Siapa takut!"*"Ini buat mama!""Makasih, ya, Sayang. Kamu emang baik banget!" Risa, anak bungsu mas Bima sudah ada dalam genggaman. Mahasiswa itu tak sungkan curhat dan membawakan hadiah. Aku pun senantiasa menampilkan sikap bersahabat. Orang lugu seperti ini memang harus dipelihara untuk tameng masa depan.Rendi, cenderung acuh. Ia tak menunjukkan penerimaan atau penolakan atas kehadiranku. Selama tak mengusik kedudukanku biar saja. Lagipula dia akan segera meni
RESTI Mas Bima seringkali membawaku ke pesta dan pertemuan formal. Dengan bangga memperkenalkanku sebagai istrinya. Ia seolah ingin mengatakan biarpun sudah tua, tetap bisa menikahi yang cantik dan muda.Untung otakku tak jongkok. Kemampuan sosialisasi juga tinggi. Maka dari itu aku tak sulit berbaur dengan orang dari golongan atas tersebut.Aku benar-benar sedang ada dalam puncak kejayaan. Sudahlah cantik, kaya raya dan berstatus nyonya terhormat.Kalau tahu kedigdayaanku bersama mas Bima, takkan pernah dulu menggoda si brengsek Andra. Jadi istri kedua pula. Mengapakah aku begitu idiot.Malam ini mas Bima mengajakku kembali ke pertemuan para pengusaha. Seperti biasa aku akan tampil dengan fashion terbaru. Gengsilah masa pakai baju yang sama. Perhiasan pun gonta ganti sebab peninggalan istrinya banyak.Seperti biasa aku akan jalan mendongak. Berbaur dengan kaum sosialita sambil pamer kekayaan suami masing-masing. Jelas, aku tak mau kalah. Meski belum banyak pergi keluar negeri 'kan b
RESTIRafael benar-benar mampu memberi kepuasan yang kudambakan selama ini. Permainannya menjadi candu di tiap hari-hari yang kulalui.Aku tak peduli bahwa Rafael adalah suami orang lain. Aku juga masa bodoh dirinya memiliki seabrek simpanan. Yang kuingin hanyalah tubuh dan permainan liarnya.Tak pernah kubertanya sedang apa, dengan siapa dia. Yang penting, ketika ingin main, dirinya harus bisa memenuhi hasrat liar ini.Aku akan marah jika ada penolakan. Rafael paham sekali akan hal itu. Kami pun akan kencan tak lihat waktu. Pagi, siang, sore, malam oke-oke saja.Di rumah aku kembali bersikap manis. Melayani mas Bima dengan servis memuaskan. Bahkan, lebih sering memasak jika dirinya tak sedang keluar.Makan saja aku suapi, baju dipakaikan dan mandi ditemani. Terang saja di benaknya, Resti adalah istri baik dan wajib dipertahankan.. Bagaimana? Aku cerdas bukan?Tentang perselingkuhan, itu bukan salahku sepenuhnya. Salah sendiri dia loyo hingga tak bisa memberi kepuasan. Aku masih muda,
RESTITempat paling aman untuk pemanasan adalah di area belakang toilet non utama. Orang-orang jarang ke sini sebab hanya tempat alternatif.Rafael benar-benar membuat kekesalanku hilang. Sentuhan liarnya membuatku tak sanggup menahan suara. Sial, kenapa pria ini selalu bisa membuat mabuk kepayang.Tapi, kesenangan kami terusik kala seseorang berhasil memegoki. Dan, mataku jadi juling demi meihat siapa yang sedang berdiri dengan mulut ternganga.Andra, kenapa harus dia yang memergoki kami? Gawat, ini gawat. Pria itu pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk membalas dendam padaku.Setelah Andra pergi aku mengatakan pada Rafael soal mantan itu. Sengaja kubuat cerita bombastis agar dirinya bertindak cepat dan brutal sesuai mauku."Oke, Honey aku akan urus dia.""Waktu kita tak banyak."Rafael menelpon seseorang, lalu meninggalkanku di sini. Setelah pria itu tak terlihat lagi, barulah aku kembali ke ruangan.*Di sisi mas Bima aku mati-matian menahan kecemasan. Suara diatur agar tak ta
ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak
ANDRAUntunglah cepat sadar bahwa di sini sedang bersama dua jagoan. Langsung saja tinggalkan dulu mainan untuk dua putri.Mereka tak ada di tempat mencari mainan awal. Langsung kukitari seluruh sudut toko ini."Mba, lihat anak saya. Dua anak kecil, umur tujuh tahunan. Pakai baju baju kotak-kotak biru!""Oh, tadi lagi di tempat robot! Di sebelah kiri, Pak!"Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuju tempat yang ditunjuk. Tak ada ternyata!Aku panik! Bayangan buruk mulai masuk ke otak. Dan itu sukses mengguncang perasaan. Jantung ini mulai bertabuhan kencang."Affan, Devan, kalian di mana?"Aku minta pada penjaga toko untuk bantu mencarikan anak-anak. Mereka bersedia dan mulai berpencarKupanggil berulang dua nama itu. Rasanya benar-benar seperti sedang olahraga jantung. Aku pun tak absen merutuki kecerobohan diri.Di dekat foodcourt aku melihat Devan dan Affan sedang bicara dengan seorang wanita. Dari gayanya aku yakin dia adalah mantan narapidana itu. Meski memyamar, mata tak bisa
ANDRA"Jagoan, Papa kangen!"Aku menggendong Affan yang seminggu ini tak bertemu. Rasanya seperti setahun saking rindu.Kebersamaan dengan ratu, pangeran dan putriku serupa candu. Canda tawa Armila, Affan dan Kanaya menjadi mood booster bagi kehidupan Umur Affan sekarang tujuh tahun, sudah masuk sekolah dasar. Adiknya baru dua tahun. Kami memang sepakat untuk memberinya adik di usia lima tahun. Dan alhamdulillah dikabulkan.Reiga pun demikian, seperti kompetisi. Mereka juga telah punya dua. Putri juga adik Devan itu. Namanya Kayyisa.Hidup kami enam tahun ini diliputi ketenangan. Hanya ada riak-riak kecil kalaupun konflik suami istri. Lepas itu kembali damai dengan kualitas hubungan makin rekat."Hmm, sama mama gak kangen, kah?"Armila, wanita sumber ketenangan hidup muncul dari balik pintu. Aku langsung menghampiri dan memasukkan tubuhnya dalam pelukan. Untunglah Affan dan Kanaya sudah lepas dari gendongan. Sekarang sedang sibuk dengan oleh-oleh. "Aku sekarat merinduimu," bisikku m
RESTIJujur, aku muak dengan rengekan pria tua ini. Harusnya aku tak bersedia menemuinya agar tak harus mendengar kebaperan lelaki tak berguna ini."Sudahlah, Mas. Kalau mau menceraikan, ceraikan saja. Dan, ingat jangan pernah menemuiku lagi. Aku muak!"Aku tak peduli dengan penderitaannya akibat dikhianati. Salah sendiri dia tua dan lemah. Wajarlah aku cari kesenangan lain sebab tak pernah dipuaskan."Apa kamu tak merasa bersalah sedikit pun, Resti? Sebusuk itukah hatimu?""Kalau tak ada yang ingin di katakan lagi aku mau pergi. Dengar, aku bosan mendengar celotehanmu, jadi aku beri kesempatan terakhir mau bicara apa lagi?"Mas Bima menghela napas berat, kemudian memandangku tajam. Lalu terucap dari mulutnya ucapan cerai, maka resmi sudah aku jadi janda untuk kedua kalinya.Tak masalah karena itu lebih baik. Untuk apa juga masih berstatus istrinya tapi tidak akan lagi diterima. Yang ada hanya akan menerima hinaan kalaupun keluar dari penjara dan kembali ke rumah itu. Lebih baik nanti