"Kamu mau bekerja, Dek?" tanyanya mengulang kalimatku.Aku mengangguk cepat. Tekadku sudah bulat, aku ingin mandiri meski sudah punya suami. Setidaknya aku punya cara untuk mengalihkan perasaan saat menunggu Mas Hendra mengubah kebiasaannya dengan sempurna.Dia menghembuskan napas panjang. Entah lelaki ini keberatan atau malah senang, aku tak akan lagi mengusik harinya nanti."Baiklah, jika itu yang Adek inginkan." jawabnya pelan.Mendengar itu, semua tampak lega, kecuali aku tentunya. Hatiku terasa hambar sudah. Tak ada harapan lagi yang kubumbung tinggi. Rumah tangga hanya status, sama seperti setahun ini. Akhirnya gugatan cerai itu resmi di cabut. Aku kembali pulang ke rumah, semua ikut menemani. Tentu saja tanpa Mama. "Hendra, besok kita langsung berobat saja. Mbak akan tunda kepulangan ke Bandung. Kalau melody tak bisa mengantarkan, biar Mbak dan Papa yang akan menemani kamu." ujar Mbak Widya, setelah kamu sampai dirumah.Aku memang mengatakan bahwa besok akan mendatangi perusa
Malam itu kami bicara dari hati ke hati. Mas Hendra juga jujur jika dia dipecat dari kantor karena sibuk mencariku seminggu ini. Ada sedikit sesal dihati, tapi aku yakin soal rejeki Allah pasti akan mencukupi untuk kami.***Pagi ini kami bersiap hendak kerumah Ustadz yang di rekomendasikan oleh Mbak Widya. Baru saja hendak mengunci pintu, ponsel Mas Hendra berbunyi. "Siapa, Mas?""Rasti."dia menatapku dengan tatapan heran."Tumben dia nelpon, Mas." desisnya.Lelaki itu mengangkat panggilan dari Rasti, Namun dia mengaktifkan speakernya."Hendra ... kamu bisa kesini, ga? aku butuh kamu banget, Ndra. Mas Yogi mengancam akan membun*hku, Ndra." suara isakan Rasti terdengar jelas olehku. Mas Hendra menatapku. Tapi, wajahnya biasa saja, tidak menunjukkan ke khawatiran pada mantan rekan kerjanya itu."Memang kamu ada masalah apalagi sama Yogi?""Dia menuduh, anak yang aku kandung kemarin itu bukan anaknya. Dia menyangka itu anak kamu, Ndra! makanya dia marah besar."Wajah Mas Hendra berubah
"Kamu kenal?" bisik Mas Hendra, saat laki-laki berkopiah itu berlalu dengan senyum malu."Ya, engga lah, Mas. Itu dia sudah pergi." jawabku, mataku masih mengikuti langkah pria itu."Kok dia kenal Mbak Nada, ya? Tapi, emang kamu mirip banget dengan dengan Mbak Nada, kayak Kakak Adek. Mas aja waktu itu sampai salah nebak."Aku mengalihkan pandangan pada Mas Hendra."Emang Mas pernah ketemu sebelumnya dengan Mbak Nada?""Pernah! saat Mas masih nyari-nyari kamu, Dek." sahutnya malu-malu."Ketemu dimana?""Di daerah sekitar kampus kamu dulu, rumahnya." Aku memicingkan mata, mengingat selama di Depok ayah katanya tinggal dirumah saudara, tapi saudara yang mana, apa jangan-jangan tinggal dirumah Mbak Nada itu. "Kamu mikirin apa?" Mas Hendra mengangetkan lamunanku."Aku penasaran, Mbak Nada itu saudara Ayah yang mana. Selama ini yang kutahu, saudara Ayah dan Ibu Rahimahullah ada dikampung, tak ada yang disini. Dan rata-rata sudah pada tua. Apa Mbak Nada itu salah satu dari anak mereka, ali
"Saya ingin sembuh, Ustadz." rintihnya."Bertaubatlah, minta pengampunan kepada Allah. Taubat dengan sebenar-benarnya taubat dan berjanji tak akan mengulangi lagi.""Tapi, setiap saya menahan. Kepala saya terasa hendak pecah, Ustadz."Ustadz memperhatikan Mas Hendra."Maaf sebelumnya, sudah berapa lama Bapak menikah?""Sudah setahun, Ustadz.""Apa selama kurun waktu itu, Pak Hendra sudah menyentuh istrinya?" Mas Hendra tertunduk dalam lalu menggeleng, lemah.Ustadz itu kembali berucap istighfar sangat pelan, tapi masih bisa kudengar."Begini, saja. Kita coba untuk diruqyah, kadang kala ada campur tangan bangsa jin, guna menggelincirkan hambanya yang beriman. Cuma untuk hari ini, saya tidak bisa membantu, karena ada urusan yang sangat penting, jadi saya harus ke Jakarta setelah ini." Ada binar di wajah Mas Hendra."Jadi kapan, Ustadz ada waktu?" tanya Mas Hendra memburu."Datanglah lusa. InsyaAllah saya tunggu."Aku bernapas lega. Tak perlu lama-lama. Dan besok aku ada kesempatan unt
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 20"Lho, kok balik, Dek?" tanya Mas Hendra."Emang Melody habis kemana, Hend?" tanya Rasti sambil menatap penuh rasa penasaran padaku."Aku mau ke pasar, Ras. Dompetku ketinggalan." sahutku cepat."Ke pasar pakaiannya rapi gitu?" tanyanya menyelidik."Ga ada peraturan juga kan, ke pasar harus pakai baju gemb*l." kataku sambil tertawa kecil.Rasti ikut tertawa walau terlihat terpaksa."Btw, tadi bahas dukun? dukun apa?" tanyaku memancing."Aku menyarankan Hendra buat berobat di Ki Candra, Mel. Ki Candra, pasiennya sudah dari mana-mana aja. Banyak yang cocok." semangat sekali Rasti menjelaskan tentang dukun itu."Maaf, Ras. Kami tak sependapat denganmu. Mas Hendra sudah punya tempat sendiri untuk terapi. Jadi, mohon maaf, kami tak bisa mengikuti saran kamu." "Kamu ini gimana, sih! di kasih tau tempat berobat yang ampuh malah sok ga mau."suara Rasti meninggi. Aku terkejut, menatap perempuan itu tajam.Rasti salah tingkah."Maaf, Mel. Maaf, aku ga sengaja
DESAHAN DI KAMAR PRIBADI SUAMIKU 21Mas Hendra terdiam, pandangannya kosong. Kenapa setelah di ruqyah Mas Hendra malah jadi pendiam begitu, apa emang efek di ruqyah seperti itu, ya? Aku menghela napas dalam-dalam. Lalu beranjak ke kamar, hendak mengambil handuk dan bersih-bersih. Ternyata bekerja itu melelahkan juga. Sebenarnya masih penasaran dengan dua botol yang disembunyikan Mas Hendra, botol apa sebenarnya? kalau memang dari Ustadz kenapa dia tak memberitahukanku? Makan malam kami lewati dalam diam, padahal baru saja membiasakan diri untuk saling berbagi cerita. Tapi, wajah Mas Hendra tak seperti biasa. Dia lebih banyak melamun, makan dengan begitu pelan. Seperti orang yang tak punya selera."Mas, kamu sakit?" dia tampak kaget, lalu menggeleng cepat.Usai makan dia kembali ke ruang tengah, melamun. Astaghfirullah, Mas Hendra kenapa sih? seharusnya setelah mendapatkan terapi walau sekali, sudah ada perubahan walau sedikit. Tapi, ini justru perubahan negatif yang terlihat."Mas, k
Pikiranku jadi tak tenang, berkali-kali melihat jam. Ingin rasanya segera pulang, tapi aku baru saja kerja. Mana mungkin minta ijin. "Kamu sepertinya gelisah, Mel? ada masalah?" tanya Mbak Hanin yang kebetulan mejanya berada tak jauh didepanku."Ga, Mbak. Gapapa." jawabku agak gugup. Mbak Hanin orang yang baru saja aku kenal. Lagi pula mana mungkin aku menceritakan aibku sendiri pada orang lain. "Oh, kirain kenapa." katanya."Eh, Mel. Kamu kan teman lamanya Mas Hamzah, bantuin aku dong, deketin dia." lanjutnya dengan suara sedikit dipelankan.Mataku membola. Ada-ada aja Mbak Hanin, aku aja sedang berusaha menjauhi dia. Bagaimana mungkin aku membuat jarak itu merekat hanya untuk mencomblangin mereka."Maaf, Mbak Hanin. Saya hanya sekedar kenal aja sama Kak Hamzah, ga pernah sampai dekat. Jadi, saya malu mau ngajak ngobrol duluan." Wajah Mbak Hanin kecewa. Tampaknya perempuan dengan rambut tergerai sebahu itu sangat mencintai Kak Hamzah. Sayang, type Kak Hamzah adalah wanita yang menu
"Ampun, ampun ... sakiiit!" teriak Mas Hendra masih memenuhi ruangan ini. Aku sudah mengabari Salwa, minta bantuannya untuk menghubungi Ustadz yang bisa membantu meruqyah Mas Hendra."Aku aja kesana, Mel?" tawar Salwa, ketika dia mendengar teriakkan Mas Hendra."Ga usah, Wa. Aku saja yang kerumahmu, kamu siap-siap, ya.""Tapi, Depok-Jakarta jauh lho, Mel. Gimana kalau aku minta tolong Kak Hamzah. Dia kan sekarang ngekost di Jakarta." Sejenak aku berpikir, aku memang sangat butuh bantuan orang lain saat ini. Tapi, aku tak tau harus minta bantuan siapa. Mbak Widya udah ke Bandung."Aku ga enak, Wa." cicitku."Udah, ga usah mikirin perasaan saat ini, yang penting suami kamu segera ditangani. Share lokasi yaa, aku akan segera ngabarin Kak Hamzah."Akhirnya akupun menerima tawaran Salwa. Darurat, mau gimana lagi."Dek, panas Dek, tolong ambilkan kain basah rendam pake air es." aku menuruti kemauan Mas Hendra, walau aku sendiri tak tau untuk apa kain itu."Ini, Mas." aku mengulurkan kain i
POV author"Melody?"Rasti terhenti. Matanya yang cekung menatap Melody dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang sakit, Mel?"tanyanya lagi."Mas Hendra. Kamu sendiri siapa yang berobat kesini?"Rasti tersenyum tipis. Tak tampak lagi wajah yang dulu glowing, bibir yang selalu berwarna merah dan alis mata yang indah. Keadaan Rasti benar-benar terlihat memprihatinkan dimata Melody."Aku yang sakit." lirih Rasti. Sejak di vonis terkena virus HIV Aids itu, Rasti menjadi pesakitan yang mulai dijauhi orang-orang. Bahkan laki-laki yang dulu memakai jasanya pun satu persatu menghilang. Ada yang ketularan penyakit itu, ada juga yang kabur takut terkena juga.Melody sungkan bertanya, sehingga dia hanya mengangguk saja."Oh, ya Hendra sakit apa?" Melody tak mungkin menceritakan semuanya pada Rasti. Memang mereka dulu sahabat, tapi apa yang pernah terjadi membuat Melody menganggap Rasti hanya orang lain. Cukup dia merasa bod*h karena membawa masuk wanita lain dalam hidupnya."Kecelakaan." jawabny
POV authorSeminggu sudah Hendra dirawat, luka serius dikepalanya akibat jatuh dari gedung lantai tiga itu membuatnya koma begitu lama. Beruntung Hendra selamat, meski sempat kritis. Kaki Hendra mengalami patah tulang yang mungkin akan membuat dia harus duduk di kursi roda kelak. Nada yang kenal dengan pemilik perusahaan tempat Ata bekerja yang mengabarkan pada pihak keluarga. Kebetulan perempuan muda itu baru saja ada meeting di perusahaan tersebut.Rusdi dan Fatma sangat syok atas kejadian itu yang menimpa anak lelakinya itu. Terlebih saat tau penyebabnya dari penjelasan saksi dan cerita dari Dahlan sahabatnya."Kasian sekali kamu, Nak." tangis Fatma ketika melihat keadaan anaknya."Ini semua karena kita, Ma. Kita yang menyebabkan Hendra seperti ini. Jika saja kita lebih hati-hati dulu. Anak kita tak akan seperti ini." sahut Rusdi yang melihat Hendra dengan infus terpasang ditangannya dan juga beberapa alat medis yang masih menempel ditubuh sang anak."Sudah, Ma, Pa. Kita fokus deng
Ancaman Ata ternyata bukan isapan jempol belaka. Beberapa saat setelah kejadian di puncak, lelaki lucknut itu benar-benar mengirimkan foto-foto yang dia ambil saat aku dalam keadaan tak berdaya. Melody yang baru saja melahirkan anak pertama kami terlihat syock. Meski aku berusaha menjelaskan tapi Melody tak mau percaya. Terlebih ada sekotak tissu magic berada dalam tasku. Entah itu milik siapa, yang jelas aku tak pernah memakai barang itu, buat apa? Jangankan untuk memakainya terpikirkan saja tidak. Aku sudah meyakinkan diri untuk menunggu Melody sembuh dulu baru kami akan melakukan hal itu lagi. Dengan menyibukkan diri, banyak membaca buku-buku agama dan rutin membaca Al Qur'an, Alhamdulillah nafsuku bisa terbendung. Sakit di kepala juga sudah sembuh total, karena setiap terasa sedikit saja nyeri, aku langsung meruqyahnya sendiri.Namun, apa yang terjadi saat ini dengan rumah tanggaku membuat jiwa ini seakan terguncang.'Kenapa saat aku sudah bertaubat dengan sebenarnya taubat, Eng
POV Hendra.Tak ada yang dapat kuucapkan selain kata syukur yang berlimpah untuk kenikmatan yang telah Allah berikan saat ini. Memiliki istri yang bisa menjadi selimut untuk menutupi aib-aibku di masa lalu. Bahkan mau menerimaku kembali dengan hati yang lapang.Aku akan berusaha menjaga dia dan berjanji untuk menjadi suami yang baik bagi Melody, terlebih istriku itu sedang hamil saat ini, mengandung buah cinta kami.Hari itu ada rapat penting yang dilakukan perusahaan tempat kubekerja dengan beberapa klien dari perusahaan lain. Aku yang dipilih untuk memimpin rapat itu. Tanpa diduga, aku bertemu lagi dengan Ata. Teman masa lalu, yang sempat dekat kembali denganku beberapa waktu lalu. Namun, setelah aku tahu Ata punya kelainan orientasi seksual, aku menjauh. Aku saja mati-matian untuk sembuh dari kebiasaan buruk itu. Jangan sampai terjerumus dalam keburukan lain yang jelas lebih menyeramkan."Hend, gimana kabar kamu?" Ata dan dua orang temannya menyalamiku. Riko dan Denis nama temannya
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
"Bu, mau Bibik buatkan teh?" Bik Milah mungkin melihatku yang sedang termenung dengan tatapan kosong di ruang tengah."Ga usah, Bik. Tolong jagain Alif saja, Bik."Bik Milah mengangguk dan langsung berlalu ke kamar dimana Alif sedang ditidurkan. Kalau bukan karena Alif, aku rasanya ingin pergi jauh saja. Buat apa lagi bertahan. Setengah jam kemudian Mas Hendra datang. Suamiku itu membawa seorang laki-laki bersamanya. Pakaiannya rapi, tampak terlihat tegas. Sesekali mereka melempar tawa saat keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah.Bukan dia yang aku cari. Laki-laki yang tidur bersama Mas Hendra di puncak itu bukan ini. "Assalamu'alaikum ..."Mas Hendra masuk, sembari mengajak tamunya mengikuti dari belakang."Wa'alaykumussalam ..." jawabku singkat. "Dek, ini Pak Ardi, rekan kerja Mas. Kebetulan Mas hari ini tak balik lagi ke kantor, jadi Pak Ardi sekalian ikut untuk mengambil map yang ketinggalan." jelasnya.Lelaki yang bernama Ardi tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Aku
Aku terbangun dalam ruangan bercat putih. Memicingkan mata karena silau yang menerpa."Alhamdulillah ....kamu sudah sadar, Dek. Alhamdulillah ..." Wajah Mas Hendra yang pertama kali kulihat tampak begitu senang."Anak kita gimana, Mas?"Mas Hendra meraih tanganku yang masih terpasang jarum infus lalu menciumnya."Anak kita selamat, Dek. Laki-laki, hidungnya mancung seperti hidung Mamanya."Aku tersenyum membayangkan anak yang baru saja aku lahirkan. Meski harus lewat operasi Caesar karena aku yang tiba-tiba saja mengalami pendarahan. Mungkin karena kelelahan dalam acara pernikahan Mbak Nada kemarin.Tak lama Mama, Papa, Ayah, Mbak Widya, Mbak Nada juga suaminya masuk ke ruanganku."Kami baru saja mengintip bayi kamu di ruang perawatan bayi, kulitnya bersih, matanya bening, mana cakep banget, MasyaAllah." ucap Mama."Selamat ya, Sayang. Makasih sudah memberikan Mama seorang cucu. Mama senang sekali."Mama mengusap kepalaku, aku terharu. Akhirnya kasih sayang Mama bisa juga aku dapatka
Mas Hendra pulang, sorot matanya memperlihatkan kebahagiaan. Tapi, tak bisa dipungkiri, dari wajah dia terlihat sangat lelah."Kita istirahat dulu disini ya, Mas. Besok baru pulang. Mas sepertinya lelah sekali." ujarku.Saat ini Mas Hendra sedang tiduran di kamar, Ayah setelah tadi ngobrol sebentar dengannya, sudah pergi ke Pondok."Jangan, Dek, kita langsung pulang saja. Mas gapapa kok. Sejam lagi kita berangkat ya, Mas mau tiduran sebentar."Aku mengangguk, melihat Mas Hendra sudah memejamkan mata aku bergegas merapikan barang-barang milikku. Meski tertartih karena perut yang besar ini."Pulang hari ini juga, Nak?" tanya Ayah yang baru pulang. "Jadi, Yah." jawabku pelan. Aku yang sedang duduk di sofa karena merasa lelah, tersenyum."Apa tidak besok saja, kasian Hendra baru pulang.""Mas Hendra minta sekarang aja, Yah. Mungkin dia masih kuat."Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Tak lama Mas Hendra bangun. Lalu mengajakku segera pulang ke rumah kami. Mata Ayah berkaca-kaca, lelaki y
Aku menoleh."Kang Hanif, ini mau istirahat dulu." sahutku sopan."Oh iya, saya yang minta maaf malam-malam ganggu. Cuma sebentar saja kok, ada perlu sama Pak Haji." tuturnya."Iya, Kang silahkan. Saya pamit masuk dulu."Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk. Meski dulu aku selalu memanggilnya 'Hanip' tidak pakai embel-embel didepan namanya, sekarang ada rasa sungkan terlebih kami sudah sama-sama dewasa. Setidaknya untuk menghormati dirinya yang juga seorang ustadz disini.Aku merebahkan diri di atas ranjang. Perut yang kian membuncit membuat gerakanku agak terbatas. Mencoba memejamkan mata, tapi kelopak ini sama sekali tidak mau diajak kompromi. Pikiran justru melayang pada Mas Hendra. Sedang apa dia? sudah jam delapan malam tapi belum ada kabar darinya. Aku meraih ponsel yang berada di sampingku. Mas Hendra aktif beberapa jam lalu. Apa kucoba menghubunginya saja. Baru saja hendak menekan tanda telepon hijau di layar ponsel. Panggilan dari Mas Hendra tertera di sana."Assalamu'alaiku