Namun saat bapak keluar dari rutan, ia melewatiku begitu saja.tidak melihat kehadiranku disini. Jangankan meminta maaf, melirik ku yang tengah berdiri menggendong Arsy pun juga tidak.Aku menghela nafas berat. Mungkin memang bagi Bapak kematian Agung sama saja dengan hancurnya dunia. Agung adalah anak laki-laki satu-satu nya.Tetapi disini aku masih mengamati gerak gerik bapak. Berkali -kali angkot lewat, tetapu sama sekali tidak ada yang satupun bapak naiki. Apakah bapak memang tidak ada uang?Dengan sepeda motor peninggalan Bang Agha dan juga sembari menggendong Arsy, aku menghampiri bapak. Ada rasa nyeri dalam ulu hati melihat bapak tampak merasa kasihan."Pak bapak, kenapa tidak naik angkot? Apa Airin antar?" tanyaku.Bapak terus berjalan tanpa menggubris prtanyaanku."Pak, aku yang membebaskan bapak. Kenapa bapak bahkan enggan menjawab pertanyaanku. Airin juga anak bapak," teriak ku dari belakang dengan nada yang mulai terisak.Bapak akhirnya menoleh ke belakang yang ku sambut de
Aku tetap berfikir positif. Lelah memaknai semua dengan hal negatif. Mencoba berdamai dengan hati dan kenyatan di depanya.Aku langsung menuju kontrakan. Hari ini sengaja aku tidak berjualan. Aku kira kebebasan bapak akan ada drama mengaharukan. Nyatanya hanya mengenaskan.Aku tidurkan Arsy yang telah tertidur dalam gendongan. Aku menata lemari yang berisi dokumen-dokumen ku dan Bang Agha dulu. Siapa tau ada titik terang tentang alasan Mala menangis dimakam suamiku.Dan hasilnya nihil.Tidak apa-apa. Namun saat tangan ini hendak merapikan kembali dokumen, tanganku menyenggol sebuah plastik hitam. Yang kuperkirakan isinya kertas, saat mencoba aku remas. Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku segera membukanya.Bau kertas yang harum seperti surat cinta.Kertasnya sudah usang. Sepertinya memang surat ini sudah lama.Aku membaca dengan seksama dan ternyata surat itu dari Mala, surat enam tahun silam saat Bang Agha belum menikahiku. Ya dalam surat ini Mala mengutarakan isi hatinya bahwa ia menyu
Yanti melengos. Membuang muka ke arah lain."Mana mungkin aku menyuruh Roni bekerja pak? Walaupun sekarang istri Mas Rio ada dua tetapi kehidupan kami masih terpenuhi kok.""Kamu yakin Yanti?"Yanti salah tingkah."Yakin lah. Sudahlah kalau bapak mau mengemis, ke orang lain saja. Yanti sibuk,""Astagfirullohaladzim. Tega kamu berkata seperti itu pada bapak Yan?"Hati orang tua mana yang tidak hancur dibilang pengemis oleh anak sendiri."Kakek,."Serta merta Bapak menoleh pada sumber suara itu. Suara yang sudah lama tidak bersua. Sudah lama tidak terdengar. Roni. Kunci kegelisahan bapak selama ini. Sumber dari segala pernyataan Airin.Namun belum sempat bapak menjawab panggilan Roni, suara bentakan Yanti telah mendahului."Siapa yang menyuruh kamu keluar? Masuk lagi ke kamarmu," bentaknya."Yanti, biarkan Roni kesini. Bapak rindu denganya.""Dia anak saya. Jadi saya berhak menentukan aturan untuk nya. Bukan bapak. Bapak boleh sok tegas, sok menguasai, sok ditakuti. Tetapi ingat, bapak
"Dasar janda g*tal,"Teriakan itu mampu membuat darahku terkesiap, hatiku berdesir. Siapa kira-kira wanita itu.Aku beranikan diri melihat apa yang terjadi.Seorang wanita memakai baju ASN yang ku perkirakan ia berprofesi sebagai guru, sedang berkacak pinggang di depan ruko ku. Dia cantik dalam balutan jilbab segi empat nya, walau mukanya memerah terkena sinar matahari juga emosi yang mendera.Dekat semakin mendekat...Plak...Dia menamparku.Aku yang kaget, tak kalah emosinya saat itu. Aku pandangi dia dengan seksama dan dalam gurat emosi yang sama.Hilya-Istri Marwan."Hilya, apa-apa an kamu?""Kamu yang apa-apa an. Pakai pelet apa hingga suamiku bertekuk lutut padamu? Hah?""Sungguh aku tidak mengerti maksutmu. Pulanglah. Kamu salah orang jika menuduh aku merebut suamimu," jawabku acuh tak acuh karena aku menyadari bisik bisik antar pelangganku. Mereka pasti mengira apa yang Hilya ucapkan itu benar adanya."Jangan sok bodoh kamu, Rin. Kamu memeras uang suamiku. Pasti kamu memberi p
"Lalu apa yang kalian lakukan untuk mengembalikan nama baik ku?" "Kami akan buat klarifikasi di media sosial, Rin. Kamu tenang saja."Aku melengos kesal. Sebenarnya aku tidak yakin, itu semua bisa mengembalikan sebuah nama baik. Namun aku juga butuh pertanggungjawaban dari keduanya."Cari juga pengunggah video tersebut. Dan hapus. Atau aku laporkan tentang pencemaran nama baik. Kalian itu seorang pendidik namun tidak ada adab sama sekali."Aku bersungut kesal dan pergi dari rumah mereka tanpa pamit permisi.Janji mereka ditepati, video tentangku dihapus juga sebuah klarifikasi bahwa semua itu hanyalah kesalahpahaman belaka.Namun apa yang terjadi?Ruko ku tetap sepi. Nama baik yang hancur sulit dikembalikan, tidak seinstan itu. Mungkin butuh waktu lama.Namun dalam kurun waktu yang lama itu apa aku dan anak ku tidak perlu makan?Aku hanya meratapi nasibku yang tidak seberuntung yang lainya atau memang aku yang kurang bersyukur.Dalam tangis harapku, sebuah tangan menyentuh pundak ku
"Sebenarnya mbak ini siapa?" tanyaku.Dia justru tertawa kecil melihat ekspresiku yang bingung."Ternyata aku belum jadi orang famous ya. Buktinya kamu saja belum mengenalku,"Alisku bertaut. Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraanya."Hey biasa saja wajah kamu." candanya.Aku melempar senyuman. Sebenarnya dia terlihat tipikal orang yang asyik."Saya tidak mengerti perkataan mbak,"jawabku dengan polos."Oke oke. Perkenalkan saya Jesna Diandra. Youtuber sekaligus selebgram." jawabnya seraya menyodorkan tanganya mengajak ku bersalaman. Aku pun menyambut dengan hangat uluran tangan itu. Rasanya memang pernah terdengar mampir di telinga nama itu."Jadi tujuan mbak kesini?""Ehm aku ingin mereview cilokmu sekaligus aku buat konten boleh? Semoga setelah ini kamu tidak jadi pindah deh. Katanya cilokmu juga enak,""Memangnya mbak mendengar dari mana semua ini ?""Ehmm adalah. Kamu tidak perlu tau. Aku hanya meminta izinmu,"Sejenak aku berpikir. Mungkin memang ini cara Tuhan menolongku. A
"Rezeki Pak Hasan. Pemilik rumah mengizinkan bapak bekerja disitu. Tapi saya berpesan ya pak. Tolong jaga amanah. Jaga kepercayaan. Jangan mau ditaklukan emosi lagi. Jangan membuat kesalahan yang sama," kata Pak RT.Betapa bahagianya bapak kala itu. Baru kali ini ada yang mau mempekerjakan tenaga nya lagi walau di usia yang sudah memasuki senja.Senyuman tidak pudar kala bapak memasuki rumah."Bagaimana pak?" tanya ibu antusias."Alhamdulillah diterima bu. Awalnya mandor ragu karena riwayat hukum bapak, namun setelah menelfon si empunya rumah, dia mengizinkan. Bapak tidak sabar bertemu pemiliknya. Bapak akan ucapkan terimakasih secara langsung."Ibu pun turut bahagia. Ia tidak akan bergantung pada anaknya lagi juga tidak akan menjadi olokan bahkan hinaan dari anak dan juga menantunya.""Asalamualaikum, Minah," teriak seseorang dari luar."Wa'alaikum salam,"Di luar pintu telah berdiri Bu Sri, ibu Mala seraya mengelus gelang-gelang yang berjejer di tanganya."Yu Sri ada apa? Kamu tidak
"Airin," kata bapak saat mengenal sekali suara di telfon itu.Tapi terlambat telefon sudah dimatikan dari sana."Rin, ini bapak nak."Bapak masih berteriak walaupun keadaan telefon sudah mati."Pak tolong hubungkan lagi. Dia Airin anak saya."Mandor justru tertawa kencang. Namun raut muka bapak bahagia sekali."Mimpi kamu pak. Masak orang kaya punya bapak jadi kuli begini? Tidak mungkin juga kalau Nyonya Airin membiarkan bapaknya menjadi kuli,"Bapak menunduk. Begini rasanya dihina dan direndahkan. Dulu dia sering sekali menghina keluarga Airin. Tak perlu waktu lama, karma menemukan jalanya.Benar saja, hari ini bapak tidak konsen bekerja. Berkali-kali dia melakukan kesalahan."Woi, kalau tidak niat bekerja, pulang sana," teriak tukang yang dilayani bapak.Sesaat bapak tersadar dari lamunanya lalu mengucapkan maaf.Mobil CRV putih terlihat dari jauh mendekati lokasi proyek. Bapak tersenyum kecil. Semoga itu Airin. Agar bisa membungkam mulut pekerja disini yang sombong.Satu persatu or
Tono hanya melongo saat mendengar panggilan untuknya. Mau menjawab apa, memang namanya bukan Agha. Dan dia juga belum punya anak.Begitu pula dengan Arsy, ia juga terdiam saat berhadapan pria bernama Tono tersebut.Ia hanya reflek. Karena memang Tono semirip itu dengan Almarhum Ayahnya."Eh maaf," ujar Arsy salah tingkah sekaligus tidak enak hati.Tono hanya tersenyum."Iya tidak apa apa. Kamu pasti ingat Ayah ya?"Arsy tersenyum kecil."Hati siapa yang tidak rindu Om setelah kehilangan Ayah. Aku kira ayah hidup lagi." jawab Arsy dengan candanya.Hal tersebut rupanya dilihat oleh Airin dan ibunya."Rin, sepertinya memang Arsy butuh sosok Ayah." Airin hanya tersenyum kecil menanggapi."Tapi yang dibutuhkan Arsy adalah sosok Bang Agha Bu. Bukan yang lainnya. Airin yakin seiring berjalannya waktu, Arsy pasti akan mengerti. Terkadang berdamai dengan keadaan memang tidak semudah itu," jawab Airin dengan bijak.Tahun demi tahun berlalu.Tak terasa putri kecil yang telah ditinggal mati ayah
Namun lambat laun aku mengambil keputusan. Yang menurutku terbaik. Aku mengikhlaskan sawah yang dibeli bapak dan ibu dari hasil kerjaku dulu untuk ku beri pada Mbak Devi. Memang dirasa sayang, tapi nuraniku memberontak melihat kondisi ibu."Ibu, jangan difikir lagi. Nanti aku akan memberikan sertifikat sawah pada Mbak Devi. Kebutuhan bapak dan ibu biar aku yang memenuhi,"Mata ibu mukai berkaca-kaca. Tanganya melambai mencari tanganku."Terimaksih nak. Untuk semua kebaikanmu. Hatimu bersih seperti malaikat,""Ibu do'akan saja usahaku lancar ya,"Namun ibu justru menangis tergugu."Ibu kenapa? Airin ada salah?""Ya Allah pak. Pekerjaan yang dulu kita remehkan, nyatanya sekarang yang menghidupi kita. Ibu malu Rin. Malu padamu. Terlebih pada almarhum suamimu,"Perih memang yang aku rasakan ini. Hatiku selalu trenyuh kala mengingat Mas Agha. Dia hanya menelan pahitnya tanpa diberi kesempatan sedikitpun mencicipi manisnya."Bang Agha sudah tenang bu. Surga menantinya,""Rin,"panggil bapa
Dan tidak ku sangka yang berdiri di depan pintu adalah Bu Sri. Beliau hanya menundukan kepalanya seraya meremas-remas ujung bajunya."Saya, ma-mau melamar menjadi ART, Rin. Eh nyonya."Aku selidik penuh selidik. Bagaimana bisa Bu Sri yang terkenal sombongnya mau menjadi ART. Di rumahku pula. Yang selalu sirik dengan kehidupan keluarga kami. Bukan hanya dia, tetapi juga Mala anaknya."Ma'af apakah Bu Sri tidak salah?"Dia tertunduk dan dengan pelan menggelengkan kepala. Bahkan beberapa saat, dia juga tidak mau menatapku."Ta tapi Mala,"Bu Sri langsung menyeka sudut matanya. Aku baru tau kalau sedari tadi ia tengah menangis."Kenapa menangis bu? Saya ada salahkah?". Aku panik. Bagaimana tidak, aku tidak tau duduk masalahnya tiba-tiba beliau menangis. Atau jangan-jangan ada kata-kataku yang menyakitinya."Mala tertangkap polisi." ucapnya sesenggukan.Mataku membulat sempurna. Semenjak pindah rumah, aku maupun keluarga memang tidak tahu menahu tentang keadaan keluarga itu."Bagaimana bis
Bapak tertegun melihat kedatangan Devi. Beliau hanya memandang putrinya itu. Masih sama tidak berubah. Mimik muka dan penampilanya. Bagaimana rona wajahnya jika tidak suka dengan sesuatu."Bapak hanya ingin membantu Airin. Ia punya rumah bahkan sepeserpun bapak sebagai orang tua tidak bisa memberinya,"ujar lirih bapak.Justru Devi berkacak pinggang. Matanya melotot."Memangnya dulu saat Devi membuat rumah, bapak juga membantu begitu?"teriaknya lantang."Ketara sekali sekarang membela Airin. Mentang-mentang sekarang kaya. Bapak juga dari dulu tidak berubah. Selalu melulu tentang uang," lanjutnya tak perduli dengan perasaan bapaknya yang mematung berdiri di depanya.Bapak menghela nafas pelan. "Keadaanya berbeda Devi. Kamu punya suami. Pekerjaanya mapan. Beda dengan Airin yang sudah menjadi janda,""Karena bapak sendiri yang membuat Airin menjadi janda. Sudahlah pak Devi kesini mau pinjam sertifikat rumah,"Bapak yang semula tertunduk lalu mendongakan kepala."Untuk apa Dev?""Untuk t
"Tapi kedatangan kami bukan untuk itu mbak," ujar Devi lirih.Yanti menautkan alis. Dia heran, lalu apa maksud kedatangan adiknya ini."Aku ingin meminjam sertifikat bapak. Kalau tidak boleh, aku ingin meminta warisanku. Untuk tambah biaya kampanye suamiku."Yanti mulai berkacak pinggang. Dia melotot."Bapak dan ibu masih hidup Dev. Kenapa kamu sudah berbicara warisan?"Nada suara Yanti mulai meninggi."Memangnya salah? Toh aku juga anak bapak. Jadi aku juga berhak atas harta bapak.""Lagipula apa sampai segitunya Dev. Iya kalau suamimu jadi. Kalau enggak ? Uang sudah hilang. Belum lagi kalau kamu pinjam sertifikat. Yang ada suamimu tidak jadi sementara utang menumpuk. Mikir dong."Devi tertawa kecil meremehkan. "Tau apa sih mbak kamu tentang strategi politik? Urus hidupmu sendiri. Bodoh sekali bisa ditipu lelaki."Plakk...Yanti menampar dengan geram pipi mulus Devi hasil perawatan dengan skincare mahal yang dulu selalu ia pamerkan."Apa-apa an kamu? Manusia kere beraninya menampar
"Bagaimana ya mbak. Kalau mbak ikut kan jadi serumah ada tiga keluarga. Pamali mbak," jawabku."Iya Nduk. Benar kata Airin," lanjut ibuMbak Yanti melengos dengan muka kesal dan menatap kami dengan tajam."Jadi bapak dan ibu sekarang membela Airin? Mentang-mentang kaya?" tanyanya sembari berkacak pinggang."Yanti, ini bukan maslah membela siapa. Tetapi apa yang dikatakan Airin saat ini itu benar. Kita orang jawa yang masih menjujung tinggi adat istiadat," kata bapak mencoba menengahi."Kalau gitu bangunkan aku rumah dong Rin," kata Mbak Yanti dengan entengnya."Mbak kira bangun rumah itu kayak beli tempe? Mbak sedari dulu terlalu membanggakan suami, mengandalkan suami. Jadi nya gini kan. Tidak bisa mandiri."Aku mulai kesal. Perangai Mbak Yanti sedikitpin tidak berubah walau sudah mendapat teguran.Bapak hanya menggelengkan kepala."Dasar pelit. Aku minta Devi aja lah. Sebentar lagi kan suaminya jadi bupati. Gampanglah kalau sekedar membangunkan rumah.""Sudah sudah. Kalau mau, tingga
"Terimakasih karena laporanya akhirnya saya bisa bebas dan menuntut cerai," kata wanita itu lirih dan terisak.Aku menautkan alis. Saling bertatap dengan ibu."Saya juga akan melaporkan kejadian yang menimpa saya mbak. Tolong bantu saya.""Mohon maaf bukanya lancang mengurusi rumah tangga orang lain. Memangnya mbak ada masalah apa?" tanyakuTanpa menjawab apa-apa perempuan itu menyibak baju nya dan tampaklah luka lebam dimana-dimana."KDRT mbak?" tanyaku setengah kaget.Ia menunduk. Dapat ku tangkap saat itu bahwa air matanya juga terjatuh."Bukan hanya dari Juragan Malik tetapi dari istri-istri yang lain.""Memangnya istrinya ada berapa?""Empat mbak."Aku tak habis fikir, buaya juga seorang juragan."Bukanya istri nya ada dua?" tanya ibu."Iya istri sahnya. Kalau yang siri banyak bu. Banyak juga yang cerai. Dan apesnya saya tidak kunjung diceraikan."Aku kasihan dengan wanita itu. Rona wajahnya memang seperti menyimpan beban, serta tekanan yang berat. Aku bantu dia melaporkan apa y
Sorot mataku menatap tajam juragan Malik. Ia tidak gentar juga. Silahkan membungsungkan dada saat ini. Tapi akan aku pastikan itu semua tidak berlangsung lama.Setelah berproses mencari bukti itu, dan memang benar dari rekamana CCTV memang mobil juragan Malik lah yang mengangkut material dari rumahku.Langsung aku memberi laporan ke polsek terdekat tentang perkara ini."Lebih baik Mbak pulang saja. Percuma, dia pasti juga bebas,"ujar salah seorang oknum polisi yang menerima laporanku.Semakin geram dong aku."Kenapa ? Takut mati ya?" tanyaku sinis.Polisi tersebut menatapku dengan pandangan tidak suka."Dia bukan malaikaat maut kan pak?" lanjutku."Tetapi dia mampu membayar lebih dari yang seharusnya,""Oh seperti itu."Aku tetap mencoba bersikap santai."Lalu kalau masyarakat seperti saya harus melaporkan kasus seperti ini pada siapa? Bukankah oknum polisi itu tugas nya mengayomi ya? Kok masih kalah dengan uang?"Sontak sang polisi langsung berdiri."Mbak, asli sini kan? Pasti tau
"Untuk sementara Airin berhentikan pembangunan rumah bukan karena dana pak tetapi Airin ingin membuktikan kejahatan yang telah menimpa Airin. Karena aku yakin, ada oknum tertentu yang memanfaatkan keadaan ini."Bapak dan ibu saling tatap."Memangnya siapa yang kamu curigai, Rin?" tanya ibu."Juragan Malik," jawabku lirih.Namun raut muka ibu berubah menjadi panik luar biasa. Kulit ibu yang lumayan putih langsung bersemu merah."Rin, kamu mau apakan dia? Dia bukan orang sembarangan,"Aku menghela nafas pelan. Berdiri menatap langit dari bingkai jendela tempatku dilahirkan." Mau sampai kapan tertindas bu? Ini hidup Airin. Tidak ada yang berhak mengatur bahkan memaksakan kehendakm . Sekalipun yang punya kekuasaan seperti Juragan Malik."Bapak berdiri menyejajarkan tubuhnya denganku."Bapak setuju Rin. Sebenarnya banyak kelicikan serta kecurangan Juragan Malik, namun sebagai kalangan rendah, tidak ada yang berani bertindak. Bertindak sama dengan mati. Kali ini bapak mendukungmu Rin. Bapa