Siang itu, udara panas menyengat. Rey baru saja selesai tugas ketika Kapten Brian menghampirinya dengan senyum khasnya."Ayo makan siang," ajaknya.Rey melirik jam tangan. "Lagi puasa."Brian terkekeh. "Oh iya, lupa. Baru hari pertama, ya?"Rey mengangguk."Kalau gitu, nanti kalau puasamu udah jalan beberapa hari, aku ajak makan. Mungkin waktu itu udah nggak kuat, kan?"Rey terdiam.Brian tidak bermaksud meremehkan. Baginya, itu hanya candaan. Tapi di telinga Rey, ada benarnya. Selama ini, puasanya memang sering bolong. Bukan karena fisik tidak kuat—di hutan, ia bisa bertahan berhari-hari hanya makan seadanya. Masalahnya bukan tubuh, tapi hati.Sebelum ini, Rey tidak terlalu memikirkan. Puasa setengah bulan pun sudah cukup baginya. Tapi sejak Mira berkata akan mengikuti imamnya, sesuatu terasa berbeda.Rey menegakkan punggung. "Nggak, tahun ini aku puasa penuh."Brian menatapnya, sedikit heran. "Serius?"Rey mengangguk mantap. "Serius."Brian tersenyum kecil. "Oke, kita lihat nanti."
Agna terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya. Tangan menggenggam perut, napas tersengal. Sebuah baskom tergeletak di samping ranjang, bekas muntahannya yang baru saja, masih terlihat.Arya berdiri di ujung tempat tidur, tatapannya penuh kebingungan.Seorang suster mendekat, lalu mengambil basom itu dan membawanya ke amar mandi di kamar Agna."Agna, mau minum sedikit?" suara Sandra bergetar, tangannya menyodorkan segelas air putih.Agna hanya menggeleng lemah. "Enggak, Bu... enggak masuk..." bisiknya.Sandra menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. "Kamu harus makan, Nak. Ini sudah berkali-kali muntah. Badanmu lemas begini..."Arya meremas jemarinya, mencoba menahan diri. "Agna, setidaknya makan roti sedikit. Minum jus? Biar enggak makin drop," bujuknya.Agna terisak. "Mungkin... ini balasan buat aku, Pi. Tuhan menghukum aku atas dosa-dosa yang sudah aku buat.""Agna, jangan berali-ali mengatakan itu, Nak." Sandra mengusap air matanya."Aku memang ja
"Assalamualaikum!"Matahari mulai meredup ketika suara ketukan terdengar dari pintu depan. Jamilah meletakkan gelas tehnya, melirik ke arah jam dinding. Sore. Siapa yang datang tanpa pemberitahuan?Dari balik tirai, terlihat dua sosok berdiri ragu. Manda, dengan wajah cemas, sementara suaminya, Armand, tampak berat saat hendak mengetuk lagi.Jamilah buru-buru membukakan pintu. "Manda?"Manda tersenyum kaku. "Maaf, mendadak. Boleh masuk sebentar?"Jamilah memberi isyarat agar mereka duduk. Tatapannya tak lepas dari wajah Manda yang terlihat tegang. "Ada apa?"Armand menarik napas. "Kami datang untuk meminta maaf."Jamilah mengerutkan dahi. "Minta maaf?"Manda menggenggam jemari suaminya, lalu menatap Jamilah lekat-lekat. "Putra kami, Arhand... tidak bisa meneruskan pernikahan ini."Jamilah tercekat. "Apa maksudmu?"Armand menundukkan kepala. "Arhand harus bertanggung jawab. Dia telah menghamili seorang wanita."Hening.Jamilah merasakan darahnya berdesir. Tenggorokannya tercekat. "Apa?"
Seorang pria berdiri di depan pintu, tubuhnya tegap, tetapi sorot matanya penuh keraguan.Arya menatapnya tajam. Ada kemarahan, tetapi juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Akhirnya kamu datang juga." Suaranya datar, tapi menusuk.Arhand mengangguk pelan. "Aku harus datang."Hening sejenak. Arhand menggenggam erat kedua tangannya, mencoba menahan emosi yang bergejolak."Agna bagaimana?" Suaranya bergetar.Arya tidak langsung menjawab. Ia menatap lelaki itu lekat-lekat, mencoba membaca ketulusan di sana. Akhirnya, ia melangkah mundur, memberi jalan."Masuklah," katanya singkat.Arhand meneguk ludah. Langkahnya berat saat memasuki kamar Agna. Ruangan terasa dingin, bukan karena suhu, melainkan suasana yang mencekam. Hatinya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang selama ini menghantui pikirannya.Di atas ranjang, Agna tergolek lemah. Wajahnya pucat, mata sayu, tubuhnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.Sandra duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan putr
Mira menarik napas dalam-dalam. Hawa sore terasa berat di dadanya. Sudah setengah bulan sejak terakhir kali melihat Rey, dan selama itu, ia berusaha keras menekan kerinduan yang terus muncul.Dulu, dia selalu bisa menelepon Rey kapan saja, mendengar suaranya, bercanda, atau sekadar berbagi cerita tentang hari yang melelahkan. Tapi setelah pertengkaran mereka terakhir kali, dia lebih banyak memilih diam. Bahkan saat Rey menelpon, dia seolah enggan menjawab, hinggah akhirnya, Rey tak menelpon sama sekali.Bukan karena sudah tidak peduli.Justru karena terlalu peduli.Dan sekarang, Rey tiba-tiba muncul di depan rumah, berdiri dengan ekspresi canggung, seperti seseorang yang sudah lama menunggu tetapi takut ditolak."Kamu..." Mira menatapnya, berusaha menutupi getaran yang terasa di suaranya. "Ngapain ke sini?"Rey tersenyum kecil. "Emang ada nyang glarang aku ke sini? Aku ngajak buka puasa bareng."Mira melipat tangan, mencoba terlihat acuh. "Kenapa harus ngajak aku?""Karena aku kangen,"
.Rere membuka pintu dengan wajah penasaran. Mobil hitam yang berhenti di depan rumah bukan mobil sembarangan. Bukan milik tetangga, bukan juga taksi online.Rere melirik ke dalam. "Kak Rey! Gurumu datang!"Rey segera keluar, berdiri di teras dengan ekspresi penuh harapan. Ini pertama kalinya belajar dengan Ustaz Tahmid. Pasti akan lebih nyaman dibanding mendengar bentakan Atmajaya setiap malam.Tapi begitu pintu mobil terbuka, harapan itu runtuh seketika.Rey menatap sosok mungil yang melompat turun.Seorang anak laki-laki, tidak lebih dari sepuluh tahun.Pakai celana juga kaos santai, wajah berseri-seri seperti seseorang yang baru saja menang lotre.Bocah itu melangkah ringan ke arahnya, tersenyum lebar, lalu berkata dengan suara jernih, "Saya yang akan mengajari Mas Rey."Rey terbelalak. "Nggak salah?"Anak itu justru mengangguk penuh percaya diri. "Kata Abi Tahmid, saya lebih cocok buat ngajari Mas Rey."Dada Rey naik turun. "Ustaz Tahmid sendiri yang bilang?""Iya, Abi bilang beg
Lani memandangi ibunya yang tengah melipat baju. "Bu, nanti aku pulangnya agak telat. Aku dan Mas Alzam mungkin buka bersama di rumah sana," ujar Lani pelan. Namun ternyata cukup membuat Towirah terhentak.Towirah menghentikan tangannya, lalu menatap putrinya dengan mata sayu. "Serius mau pindah?"Lani menelan ludah. Ia tahu pertanyaan itu lebih dari sekadar konfirmasi. Ada ketidakrelaan yang jelas dalam nada suara ibunya."Habis lebaran, Bu. Setelah anak kami lahir," jawabnya akhirnya. "nggak sekarang. Cuma nanti kita mau diam di sana sebentar. Mungkin habis Isya' baru pulang. Jadi, jangan masakbanyak seperti biasanya."Wagimin, yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, menghela napas panjang. "Kenapa harus buru-buru? Rumah ini besar, cukup buat kalian bertiga."Lani menunduk, memainkan ujung kain bajunya. "Jauh, Pak. Aku masih kerja. Pasti repot kalau harus bolak-balik sambil momong bayi nanti."Alzam yang sejak tadi diam, akhirnya ikut bicara. "Rumah sana lebih dekat dengan pabrik.
:Lani duduk di kursi ruang istirahat pabrik, tubuhnya gemetar. Dita berjongkok di sampingnya, menggenggam tangan yang mulai dingin."Kamu yakin ini bukan air biasa?" suara Dita penuh kecemasan.Lani mengangguk lemah. "Bukan. Rasanya aneh. Kemarin memng pernah keluar, tap hanya sekali, kok ini malah sering."Budi bergegas mencari tisu, tetapi Dita lebih dulu berinisiatif menarik Lani berdiri. "Kita ke rumah sakit sekarang!"Lani meraba perutnya yang mengeras. Bayinya masih bergerak, tetapi ada perasaan tidak enak yang menjalar dari ujung kaki ke kepala.Dita dan Budi nyaris menyeretnya ke parkiran. Lani merogoh ponsel, mencoba menghubungi Alzam.Satu kali... tidak diangkat.Dua kali... masih tidak tersambung.Naparnya makin memburu."Kenapa nggak diangkat?!"Budi menyalakan mobil, Dita membantu Lani naik ke belakang."Aku yang bawa, biar babti Alzam nusul.!" ujar Budi, lalu mobil melaju membelah jalanan yang mulai ramai.Lani masih terus mencoba menelepon Alzam, tapi hasilnya sama."T
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad