Makan malam ini terasa sangat kaku karena aku dan Zainab sama-sama diam. Entah masakan apa ini, tapi cukup enak dan nyaman di lidahku. Aku juga tidak tahu kapan dia memasak.
Ah, sudahlah! Aku tidak ingin lagi memedulikan apa yang dilakukannya setelah ucapannya yang menganggapku bukan siapa-siapa. Selesai makan malam, aku mulai mengemasi barang-barangku di kamar utama dan memindahkannya ke kamar sebelah. Lebih baik aku dan Zainab tidur terpisah. Aku tidak ingin jika cinta ini malah menyiksaku lahir dan batin. Aku harus mengakui kalau sudah ada rasa cinta di hati ini, tapi aku juga tahu diri. Mana mungkin Zainab mau mencintai pembunuh ayahnya. "Barang-barang Bapak mau dibawa ke mana?" tanyanya, tapi enggan kujawab. Zainab mengekorku hingga masuk ke kamar yang akan kutempati."Bapak kenapa? Sejak dari Mal tadi, Bapak tidak banyak bicara seperti biasanya. Bapak ada masalah?" tanyanya lugu. Dasar Zainab! Apa dia tidak tahu kalau ucapannya tadi membuatku menjadi merasa tidak dianggap. "Mulai sekarang, aku tidur di sini. Kamar itu boleh buat kamu," jawabku tanpa melihat ke arah Zainab. Sementara tangan ini masih sibuk menata buku dan barang-barangku di atas meja di kamar baru ini. "Bapak kenapa? Apa saya membuat kesalahan? Kalau yang di kamar mandi tadi, saya minta maaf. Saya--.""Keluarlah dari kamarku! Mulai sekarang, kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau. Berteman dengan siapa saja atau kamu mau menjalin hubungan dengan laki-laki seusiamu. Aku tidak akan membuka rahasia pernikahan kita. Dan kalau kamu sudah mendapatkan pasangan yang tepat, aku akan menceraikanmu." Kusela ucapan Zainab. Meskipun aku juga merasakan sakit, tapi ini akan lebih baik. "Apa maksud Bapak?" Suara Zainab melemah diiringi isakan kecil. "Aku bukan siapa-siapa yang perlu tahu semua tentangmu, 'kan? Jadi, aku akan membatasi diri dari sekarang."Tangisan Zainab semakin keras. "Bapak marah dengan ucapan saya saat pulang dari kampus tadi? Saya minta maaf, Pak. Saya--.""Tidak perlu minta maaf. Selamanya, aku memang pembunuh yang tidak akan pernah mendapat maaf. Aku mengerti posisiku. Keluarlah, aku mau istirahat!"***Aku terbangun dengan sedikit lelah pagi ini. Aku kesulitan tidur semalam karena terus memikirkan Zainab. Apalagi, hujan mengguyur bumi semalam meskipun tidak terlalu deras. Aku takut jika traumanya kembali menguasai jiwanya. Namun, tidak ada suara teriakan atau tangisan Zainab semalam. Selepas salat Subuh dan mandi pagi, badanku lebih segar. Aku pun keluar dari kamar untuk membuat sarapan. Namun, aku melihat beberapa menu masakan sudah terhilang di meja makan. Apa mungkin Zainab yang memasak? Jam berapa dia bangun? Padahal ini masih pukul enam pagi dan masakan-masakan itu sudah siap dengan asap tipis mengepul di atasnya. "Ayo, sarapan dulu, Pak!" Zainab berjalan menghampiri. Mata ini kembali terpesona dengan gadis belia itu. Dress selutut warna putih dan sedikit transparan dikenakannya dan sangat cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Bahkan, rambut yang biasanya dikuncir, kini tergerai dan masih basah. Astaga! Apa-apaan dia? Aku sudah susah payah menghindarinya semalam, tapi pagi ini dia malah menggoda imanku dengan pakaian seperti itu. "Dari mana kamu dapat pakaian seperti itu?" tanyaku membuang gugup. "Ini kan, pakaian yang Bapak belikan lewat online shop," jawabnya santai. Apa iya aku membelikan pakaian seperti itu?Ah, sial! Belanja online memang tidak bisa ditebak. Zainab semakin mendekat. Sedangkan aku semakin dilanda gugup. Dia menarikkan kursi untukku, lalu dia duduk di kursi yang berhadapan denganku. "Duduk, Pak!" ucapnya dengan senyuman yang sangat manis. Aku masih belum bisa mengontrol detak jantung yang memompa darah kian cepat. "Ganti pakaianmu, Za! Aku tidak suka," ucapku berbohong. Padahal, aku sangat menyukainya. Namun, aku takut jika akan lepas kendali meskipun dia sudah halal untukku. "Gerah, Pak. Lagian, hari ini gak ada kelas pagi. Bapak juga, 'kan.""Za, aku ini laki-laki normal. Sedangkan kamu tidak menganggapku sebagai seorang suami. Jadi, lebih baik kita menjaga jarak daripada terjadi sesuatu yang lebih.""Bukannya Bapak bilang kalau saat hujan itu ....""Aku belum melakukannya, Za. Aku hanya ingin membuat Ibu yakin jika aku akan bahagia denganmu." Aku kembali bangkit dari duduk tanpa menyentuh makanan di atas meja. Aku kembali ke kamar dan menutup pintu dengan kasar. Mungkin yang kulakukan ini akan membuat Zainab takut. Namun, aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana dengannya. Pukul setengah sepuluh, aku keluar dari kamar untuk berangkat ke kampus karena jadwal mengajar sekitar satu jam lagi. Kulihat Zainab sudah duduk di sofa ruang tamu dengan pakaian tertutup. Dia memang berhijab saat di luar rumah. Tanpa bicara, Zainab mengikutiku yang melangkah ke luar rumah. Kami tetap saling diam di dalam mobil hingga sampai di kampus. "Saya sudah memaafkan Bapak tentang kecelakaan yang menimpa Ayah. Semua sudah takdir, Pak. Saya sudah ikhlas. Dan saya juga ikhlas menjadi istri Bapak. Tolong jangan diamkan saya seperti ini! Saya sudah tidak punya siapa-siapa." Zainab menghela napas sejenak. "Saya duluan ke kelas, Pak."Aku hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. ***"Kamu itu kenapa, Dan? Dari datang sampai sekarang, muka ditekuk terus." Handoko--dosen fakultas teknik--menepuk bahuku. "Punya istri, tapi gak bisa menyentuh itu bikin tersiksa, Han."What! Aku keceplosan. "Kamu udah nikah, Dan? Kapan? Kenapa gak ada undangan?" cecar Handoko. "Emangnya aku tadi bilang apa, Han?" "Jangan ngeles, Dan! Aku juga denger, kok," sahut Bagas-salah satu dekan kampus. Mati aku! Mau bilang apa sama mereka? Dua orang ini yang paling dekat denganku sejak masa kuliah. Mereka sudah hapal betul perangaiku."Kamu mau jujur atau kita akan cari tahu sendiri?" Handoko memberikan pilihan yang keduanya tidak menguntungkan untukku.Aku terdiam, memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan mereka. Namun, bagaimana jika berita ini menyebar? Hubunganku dengan Zainab yang sudah dingin ini akan semakin membeku pastinya. "Dan! Woi, malah ngelamun!" Bagas menepuk tangannya di depan wajahku. "Aku udah nikah dan sudah hampir dua bulan," jawabku.Sontak membuat dua orang sahabatku itu memekik bersamaan. "Apa?!""Gak usah pura-pura kaget." Aku memutar bola mata malas. "Dan hampir dua bulan kamu belum melakukan malam pertama?" Suara Handoko naik tiga oktaf. Namun, Bagas justru tertawa terbahak-bahak. "Bisa kuat gitu, Dan?""Gak usah ngejek! Kalian gak tahu gimana jalan pernikahanku.""Bukannya kamu sama Maira saling cinta? Masa dia gak mau kamu sentuh?" cicit Handoko. "Bukan sama Maira, tapi sama bocah karena aku gak sengaja nabrak ayahnya sampai meninggal.""Bocah?!"Lagi, Handoko dan Bagas tampak tidak percaya. "Kenapa gak ditolak? Kasihan Maira." Bagas terlihat sedikit emosi."Kalian gak tahu posisiku. Ayahnya mengiba saat lagi sekarat. Aku gak bisa nolak karena dikepung sama warga sekitar yang siap membawaku ke jalur hukum.""Memangnya umurnya berapa? Kok, kamu bilang dia bocah." Handoko kembali bertanya. "Delapan belas. Baru lulus SMA.""Beneran gila kamu, Dan. Dapet perawan kinyis-kinyis, tapi gak bisa dipake," goda Bagas sambil tersenyum mengejek. "Ah, terserah kalian saja. Aku sudah pusing sama hidupku." Aku bangkit dari duduk dan meninggalkan ruang dosen. Aku berjalan cepat menuju parkiran dan menunggu Zainab di mobil. Namun, pemandangan tidak enak kembali harus kulihat. Zainab sedang bersenda gurau dengan mahasiswa yang kemarin kulihat bersamanya di perpustakaan. Akhirnya, aku memutar badan untuk mencari jalan lain. Malas kalau harus menyapa mereka. Hanya sakit hati yang akan kudapat. Argh! Aku bisa gila kalau selalu makan hati setiap hari. Sedangkan Zainab tidak peduli dengan perasaanku. "Tunggu, Pak!" Aku hapal betul suara itu, tapi kenapa Zainab menghentikan langkahku? "Ayo, pulang!" Zainab menggamit lengan kiriku dan bergelayut manja. Ya Allah! Aku harus bagaimana?Aku menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang pada nama Zainab. Sikap dan tingkahnya tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat semenjak pulang dari kampus. Dia tidak seperti Zainab yang kukenal dua bulan terakhir ini."Nanti, Bapak mau aku masakin apa? Di rumah masih komplet bahan makanannya." Zainab terus menggamit lenganku hingga sampai di tempat parkir.Aku yang seharusnya senang, tapi nyatanya aku malah merasa risih karena banyak pasang mata yang memandang aneh dan penuh selidik. Kemudian, terlihat mereka saling kasak-kusuk dengan orang di sebelahnya.Aku tidak ingin jika nama Zainab menjadi gunjingan di kalangan mahasiswa karena dituduh mendekati dosennya untuk mendapat nilai sempurna. Namun, berita akan berbalik jika mereka tahu kami sudah menikah. Entah aku atau Zainab yang akan mendapat image buruk. Hingga tanpa sadar, perkataan yang tidak semestinya terlontar."Aku gak suka dengan sikapmu yang seperti ini. Seperti
Hari ini genap dua bulan pernikahan tak terencana itu. Dan lebih tepatnya satu pekan setelah Zainab keluar dari rumah sakit. Aku mengajak Zainab untuk makan malam di luar. Candle light dinner istilahnya. Gaun warna hijau muda dipadu jilbab pasmina warna senada membuat wajah Zainab yang baby face itu tampak lebih dewasa. Cantik.Aku sampai terpana saat melihatnya keluar dari salon. Meskipun make up yang diaplikasikan di wajahnya tidak begitu tebal, istri kecilku itu tampak sangat anggun dan memesona. Dia sebenarnya tidak mau memakai make up. Tidak biasa katanya. Namun, demi menuruti perintahku, Zainab menekan egonya."Tapi jangan tebal-tebal!" pintanya dengan raut muka sedikit masam.Sebuah hotel yang cukup terkenal di kota ini menjadi tujuanku. Satu kamar dengan dekorasi indah di lantai sepuluh sudah kupesan secara khusus. Bahkan, aku meminta untuk membuatkan makan malam istimewa di balkon kamar. Aku ingin membuat satu hari istimewa untuk Zainab kare
Aku terkejut pada respon Zainab yang biasa saja saat kuperlihatkan berita miring yang sedang beredar di kampus. Dia malah tertawa kecil di hadapanku. Padahal, berita ini pasti akan menjatuhkan image-ku sebagai dosen yang biasanya cukup disegani oleh para mahasiswa.Namun, Zainab sepertinya tidak mengerti kegelisahanku. Sebentar lagi, pasti akan ada telepon dari Pak Syamsul selaku rektor di kampus.Tamatlah riwayatku!"Mas Idan gak perlu takut. Kita kan, sudah menikah. Kita tinggal bawa bukti surat nikah kita, dan semua beres," jawab Zainab enteng."Aku tahu itu, Za. Namun, bagaimana dengan persepsi mereka saat melihat pernikahan kita dengan usia yang terpaut cukup jauh. Bahkan, mereka pasti mengira kalau kita menyembunyikan pernikahan ini karena ada aib.""Katanya dosen bahasa dan sastra, tapi kok, gak bisa merangkai kata?" balas Zainab.Mati aku! Kenapa Zainab malah memojokkanku seperti itu? Dia sama sekali tidak takut dengan masalah yang s
Aku dan Zainab sekarang berada di ruang redaksi majalah kampus yang berisi mahasiwa jurusan jurnalistik. Kami layaknya tahanan yang diinterogasi karena melakukan tindakan kriminal. Menyebalkan!Seorang mahasiswa yang belakangan mendekati Zainab juga ada di ruangan ini. Tatapan matanya tampak sinis memandangku."Ham, lo potoin Pak Zaidan sama Zainab!" perintah salah satu mahasiswa yang tadi mewawancaraiku dan Zainab.Aku dan Zainab diminta memegang surat nikah kami di depan dada lalu difoto oleh mahasiswa yang selalu dipanggil 'Ham'.Setelah masalah berita hoax di kampus itu tuntas, aku berencana mengajak Zainab untuk mengunjungi Ibu. Sudah satu bulan ini aku tidak pernah mengunjunginya. Tidak tega juga rasanya membiarkannya hidup sendirian di usia senja. Sekaligus meminta restu agar aku bisa dengan terang-terangan mengatakan pada dunia kalau Zainab adalah istriku."Za, karena hari ini tidak ada kelas, aku mau nengok Ibu sebentar, ya. Nant
Setelah status pernikahanku dan Zainab terbongkar, kami tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi saat bertemu di kampus. Meskipun tetap ada yang tidak suka, tapi lebih banyak yang mulai mendekati Zainab.Eits, tapi tunggu dulu! Aku sudah berpesan pada istri kecilku itu untuk menjaga jarak jika dengan laki-laki. Dan dia juga paham."Mas Idan tenang saja. Aku tidak akan tergoda dengan laki-laki lain karena suamiku lebih menggoda," ucapnya suatu malam.Untungnya, kebanyakan yang mendekati Zainab adalah perempuan. Jadi, aku tidak perlu terlalu khawatir. Namun, mereka juga ga punya maksud tersembunyi pastinya. Mendekati Zainab untuk menarik simpatiku. Tahu sendirilah niat mahasiswa yang mendekati istri dosennya.Satu bulan terlewat sejak terakhir aku datang ke rumah Ibu. Sebenarnya, aku ingin sekali menemui Ibu, tapi sekarang ada Maira yang sengaja diminta tinggal di sana. Katanya, dia diminta untuk mengajar lagi di SMA yang tempatnya bekerja dulu.&n
"Zaidan masuk rumah sakit. Kalau bisa, kamu segera menyusulnya ke Bandung."Ucapan Pak Handoko membuat rasa khawatirku tak terkendali. Ada apa dengan Mas Zaidan?Tanpa pikir panjang, aku langsung berpamitan dan meninggalkan teman-teman mahasiswa yang sedang berdiskusi untuk tugas kelompok matakuliah leksikografi yang diampu oleh Bu Mery."Kamu mau ke mana, Za?" tanya Elisa."Pak Zaidan masuk rumah sakit. Aku mau nyusul ke Bandung," jawabku setengah berteriak. Kemudian, melanjutkan langkah menuju halte di depan kampus untuk mencari angkutan umum. Aku akan ke Bandung naik kereta.Perjalanan sekitar tiga jam terasa sangat lama bagiku karena tidak ada satu orang pun bisa dihubungi untuk sekadar menanyakan kabar Mas Zaidan. Pak Handoko hanya bilang kalau Mas Zaidan belum sadar sejak ditemukan pingsan di kamar sekitar pukul satu siang dan beliau baru memberiku kabar pukul tiga sore.Menjelang Magrib aku sampai di Rumah sakit temp
Aku tahu kalau kekecewaan Zainab cukup besar karena peristiwa di Bandung itu. Aku tidak mengajaknya, tapi ada Maira yang menemani.Bukan mauku. Bahkan, aku tidak tahu sama sekali kalau Maira ikut dalam acara seminar dan bedah buku itu."Kamu itu teman atau lawan sebenarnya, Han? Kamu sengaja mau membuat rumah tanggaku dengan Zainab hancur? Aku gak nyangka kalau kamu bisa melakukan hal itu sama aku, Han. Katanya teman, tapi menusuk dari belakang," cecarku pada Handoko yang baru saja masuk ke ruang dosen."Aku gak bermaksud merusak rumah tanggamu, Dan. Maira datang ke rumahku. Dia nangis-nangis di depanku sama istriku." Handoko menghela napas kasar."Maira memohon buat bisa ketemu kamu, tapi tanpa istrimu. Aku juga bingung, Dan. Aku cuma kasihan sama Maira. Dia--.""Sudahlah, Han! Aku gak mau bahas soal dia." Kusela perkataan Handoko."Jangan egois kamu, Dan! Seenaknya saja membuat anak orang patah hati dan gak mau meluruskan secara baik
Aku tergemap. Seseorang tiba-tiba memelukku dari belakang saat akan membuka pagar depan rumah. Awalnya, kukira Zainab yang melakukannya. Namun, saat aku menoleh, ternyata Maira yang melingkarkan kedua tangan di perutku.Aku melihat ke arah mobil yang masih menyala. Zainab masih duduk di dalam mobil dan memandangku dengan tatapan yang tak mampu kujabarkan. Pastinya dia marah dan kecewa.Kucoba menyingkirkan tangan Maira berulang kali, tapi berulang kali pula dia kembali memelukku. Bahkan, semakin erat."Lepas, Ra!" bentakku."Aku rela jadi yang kedua, Mas. Tolong jangan putuskan hubungan kita!" ucapnya mengiba.Kulihat Zainab sudah keluar dari mobil. Dia berdiri sambil memegang pintu mobil yang terbuka. Tercetak jelas bekas air mata yang menetes di pipinya. Zainab tidak bersuara sedikit pun. Dia berjalan melewatiku, membuka pintu pagar, dan melanjutkan langkah. Dia masuk ke rumah setelah memutar anak kunci."Kamu gila, Ra!"
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida