Mas Zaidan terus membuat hati ini berbunga-bunga. Dia tak hentinya berceloteh tentang calon anak kedua kami. Dia begitu berharap jika nantinya akan terlahir bayi laki-laki dari rahimku. "Mas jangan terlalu berharap. Takutnya kalau gak sesuai keinginan, malah Mas yang kecewa," ucapku sedikit mengingatkan. "Iya, Sayang, tapi boleh dong berharap?" jawabnya sambil tetap fokus menyetir. Aku terdiam. Meskipun Mas Zaidan menjawab iya, tapi hati kecilku berkata jika harapannya sangat besar untuk punya anak laki-laki. "Kok, diem? Mas gak masalah, kok, kalau memang anak kita perempuan lagi." Tangan kirinya meraih tangan kananku, lalu menggenggamnya erat. Kuulas sedikit senyum untuknya. "Iya, tapi aku cuma capek aja, kok. Pengen cepet-cepet rebahan."Sesampainya di rumah, aku melihat wajah Ibu yang sedikit tidak bersahabat. Beliau sudah duduk di sofa ruang tengah sambil menghadap arah pintu. Aku sedikit gugup untuk saat ini. Tatapan mata Ibu hampir sama seperti saat sebelum menerimaku sebag
Melihat wajah Zainab yang lesu selepas mendengar ucapan Ibu membuatku tidak tega. Tindakannya yang kurang memperhatikan Zahira itu memang salah. Namun, aku tahu jika dia tidak mungkin melupakan putri kecil kami. Bahkan, dia juga tidak memperhatikan dirinya sendiri. Tidak seperti awal mengandung Zahira yang diketahuinya lebih awal. Kehamilan kali ini saja sampai terlupakan dan baru diketahui saat sudah berusia dua bulan. Itu pun Zainab sempat menolak mentah-mentah saat kuajak periksa ke dokter. Tiga hari sudah Zainab melepaskan tugasnya di resto untuk berdiam di rumah sambil menjaga Zahira. Waktu yang harusnya bisa dia gunakan untuk beristirahat, nyatanya pikirannya tidak di tempat. Dan pagi ini, aku mengikuti permintaannya untuk menengok resto hingga aku diam-diam meminta izin untuk tidak mengajar agar bisa menemaninya. Mana mungkin aku tega membiarkannya bekerja sambil mengajak Zahira. Itu tidak baik untuk kondisinya yang seharusnya lebih banyak untuk beristirahat."Mas tadi bilang
"Bu, tolong jangan menekan Zainab terus. Dia sedang hamil muda dan itu bisa mempengaruhi kandungannya. Apa Ibu tidak sayang dengan calon cucu Ibu?"Aku bicara empat mata di kamar Ibu pagi ini. Mencoba berdamai dengan sikap Ibu yang belakangan ini justru semakin tidak bersahabat dengan Zainab. Saat pulang dari rumah Ayah semalam, Ibu kembali memarahi Zainab karena kami baru sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Seharusnya aku juga kena omelan Ibu, tapi nyatanya Ibu hanya menyalahkan Zainab. "Ibu gak tahu, Dan. Ibu cuma khawatir sama Zahira. Dia punya riwayat sakit jantung. Ibu takut terjadi apa-apa sama cucu Ibu." Aku bisa melihat air mata yang mulai meleleh di wajah Ibu. "Aku paham itu, Bu. Namun, Zainab juga sedang hamil. Kondisinya menurun beberapa hari ini, dia juga susah makan, gak mau minum susu, dan sekarang morning sickness-nya gak kenal waktu."Kuhela napas sejenak untuk meredam emosi. Sepertinya, aku keterlaluan pada Ibu. "Zaidan minta maaf, Bu. Zaidan gak bermaksu
PoV ZainabCukup menyedihkan memang jika seseorang menilai orang lain dari penampilan saja. Aku memang tidak terlalu banyak berubah. Masih seperti Zainab yang dulu, tapi sekarang sudah lebih tegar dalam menghadapi hidup. Setelah mengurai sedikit ketegangan yang terjadi kerena Nindia--kakak kelasku saat SMA yang juga menyukai Kak Angga--acara Kak Dio dimulai. Namun, aku mengajak Kak Dio berbicara berdua dulu setelah izin dengan Mas Zaidan. Aku ingin tahu tentang kedekatannya dengan Nindia. "Aku sama Nindia gak ada hubungan, Nis. Dianya saja yang ke-pede-an. Dia itu cuma karyawan magang yang dibawa papanya selaku manajer marketing di kantor," papar Kak Dio. "Kakak gak bohong, 'kan? Aku bukannya mau ngatur masalah pribadi Kakak, tapi aku tahu siapa Nindia. Dia gak cocok buat Kakak."Sebenarnya, tidak enak karena belum lama mengenal Kak Dio dan aku sudah melarangnya berhubungan dengan seseorang. Namun, aku tidak. ingin jika Kak Dio mendapat pasangan yang kurang baik. Bagaimanapun, dia
Aku panik setengah mati saat mendapati Zainab tergeletak di lantai dengan tubuh yang sangat dingin. Wajahnya terlihat sangat pucat dan sesekali merintih sambil memegangi perut. Dan benar adanya, Zainab mengalami prndarahan ringan akibat kelelahan kemarin. Ingin sekali memarahinya supaya sadar jika yang dilakukannya itu salah, tapi aku tidak tega. Kondisinya masih belum pulih. Lagi pula, cinta ini mengalahkan amarah. Marahku padanya mungkin malah akan memperburuk keadaan. Dia juga berulang kali meminta maaf karena aku sengaja mendiamkannya. Ya, lebih baik diam untuk menjaga emosi. Hingga Zainab memintaku menghentikan mobil. Dia ingin makan nasi uduk. Ah, ada rasa bahagia karena akhirnya perempuanku mau jujur tentang ngidamnya di kehamilan kedua ini. Memang baru kali ini Zainab mengatakannya. Sekali lagi, aku kalah karena cinta. Dia terlalu istimewa untuk diabaikan. Melihatnya makan dengan lahap membuat perut yang sebenarnya masih kosong ini terasa kenyang. Entahlah? Nyatanya itu bena
Zainab sedang sibuk membuatkan susu untuk Zahira, sementara gadis kecil berpipi tembam itu di pangkuanku yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Sejak semalam, memang aku sengaja mengajak Zainab dan Zahira menginap di rumah pribadi kami. Sedikit menjaga hati istri tercintaku itu dari Ibu yang entah kenapa sikapnya berubah kaku padanya.Sebelumnya, kami pergi untuk memeriksakan kandungan Zainab. Alhamdulillah, sehat di usia tiga belas minggu, sudah lewat trimester pertama. Intensitas morning sickness-nya pun sudah berkurang. Wajah cantiknya juga mulai berseri lagi. "Ini susunya, Mas." Sebotol susu untuk putriku siap dengan suhu hangat yang pas. "Terima kasih, Mama," sahutku, lalu menempatkan ujung dot ke mulut Zahira."Di kulkas gak ada apa-apa, Mas. Aku gak bisa masak." Zainab duduk di sebelahku, lalu meraih remot TV dan menekan tombol ON. "Gak apa-apa. Kita sarapan di luar saja srkalian jalan-jalan. Kamu sudah enakan, kan? Kita belum pernah liburan sejak ada Zahira."Entah kenapa
Aku memang kecewa dengan Mas Zaidan karena dia mengungkit soal status hubunganku dengan Kak Dio yang hanya sebatas saudara angkat. Namun, bukan itu alasan sebenarnya aku diam. Aku merasa bersalah pada Mas Zaidan karena ulah Kak Dio yang menyebabkan lebam di pipinya. Dan di sisi lain, aku menerima pesan dari Kak Dio beberapa saat setelah meninggalkan rumahnya. Dalam foto itu, aqqMas Zaidan terlihat mengunci tubuh Kak Devara yang punggungnya sudah menempel pada tembok. Sementara kedua tangan Mas Zaidan berada di sisi kanan dan kiri tubuh Kak Devara. Meskipun hati kecil ini mengatakan jika Mas Zaidan tidak bersalah, tapi bukti itu sangat memberatkannya. "Za, jangan diam saja. Mas sudah minta maaf," ujarnya entah yang ke berapa kali. "Di depan ada apotek, tolong berhenti sebentar, Mas," sahutku.Mobil pun berhenti di depan apotek dan aku bergegas masuk ke dalam untuk membeli salep serta air mineral dingin. Sementara Zahira kutinggalkan bersama papanya di mobil. "Kamu beli apa, Za?" t
Zahira berjingkrak di pangkuanku saat mobil melaju membelah jalanan kota. Bayi gembulku sepertinya sangat girang melihat lalu lalang kendaraan. Namun, aku mendesis saat tiba-tiba kakinya tanpa sengaja menyentak perut. Mas Zaidan pun langsung menghentikan laju mobilnya setelah mendapatkan tempat untuk menepi. "Kenapa, Za?""Perutku begah, Mas. Kena kakinya Zahira," jawabku tertahan. Napas ini teras cukup berat sekarang. Mas Zaidan mengendurkan sandaran jok hingga tubuhku setengah berbaring setelah mengambil alih Zahira. Dia mengusap pelan perutku, sedangkan aku memejam sambil menarik napas panjang beberapa kali. "Kita periksa saja, ya. Takutnya kenapa-napa." Suara lelaki bermanik mata hitam itu terdengar panik. "Udah baikan, kok, Mas. Cuma kaget saja."Aku kembali membuka mata dan membenarkan duduk. Kemudian, meminta Zahira lagi dari papanya. "Kamu gak usah pegang Zahira dulu, deh. Dia lagi aktif banget. Mas gak mau kandunganmu kenapa-napa.""Trus Mas nyetirnya gimana? Zahira gak
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida