ISTRIKU JARANG KE LUAR KAMAR SAAT KELUARGAKU DATANG!
*"Mana istrimu, Ndi?" tanya Ibu dengan nada ketus. Hari ini Ibu dan kakakku berkunjung ke rumah. Mereka bilang akan lama di sini. Aku sebagai seorang anak tentu saja sangat senang dengan kehadiran ibu di sini.Lagipula, Alya pasti juga tidak akan merasa kesepian lagi jika Ibu sudah berada di sini. Ya, mereka bisa menjadi teman, bukan?Aku melirik ke sekitar, tak kutemukan keberadaan Alya."Mungkin sedang tak enak badan, Bu." Aku memberi penjelasan padanya. Karena tak enak dengan raut wajah Ibu yang langsung berubah saat tahu istriku tak berada di sini. Menyambut kedatangannya."Halah! Istrimu itu kebiasaan banget sih, Ndi. Udah tau kami mau datang ke rumahmu, bukannya bantuin bawain barang, dia malah menghilang!" omel Mbak Sarah penuh penekanan. Kepalaku berdenyut merasakan sakit, baru juga sampai mereka langsung marah-marah padaku."Iya, Mbak. Nanti Andi bakalan coba negur dia," jawabku pelan, tak ingin memperpanjang masalah. Karena aku tau Mbak Sarah ini tipikal yang seperti apa, dia tak suka bila ada yang melawannya. Apalagi sampai menentang apa yang dia katakan.Alya ini memang kebiasaan, sejak dua tahun kemaren. Sikapnya mulai berubah, entah kenapa setiap keluargaku datang. Dia pasti selalu bersembunyi di kamar. Mungkin kamar begitu nyaman hingga sampai-sampai ia tak bisa meninggalkannya.Aneh saja, dia seperti tidak menghargai aku sebagai seorang suami di sini. Bisa-bisanya saat keluargaku berkunjung, dia sama sekali tak ingin menampakkan wajahnya di hadapan kami.Bukannya aku tak tau, tapi setiap ditanya. Alya hanya diam, seperti orang bisu saja. Istriku itu semakin didiamkan semakin ngelunjak kelakuannya.Sudah seperti bukan wanita yang pertama kali aku pinang."Panggilin sana, Ndi. Mbak nggak suka ya, Alya itu di sini statusnya sebagai menantu. Jangan kebiasaan dimanja, nanti lama-lama dia makin ngelunjak kalo dibiarin!" bentak Mbak Sarah padaku. Aku menatap Mbak Sarah, membenarkan ucapannya. Langsung saja, aku beranjak dari dudukku."Iya, Mbak," jawabku ala kadarnya dan bergegas pergi menghampiri Alya yang berada dalam kamar kami.*"Cobalah ke luar, Dek. Jangan bersembunyi terus, aku tak enak dengan Ibu dan juga Mbak Sarah," ucapku sambil memegang tangannya. Membujuknya agar sekali ini saja mau menuruti kehendakku."Adek kan udah bilang, Mas. Adek sibuk, harus ngelipat pakaian yang menumpuk di sana. Sudahlah, Mas saja yang temani Ibu dan Mbak Sarah," jawab Alya lembut. Senyuman manisnya tak mampu meluluhkan risau di hati."Dek, kalo ada masalah selesaikan baik-baik. Ibu sama Mbak Sarah juga sebentar saja, paling lama tiga hari di sini. Perlakukanlah mereka dengan baik, bagaimana pun mereka adalah keluargaku," ucapku pada Alya yang mulai berubah nada bicaranya. Sengaja aku bilang mereka tiga hari menginap, lagipula jika aku bilang lama aku takut Alya akan marah dan mengusir Ibu dan Mbak Sarah.Aku tak ingin itu terjadi, nanti yang ada mereka bertengkar hebat dan aku sendiri yang akan dibuat pusing oleh mereka."Baiklah, Mas," ucapnya setelah sekian lama aku membujuk. Senyum senang terbit di wajahku, akhirnya Alya mau mengalahkan egonya untuk tidak terus-menerus bersembunyi di dalam kamar.*"Ke luar juga kamu dari kamar, Al. Mengeram kamu di dalam kamar," ucap Mbak Sarah terdengar sinis. Baru juga Alya ke luar kamar, Mbak Sarah langsung menyemprotnya dengan perkataan yang menurutku sedikit menyakitkan."Alya sedang melipat pakaian, Mbak," ucapku membelanya. Aku juga tak ingin istriku terlihat rendah di mata keluarga."Diam kamu itu, Ndi. Ini nih, karena keseringan dibela makanya dia jadi semena-mena sama keluarga kita?! Kamu ngerasa nggak, sudah lama dia seperti ini terus. Setiap Ibu dan aku datang, dia sama sekali tak pernah menampilkan wujudnya di depan kami!" omel Mbak Sarah panjang lebar. Aku menghela napas dengan berat, kalo sudah begini. Diam adalah jalan terbaik untukku."Kenapa kamu, Al! Nggak suka kami datang kemari?!" tanya Mbak Sarah dengan penuh emosi."Enggak, Mbak. Alya emang banyak kerjaan di kamar," ucap Alya. Wajahnya memerah, mungkin sedang menahan malu, tangis atau bahkan marah. Aku hanya melihat tangan Alya mengepal erat, itu saja."Halah! Alasan! Ingat ya, Al. Andi ini saudaraku, kamu jangan sampai menghasut dia yang aneh-aneh. Tuh lihat gara-gara sikapmu yang keterlaluan itu, nggak punya anak kan sampai sekarang!" ujar Mbak Sarah dengan sinis."Mbak! Jangan pernah berbicara seperti itu!" bentak Alya."Alya!"Plak!Tamparan kuberikan padanya. Tanpa sadar aku menamparnya saat dia membentak kakakku di depan mataku.Baru kali ini aku mendengarnya membentak Mbak Sarah dengan suara yang lantang. Itu sama sekali bukan istri yang aku kenal. Aku tak suka Alya yang pembangkang."M-mas, kamu menamparku?" tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca."Iya! Keluargaku datang kemari bukan untuk kamu caci maki! Kamu jangan semena-mena terhadap keluargaku!" bentakku padanya. Habis sudah kesabaranku menghadapinya. Dia benar-benar berubah seratus derajat tak lagi sama seperti dahulu."Oh, begitu. Baiklah, bagaimana jika kita berpisah saja?"Deg!Ucapan Alya membuatku diam tak berkutik, Terdengar simpel, tapi seperti ada belati yang menusuk tembus dadaku ....--Jangan lupa subscribe ya ❤️❤️❤️"Berpisah?" tanya Mbak Sarah dengan wajah mengejek."Yakin kamu mau cerai dari Andi?" Tawa Mbak Sarah menggelegar memenuhi ruang tamu."Bisa apa kamu di luar sana, hah?" Mbak Sarah maju sambil menatap mendorong bahu Alya pelan."Di sini aja kamu nyusahin, nggak punya kerjaan. Di rumah santai berasa jadi nyonya, sok-sokan bilang mau pisah!" sentak Mbak Sarah pada Alya.Alya tertawa pelan. "Kau pikir saat aku berpisah dengan adikmu, aku akan hidup melarat di luaran sana, hah! Oh, mungkin kamu lupa, Mbak, aku masih punya orang tua yang sangat menyayangiku, lebih dari yang dilakukan adikmu. Bahkan sebelum adikmu ini hadir dalam hidupku, orang tuaku sudah menemani jatuh bangunnya diri ini saat ingin bangkit kembali!"Panjang lebar Alya menjawab ucapan Mbak Sarah."Kamu ...." Mbak Sarah ingin melayangkan tamparan. Namun tangannya langsung ditangkap oleh Alya."Cukup adikmu yang menamparku, jangan buat aku hilang kesabaran dan hilang rasa hormat terhadap keluarga kalian!" ujar Alya lalu mengh
"Aku bisa jadi jahat! Tergantung bagaimana cara orang memperlakukanku!""Aku pikir, cerita menantu yang tersakiti hanya ada di dalam novel. Namun faktanya, aku sendiri yang mengalaminya. Bahkan suamiku pun lebih membela keluarganya yang jelas-jelas salah!""Mereka tidak salah! Kamu yang bersalah Alya, andai saja sedikit saja kau turunkan egomu itu! Mungkin masalah ini tidak akan berkepanjangan!" bentakku pada Alya."Logikanya gini! Mengapa jika seorang menantu adalah laki-laki, ia begitu sangat disayangi oleh orang tua perempuan. Mereka diistimewakan seolah-olah adalah raja. Berbanding terbalik dari pihak perempuan, kebanyakan dari kami mendapatkan perlakuan yang tak senonoh, tak dapat diakui oleh akal!""Apa itu wajar, Mas!""Dari dulu aku sudah bilang, keluargamu sepertinya tak menyukaiku. Aku berusaha memberhentikan pernikahan kita, tapi tiba-tiba orang tuamu berubah manis. Hingga aku berpikir mereka bisa menerimaku yang piatu," ucapku padanya."Namun yang kudapatkan malah berbeda,
"Argh, sakit banget," ucap Mbak Sarah dari tadi tak henti-henti. Saat kutanya di mana letak sakitnya, dia malah semakin marah padaku. Jadi aku lebih memilih diam, daripada harus menambah masalah."Kurang ajar banget itu Alya, awas aja ya dia. Memperlakukan aku kok, kayak aku nggak tua aja. Apalagi sama Ibu, benar-benar nggak ada sopan santunnya sama sekali," omel Mbak Sarah."Alya tadi hanya emosi sebentar, Mbak. Lagian Mbak Sarah ngapain ngejar Alya segala, dia aku suruh buat nenangin diri," kilahku padanya."Nah, nah, mulai lagi kan kamu belain Alya! Kamu itu seorang suami, suami itu panutan istri. Kalo kamu kayak gini terus, lama-lama kamu bakalan jadi suami takut istri, Andi! Sadar nggak sih?!" bentak Mbak Sarah padaku."Tapi setidaknya Andi nggak seperti Mas Rio yang tidak menghargai keberadaan seorang istri!" gumamku."Apa kamu bilang, Ndi! Di sini kita lagi bahas Alya, ya. Ngapain bawa-bawa Mas Roni, kalo dibandingkan mereka berdua! Perbandingannya sangat jauh, sangat-sangat j
POV Alya*Aku menyeret langkah dengan yakin, ucapan Mas Andi benar-benar membuat darahku mendidih.Bukan sekali dua kali dia begitu, setiap ada masalah yang menyangkut dengan keluarganya, entah mengapa selalu aku yang terkena imbasnya."Alya!!"Mbak Sarah menarik tanganku dengan kasar hingga terdengar bunyi seperti jari yang patah."Mana aku periksa tas kamu! Kamu pasti bawa barang-barang berharga kan dari rumah ini," ucapnya dengan lancang."Jangan pegang-pegang barang milikku!" gertakku."Bawa sini nggak atau kamu mau aku berbuat kasar!" bentak Mbak Sarah padaku.Ia langsung mengambil tas, sebelum membukanya aku lebih dahulu menarik rambutnya.Habis sudah kesabaranku selama ini. Mungkin dia pikir, selama ini aku diam karena takut. Padahal kenyataannya, aku hanya menghargainya sebagai Kakak dari Mas Andi."Lepas, C*k!" umpatnya padaku. Aku semakin menarik rambutnya dengan kasar."Sudah kubilang jangan menyentuh barang-barang milikku! Cukup Mas Andi yang kalian ambil, barangku adalah
[Kenapa nggak dibalas, takut kamu, hah!]Lagi, Mbak Sarah mengirimkan pesan.[Yang terpenting aku nggak mengedepankan gaya, padahal keuangan menipis. Aku nggak ngutang sana sini buat ngecukupin biaya hidup sosialita. Satu lagi yang penting aku nggak open B*!]Setelah membalas pesan Mbak Sarah, aku langsung memblokir kontaknya. Kalo terus menyimpan yang ada aku juga ikut-ikutan tak waras seperti dia.Bukan tanpa sebab aku bersikap tak baik pada mereka. Selama ini aku berupaya menjaga sikap pada mereka.Namun sepertinya, sopanku selama ini sama sekali tak bernilai di mata mereka.Lelah.Itu yang selama ini aku rasakan.Aku berusaha berbakti pada suami dan juga keluarganya. Namun yang kuterima bukanlah yang diharapkan.Aku tau, kadang keinginan memang tak sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, bolehkah kali ini aku memberontak sekali saja. Rasanya sudah cukup aku bertahan demi utuhnya sebuah keluarga.[Alya, jangan lupa untuk kembali pulang. Di mana pun kamu melangkah, ingat tetap aku tuj
POV AndiBerjam-jam aku menunggu balasan pesan dari Alya, setelah ia membalasnya bukan kabar baik yang kudapatkan. Akan tetapi balasan pesan yang terasa menyakitkan.Entahlah, kenapa hanya karena malam kemarin, masalah ini semakin menjadi panjang."Andi! Mbak nggak mau tau, ya, Mbak udah ditagih sama Bulek bayar arisan!" Mbak Sarah mendesakku yang sekarang sedang pusing."Berapa sih, Mbak?" tanyaku pelan."Dua juta!""Lho, bukannya kemarin Mbak bilang satu juta aja?" ucapku kaget."Ya itu, kemarin. Sekarang udah masuk tanggalnya buat bayar arisan tanggal 5," ucapnya ringan."Kamu sebulan ikut arisan berapa juta sih, Mbak!" ujarku mulai marah."Kalo dijumlahin ya paling empat jutaan dalam sebulan.""Paling katamu, Mbak. Menurutmu 4 juta itu sedikit. Gini aja deh, Mas Roni tau nggak kalo Mbak ikut arisan?" tanyaku padanya."Ya tau, kan dia juga yang nyaranin buat ikut arisan. Lagian Mbak juga baru hari ini minta uang buat bayarin arisan, kemarin-kemarin kan uang hasil tabungan Mbak.""B
Setelah pulang bekerja, aku mampir terlebih dahulu di warung makan. Setelahnya pergi ke tempat orang yang menjual martabak manis.Malam ini aku ingin meminta maaf pada Mbak Sarah dan juga Ibu atas perlakuanku yang tidak menyenangkan tadi.Aku sadar, caraku tadi membuat mereka sakit hati. Jujur, pagi tadi aku merasa sangat lelah. Bukan hanya badan tapi juga jiwa raga.Tok! Tok! Tok!Tak lama setelahnya pintu terbuka menampilkan raut wajah Mbak Sarah yang tak menyenangkan."Ini ada martabak kesukaan kalian, aku bawakan," ucapku pada mereka."Halah, nyogok kamu! Aku masih marah denganmu, Ndi. Sikapku menyakiti perasaan Mbak dan Ibu," ujar Mbak Sarah sendu.Aku semakin merasa bersalah pada mereka."Maafin Andi, Mbak. Andi tadi terlanjur emosi, ini sebagai permintaan maaf. Andi kasih dua ratus deh, ya. Soalnya Andi belum gajian," ucapku membujuknya"Kamu seriusan kasih Mbak yang?" tanyanya dengan mata berbinar."Andi serius lah, Mbak. Andi kan adikmu, dan kamu kakakku. Ambilah, buat jajan
"Andi nggak percaya, Mbak! Nggak mungkin Alya mengirimkan pesan kayak gini," sanggahku."Kamu nggak percaya sama, Mbak, Ndi. Kamu benar-benar berubah." Mbak Sarah langsung terisak, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Kalo tau kayak gini, mending Mbak simpan luka hati ini sendirian. Dari awal Mbak memang sudah merasa bahwa kamu dibutakan oleh cinta. Kamu mencintai Alya terlalu besar, sampai saat keluargamu disakiti. Kamu hanya diam tak percaya," cerca Mbak Sarah."Bukan begitu maksud Andi, Mbak. Rasanya nggak mungkin kalo yang mengirimkan pesan adalah Alya. Coba Andi lihat dulu, jangan-jangan orang yang mengirimkan pesan itu adalah orang yang ingin menghancurkan nama baik Alya, Mbak," ucapku masih tak percaya.Mbak Sarah langsung menyambar ponselnya dari tanganku, Ia menatap dengan tatapan nyalang."Percuma berdebat denganmu, Ndi. Tetap saja kamu akan menyalahkanku, kupikir kejadian kemarin bisa membukakan mata hatimu, bahwa Alya bukan wanita baik-baik," ujar Mbak Sarah s
Andi datang ke rumahnya dengan wajah yang kusut."Andi ada apa?" tanya Sarah yang melihat wajah tak mengenakan yang ditampilkan Andi."Aku baru saja datang dari toko kue Alya. Mbak, kenapa kamu tak kapok-kapoknya datang untuk mengacaukan Alya. Kamu tau bukan, Alya sekarang sudah lebih bahagia. Andi bukannya apa-apa. Andi sekarang sudah sadar, seharusnya memang dari dulu mengikhlaskan Alya, mengapa begitu? Karena Andi baru mengetahui bahwa keluarga Andi adalah keluarga yang toxic. Harusnya Mbak Sarah sadar akan itu semua!" ucap Andi dengan tegas, dia memijit kepalanya yang terasa pusing."Mbak hanya tak senang melihat dia lebih bahagia dari kamu Andi, Mbak juga sudah terlanjur malu padanya. Apalagi sekarang Alya memiliki suami yang tampan bak seorang pangeran.""Jadi sebenarnya Mbak selama ini hanya iri kan pada Alya. Iri pada kehidupan Alya, sudahlah, Mbak. Meminta maaflah pada Alya, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri dan rencananya besok rumah ini akan kujual pada orang yang
"Mbak, lihatlah, videomu yang sedang bertengkar tersebar di media sosial." Andi datang dengan wajah yang kusut. Rupanya kabar sang Kakak bertengkar dengan Alya sudah sampai ke telinganya.Bahkan dia melihat video itu sendiri. Matanya membulat sempurna kala Alya yang mempermalukan Kakak dan juga ibunya.Sarah yang melihat Andi datang dengan wajah kusut, mengubah ekspresinya menjadi terlihat menyedihkan."Mbak sakit hati, Dek. Padahal Mbak ke situ hanya ingin membeli kuenya, tapi dia malah mencaci maki, Mbak. Tak ada sambutan baik yang Mbak terima bersama Ibu." Sarah menangis terisak, tentunya itu hanya pura-pura. Semuanya dilakukan hanya untuk menarik empati dari Andi.Andi mengepalkan tangannya erat."Mentang-mentang sudah bukan menjadi istriku, dia semakin berani mempermalukan kalian. Harusnya dari awal kita tak perlu berbuat baik padanya. Rupanya selama ini rasa tulus cintaku dimanfaatkan oleh Alya untuk meluluhkan hati ini," ujar Andi yang terhasut dengan omongan sang Kakak. Matany
"Ibu, pokoknya Sarah nggak bakalan diam aja, ya. Sarah udah dipermalukan di depan orang banyak, bahkan sampai ada yang menjadikan momen kejadian tadi. Mau taruh di mana muka Sarah, Bu," ujarku yang daritadi tak berhenti mondar-mandir sambil marah, jujur saja aku merasa sangat terhina di depan orang banyak tadi karena perlakuan mereka berdua. Alya benar-benar tak punya hati. Aku benci dia."Sudahlah, Sarah. Nanti akan kita pikirkan bagaimana caranya membalas perlakuan mereka yang udah bikin kamu malu. Kamu tenang saja, mungkin saat ini mereka masih bisa berbahagia, tapi tidak untuk nanti. Kamu tenang saja, Ibu juga sangat merasa malu karena perlakuan mereka tadi kepadamu." Ibu meminum kopi dalam gelasnya. Ia terlihat sangat tenang, seperti sudah ada sebuah rencana yang disusun oleh Ibu."Tapi, Bu, tetap saja Sarah tak bisa tenang. Bagaimana jika ada yang menyebarkan video itu. Iiiiiih! Sarah benar-benar kayak orang gila tau nggak sekarang, Bu. Tadi tuh pengen banget rasanya ngegampar mu
"Sayang, sekarang udah sepi ini. Ayo pulang," ucap Nandar sambil memegang telapak tangan Alya."Iya, sebentar lagi, Mas. Aku beresin dulu ini," ucap Alya sambil melepas genggaman dari Nandar. Bergegas ia membereskan tempat kue dan membersihkan sisanya."Mas, Alya tiba-tiba pengen bikin makanan juga. Makanan yang cepat saji itu lho, siapa tau ada yang mau makan siang atau buat sarapan dan bawa pulang ke rumahnya, 'kan," ujar Alya pada Nandar."Mas mau ngelarang kamu kerja, tapi Mas juga nggak mungkin biarin kamu kesepian di rumah. Apapun yang kamu inginkan, pasti bakalan Mas turutin selagi itu bernilai baik," ujar Nandar pada Alya. Ia menatap Alya dengan penuh cinta."Alhamdulillah, kira-kira menurut, Mas, bagusnya mulai kapan aku membangun usahanya?" tanya Alya pada Nandar. Dulu, sebelum menikah tempatnya sharing adalah Bahrul dan juga Aini. Namun setelah menjadi istri seorang Nandar, maka Nandarlah tempat untuk ia menuangkan pendapat."Setelah kita pulang bulan madu," jawab Nandar sa
"Ngeselin banget sih mereka, Kak, pengen Aini jambak-jambak aja tadi. Ada ya manusia kayak gitu hidup di dunia ini," omel Aini yang terus menerus. Tidak nyaring, hanya saja terlihat sekali geram di matanya."Ya ada, Dek, lah itu orangnya tadi baru aja kan bersikap kayak tadi. Udah nggak usah diambil hati, bikin nambah beban pikiran aja. Cukup didiemin aja dia mah orang kayak gitu, kalo kita ladenin apa bedanya kan sama dia," jawabku padanya. Terlihat sekali pancaran emosi dari mata adikku Aini."Iya juga sih, Kak, tapi tetap aja kalo nggak diladeni rasa dongkol dalam hati Aini tuh makin menggebu-gebu ngeladani manusia tak tahu malu seperti dia tuh. Kenapa dulu, ya, bisa-bisanya Kakak punya mertua dan kakak ipar seperti dia. Haduh! Untung saja Kakak sudah lepas dari benalu-benalu seperti mereka." Aini berucap sambil mengedikkan bahunya, seperti orang yang takut.Entahlah, jika aku bilang tak tahu, mustahil, karena dari awal sebelum nikah aku juga sudah tahu bahwa keluarga Andi sama seka
"Bu, aku dengar-dengar di daerah **** jl *** ada toko kue yang baru-baru buka lho, katanya kuenya enak. Aneka ragam kue dijual di toko itu, beli yuk," ucap Sarah pada IbunyaSaat ini aku dan Ibu sedang duduk bersantai di depan televisi, sedangkan adikku Andi berangkat bekerja. Karena dia sudah lama cuti."Emang beneran enak apa?" tanya sang Ibu yang mulai ikut andil dalam percakapan."Aku lihat sih di faceb**k dan juga W******p sih gitu, Bu, ini lho lihat. Sampe banyak banget Anggi teman aku beli," ujar Sarah lagi pada sang Ibu."Mana, coba Ibu lihat," jawab sang Ibu lalu duduk mendekati Sarah anaknya."Enak sih ini, apalagi kue ini lho, lama sekali Ibu nggak makannya. Ayolah kita beli di sana, pakai motor bisa kan kamu?" "Bisa dong, Bu, sebentar Sarah siap-siap dulu." Merek berdua lalu bersiap-siap untuk pergi ke toko yang sudah ditentukan.****"Benar ini tempatnya?" tanya Sang Ibu melihat toko yang ramai pengunjung."Dari alamat yang tertera sih, kayaknya benar ini Bu alamatnya," j
"Aduh pengantin baru, cantik sekali. Wajahnya juga terlihat sangat bersinar ini," ucap Bu Hj Sulis saat aku baru saja membuka toko kue milikku.Saat ingin ke toko, begitu banyak drama yang dilakukan antara aku dan Mas Nandar. Sudah seminggu toko tutup, hingga aku sedikit merasa bosan karena tak ada hal yang harus kukerjakan."Bu Hj bisa saja, saya jadi malu ini," ucapku lalu mengajak beliau masuk ke dalam tokoku."Selamat ya Neng Alya, atas pernikahannya. Alhamdulillah, masih ada jodoh yang diberikan oleh Allah SWT. Semoga yang terakhir ini adalah pilihan terbaik untuk kamu, ya, Neng.""Aamiin ya rabbal alamiin, Bu Hj, semoga saja kami selalu bersama, terkecuali maut yang memisahkan.""Kemarin Ibu tidak bisa berhadir di acara pernikahanmu, soalnya Ibu harus menghadiri wisudanya anak Ibu. Jadi Ibu ke sini, mau ngasih ini buat kamu. Semoga kamu suka, ya." Bu Hj Sulis menyerahkan paper bag padaku. "Ma Syaa Allah, tidak perlu repot-repot, Bu Hj. Dengan mendoakan pernikahan saya dan Mas N
"Ibu ...." Andi langsung mendekat dan bersujud di kaki ibunya. Ia sungguh merasa sangat bersalah karena berbicara tak pantas pada mereka yang berada di depannya saat ini.Harusnya sebagai seorang anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan dia tahu diri, tapi dia tidak. Ia malah sesuka hatinya menyakiti sang ibu.Namun dari dalam hati kecil Andi, ia masih penasaran apakah ibu dan ayahnya memang menjalin hubungan terlarang atau mungkin ibu tirinya lah yang memanipulasi semuanya."Andi benar-benar minta maaf karena sudah membuat Ibu menangis. Andi akan berusaha untuk tidak berperilaku seperti kemarin lagi, Bu. Maafkan, Andi," ujar Andi masih merunduk dalam menyesali kesalahan."Ibu memaafkanmu, tapi tolong jangan membuat ibu menangis lagi, Andi. Ibu benar-benar sakit hati melihat perlakuanmu yang seperti tadi. Hanya karena wanita itu, kamu tega mengatai Ibu dan juga kakakmu. Bahkan kamu juga tega mengatakan tak akan menafkahi kami lagi. Bukankah kamu tahu, tidak ada yang bisa memberi k
"Jadi bagaimana rencana kalian setelah ini, mau bulan madu ke mana?" tanya Mama mertua dari Alya.Nandar dan Alya saling bertatapan, pasalnya mereka berdua belum merencanakan akan ke mana setelah ini. Duduk manis merebahkan diri sejenak di atas ranjang itu saja sudah membuat mereka senang setelah seharian harus berdiri menyambut para tamu undangan."Belum ditentukan, Ma. Kalo Nandar tergantung Alya saja, ke mana dia mau pergi maka Nandar akan ikut bersama dengannya." Jawaban Nandar mampu membuat Alya mengulum senyum hingga pipinya juga menjadi kemerahan bak kepiting rebus."Aduh, pengantin baru ini. Menurut Pak Bahrul, bagusnya anak kita ke mana bulan madunya, Pak?" tanya Papa dari Nandar pada Bahrul, ayah Alya."Kalo saya terserah mereka saja, Pak, saya juga tak ingin menentukannya. Takutnya kalo saya yang nentukan mereka malah nggak suka tempatnya," jawab Pak Bahrul sambil tertawa kecil."Memang Ayah mau nyaranin ke mana?" tanya Alya lembut, Aini saat ini tak ikut karena ada beberap