Aku panik setengah mati saat mendapati Zainab tergeletak di lantai dengan tubuh yang sangat dingin. Wajahnya terlihat sangat pucat dan sesekali merintih sambil memegangi perut. Dan benar adanya, Zainab mengalami prndarahan ringan akibat kelelahan kemarin. Ingin sekali memarahinya supaya sadar jika yang dilakukannya itu salah, tapi aku tidak tega. Kondisinya masih belum pulih. Lagi pula, cinta ini mengalahkan amarah. Marahku padanya mungkin malah akan memperburuk keadaan. Dia juga berulang kali meminta maaf karena aku sengaja mendiamkannya. Ya, lebih baik diam untuk menjaga emosi. Hingga Zainab memintaku menghentikan mobil. Dia ingin makan nasi uduk. Ah, ada rasa bahagia karena akhirnya perempuanku mau jujur tentang ngidamnya di kehamilan kedua ini. Memang baru kali ini Zainab mengatakannya. Sekali lagi, aku kalah karena cinta. Dia terlalu istimewa untuk diabaikan. Melihatnya makan dengan lahap membuat perut yang sebenarnya masih kosong ini terasa kenyang. Entahlah? Nyatanya itu bena
Zainab sedang sibuk membuatkan susu untuk Zahira, sementara gadis kecil berpipi tembam itu di pangkuanku yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Sejak semalam, memang aku sengaja mengajak Zainab dan Zahira menginap di rumah pribadi kami. Sedikit menjaga hati istri tercintaku itu dari Ibu yang entah kenapa sikapnya berubah kaku padanya.Sebelumnya, kami pergi untuk memeriksakan kandungan Zainab. Alhamdulillah, sehat di usia tiga belas minggu, sudah lewat trimester pertama. Intensitas morning sickness-nya pun sudah berkurang. Wajah cantiknya juga mulai berseri lagi. "Ini susunya, Mas." Sebotol susu untuk putriku siap dengan suhu hangat yang pas. "Terima kasih, Mama," sahutku, lalu menempatkan ujung dot ke mulut Zahira."Di kulkas gak ada apa-apa, Mas. Aku gak bisa masak." Zainab duduk di sebelahku, lalu meraih remot TV dan menekan tombol ON. "Gak apa-apa. Kita sarapan di luar saja srkalian jalan-jalan. Kamu sudah enakan, kan? Kita belum pernah liburan sejak ada Zahira."Entah kenapa
Aku memang kecewa dengan Mas Zaidan karena dia mengungkit soal status hubunganku dengan Kak Dio yang hanya sebatas saudara angkat. Namun, bukan itu alasan sebenarnya aku diam. Aku merasa bersalah pada Mas Zaidan karena ulah Kak Dio yang menyebabkan lebam di pipinya. Dan di sisi lain, aku menerima pesan dari Kak Dio beberapa saat setelah meninggalkan rumahnya. Dalam foto itu, aqqMas Zaidan terlihat mengunci tubuh Kak Devara yang punggungnya sudah menempel pada tembok. Sementara kedua tangan Mas Zaidan berada di sisi kanan dan kiri tubuh Kak Devara. Meskipun hati kecil ini mengatakan jika Mas Zaidan tidak bersalah, tapi bukti itu sangat memberatkannya. "Za, jangan diam saja. Mas sudah minta maaf," ujarnya entah yang ke berapa kali. "Di depan ada apotek, tolong berhenti sebentar, Mas," sahutku.Mobil pun berhenti di depan apotek dan aku bergegas masuk ke dalam untuk membeli salep serta air mineral dingin. Sementara Zahira kutinggalkan bersama papanya di mobil. "Kamu beli apa, Za?" t
Zahira berjingkrak di pangkuanku saat mobil melaju membelah jalanan kota. Bayi gembulku sepertinya sangat girang melihat lalu lalang kendaraan. Namun, aku mendesis saat tiba-tiba kakinya tanpa sengaja menyentak perut. Mas Zaidan pun langsung menghentikan laju mobilnya setelah mendapatkan tempat untuk menepi. "Kenapa, Za?""Perutku begah, Mas. Kena kakinya Zahira," jawabku tertahan. Napas ini teras cukup berat sekarang. Mas Zaidan mengendurkan sandaran jok hingga tubuhku setengah berbaring setelah mengambil alih Zahira. Dia mengusap pelan perutku, sedangkan aku memejam sambil menarik napas panjang beberapa kali. "Kita periksa saja, ya. Takutnya kenapa-napa." Suara lelaki bermanik mata hitam itu terdengar panik. "Udah baikan, kok, Mas. Cuma kaget saja."Aku kembali membuka mata dan membenarkan duduk. Kemudian, meminta Zahira lagi dari papanya. "Kamu gak usah pegang Zahira dulu, deh. Dia lagi aktif banget. Mas gak mau kandunganmu kenapa-napa.""Trus Mas nyetirnya gimana? Zahira gak
Aku berencana menemui Ibu di restoran masakan Jawa miliknya. Beliau selalu menyibukkan diri di sana dari pagi hingga petang. Hanya satu yang kukhawatirkan, hubungannya dengan Zainab akan semakin jauh. Cheesecake buatan Zainab menemani perjalanku untuk mencoba meluluhkan hati Ibu. Aku tahu betul jika Ibu sebenarnya menyayangi Zainab. Hanya saja, kekecewaannya saat Zainab mengabaikan Zahira masih membuatnya enggan berdamai. "Bu," sapaku pelan pada perempuan paruh baya yang sedang duduk di salah satu meja resto. Memang aku mengabarinya untuk makan siang berdua. Wajah yang sedikit keriput itu memandangku hangat. Ada lengkungan yang dibuat dari kedua ujung bibir yang diangkat. Kucium tangannya sebelum akhirnya kami duduk berhadapan. "Ini, cheesecake yang rasanya persis dengan cheesecake buatan Ibu." Kubuka kotak bekal yang dibawakan Zainab. Ibu menatapku, terlihat ada yang mulai membasahi pipinya. "Zainab yang buat?" tanyanya pelan. Aku mengangguk, lalu menyuapkan satu potong cheesec
Saat kepercayaan menjadi taruhan, aku tidak bisa lagi berdamai dengan pengkhianatan. Dio sangat pintar mengatur strategi untuk mengambil hati Zainab. Perempuan mungil yang masih terlalu polos--menurutku--pola pikirnya itu mudah sekali tertipu oleh Dio. Bukan salahnya jika menjadi perempuan yang selalu berpikir positif. Hanya saja, orang lain yang lebih jeli untuk menyerang dari dalam saat sudah mendapat kepercayaan. Tiba di rumah sakit, Zainab ditangani dengan cekatan. Aku pun terus mengatakan pada dokter jika Zainab sedang hamil dan tadi terjatuh cukup keras. Aku tidak ingin anakku kenapa-napa lagi. Sudah cukup keteledoranku pada Zahira saja. "Tidak ada yang serius. Istri Bapak hanya terkejut saja. Ibu dan kandungannya baik. Sekarang boleh pulang, tapi harus bedrest tiga hari ke depan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan," tutur sang dokter. Kemudian, memberikan secarik kertas. "Obat dan vitaminnya bisa ditebus di apotek dan tolong dipastikan istrinya meminumnya sesuai atura
PoV ZainabMas Zaidan membawa seorang perempuan berjilbab hitam dengan celana jeans dan kaus lengan panjang. Perempuan yang kutaksir usianya sekitar empat puluh tahunan itu tersenyum ramah ke arahku. Namun, aku tak membalasnya. Entah kenapa, ada rasa tidak suka saat perempuan itu berdiri bersebelahan dengan Mas Zaidan di depan pintu yang baru saja kubuka. Siapa dia? "Kok, bengong? Ini, Mbak Lita ... dia babysitter yang akan bantu kamu jaga Zahira." Babysitter? Ah, Mas Zaidan ... apa-apaan dia! Aku belum menyetujui rencanannya itu, tetapi kenapa dia mengambil keputusan sepihak? Kulandangi sosok perempuan di hadapan dari atas ke bawah, lalu beralih menatap Mas Zaidan dengan sedikit kesal. "Hey, kenapa, Sayang?" Pertanyaan Mas Zaidan membuyarkan spekulasi yang sedang mengisi kepala. "Eh, enggak kenapa-napa, Mas. Silakan masuk Mbak!" Kubuka pintu makin lebar, lalu meninggalkan perempuan itu bersama Mas Zaidan ke dapur. Meskipun ada perasaan tidak suka, aku tetap harus menjamu tamu.
Aku dan Zainab sudah ada di bandara untuk melakukan penerbangan ke Bali. Kami langsung memesan tiket setelah Pak Baharudin datang dan menceritakan tindakan Dio yang akan menjual saham perusahaan konstruksi milik Aditama yang notabene menjadi milik Zainab sekarang. Awalnya, Zainab tidak peduli dan ingin membiarkan saja tindakan Dio. Namun, saat Pak Baharudin mengatakan tentang nasib karyawan ke depannya, Zainab berubah pikiran. Dan kami pun bersiap untuk menuju Bali bersama Pak Baharudin. "Kamu kenapa? Ini tanganmu dingin banget, Za," kataku sambil mengusap berkali-kali telapak tangan Zainab bergantian kanan dan kiri. "Cuma gugup, Mas. Ini pertama kalinya aku mau naik pesawat," jawabnya dengan nada suara sedikit bergetar. "Ini gak seseram yang kamu bayangkan, Sayang. Anggap aja kayak naik mobil. Atau kamu bisa tidur aja nanti pas perjalanan." Aku berusaha menenangkan sambil terus menggosok telapak tangannya. Aku beralih ke arah Pak Baharudin yang duduk di belakang. "Apa Zainab mem
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida