Yuk baca karya lainnya - Gadis Bodoh Jadi Primadona
Azizah baru saja selesai menutup lembaran terakhir juz yang dia baca hari ini ketika derap langkah itu mendekat. Di antara keriuhan anak panti, tampak Ines berjalan seraya memegang lembaran Al qur’an dan menghampirinya.“Mbak?” Azizah menatap Ines yang tampak ragu.“Hmmm … ajarin Mbak baca qur’an yang bener, Iza! Kalau sama ustadzah malu sama anak-anak soalnya suka diketawain mereka, masih banyak banget salahnya.” Ines menatap penuh harap pada Azizah yang tersenyum dan mengangguk.“Ya sudah, jadi aku akan ngajarin Mbak Ines setiap sebelum aku mulai mengajar mereka, ya!” tukas Azizah seraya mempersilakan Ines duduk.Azizah mulai mengajarkan Ines membaca satu demi satu pelafalan huruf yang benar, tak terlalu sulit karena pada dasarnya Ines pernah ikut pengajian waktu kecilnya di kampung. Hanya saja ketika hidupnya semakin susah, dia sering sekali kelelahan setelah berjualan ikan asin dan lebih memilih pergi tidur awal. Ines kecil seringkali meringkuk di samping Bapak yang sangat dia cint
Obrolan keduanya terhenti ketika rombongan tim CSR dari perusahaan Dirandra grup datang. Ines yang ditugaskan membimbing anak-anak panti segera mengumpulkan mereka. Ada dua mobil yang datang, salah satunya mobil box berisi bahan makanan. Pada saat itu seorang anak berlari ke halaman karena melihat setumpuk makanan. Ines mengejarnya, tetapi langkahnya mendadak terhenti ketika dia menatap sosok yang tak asing baru saja keluar dari dalam mobil. Kedua matanya tak berkedip ketika tatapannya bersirobok dengannya.Senyuman itu, mata bulat dengan pancaran teduhnya seolah menembus ke dalam kalbu. Kaki Ines terasa kaku, senyuman itu seolah dia tahu kalau dirinya bukan orang asing untuknya. Belum sempat bibirnya menyapa lelaki berjarak beberapa meter darinya. Kedua bola mata Ines membulat ketika melihat sosok lain yang tak asing muncul di belakang Airlangga dan tengah sibuk menelpon. Beruntung lelaki itu sedang tak fokus dan tak melihatnya. Ines menggelengkan kepala, dia benar-benar belum siap
Wajah Azizah bersemu ketika mendengar apa yang disampaikan oleh Umi Zubaidah dan Abi Firdaus tentang niatan Airlangga yang akan melamarnya. Air mata menitik penuh haru, akhirnya penantiannya selama ini berbuah manis. “Alhamdulilah, Umi!” Azizah menyeka sudut matanya yang basah. “Semoga lancar sampai harinya, ya, Sayang!” Umi Zubaidah mengusap lembut pucuk kepala putrinya lalu memeluknya penuh sayang. Dia pun begitu bahagia melihat binar bahagia terpancar dari sorot netra putri kesayangannya. Abi Firdaus tampak lega, akhirnya putri semata wayangnya akan beralih tanggung jawab pada sosok menantu idaman semua orang. Bukan hanya kaya, akan tetapi bijak dan juga memahami ilmu agama. “Umi, aku mau ngabarin Mbak Ines dulu! Dia pasti seneng denger kabar bahagia ini!” Azizah menyeka air mata dan berlari dari rumah menuju bangunan panti. Kerudung lebarnya berombak karena langkahnya yang mengayun cepat dan angin yang menyibak. “Assalamu’alaikum!” sapa Azizah ketika melewati ruangan yang bia
“Maaf, aku yang sudah membuatnya mengira kalau Pak Langga akan melamarku! Semenjak mendengar kabar itu, dia ikut salah satu relawan kami Mbak Zaida yang diminta orang tuanya pergi mondok! Dia bilang mau hijrah, meluruskan cinta pada Allah bukan berharap pada manusia! Pergilah … jemput dia … sudah terlalu lama dia menunggu Anda, Pak!” tukas Azizah seraya menyeka sudut matanya yang basah. Ada rasa bercampur baur di dalam sana. Rupanya ikhlas itu tak semudah pengucapannya. Airlangga menatap manik mata yang terhalang embun itu. Kedua alisnya saling bertaut. Namun tak urung juga dia akhirnya menerima selembar kertas yang sejak tadi disodorkan Azizah padanya. “Apakah saya pernah bilang akan melamarmu?”tanya Airlangga terusik rasa bingung dan heran. Umi Zubaidah dan Abi Firdaus lagi-lagi saling bertukar pandang. Ya, semua masalah itu berasal dari mereka yang menyimpulkan sendiri kalimat Airlangga waktu itu. “Maafkan Pak Langga, ini kesalahpahaman saya dan istri. Kami yang salah karen
“Nes, anter yuk! Aku dipanggil Ning Zaida. Entah mau apa.” “Emang gak berani sendiri?” Ines menatap Zaida. “Ahm itu, aku kok deg degan. Soalnya kata Marwah ada orang tuaku datang! Feelingku gak enak, Nes!” tukas Zaida dengan wajah cemas. “Ya sudah, ayo!” Ines akhirnya mengangguk. Keduanya berjalan bersisian menuju rumah utama yang berada di samping pesantren. Benar saja, di halaman rumah itu ada mobil yang Zaida kenal. Itu milik orang tuanya. “Assalamu’alaikum!” Sapa Zaida dan Ines. “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarokatuh!” jawab semua orang yang ada di dalam serempak. Tampak Kyai Ahmad yang duduk bersebelahan dengan Ning Khadija saling melirik. Kedua orang tua Zaida duduk pada kursi yang berbeda dan turut tersenyum. Di kursi kosong lainnya tampak Gus Sulaiman yang duduk dengan tenang. Wajah kalemnya yang menurun dari Yai Ahmad membuat ekspresinya tak terbaca. “Wah kebetulan Zaida sudah datang! Sini, Sayang!” Umi Hanifah---ibunda Zaida menepuk kursi kosong di sebela
Akad suci melangit di kota Semarang. Ines yang baru saja resmi diperistri oleh seorang Airlangga duduk tersipu sambil menahan haru. Dikarenakan tak ada kerabat yang bisa menjadi wali, dia dinikahkan dengan wali hakim. Melalui sambungan telepon dia meminta restu dari sang ibu. Meskipun beribu tanya bermuara, tetapi tetap saja restu itu akhirnya didapatkan juga. Setelah para saksi mengucap sah, Ines berpindah duduk di samping Airlangga. Satu kecupan mendarat pada keningnya. Ada debar aneh menggelayar dan membuat hangat dalam dada. “Terima kasih sudah menjadi istriku, Inesa,” bisik Airlangga. Seketika bulu roma Ines meremang. Gugup dan perasaan yang bercampur baur menjadi entah membuat semuanya terasa melayang. “Sama-sama, Kak!” lirih Ines dengan wajah yang sudah memerah penuh rona bahagia. Awalnya Ines meminta agar pernikahan itu dilaksanakan di kampung halamannya saja, tetapi jarak yang cukup jauh membuat Airlangga memutuskan untuk melakukan resepsi saja nanti di sana. Dia ingi
“Itu … itu … itu mobilnya … itu … itu …,” tukasnya dengan tangan gemetar dan tubuh yang limbung. “Ibu!” Ines menangkap tubuh ringkih itu. Beruntung tak sampai terjatuh dan memperkeruh keadaan. “Ibu kenapa?” Airlangga pun tampak kaget. Dia menatap wajah Ibu mertuanya yang tampak pucat. “Itu … itu mobilnya, Nes … mobil itu yang tabrak lari Bapak kamu, Nes! Ya, gak salah lagi. Orang kaya yang gak punya hati itu dia! Orang yang gak punya perasaan! Kenapa harus bertemu di sini?!” pekiknya seraya duduk dan terisak. Memorinya berlarian lagi pada masa-masa yang telah silam. *** “Bu, singkongnya pada jatuh!” Bapak meletakkan kayu bakar yang dipikulnya dan berlari ke tengah jalan raya yang memang lengang. Mereka baru saja pulang membantu mencabut singkong di ladang milik tetangganya dan mendapat satu kantong plastik singkong. Lumayan bisa dibuat kudapan oleh Ibu. “Ya Allah, Pak … iya. Eman, yo. Padahal dapat kita capek!” Ibu menatap plastik singkong yang ditentengnya yang rupanya sobek.
“Bicaralah, Nak!” Tuan Ekadanta berucap lemah. Semua yang telah terjadi di masa lalu memang mutlak kesalahannya. Namun apa boleh dikata. Nasi yang sudah menjadi bubur tak mungkin berubah menjadi nasi kembali. Sesal di kemudian tak berguna. Itulah kondisi yang dialaminya sekarang. “Papa puas dengan semua ini?!” Airlangga berucap penuh penekanan. Sorot matanya menatap penuh kemarahan. “Masuklah, kita bicara di dalam!” Tuan Ekadanta paham kemarahan putranya. Dia tak mau membuat kegaduhan di luar. Dia berbicara dengan nada lemah karena memang dirinya mengaku salah. Lelaki tua itu melangkah masuk dan memilih ruang kerjanya untuk bicara empat mata dengan Airlangga. Airlangga menatap Ekadanta yang duduk dan tampak sudah siap dengan segala caci dan maki yang mungkin akan segera meluncur dari mulut putranya itu. “Papa puas sekarang? Sudah dua kali, dua kali, Pah. Aku menjadi korban arogansi Papa yang begitu menjunjung harta dan bisnis yang Papa banggakan ini. Papa puas sekarang, hah?!”
Ucapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat
Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K
Arlan duduk termenung, kalimat demi kalimat yang almarhum ayahnya sampaikan kembali terngiang. Entah kenapa baru kali ini dia menyadari begitu banyak petuah sang ayah yang sudah dia tinggalkan. “Jadilah pelindung untuk dua kakakmu, Jadilah pelindung untuk Ibumu, Bapak rasa umur Bapak sudah tak lama. Jadilah anak sholeh yang doanya bisa menerangi alam kubur Bapak.” Semua kalimat itu seolah ada tanggung jawab yang dilimpahkan. Almarhum ayahnya mempercayakan Ibu dan kedua orang kakaknya padanya. Namun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Arlan tak mampu mengendalikan mereka, justru dirinya yang dikendalikan Retno dan Mirna. Kesibukan mempersiapkan acara tabligh akbar, akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan kakinya yang masih terpincang dan dibantu gerak oleh tongkat yang menyangga ketiaknya. Arlan membantu sebisanya. Menata kursi, memasang taplak meja, lalu menyajikan air mineral untuk para anggota DKM yang sebagian besarnya anak muda. Menjelang siang, nasi kotak
Dering bell yang terdengar membuat Narendra bergegas keluar dari rumah. Dia baru saja selesai membuat sarapan untuknya. Dua tangkup roti bakar dan segelas kopi hitam sudah tersaji di meja. “Pagi Pak Rendra!” Senyum manis Fika menyapanya. Perempuan itu juga tampak sudah rapi. “Pagi, Bu Fika! Ada apa, ya? Kalau mau ngasih kopi, maaf banget, saya sudah buat.” Narendra menautkan alis menatap Fika yang membawa cangkir di tangannya. Fika tersenyum seraya menggeleng kepala. Satu tangan menutup bibirnya, tingkahnya berbeda sekali dengan Fika yang begitu tegas ketika menindak karyawan yang melanggar peraturan. Fika di luar jam kantor, lebih tampak manja dan nekat kalau Narendra bilang. “Bukan mau ngasih kok, Pak Rendra! Saya mau minta air panas. Maklum rumah baru, Pak. Saya kira sudah lengkap kemarin tuh. Eh nyatanya gak ada kompor juga buat manasin air, dispenser ada, sih, tapi mati.” Fika terkekeh dan menunduk. “Oh, mari masuk! Banyak kok kalau sekadar air panas, sih!” Narendra menggese
“Andai kebahagiaanku adalah Mas Arlan, Pah? Bagaimana?” lirih Aniska seraya menutup wajahnya dan membiarkan tangis lepas meluahkan beban yang terasa berat di pundaknya.“Tidak! Papa tidak akan mengijinkanmu memelihara pengkhianat itu di rumah ini! Andai dia hanya cacat dan tak bisa kerja, tetapi hatinya setia … Papa masih bisa pertimbangkan. Namun masa depan seperti apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki pengkhianat, cacat dan pengangguran?! Gak ada, Nis! Gak ada!” Hafid berucap dengan tegas dan lantang. Aniska menunduk. Hatinya membenarkan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya. Dia pun sadar, semua yang dikatakan ayahnya adalah benar. Bahkan sakit hatinya masih terasa ketika mendengar pengakuan perempuan yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya. Hafid langsung meminta pengacaranya bergerak cepat untuk menggugat cerai Arlan yang masih terbaring tak berdaya. Hafid merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang teramat sangat disayanginya itu. Bahkan setiap kesalahan kec
Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami
“Saya adalah orang yang tak mudah jatuh cinta. Bukan pemilih, sih. Hanya saja memang belum menemukan yang tepat selama perjalanan hidup saya. Namun melihat kecerdasan dan kepribadian Bapak, hati saya yakin jika Bapak adalah sosok yang selama ini hati saya cari. Saya yakin bisa menjadi imam untuk saya dan karena saya tahu jika Bapak pun belum memiliki pendamping, pada kesempatan ini, jika kiranya kesempatan itu terbuka untuk saya. Saya akan mencoba menjadi yang terbaik untuk Bapak.” Akhirnya kalimat yang sudah dia rangkai sejak kemarin dan dibaca berulang-ulang itu tersampaikan. Ada perasaan lega pada hati Fika. Dia menatap Narendra yang tampak cukup terkejut mendengar penuturannya. “Maaf kalau saya lancang, Pak Rendra!” Fika mengangguk sopan dan mengulas senyum. Meskipun degub jantung berpacu dan wajahnya sudah berubah menjadi merah merona. Namun dia tetap bisa menguasai diri. “Ahm, sorry-sorry kalau saya buat Bu Fika gak nyaman.” Narendra tersenyum untuk mengurai suasana yang ter
Erna dan Erda sudah berada di depan kediaman megah milik Airlangga. Meskipun ada rasa was-was di hatinya. Dia pun sadar seburuk apa perlakuannya pada Ines di masa lampau. Namun dorongan kuat yang muncul itu akhirnya membuat keduanya bertekad untuk meminta maaf. Harus menunggu sekitar satu jam, karena tuan rumah sedang keluar. Erda dan Erna duduk di teras sambil duduk di sofa minimalis yang ada di sana. Mobil mewah milik Airlangga memasuki gerbang, pada saat itulah Erda dan Erna bisa tersenyum. Dia menatap Ines yang tampil anggung dengan gamis dan kerudung menjuntai lebar. Airlangga turun dan menenteng plastic berisi belanjaan.“Selamat siang, Pak Langga!” Erda menganggukkan kepala. “Siang! Ada apa ya cari saya?” Airlangga menatap Erda heran. “Masuk dulu, yuk! Gak baik ngobrol di luar!” Ines membuka anak kunci dan mendorong daun pintu. Ketiga orang itu mengikuti ajakan Ines dan tak banyak berbasa-basi lagi. Ines mempersilakan tamunya duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Sementa
Fika memohon izin untuk duduk pada kursi kosong yang ada di depan Narendra. Meskipun mendapati sikap yang datar seperti biasa. Namun bagi Fika tak apa, berada dalam satu ruangan bersama dengan lelaki itu sudah membuatnya bahgaia. Namun karena dirinya pun memang harus bersikap professional. Fika menjelaskan terkait punishment untuk Erda dan Gugun yang sudah dia sampaikan. Dikarenakan Airlangga tak masuk, maka semua urusan yang harusnya dilaporkan pada Airlangga akan disampaikan pada Narendra. “Ok makasih, Bu Fika!” “Sama-sama, Pak Rendra.” Sesingkat itulah kalimat yang mengakhiri perbincangan mereka terkait kasus Arlan yang melibatkan dua kakak iparnya. Fika tersenyum lalu berjalan meninggalkan ruangan. Dia kembali ke mejanya dan mempelajari hal-hal lainnya yang nantinya akan menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Di lain tempat, Aniska tengah terisak di kamarnya. Dia tak henti meratapi nasib suaminya yang dia dengar dari dokter tentang kemungkinan kondisi terburuknya, juga tenta