"Kamu pilih istri yang waras apa enggak bisa? Masih bocah, gila pula!"
Kalimat itu selalu diucapkan oleh Ibu saat Zainab—istriku—mulai berteriak histeris dan mengamuk di dalam kamar. Seorang gadis belia berusia delapan belas tahun yang terpaksa kunikahi karena wasiat dari seorang ayah di penghujung usia. Pernikahan yang harus kujalani meskipun tidak ada cinta sama sekali. Pernikahan sebagai penebus dosa akibat kelalaian berkemudi hingga menghilangkan nyawa seseorang.Kupandangi wajah ayu Zainab yang sudah tertidur pulas di atas tempat tidur. Cantik, tetapi penuh dengan tekanan. Aku membuatnya terpuruk di usia yang seharusnya menjadi awal untuk menuju cita-cita. Gadis manis dengan lesung pipi yang sebenarnya akan meneruskan pendidikannya ke jenjang Perguruan Tinggi. Namun, semuanya pupus karena kesalahanku.Aku pun lebih sering menghabiskan waktu untuk menikmati angin malam di balkon kamar. Tidak ada keberanian untuk diri ini menyentuh dan berbuat lebih dengan Zainab meskipun dia sudah sah menjadi istriku. Secangkir kopi hangat selalu menemani saat penyesalan mulai kembali menggerogoti hati."Kenapa Bapak belum tidur?" Suara lembut seorang perempuan—yang baru satu bulan ini berbagi kamar denganku—menyapa telinga. Aku mendapati Zainab berdiri di ambang pintu balkon. Dua belas tahun jarak usia kami, membuatnya memanggilku dengan sebutan Bapak. Dia tampak seperti perempuan normal lainnya, berusaha menjadi seorang istri yang baik meski tidak ada cinta untukku. "Tidak apa-apa, Za. Kamu tidur saja, sebentar lagi hujan. Lagi pula, sudah hampir tengah malam," jawabku. Sekali kilatan petir menyambar. Kemudian, diikuti suara menggelegar, membuat Zainab tak mampu mengendalikan emosinya lagi. Perempuan itu kembali histeris, duduk meringkuk di salah satu sudut kamar sambil memeluk kedua lutut. Kurengkuh tubuh mungilnya yang bergetar hebat, memeluknya erat. Mencoba memberikan ketenangan yang mungkin tidak seberapa. Zainab divonis mengidap anxiety disorder setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya. Gangguan yang menyerang alam bawah sadar akibat suatu peristiwa hingga membuatnya mengalami trauma berkepanjangan dengan sebuah kejadian.Ya, Zainab sangat takut pada hujan dan petir karena kejadian kecelakaan yang dialaminya dengan sang ayah terjadi saat hujan lebat disertai petir malam itu. Aku sendiri tidak bisa melupakannya. Kecerobohanku saat berkendara sudah membuat nyawa seseorang melayang."Maafkan aku, Za! Maaf," ucapku sambil tetap memeluknya."Bapak! Jangan tinggalin Zainab, Pak!" teriaknya dengan air mata yang sudah membasahi pakaianku."Maafkan aku, Za!" Aku pun tidak bisa membendung lagi genangan yang mulai memenuhi pelupuk mata. ***Hari demi hari, keadaan Zainab semakin memburuk akibat kesibukanku sebagai seorang dosen. Aku terlalu sering meninggalkan gadis manis itu dengan Ibu yang notabene sangat membencinya. Seminar dan panggilan sebagai dosen tamu di luar kota silih berganti datang dan membuatku harus menghadirinya."Ceraikan saja perempuan itu, Dan! Dia cuma bikin keluarga kita malu. Ibu selalu digunjingkan kalau punya mantu orang gila." Lagi-lagi, Ibu memintaku menceraikan Zainab."Zaidan enggak bisa menceraikan Zainab, Bu. Dia amanah yang harus aku jaga sampai kapan pun," bantahku."Kalau begitu, bawa dia pergi dari rumah ini! Ibu enggak mau dia ada di sini." "Bu, tolong bantu aku untuk menebus dosa yang telah kulakukan!""Ibu tahu, Dan. Tapi ... Ibu tetap tidak sudi punya menantu seperti dia. Kamu itu berpendidikan, seorang dosen di universitas ternama. Ibu malu punya menantu gila. Semua tetangga dan teman-teman Ibu menggunjingkan kamu, Dan. Mereka mengira kamu sudah berbuat tidak senonoh pada perempuan gila itu karena usianya masih sangat muda." Tubuh Ibu luruh ke lantai. Bahunya berguncang diiringi tangis yang memilukan. Aku sudah menyakiti hatinya, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan Zainab yang sudah sah menjadi istriku. Pernikahan yang terlaksana secara mendadak di hadapan ayah Zainab yang hampir meregang nyawa. Pernikahan siri yang akhirnya harus kusahkan secara negara karena tidak ingin dianggap lelaki tidak bertanggung jawab. Tidak ada pesta ataupun sekadar ucapan selamat. Semua orang justru memandang rendah karena aku dianggap sebagai pedofil yang menikahi gadis di bawah umur. Namun, tetap saja aku yang sudah masuk kepala tiga seakan tidak pantas jika disandingkan dengan Zainab. Prang!Terdengar suara benda jatuh dari lantai dua. Sepertinya, dari kamarku. Aku pun bergegas menaiki tangga. Namun, pemandangan yang di luar dugaan seketika membuat nyaliku sebagai laki-laki melemah. Pergelangan tangan kiri Zainab mengucurkan darah segar dengan tubuh yang tergeletak di atas tempat tidur. Sementara, pecahan kaca dari cermin rias berserakan di lantai. Dengan hati-hati kulangkahkan kaki menghampiri Zainab. Membungkus pergelangan tangannya dengan kaus yang kuambil dari lemari, kemudian mengangkat tubuh mungil yang melemas.***Aku tidak bisa memaafkan diri sendiri jika sampai terjadi hal buruk pada Zainab. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Itu sebabnya almarhum ayah mertuaku sangat memaksa agar aku menikahi Zainab sebelum embusan napas terakhirnya. "Permisi, dengan keluarga Zainab?" Seorang suster menghampiriku yang berdiri bersandar dinding di depan ruang UGD. "I--iya, Suster. Saya suaminya," jawabku spontan. Suster itu melihatku dari atas ke bawah. Mungkin dia ragu dan heran karena aku mengatakan sebagai suami Zainab karena gadis itu memang berwajah imut layaknya remaja SMA. "Ada apa, Sus?" tanyaku mengagetkannya."Oh, iya, maaf! Pasien membutuhkan transfusi darah. Namun, golongan darah yang sesuai hanya ada dua kantong. Sedangkan perkiraan dokter, pasien membutuhkan setidaknya tiga kantong darah. Mungkin ada dari kerabat yang golongan darahnya sama?""Sa--saya tidak tahu apakah golongan darah kami sama atau tidak, Sus." Ah, sial! Pandangan suster itu semakin mengintimidasi setelah mendengar jawabanku. "Kalau golongan darah Bapak sendiri apa? Golongan darah istri Bapak B positif." Suara suster itu semakin penuh penekanan. Sinis. "B positif?" tanyaku. "Iya, lalu golongan darah Bapak apa?""Saya juga B positif, Sus.""Kalau begitu, mari ikut saya!"Kebetulan macam apa ini? Ternyata, golongan darahku dengan Zainab pun sama setelah awalan nama kami yang juga sama. Takdir yang cukup aneh, tapi nyata karena Tangan Allah yang menggerakkannya. Hanya sekitar 250 cc darahku yang diambil. Cukup satu kantong katanya. Aku pun kembali ke ruang UGD untuk melihat kondisi Zainab. Namun, gadis itu rupanya akan dipindahkan ke kamar rawat sesuai permintaanku saat mengisi formulir. Kupandangai wajah pucat dengan bibir yang mengering. Sejak semalam, Zainab enggan untuk makan ataupun sekadar minum. Obat dari psikolog yang menanganinya pun tidak ada yang diminum. Zainab lebih sering menyendiri dan tidak mau membuka suara. Zainab terbaring lemah dengan pergelangan tangan kiri diperban. Untung nyawanya masih terselamatkan meskipun sempat dalam masa kritis karena terlalu banyak darah yang keluar. "Maafkan aku, Za! Hidupmu hancur karena aku."Aku tepekur menatap lantai keramik berwarna putih tanpa noda. Mengingat kembali kejadian tadi pagi saat menemukan Zainab dalam keadaan tak sadarkan diri. Sama seperti kaca yang pecah dan berserakan. Hatinya pun pasti hancur karena kehilangan seorang ayah yang menjadi pegangannya semenjak kecil. Bahkan harus membuang semua mimpinya dan menikah denganku, laki-laki yang lebih cocok menjadi sosok kakak untuknya. "Kenapa Bapak menyelamatkan saya? Saya ingin menyusul Ayah." Zainab menangis tanpa suara. Hanya lelehan air mata yang mengalir dan membasahi bantal berwarna putih. Meskipun pedih, aku bersyukur Zainab sudah sadar. "Jangan katakan itu, Za! Kamu pasti bisa menjalani hidup ini. Aku akan selalu ada di sampingmu," kataku penuh penyesalan. Aku paling tidak bisa melihat perempuan menangis. "Bapak tidak perlu berkorban terlalu banyak untuk saya. Tolong ceraikan saya! Saya tidak ingin menjadi beban untuk Bapak.""Kamu bukan beban, Za. Kamu amanah yang harus aku jaga sampai kapan pun.""Jangan korbankan martabat keluarga Bapak hanya untuk perempuan gila seperti saya!""Tidak ada yang mengatakan kamu gila, Za. Kamu istriku sekarang."Zainab tidak lagi menjawab perkataanku. Dia memalingkan wajah ke arah lain. "Ayah," lirihnya. Namun, aku masih bisa mendengarnya. Aku semakin diliputi rasa bersalah. Bayangan ayah mertuaku saat sakaratul maut setelah mengucapkan kata dah pada pernikahanku dan Zainab kembali membayang. Kecerobohan yang membuatku menjadi seorang pembunuh. Aku tersentak saat sebuah getaran terasa di paha. Kuambil ponsel yang memang sedari tadi di saku celana. Sebaris huruf yang terpampang membuat mata ini membulat disertai detak jantung yang lebih cepat. Apakah aku harus menerima panggilan ini? Bismillah ... kugeser lambang telepon berwarna hijau setelah keluar dari kamar rawat Zainab. "Assalamualaikum, Mas!"Suara yang tidak asing kembali menggetarkan hatiku. "W*--waalaikumsalam," jawabku gugup."Mas Zaidan kenapa? Kok, suaranya bergetar begitu? Mas sakit?" tanyanya lembut. "Aku sehat, Ra. Ada apa?" Kucoba berucap dengan tenang. "Sampai kapan Mas Zaidan menggantung hubungan kita? Malah sebulan ini susah dihubungi. Abah sama Ambu sudah nanyain terus."Dia adalah Maira, gadis yang kucintai sejak berstatus mahasiswa. Dan sudah lebih dari enam tahun kami menjalin hubungan sejak hari wisuda S1. Bahkan, hubungan kami sudah direstui oleh orang tuaku dan orang tuanya. Namun, sejak satu tahun yang lalu, Maira harus kembali ke kampung halamannya di Sukabumi karena sang ibu menderita sakit jantung dan menginginkan putrinya tinggal. Dia pun merelakan pekerjaannya sebagai guru SMA di Jakarta ini dan mengabdikan dirinya sebagai seorang guru SMP di desanya. "Mas!" Aku kembali tersadar dari lamunan saat suara merdu itu menyentak. Apa yang harus kukatakan pada Maira? "Apa kita bisa bertemu, Ra? Ada yang ingin aku katakan.""Mas Zaidan mau melamar aku? Langsung datang ke rumah saja, Mas," sahutnya kegirangan. Ah, Maira! Sampai sekarang pun aku masih mencintaimu. Namun, sudah ada Zainab di sampingku yang tidak mungkin kutinggalkan. "Aku mau kita bicara berdua saja, Ra.""Tapi aku gak bisa ke Jakarta, Mas. Ambu tidak bisa ditinggalkan. Kalau Mas ke sini, apa tidak akan melakukan lamaran sekalian? Kan, bulan lalu Mas Zaidan udah mau melamar, tapi malah gak jadi." Suara Maira terdengar lebih lirih. Ada kekecewaan di sana. "Maafkan aku, Ra. Malam itu, aku kecelakaan saat perjalanan ke rumahmu.""Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Sepertinya, alasan kecelakaan itu bukan alasan utama. Tadi, Ibu meneleponku sambil menangis. Apa yang sebenarnya terjadi?" cecarnya hingga membuat mulutku terkunci. "Ibu bilang apa, Ra?""Ibu hanya bilang kalau dia ingin aku yang menjadi menantunya."Tut .... Seketika panggilan telepon terputus. Apa mungkin Ibu sudah mengatakan tentang pernikahanku dan Zainab? Maira, sampai kapan pun kamu tetap menjadi cinta pertamaku. Aku hanya menjalankan amanah pada Zainab."Kalau kamu sayang sama Ibu, ceraikan Zainab dan menikahlah dengan Maira!"Ucapan Ibu membuatku menjadi harus memilih antara menjadi seorang suami dan seorang anak. Aku tidak ingin menyakiti hati Ibu, tapi juga tidak ingin menjadi suami yang gagal. Meskipun aku tahu jika ada satu wanita lagi yang tersakiti di sudut bumi yang lain.Maafkan aku, Maira. Cinta ini masih sama, tapi kita tidak bisa bersama."Aku gak bisa, Bu. Aku bukan laki-laki yang suka mengingkari janji," bantahku."Apa kamu gak sadar, Nak? Saat ini pun kamu sudah mengingkari janji pada ayahmu dan Maira. Kamu janji pada almarhum ayahmu untuk selalu mematuhi Ibu dan kamu janji akan menikahi Maira setelah mampu membeli rumah dengan keringatmu sendiri."Boom!Jawaban Ibu begitu menohok hatiku. Benar sekali jika saat ini aku sudah mengingkari janji. Namun, aku juga tidak ingin menambah derita untuk Zainab."Lalu, apa yang Ibu mau? Ibu mau aku menjadi laki-lak
Satu pekan setelah pindah dari rumah Ibu, kondisi Zainab perlahan membaik. Aku bersyukur karena tidak sia-sia mengambil cuti selama lima hari dengan imbalan senyum dari gadis berlesung pipi itu. Hari ini pun aku sengaja mengubah jadual kelas agak siang agar bisa mengantar Zainab kembali kontrol ke rumah sakit untuk memastikan kesembuhan luka di pergelangan tangannya. Sekaligus berkunjung ke psikiater yang menanganinya."Saya tidak mau ke psikiater, Pak. Saya tidak gila," tolak Zainab. Kulirik sekilas, ia menoleh ke arahku yang sedang fokus menyetir."Tidak ada yang mengatakan kamu gila, Za. Kamu hanya ada trauma pada suatu kejadian. Nanti hanya akan ngobrol saja," jelasku dengan pandangan lurus ke depan."Bapak jadi mendaftarkan saya kuliah, 'kan? Saya ingin segera belajar seperti dulu.""Nanti setelah dari rumah sakit, kita langsung ke kampus. Aku ada jadual kelas siang sekalian mendaftarkan kamu. Tapi kamu harus bisa mengejar ketinggalan dua bulan p
Aku masih saja ingin tertawa saat mengingat wajah Zainab yang sangat lugu itu. Dia benar-benar mengira kalau aku sudah menyentuh bagian penting dari tubuhnya. Dan lagi karenanya, mi instan yang kubuat menjadi lembek dan kehabisan air.Apes!"Bapak beneran gak ngapa-ngapain saya, 'kan?" tanyanya lagi. Sekarang kami duduk di sofa ruang tengah dan menyantap makan malam yang gagal."Iya, sudah" jawabku sambil menikmati mi instan yang lembek."Berarti, Bapak juga udah lihat—" Ucapannya kembali menggantung."Iya," jawabku lagi."Tuh, 'kan! Bapak curang." Zainab merengek sembari memukul bahuku cukup keras.Aku membuang napas, lalu meletakkan sendok dan garpu dengan kasar. Kugeser tubuh hingga berhadapan dengan Zainab. Kutatap mata indah itu lekat.Zainab mulai salah tingkah dan membuang muka.Aku sama sekali tidak mengeluarkan suara dan sedikit mengangkat bagian bawah kaus yang kukenaka
"Za!" panggilku sesaat setelah mobil berhenti di tempat parkir kampus."Iya," jawabnya dengan mata yang kembali berbinar.Kamu memang masih tergolong remaja, Za. Cantik meskipun tanpa polesan wajah sama sekali. Beberapa saat aku kembali terpesona dengan wajah cantik istri kecilku."Ini buat pegangan. Kamu bisa pakai untuk jajan atau membeli sesuatu yang kamu butuhkan." Kuserahkan beberapa lembar uang berwarna merah untuknya."Apa tidak kebanyakan, Pak? Ayah biasanya kasih saya uang saku cuma sepuluh ribu, paling banyak dua puluh ribu."Aku tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. Zainab benar-benar gadis yang sangat lugu. Aku semakin mengaguminya."Kamu itu istriku, Za. Kamu berhak mendapat nafkah dariku.""Ini saya terima ya, Pak. Mau saya tabung buat beli handphone." Dimasukkannya uang itu secara asal di dalam tasnya."Kalau handphone, nanti aku belikan setelah pulang dari kampus. Nanti, kala
Makan malam ini terasa sangat kaku karena aku dan Zainab sama-sama diam. Entah masakan apa ini, tapi cukup enak dan nyaman di lidahku. Aku juga tidak tahu kapan dia memasak.Ah, sudahlah! Aku tidak ingin lagi memedulikan apa yang dilakukannya setelah ucapannya yang menganggapku bukan siapa-siapa.Selesai makan malam, aku mulai mengemasi barang-barangku di kamar utama dan memindahkannya ke kamar sebelah. Lebih baik aku dan Zainab tidur terpisah. Aku tidak ingin jika cinta ini malah menyiksaku lahir dan batin.Aku harus mengakui kalau sudah ada rasa cinta di hati ini, tapi aku juga tahu diri. Mana mungkin Zainab mau mencintai pembunuh ayahnya."Barang-barang Bapak mau dibawa ke mana?" tanyanya, tapi enggan kujawab.Zainab mengekorku hingga masuk ke kamar yang akan kutempati."Bapak kenapa? Sejak dari Mal tadi, Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Bapak ada masalah?" tanyanya lugu.Dasar Zainab! Apa dia tidak
Aku menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang pada nama Zainab. Sikap dan tingkahnya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat semenjak pulang dari kampus. Dia tidak seperti Zainab yang kukenal dua bulan terakhir ini."Nanti, Bapak mau aku masakin apa? Di rumah masih komplet bahan makanannya." Zainab terus menggamit lenganku hingga sampai di tempat parkir.Aku yang seharusnya senang, tapi nyatanya aku malah merasa risih karena banyak pasang mata yang memandang aneh dan penuh selidik. Kemudian, terlihat mereka saling kasak-kusuk dengan orang di sebelahnya.Aku tidak ingin jika nama Zainab menjadi gunjingan di kalangan mahasiswa karena dituduh mendekati dosennya untuk mendapat nilai sempurna. Namun, berita akan berbalik jika mereka tahu kami sudah menikah. Entah aku atau Zainab yang akan mendapat image buruk. Hingga tanpa sadar, perkataan yang tidak semestinya terlontar."Aku gak suka dengan sikapmu yang seperti ini. Seperti
Hari ini genap dua bulan pernikahan tak terencana itu. Dan lebih tepatnya satu pekan setelah Zainab keluar dari rumah sakit. Aku mengajak Zainab untuk makan malam di luar. Candle light dinner istilahnya. Gaun warna hijau muda dipadu jilbab pasmina warna senada membuat wajah Zainab yang baby face itu tampak lebih dewasa. Cantik.Aku sampai terpana saat melihatnya keluar dari salon. Meskipun make up yang diaplikasikan di wajahnya tidak begitu tebal, istri kecilku itu tampak sangat anggun dan memesona. Dia sebenarnya tidak mau memakai make up. Tidak biasa katanya. Namun, demi menuruti perintahku, Zainab menekan egonya."Tapi jangan tebal-tebal!" pintanya dengan raut muka sedikit masam.Sebuah hotel yang cukup terkenal di kota ini menjadi tujuanku. Satu kamar dengan dekorasi indah di lantai sepuluh sudah kupesan secara khusus. Bahkan, aku meminta untuk membuatkan makan malam istimewa di balkon kamar. Aku ingin membuat satu hari istimewa untuk Zainab kare
Aku terkejut pada respon Zainab yang biasa saja saat kuperlihatkan berita miring yang sedang beredar di kampus. Dia malah tertawa kecil di hadapanku. Padahal, berita ini pasti akan menjatuhkan image-ku sebagai dosen yang biasanya cukup disegani oleh para mahasiswa.Namun, Zainab sepertinya tidak mengerti kegelisahanku. Sebentar lagi, pasti akan ada telepon dari Pak Syamsul selaku rektor di kampus.Tamatlah riwayatku!"Mas Idan gak perlu takut. Kita kan, sudah menikah. Kita tinggal bawa bukti surat nikah kita, dan semua beres," jawab Zainab enteng."Aku tahu itu, Za. Namun, bagaimana dengan persepsi mereka saat melihat pernikahan kita dengan usia yang terpaut cukup jauh. Bahkan, mereka pasti mengira kalau kita menyembunyikan pernikahan ini karena ada aib.""Katanya dosen bahasa dan sastra, tapi kok, gak bisa merangkai kata?" balas Zainab.Mati aku! Kenapa Zainab malah memojokkanku seperti itu? Dia sama sekali tidak takut dengan masalah yang s
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida