Plakk! Telapak tangan Kiandra terasa panas, setelah mendarat dengan kuat menghantam pipi suaminya, dan kukunya bahkan sampai membuat wajah tampan itu tergores. Meski begitu amarah yang memuncak tak jua surut. "Aku sudah meninggalkannya, dan memberikan segalanya kepadamu. Dengan menjadi istrimu Aku rela mengkhianatinya dan sekarang Aku juga sedang hamil anak Kamu!" teriak Kiandra dengan berteriak dan juga nada suara yang bergetar. Dia tak menyangka jika sekarang, Alsen masih saja buruk tentangnya meski sebelumnya, Kiandra sudah terbukti tidak salah. Air matanya menetes, dan tatapannya terus menatap wajah suaminya. "Mas, apa Kamu masih belum percaya sama Aku? Masih berpikir Aku jala*g atau jangan-jangan Kamu juga masih meragukan anak ini? Masih belum cukup semua siksaan yang Kamu berikan padaku, hah?!"Kiandra semakin terisak, mengusap wajahnya lalu menutupnya dengan kedua telapak tangannya. Alsen yang melihat itu segera mendesah kasar, lalu membuka sabuk pengamannya sebelum kemudian
"Daddy, Aku mohon ... tolong Shifa Dad!" ujar Shifa sambil menatap laki-laki yang masih berani dipanggilnya Daddy, meski terbukti laki-laki itu bukan ayah biologisnya. Dia datang menjumpainya setelah tahu alamat rumahnya, Shifa nekat lantaran tak tahan lagi hidup dalam kemiskinan. Menundukkan kepalanya, lalu mengumpulkan air mata yang kemudian tumpah saat Dia mengangkat kepalanya. "Hikss-hiks ... Shifa sebenarnya malu, Dad. Shifa muak dengan diri Shifa sendiri yang ternyata cuma anak haramnya Mommy. Shifa benci fakta itu, Shifa hikss-hiks," ujarnya sambil terisak sebelum kemudian menjatuhkan diri terduduk dihadapkan Hendra. Gadis itu menatap ayahnya dengan pilu, sembari mengusap pipinya yang sudah basah. "Shifa nggak pernah bisa menerima kalau Daddy bukan ayahnya Shifa. Cuma Daddy yang Shifa anggap sebagai ayahnya Shifa. Shifa nggak mau laki-laki lain, hikss-hiks ...."Tak tega, Hendra pun berjongkok dan menghadap Shifa. Dia menarik bahu putrin
Melvin melakukan pertemuan di klub malam, tepatnya di ruang khusus untuk kalangan atas yang ada di sana dan sudah disewa untuk semalam. Dia terpaksa minum untuk menghormati klien bisnisnya, namun sesuatu terjadi saat baru saja menghabiskan satu gelas. Tampaknya Melvin sengaja dikerjai dan sekarang Dia merasa pusing luar biasa. "Vela, jemput Aku sekarang!" ujar Melvin begitu rapatnya selesai dan menghubungi asisten pribadinya. Tak lama berselang Vela pun sampai di sana, dan mencari Melvin. "Mana sih, Dia? Katanya jemput di sini!"Beberapa kali Vela berdecak kesal. Ponselnya sudah kembali berbunyi, tapi karena bunyi berisik di dalam klub malam tersebut, Vela tak mendengarnya. "Sial. Kayaknya Pak Melvin lagi ngerjain Aku! Ah, tapi gimana kalau Dia beneran di sini?"Vela mendesah kasar, merasa lelah karena tak kunjung menemukan atasannya. Vela menghampiri meja bar dan memesan jus di sana, namun seseorang yang usil segera berbisik pada bartender tanp
"Iihhh ... banyakin cabenya. Itu nggak akan terasa kalau cuma satu, Mas Alsen!" ujar Kiandra protes dan keberatan. "Kamu niat nggak sih, Mas?""Ck, Kamu itu lagi hamil Kiandra. Hawa nafsu jangan terlalu dituruti. Anak Kita bisa kenapa-napa kalau kebanyakan cabe, lagian nanti perut Kamu mulas," jelas Alsen menasehati. "Kalau gitu nggak usah aja sekalian. Aku tahu, Kamu pasti masih ragu anak ini milik Kamu kan, Mas atau jangan-jangan Dia malah jadi penghalang antara hubunganmu dan Shifa. Kamu tidak menceraikan Aku cuma karena takut image buruk. Sudahlah, Mas ... baik, Aku mengerti semuanya sekarang. Kamu bisa lepaskan Aku, dan Aku rela Kamu fitnah kali ini asal Kamu ceraikan!" ujar Kiandra dengan tegas. Alsen membuang nafasnya kasar. Begitukah perempuan. Semua masalah tidak akan pernah kelar dan akan diungkitnya seumur hidup. "Kamu nggak usah ngaco Kiandra! Cuma gara-gara cabe, Kamu besarin masalahnya kemana-mana," tegur Alsen menahan diri. "Asal Kamu tahu, Aku melakukan hal ini demi
"Vano Kamu dari mana saja, Nak? Kata sekretarismu, Kamu juga tidak ke kantor hari ini?" tanya Hendra begitu menemukan anaknya pulang. Laki-laki itu segera melonggarkan ikatan dasinya. Lalu menatap sang ayah dengan perasaan yang kesal dan juga kecewa. Sementara Hendra sendiri tampak bingung apalagi melihat kondisi Vano yang berantakan. Rambut yang tidak tertata, wajah yang kusut dan juga aroma alkohol yang yang tercium oleh hidungnya. "Kamu habis minum, Van?" tanya Hendra melanjutkan. "Daddy tidak usah ikut campur, Aku dari mana, habis minum atau tidak apa perdulinya? Aku cuma anak yang tidak diinginkan, selama bertahun-tahun Daddy mengabaikan Aku, mama meninggalkanku. Apakah setelah itu hidupku masih penting?" balas Vano dengan kalimat yang kecewa. "Jika bisa meminta, Aku juga tidak mau hidup dalam keadaan ini, tapi baiklah. Aku juga tidak akan protes. Berikan saja semua kasih sayang, harta atau bahkan perhatian Daddy pada gadis yang bukan darah dagingmu, Dad. Sayangi Dia saja Dad
"Daddy gagal membuat Kak Alsen memberiku pekerjaan yang lebih layak daripada sekedar petugas kebersihan di kantor, Mom. Ini semua gara-gara waktu itu, teman kantorku bego semua, jadinya balik lagi OG dan sekarang nggak bisa kembali ke posisi waktu itu," jelas Shifa memberitahu. "Dasar anak bodoh, kapan Aku baru bisa mengandalkanmu? Hendra sialan itu juga kenapa sekarang belagu, dia seperti udah nggak punya hati!" geram Belinda tak terima. Ternyata selain Shifa, Dia juga menyamar sebagai petugas pengantar makanan di acara tersebut. Memang sederhana, tapi semuanya serba ada dan siap sedia. Sang tuan rumah tentu saja tak mau acaranya kekurangan ditengah uangnya yang bergelimang. Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan sepasang ibu dan anak yang sudah tidak menjadi keluarga tersebut, tapi nekat bergabung. "Mommy jangan marah dulu, bukankah Kita mempunyai rencana cadangan malam ini?" ujar Shifa mengingatkan. "Awas saja jika sampai berikutnya gagal juga!" peringat Belinda dengan serius.
"Kiandra maafkan Aku," ujar Alsen sambil memeluk tubuh istrinya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pertama kalinya pria itu mengucapkan kata maaf, tapi sayangnya hal itu percuma, sebab orang yang dimintainya maaf sedang tak sadarkan diri. "Aku sungguh tak tahu apa yang sudah terjadi, Aku bingung Ki ....""Hm!!" Hani tiba-tiba sudah di sana dan berdehem menyadarkan Alsen tentang kesalahannya. Menyadari hal itu, Alsen sedikit malu, apalagi kondisinya yang sudah ketahuan merengek manja pada istrinya yang masih tak sadarkan diri. Buru-buru pria itu bangkit dan berdiri dengan kikuk dihadapan ibunya. "Ak-aku tidak mengerti dengan apa yang sudah Aku lakukan, sungguh Aku tidak bermaksud melakukan hal semalam. Seseorang pasti sudah menjebakku, Ma!""Cukup!" ujar Hani tak mau mendengarkan penjelasan putranya. "Percuma Kamu sesali semua sudah terjadi, dan Mama percaya lebih dari siapapun Kamulah yang paling menyesal. Meski sebenarnya Mama juga ingin menamparmu, atau memukul kepa
"Kamu kenapa Shifa?!" ujar Belinda terlihat panik. Beberapa saat lalu, wanita paruh baya itu mendapat telepon dari putrinya, lalu dimintai untuk datang menjemputnya. Begitu sampai Belinda malah mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. Shifa dalam kondisi yang sangat buruk. "To--tolongin Shifa, Mom ... perut Shifa rasanya sakit sekali," jelas Shifa sambil memerangi perutnya seraya merintih. Belinda segera mendekat dan mencoba putrinya untuk bangkit, lalu memapahnya keluar dari tempat tersebut. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi sama Kamu Shifa? Kamu tidak bodoh bukan sampai pergi sendiri ke gedung tua itu, lalu menyakiti diri sendiri ....""Mom, Shifa ma-masih waras Mom ... Shifa nggak sebodoh itu untuk melakukan hal konyol. Shifa baru saja diculik dan Mommy tahu siapa pelakunya?"Belinda menggelengkan kepala, lalu saat yang sama mereka sudah di depan taksi yang dipesan Belinda. Mereka masuk dan langsung mengatakan tujuan ke rumah sakit. "Siapa yang melakukan hal ini kepadamu, Shifa
"Kiandra!!" panggil Alsen terlihat lega dan berhambur memeluk istrinya. "Kamu dari mana aja, Ki? Kamu membuatku khawatir, Kamu baik-baik saja ...."Kiandra langsung menganggukkan kepalanya, membiarkan Alsen memeluknya erat meski dia merasa sesak. Namun, Kiandra akui ini salahnya karena pergi tanpa memberitahu dan melewatkan panggilan telepon dari suaminya. "Maaf, Aku buru-buru dan lupa mengabari Kamu Mas. Mmm, tapi Aku baik-baik aja, kok," jawab Kiandra meyakinkan. Alsen segera melerai pelukannya, memberi jarak kemudian memperhatikan istrinya dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan hal itu membuat Kiandra sedikit jengah. "Beneran, Aku baik-baik aja, Mas. Serius!" ujar Kiandra kembali meyakinkan suaminya. Alsen tidak langsung menjawab, tapi malah membawanya ke sofa. Pikirnya ibu hamil tidak boleh lama-lama berdiri. "Baiklah, Aku percaya Kamu baik-baik saja, tapi lain kali kalau mau pergi jangan seperti ini lagi. Kamu harus memberitahuku. Kemana dan sama siapa saja. Bukan maksud
"Bisakah Kita bertemu?" ujar Vela di telepon. Beberapa waktu kemudiaan dan mereka bertemu, wanita itu langsung berhambur memeluk sahabatnya Kiandra. Wajahnya sayu seperti tengah menyimpan beban berat dan Kiandra segera menyadarinya meski wanita itu belum bicara. "Ssstt ... tidak apa-apa, Vel. Sekarang Aku di sini," ujar Kiandra seraya membalas pelukan sahabatnya itu. "Kamu kenapa?" bukan Kiandra yang bertanya, tapi Vela. Ah, iya. Penampilan Kiandra memang sedikit kacau. Dia baru bangun tidur saat mendapat telepon dari sahabatnya, dan saat menemui Vela sekarang diapun lupa pamit pada suaminya. "Aku kenapa?" Kiandra memperhatikan dirinya sendiri. Menggunakan camera ponsel untuk melihat wajahnya. "Ah, ini semua gara-gara mas Alsen suami Aku. Sudahlah, Kamu abaikan saja. Sekarang Kamu cerita, dan jangan berbohong!"Saat ditelepon, Vela memang sudah menunjukkan gelagat aneh dan menurut Kiandra itu tidak biasa. Dia tahu sahabatnya pasti butuh dirinya untuk masalahnya. "Aku tahu Kamu s
Blam!! Adam melonggarkan ikatan dasinya dan menatap geram pada Syera. "Kau tidak pantas melakukan itu pada Lana dan siapa yang membiarkanmu kemari?!"Adam menatap sekitarnya dan menemukan semua orang termasuk pembantu yang ada di sana, menundukkan kepalanya. Mereka takut dan tak satupun berani menjawab. Namun, disaat yang sama Syera mulai bangkit dan membalas Adam dengan tidak terima. "Kau yang apa-apaan, Mas? Apa yang membuatmu mendorongku, apakah wanita ini?!" sarkas Syera dengan marah. "Dan apa maksudmu berkata istri? Dia cuma pembantu yang beruntung melahirkan anakmu. Sadarlah!!"Plak! "Tutup mulutmu!!" Adam tidak hanya menampar Syera, tapi menegaskan. "Dia memang istriku, dan jika ada yang harus bersyukur di sini, maka itu adalah Kau. Jal*ng bisa menyandang status istriku, tapi jangan senang Syera, karena secepatnya Kita akan bercerai!"Syera yang masih memegang pipinya menatap Adam dengan tak percaya. "Apa maksudmu, Kau akan menceraikan Aku demi wanita ini?!""Ya, dan Aku sud
"Sial. Di mana Melvin sekarang, bagaimana bisa menghilang dengan tiba-tiba?!" kesal Alsen yang masih saja belum bisa menghubungi asistennya itu. Kiandra menghela nafasnya dengan kasar, sembari melepas gandengannya dari suaminya. Wanita itu juga kesal, dan terlihat menghampiri sofa dan duduk di sana. Saat ini keduanya memang sudah sampai di kantor, dan seperti yang Alsen keluhkan Melvin sama sekali tak berada di sana. "Berhenti berkata kasar, Mas. Udahlah hal kecil seperti itu saja dibawa emosi. Dasar tempramen!" cibir Kiandra. Alsen langsung menarik nafasnya kasar. Lalu mengusap wajahnya. "Maaf, Sayang. Aku cuma nggak suka orang yang tidak kompeten dan seenaknya.""Tapi Kamu juga gitu!" sarkas Kiandra mengingatkan. "Emang dasar Kamu doyan marah dan mengumpat. Nggak bisa sabar atau cari tahu. Gimana kalo Melvin sedang dalam masalah, apa Kamu tetap marah?"Alsen menghampiri istrinya dan mendekat. Wanita itu mempengaruhi emosinya dan juga seperti obat untuk meredakan perasaannya yang
"Kamu akan pergi sekarang?" tanya Kiandra sedikit kesal.Padahal sudah menjadi rutinitas bagi Alsen pergi brkerja hampir setiap pagi. Namun, hari ini Kiandra mencegahnya, karena merasa ingin bersama dengan suaminya dan tidak rela berpisah."Ya, Aku memang harus ke kantor hari ini, Sayang. Walaupun beberapa pekerjaan sudah Aku berikan pada Melvin, tapi Aku juga tidak bisa lepas tangan. Ini mata pencarianku, jika ada masalah, bagaimana nanti Aku akan menafkahimu dan juga memberi makan anak Kita?" jelas Alsen sambil mengusap puncak kepala istrinya."Tapi Aku tidak miskin, Mas. Aku juga bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Lagian tidak bekerja hari ini tidak akan membuatmu bangkrut," jawab Kiandra sambil menatap manja pada suamianya.Tidak perlu dijelaskan, Alsen segera mengerti keinginan istrinya dan diapun senang dengan hal itu. Mencium bib*r Kiandra kemudian mengambil ponselnya."Sebentar, biar Aku hubungi Melvin dulu," ujarnya yang langsung diangguki oleh Kiandra.Namun, Alsen seger
Pulang dari rumah Davin-Lia, Kiandra langsung tergolek tidur dan pulas. Membuat Alsen berdecak kesal, karena tampaknya dia masih menginginkan istrinya, namun bagaimana lagi sebagai seorang ayah Alsen tidak bisa menggunakan wewenangnya untuk memaksa. Cup! "Tidur yang nyenyak, Sayang. Kamu pasti lelah ya ... tidak masalah, Aku bisa menunggu, tapi besok tidak lagi!" ujar Alsen yang tidak bisa berbohong, sebab dia sedikit jengkel. Menarik selimut kemudian berbaring di sisi istrinya. Sementara Kiandra ternyata belum pulas, begitu mendengar dengkuran halus suaminya, dia berani membuka mata dan menatap suaminya dengan kesal. "Dasar maniak, tiga kali seminggu paling tidak bisa. Ck, dia pikir enak? Nggak tahu aja, Aku harus pegal linu. Diminta pijat, eh malah keterusan. Nyebelin!!" gerutu Kiandra kesal. Namun, tiba-tiba saja itu berubah saat dia semakin intens menatap suaminya. "Tapi mas Alsen ganteng banget, hmm ... hidungnya mancung kayak perosotan anak TK. Bahu lebar dada bidang. Punya
Hendra tersenyum lega mendengar berita Belinda ditangkap karena kasus pencucian uang, meskipun jauh di lubuk hatinya dia masih tak tega. Mengingat perempuan itu sudah menemaninya bertahun-tahun lamanya. "Dad, Aku--" "Ada apalagi Vela, apa masih tidak cukup penderitaan yang dialami putraku demi dirimu?!" sarkas Hendra begitu dia tersadar dari lamunannya. "Kepalanya harus dibalut, dan mendapat beberapa jahitan, meskipun tidak parah dan tidak sampai geger otak. Apa maumu lagi, hahh ...."Hendra tidak bermaksud melakukan itu, tapi pria itu memang sedikit tertekan karena kondisi putra satu-satunya itu. Karena Belinda, sekarang dia juga tak tahu di mana Shifa berada. Hendra segan jika harus bertanya pada Lingga, tapi di sisi lain meski bisa mencari tahu sendiri, Hendra juga tidak mau melakukannya. Dia merasa bodoh karena terlalu banyak menggunakan hatinya, padahal Shifa bukan siapa-siapa, dan bahkan adalah hinaan paling besar dalam hidupnya. "Aku cukup sabar beberapa hari ini, membiarkan
"Maaf, Ki ... Kamu sudah tidak marah sama Aku?" ujar Alsen mengalah. Tidak ada gunanya mendebat wanita apalagi dia hamil. Alsen sedikit sadar dan menekan egonya, sementara Kiandra malah membuang nafasnya kasar. "Maaf aja terus? Entah sampai kapan berubahnya, udah tua lagi!" dumel Kiandra kesal. Namun akhirnya wanita itupun mengangguk setuju, Alsen tersenyum melihatnya. Mengikis jarak kemudian memeluknya, sembari menghirup aroma tubuh bercampur parfum yang membuat Alsen candu. "Aku suka dengan kejutannya, meskipun sempat takut bagian pintunya tadi. Tidak masalah, Aku sebenarnya suka apapun tentang Kamu," ungkap Kiandra bicara manis. Semudah itu moodnya berubah. Yah, memang begitulah wanita. Asal pria berani mengalah, maka hatinya wanita mudah saja luluh. 'Tapi kenyataannya tidak suka hal yang berulang dan mudah bosan. Pembual.' Harusnya hal itu yang Alsen katakan, namun mana mungkin dia berani. Pria itu tak mau istrinya mengomel dan mereka kembali bertengkar. "Aku tahu itu," jaw
Melvin terlihat buruk dengan mata yang memerah menahan air mata. Meski tidak menangis, laki-laki terlihat payah dengan penampilannya yang sudah acak. Tak seperti biasanya, setelan formal dengan jas yang membuatnya terlihat berwibawa, justru kini membuatnya seperti banjing*n. "Maaf, Tuan. Anda sudah mabuk," ujar bartender yang sejak tadi memberinya minuman beralkohol, kali ini menentukan sikap. "Tidak, berikan padaku lagi!!" teriak Melvin membentak. Dia memang sudah biasa keluar masuk klub malam, tapi biasanya tinggal di ruang privat untuk membahas bisnis dengan kliennya, sekaligus minum. Akan tetapi, meski begitu Melvin hanya meneguk wine dengan kadar alkohol paling rendah, walaupun sesekali mencoba yang lebih tinggi. Namun, sekarang tidak seperti itu. Dia ke klub bukan lagi untuk menemui kliennya, melainkan untuk menenangkan diri, dan bahkan tidak berada di ruang privat. Melvin bergabung di ruangan penuh orang dan penuh kebisingan dengan lampu yang berkedap-kedip. Melvin di sana k