“Bicaralah, Nak!” Tuan Ekadanta berucap lemah. Semua yang telah terjadi di masa lalu memang mutlak kesalahannya. Namun apa boleh dikata. Nasi yang sudah menjadi bubur tak mungkin berubah menjadi nasi kembali. Sesal di kemudian tak berguna. Itulah kondisi yang dialaminya sekarang. “Papa puas dengan semua ini?!” Airlangga berucap penuh penekanan. Sorot matanya menatap penuh kemarahan. “Masuklah, kita bicara di dalam!” Tuan Ekadanta paham kemarahan putranya. Dia tak mau membuat kegaduhan di luar. Dia berbicara dengan nada lemah karena memang dirinya mengaku salah. Lelaki tua itu melangkah masuk dan memilih ruang kerjanya untuk bicara empat mata dengan Airlangga. Airlangga menatap Ekadanta yang duduk dan tampak sudah siap dengan segala caci dan maki yang mungkin akan segera meluncur dari mulut putranya itu. “Papa puas sekarang? Sudah dua kali, dua kali, Pah. Aku menjadi korban arogansi Papa yang begitu menjunjung harta dan bisnis yang Papa banggakan ini. Papa puas sekarang, hah?!”
Sabtu yang ditunggu akhirnya tiba. Airlangga mengenakan pakaian santai. Kaos berwarna hitam tanpa kerah dengan celana panjang menjadi pilihannya. Tuan Ekadanta memakai kemeja berwarna biru tua dan celana bahan berwarna gelap. Herman sudah duduk dibalik kemudi setelah memastikan kondisi mobil layak untuk digunakan perjalanan jauh. Bensin sudah diisinya full, kartu e toll pun sudah diisinya. Tak lupa dia menyiapkan empat botol air mineral di sisi kanan kiri untuk kedua majikannya. “Gak usah ngebut bawanya, Pak.” Airlangga mengulas senyum seraya membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang. “Asiaaap, Bos!” Herman merapatkan empat ujung jari ke ujung alis sebelah kanan. Lalu dia membukakan pintu belakang yang satu sisi lagi ketika Tuan Ekadanta hendak masuk. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, Airlangga berulang mengusap layar gawai dan berbalas pesan. Satu minggu sudah rindu untuk bertemu itu terpendam. Rasanya seperti ada yang kurang. Ada bagian dari dalam dada yang hilang.
“Apa kamu pikiri seorang Nyonya Airlangga patut melakukan hal seperti itu? Bahkan uang yang Anda terima setiap bulan, itu berasal dari perusahaan suaminya.” Airlangga menatap Arlan yang kini wajahnya perlahan memucat. Dia benar-benar shock mendengar kalimat terakhir yang Airlangga ucapkan. Lalu dia memberanikan diri memastikan.“A--apa saya tak salah dengar, P--Pak? M--maksudnya d--dia itu-” “Dia itu istri saya. Istri seorang pemilik perusahaan di mana Anda bekerja Pak Arlan yang terhormat. Ayo, Sayang! Kita pulang!” Airlangga meraih jemari Ines dan menautkan dengan jemarinya. Sontak Arlan menelan saliva karena shock dengan fakta yang dilihatnya. Ines menyeka sudut mata, ada rasa hangat mengalir dalam dada. Betapa rasanya dirinya diperlakukan istimewa. Plastik berisi daging kambing itu tak lagi diambilnya, sayur mayur yang berhambur pun akhirnya tergeletak begitu saja. Dia mengikuti langkah Airlangga meninggalkan Arlan dan keluarganya. Arlan mengelap keringat dingin yang mendadak
Ines tak dapat mendengar pembicaraan mereka. Hanya samar seperti gumaman yang saling bersahut antara Ibu dan ayah mertuanya. Namun dari raut wajah Ibu, tampak dia masih memendam kemarahan. Akankah hatinya luluh dengan kedatangan Tuan Ekadanta yang bahkan rela merendahkan diri di hadapan perempuan yang sudah dibuatnya menjadi janda itu. “Ya Allah … lembutkan hati Ibu … apa dia tak melihat sebesar apa cinta kami? Setulus apa Kak Angga padaku ….” Ines menyandarkan tubuh pada dinding dapur. Di tangannya masih memegang pisau untuk mengiris sayur mayur dan daging segar yang dibelinya. Hening, tak terdengar lagi obrolan yang tadi cukup terdengar panjang saling bersahutan. Tak berapa lama deru mobil terdengar. Ines begegas mengintip lagi dari celah pintu dapur. Hatinya mencelos kecewa ketika dilihatnya mobil yang ditumpangi Airlangga dan Tuan Ekadanta menjauh.Ines bergegas mengambil gawai dan mengirim pesan pada Airlangga. Dia ingin tahu, kenapa mereka langsung pergi lagi padahal dia tenga
Ines berulang menggisik matanya, memastikan sosok yang datang itu adalah nyata dan bukan ilusi saja. Pintu mobil terbuka, seorang pangeran tampan yang beberapa waktu lalu menghilang itu sudah berdiri di hadapannya. Dia menatap Ines dengan senyum mengembang di bibirnya. “Assalamu’alaikum, Dik! Aku datang menjemputmu,” tukasnya seraya berjalan mendekat. Wajahnya tampak penuh senyum yang mengembang. “Kak Angga ….” Ines mengucap lirih. Airlangga menghampirinya lalu merentangkan tangan seolah mengatakan aku ada untukmu sekarang. Ines pun seolah terhipnotis, dia mengabaikan Ibu yang ada di sana dan langsung berhambur pada pelukan Airlangga dengan isak tangisnya. Keduanya terhanyut dalam haru. Pelukan kian erat, Ines seolah tak mau lagi kehilangan sang pangeran. Dia terisak dan menumpahkan seluruh rasa yang berkecamuk dalam dadanya.“Apa Ibu sudah memberikan restu?” Ines berbisik disela isak. Airlangga mengusap kepala Ines yang tertutup kerudung itu. Lalu dia perlahan melepaskan rangkul
“Kak, ini aku mau sudah siapin bajunya, tapi maaf masih bingung mau ambilin yang mana. Takutnya gak cocok sama yang mau dipakai.” Ines menunduk seraya menyimpan pakaian yang sudah dipilihkannya ke atas tempat tidur. Ines bergegas kembali menuju lemari untuk menghindari jarak yang terlalu dekat dengan sosok yang membuatnya deg-degan. Namun pergelangan tangannya dicekal dan tubuhnya sontak tertarik ke belakang sehingga membentur dada bidang yang tanpa penghalang itu. “Kamu sudah siap, Dik?”Bisikan Airlangga terdengar lembut di telinga. Suaranya yang serak dan hembusan napasnya membuat bulu roma Ines meremang. Meskipun statusnya sudah janda, akan tetapi dalam keadaan sadar dia dan Arlan belum pernah melakukan hubungan intim layaknya suami istri.“A--Aku belum mandi, Kak.” Ines menjawab gugup. Dia pun tak percaya diri karena memang belum membersihkan diri. Airlangga mendekap tubuhnya penuh cinta, bahkan detak jantung yang berpacu lebih cepat terdengar di telinga Ines yang menempel pad
Ines menerobos kerumunan orang. Semakin ke dalam, semakin terdengar tangis yang memilukan. Hati Ines semakin diburu rasa penasaran siapakah yang meninggal di hari yang harusnya penuh kebahagiaan itu? “Assalamu’alaikum, Iza!” Ines memburu Azizah yang tampak tengah menangis di pelukan Umi Zubaidah. Azizah menoleh. Dia sudah cantik dengan riasan pengantin. Meskipun memang tak mengenakan make up tebal, tetapi tampak setelan kebaya itu menunjukkan kalau dirinya sudah bersiap untuk akad. “Wa’alaikumsalam, Mbak!” Azizah melepas pelukan Umi. Dia memburu Ines dan melabuhkan diri dalam pelukan perempuan yang sudah seperti kakaknya sendiri itu. “Apa yang terjadi, Iza? Kenapa ada bendera kuning di pasang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Dia pun sama shock melihat hal yang tak menyenangkan itu terjadi di hari bahagia seseorang yang sudah seperti saudara baginya. Azizah tak lekas menjawab, Umi Zubaidah yang akhirnya menjelaskan dengan suara yang juga serak. “Mobil yang ditumpangi rombong
“Pada kesempatan ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan ... mungkin bukan hanya tentang hidup saya dan istri saya, akan tetapi tentang hidup beberapa orang yang akan mengalami perubahan nasib juga ….” Airlangga kembali menjeda. Sudut matanya melirik ke arah Arlan yang tampak mati-matian mencoba bersikap biasa. Dia pun menatap sekilas pada Narendra yang tampak tengah mengulas senyuman. “Seorang istri adalah pakaian suaminya, begitupun sebaliknya. Karenanya keduanya harus saling menjaga. Seorang istri itu diciptakan dari tulang rusuk, maka tempatnya dia adalah di sini ….” Airlangga menggenggam jemari Ines dan menempelkan ke dadanya. Jajaran staff perempuan yang masih single sontak bersorak riuh. Mereka berharap dirinyalah yang ada di samping lelaki bermata teduh itu, tetapi sayang semua angannya harus kandas karena sang pangeran sudah menjatuhkan pilihan. “Dia bukan diciptakan sebagai tulang rusuk, untuk dipeluk dan dijaga, bukan dijadikan tulang punggung yang seumur hidupnya