Maaf, babnya salah ya, kemarin?
Alzam memarkir mobil di depan rumah sakit. Bangunan dua lantai itu terlihat lebih kecil dibanding rumah sakit yang sebelumnya mereka datangi.Lani turun perlahan, satu tangannya menyangga perut yang semakin membesar. Nafasnya sedikit berat.“Pelan-pelan,” Alzam mengulurkan tangan.Lani menerima uluran itu, lalu berjalan di sampingnya. Begitu masuk, hawa sejuk dari pendingin ruangan langsung menyergap. Beberapa pasien menunggu giliran di kursi antrean. Seorang perawat dengan seragam biru muda mendekat, tersenyum ramah.“Pemeriksaan kehamilan, Bu?”Lani mengangguk.“Baru pertama kali ke sini?”Alzam yang menjawab, “Iya, kami pindahan dari rumah sakit di Surabaya, Mbak.”Perawat mencatat sesuatu, lalu memberikan formulir. “Silakan isi dulu datanya.”Mereka duduk di pojok ruangan. Lani mengambil pulpen, mulai menuliskan informasi yang dibutuhkan. Nama, usia kandungan, riwayat pemeriksaan sebelumnya.Alzam melirik, membaca sekilas. “Seharusnya nggak perlu banyak tanya kalau kita bawa reka
Rey keluar kamar dengan langkah mantap. Seragam hijau tua itu melekat rapi di tubuhnya, menunjukkan kedisiplinan seorang tentara. Pangkat Mayor di bahunya memberi kesan berwibawa. Sepatu hitam mengkilap, semirnya sempurna, mencerminkan kebiasaan hidup yang tertata.Di meja makan, Marni yang tengah merapikan piring setelah dipakai sahur tadi, menoleh. Matanya berbinar melihat calon menantunyanya dalam balutan seragam resmi."MasyaAllah..." gumamnya, tersenyum bangga. "Kamu tampak gagah, Le."Rey tertawa kecil. "Bu, biasa saja. Jangan berlebihan. Rey jadi malu." Dia memang malu teringat apa yang terjadi semalam.Marni menggeleng. "Nggak bisa biasa. Kamu ini kebanggaan keluarga ini sekarang. "Tukiran yang duduk di ruang depan, sedang membaca Al Qur'an, menoleh pelan. Wajahnya memancarkan kebanggaan yang tak bisa disembunyikan."Tadi malam orang-orang di serambi sudah ribut soal kita yang bakal mantu habis Lebaran," katanya dengan suara berat. "Mereka semua kagum calon mantuku tentara,
Siang itu, udara panas menyengat. Rey baru saja selesai tugas ketika Kapten Brian menghampirinya dengan senyum khasnya."Ayo makan siang," ajaknya.Rey melirik jam tangan. "Lagi puasa."Brian terkekeh. "Oh iya, lupa. Baru hari pertama, ya?"Rey mengangguk."Kalau gitu, nanti kalau puasamu udah jalan beberapa hari, aku ajak makan. Mungkin waktu itu udah nggak kuat, kan?"Rey terdiam.Brian tidak bermaksud meremehkan. Baginya, itu hanya candaan. Tapi di telinga Rey, ada benarnya. Selama ini, puasanya memang sering bolong. Bukan karena fisik tidak kuat—di hutan, ia bisa bertahan berhari-hari hanya makan seadanya. Masalahnya bukan tubuh, tapi hati.Sebelum ini, Rey tidak terlalu memikirkan. Puasa setengah bulan pun sudah cukup baginya. Tapi sejak Mira berkata akan mengikuti imamnya, sesuatu terasa berbeda.Rey menegakkan punggung. "Nggak, tahun ini aku puasa penuh."Brian menatapnya, sedikit heran. "Serius?"Rey mengangguk mantap. "Serius."Brian tersenyum kecil. "Oke, kita lihat nanti."
Agna terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya. Tangan menggenggam perut, napas tersengal. Sebuah baskom tergeletak di samping ranjang, bekas muntahannya yang baru saja, masih terlihat.Arya berdiri di ujung tempat tidur, tatapannya penuh kebingungan.Seorang suster mendekat, lalu mengambil basom itu dan membawanya ke amar mandi di kamar Agna."Agna, mau minum sedikit?" suara Sandra bergetar, tangannya menyodorkan segelas air putih.Agna hanya menggeleng lemah. "Enggak, Bu... enggak masuk..." bisiknya.Sandra menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. "Kamu harus makan, Nak. Ini sudah berkali-kali muntah. Badanmu lemas begini..."Arya meremas jemarinya, mencoba menahan diri. "Agna, setidaknya makan roti sedikit. Minum jus? Biar enggak makin drop," bujuknya.Agna terisak. "Mungkin... ini balasan buat aku, Pi. Tuhan menghukum aku atas dosa-dosa yang sudah aku buat.""Agna, jangan berali-ali mengatakan itu, Nak." Sandra mengusap air matanya."Aku memang ja
"Assalamualaikum!"Matahari mulai meredup ketika suara ketukan terdengar dari pintu depan. Jamilah meletakkan gelas tehnya, melirik ke arah jam dinding. Sore. Siapa yang datang tanpa pemberitahuan?Dari balik tirai, terlihat dua sosok berdiri ragu. Manda, dengan wajah cemas, sementara suaminya, Armand, tampak berat saat hendak mengetuk lagi.Jamilah buru-buru membukakan pintu. "Manda?"Manda tersenyum kaku. "Maaf, mendadak. Boleh masuk sebentar?"Jamilah memberi isyarat agar mereka duduk. Tatapannya tak lepas dari wajah Manda yang terlihat tegang. "Ada apa?"Armand menarik napas. "Kami datang untuk meminta maaf."Jamilah mengerutkan dahi. "Minta maaf?"Manda menggenggam jemari suaminya, lalu menatap Jamilah lekat-lekat. "Putra kami, Arhand... tidak bisa meneruskan pernikahan ini."Jamilah tercekat. "Apa maksudmu?"Armand menundukkan kepala. "Arhand harus bertanggung jawab. Dia telah menghamili seorang wanita."Hening.Jamilah merasakan darahnya berdesir. Tenggorokannya tercekat. "Apa?"
Seorang pria berdiri di depan pintu, tubuhnya tegap, tetapi sorot matanya penuh keraguan.Arya menatapnya tajam. Ada kemarahan, tetapi juga kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Akhirnya kamu datang juga." Suaranya datar, tapi menusuk.Arhand mengangguk pelan. "Aku harus datang."Hening sejenak. Arhand menggenggam erat kedua tangannya, mencoba menahan emosi yang bergejolak."Agna bagaimana?" Suaranya bergetar.Arya tidak langsung menjawab. Ia menatap lelaki itu lekat-lekat, mencoba membaca ketulusan di sana. Akhirnya, ia melangkah mundur, memberi jalan."Masuklah," katanya singkat.Arhand meneguk ludah. Langkahnya berat saat memasuki kamar Agna. Ruangan terasa dingin, bukan karena suhu, melainkan suasana yang mencekam. Hatinya berdegup tak karuan saat melihat sosok yang selama ini menghantui pikirannya.Di atas ranjang, Agna tergolek lemah. Wajahnya pucat, mata sayu, tubuhnya terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.Sandra duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan putr
Mira menarik napas dalam-dalam. Hawa sore terasa berat di dadanya. Sudah setengah bulan sejak terakhir kali melihat Rey, dan selama itu, ia berusaha keras menekan kerinduan yang terus muncul.Dulu, dia selalu bisa menelepon Rey kapan saja, mendengar suaranya, bercanda, atau sekadar berbagi cerita tentang hari yang melelahkan. Tapi setelah pertengkaran mereka terakhir kali, dia lebih banyak memilih diam. Bahkan saat Rey menelpon, dia seolah enggan menjawab, hinggah akhirnya, Rey tak menelpon sama sekali.Bukan karena sudah tidak peduli.Justru karena terlalu peduli.Dan sekarang, Rey tiba-tiba muncul di depan rumah, berdiri dengan ekspresi canggung, seperti seseorang yang sudah lama menunggu tetapi takut ditolak."Kamu..." Mira menatapnya, berusaha menutupi getaran yang terasa di suaranya. "Ngapain ke sini?"Rey tersenyum kecil. "Emang ada nyang glarang aku ke sini? Aku ngajak buka puasa bareng."Mira melipat tangan, mencoba terlihat acuh. "Kenapa harus ngajak aku?""Karena aku kangen,"
.Rere membuka pintu dengan wajah penasaran. Mobil hitam yang berhenti di depan rumah bukan mobil sembarangan. Bukan milik tetangga, bukan juga taksi online.Rere melirik ke dalam. "Kak Rey! Gurumu datang!"Rey segera keluar, berdiri di teras dengan ekspresi penuh harapan. Ini pertama kalinya belajar dengan Ustaz Tahmid. Pasti akan lebih nyaman dibanding mendengar bentakan Atmajaya setiap malam.Tapi begitu pintu mobil terbuka, harapan itu runtuh seketika.Rey menatap sosok mungil yang melompat turun.Seorang anak laki-laki, tidak lebih dari sepuluh tahun.Pakai celana juga kaos santai, wajah berseri-seri seperti seseorang yang baru saja menang lotre.Bocah itu melangkah ringan ke arahnya, tersenyum lebar, lalu berkata dengan suara jernih, "Saya yang akan mengajari Mas Rey."Rey terbelalak. "Nggak salah?"Anak itu justru mengangguk penuh percaya diri. "Kata Abi Tahmid, saya lebih cocok buat ngajari Mas Rey."Dada Rey naik turun. "Ustaz Tahmid sendiri yang bilang?""Iya, Abi bilang beg
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad
Sebuah mobil hitam berhenti perlahan di depan gerbang utama rumah Alzam. Bunyi mesin yang dimatikan, disusul derit pintu mobil terbuka, mengundang rasa penasaran orang-orang yang tengah berada di halaman depan rumah besar itu.“Bawa masuk aja barangnya,” ucap Evran kepada Arhand yang turun pertama, langsung menarik koper besar dari bagasi. Tubuh tegapnya bergerak sigap, wajahnya tetap dengan tatapan tajam seperti biasa.“Sapaan hangat dari tuan rumah kayaknya masih pending ya?” celetuk Evran sambil menoleh ke arah Manda, senyumnya menyeringai."Iya, ini mana tuan rumahnya? Kok rumahnya kayaknya sepi aja." Arhand menelisik sekeliling.Armand mengedarkan pandangan, mengusap keringat di pelipis, menatap lekat-lekat pada area sekitar yang dulu dikenalnya sebagai kebun jeruk. Kini, sebagian lahannya sudah berubah menjadi pabrik modern dengan pagar tinggi dan pos penjagaan.“Ini dulunya penuh pohon jeruk ya?” gumamnya pelan, seperti bertanya pada awan.“Iya, Pa.” jawab Arhand “Tapi tenang a
.Mentari belum tinggi ketika Alzam, Rey, dan Dandi memutuskan untuk berjalan santai ke belakang rumah Alzam, tempat sungai kecil mengalir tenang di antara rumpun bambu dan pohon pisang setelah mereka melewati jaan pavin setapak yang di sekelilingnya ditumbuhi jeruk nipis. Nampak agak tak jauh dari sana ada pohon tembesi. Alzam ingat betul, di situah dia menemukan Lani sedang tersangkut."Zam, kenapa melamun?" tanya Rey.Alzam hanya menyunggingkan senyumnya sambil melihat pohon tembesi yang masih berdiri megah. Dia bersyukur bisa bertemu dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Hari begitu cerah. Sungai juga mengalir dengan teanng. Sebuah spot yang sudah lama mereka incar untuk sekadar melepaskan penat dan bernostalgia dengan kenangan masa persahabatan yang dulu kerap mereka habiskan di sini. Rey membawa pancing yang duluh kerap mereka pakai saat awal-awal Alzam membangun rumah ini. Dandi menjinjing kaleng kecil berisi umpan cacing, sementara Alzam cukup membawa semangat dan tawa
Gedung legislatif itu masih tampak padat dengan aktivitas meski senja sudah menyelimuti. Agna duduk di mejanya, mencoba mengatur pikirannya setelah beberapa jam penuh dengan rapat dan persiapan program yang melelahkan. Namun, ketenangan yang ia dambakan tak kunjung datang. Ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah hidupnya dalam waktu dekat, dan itu bukanlah hal yang mudah.Pintu ruangannya diketuk dengan pelan. Agna tahu itu pasti Bu Winda, ketua fraksi yang selama ini menjadi mentor sekaligus sahabat di tempat kerja. Ketukan itu tidak terdengar terburu-buru, tetapi penuh ketegasan."Agna, boleh bicara sebentar?" suara Bu Winda terdengar dari balik pintu."Masuk, Bu," jawab Agna, mencoba menampilkan senyum meski hatinya terasa berat.Bu Winda masuk, mengenakan blazer biru tua yang rapi dan rok panjang yang senada. Ia berdiri di depan meja Agna dengan tangan bersedekap, matanya menilai dengan cermat sosok Agna yang kini duduk di kursi dengan tubuh sedikit lebih besar. Ada perubahan fisi
Mira terbangun dengan perasaan hangat yang aneh. Ada sesuatu yang menempel erat di punggungnya, sesuatu yang membuat tubuhnya tak bisa leluasa bergerak. Perlahan ia membuka mata. Cahaya malam belum menyibak sempurna, tapi cukup untuk menunjukkan ada sosok yang memeluknya erat dari belakang.Tubuh Mira menegang. Tanpa menoleh, dengan sekali dorong, tubuh disampingnya yang tak siap segera terjatuh."Aduh! Mira, kamu kebangetan ya,.. aku memelukmu, kamu malah melemparkan aku sampai aku terjatuh."Detik berikutnya, Mira menoleh sedikit dan mendapati wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya, yang sempat hanya bisa ia bayangkan lewat layar ponsel dan doa di sepertiga malam. Tapi kini... wajah itu nyata."Rey?!"Sontak Mira terlongo. Ternyata yang dia kibaskan dengan kedua tangannya kuat-kuta adalah tubuh Rey. Rey, yang rupanya masih setengah sadar, jatuh dengan bunyi ‘bug’ kecil ke lantai."Sakit, tau!" erang Rey, mengaduh sambil memegangi sisi perutnya."Astaghfirullah! Maaf! Aku... aku
Sirene polisi dari sektor terdekat meraung menembus keheningan malam, membelah suara jangkrik dan desau angin yang sebelumnya begitu tenang. Beberapa warga mulai berkumpul di depan rumah Lani, heran dan khawatir. Beberapa dari mereka membawa senter, sebagian lain mengucek-ngucek mata karena baru saja terbangun. Seorang ibu-ibu bahkan masih memakai daster dan kerudung yang belum rapi."Pak Damar? Masa iya dia masuk rumah orang?" bisik salah satu warga dengan nada tak percaya. Dia adalah karyawan pabrik Lani yang pernah mengenal Damar."Katanya dia baik... dia sudah seperti teman bagi Mbak Lani," jawab yang lain."Tapi dia duluh sempat tunangan dengan Mbak Mira. Ngak tau, tiba-tiba putus. Mungkin karena Mbak Mira kecantol orang berpangkat itu hinggah mutusin Pak Damar.""Itu nggak mungkin, Mbak Mira begitu saja memutuskan pertunangannya kalau nggak ada sesuatu.""Sudahlah, kita semua nggak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Mas Alzam menjodohkan mereka. Pak Rey kan teman akrab Mas
"Mas Alzam sudah pulang," Mbok Sarem pamit ke kamarnya, "Mbok tidur duluan ya, Nduk. Dari tadi Excel rewel terus, Mbok belum sempat memejamkan mata."Lani tersenyum, matanya sedikit lelah. "Iya Bu, makasih ya. Istirahat yang cukup. Ibu juga sih, dari tadi dibilangin suruh bobok duluan masih bantuin Lani."Mbok Sarem terkekeh.Alzam menggeser sedikit posisi tubuhnya, meraih bahu Lani, memijatnya dan mengecupnya ringan. "Kamu cantik banget malam ini. Baju tidur bunga-bunga kecil itu... kayaknya baru, ya?"Lani tersenyum malu. Bajunya memang baru, ia sengaja membeli motif lembut dengan bahan halus karena tahu malam-malam seperti ini akan banyak dihabiskan di rumah dengan bayi mungil mereka."Ini biar gampang pas nyusuin. Excel kalau lapar suka tiba-tiba bangun terus nggak sabar," katanya sambil menunduk.Alzam meraih tangan istrinya dan menggenggam hangat. "Kamu hebat banget, Sayang. Ibu yang luar biasa. Istri yang luar biasa juga. Aku bangga banget punya kamu."Lani tertawa kecil, tapi
Excel sudah hampir semalaman rewel. Tangisannya menjadi, terbangun-tidur lagi, lalu terisak kembali. Lani duduk di tepi ranjang sambil memeluk anaknya yang terus saja gelisah. Satu tangan menopang kepala Excel, satu lagi mengelus punggung mungil itu perlahan. Bau asi dan peluh tercampur lembut dalam udara kamar."Ssst... Excel, iya, Nak, tenang ya... Ini Bunda..." bisiknya lirih sambil membenarkan selimut tipis yang setengah lepas. Mbok Sarem yang sejak awal ikut tidur di rumah Lani, bangun setengah mengantuk sambil merenggangkan bahu. Sudah beberapa kali ia ikut begadang semalaman sejak Excel rewel."Bu, tidurlah, biar saya saja yang jaga Excel," ucap Lani melihat tak tega pada perempuan yang sudah dianggapnya ibu itu."Aku ndak apa-apa. Kasihan kamu, Nduk. Bayi kalau sudah begini emang ngagetin. Gantian ya, aku yang gendong," kata Mbok Sarem sambil menyambar selendang dan meraih Excel dengan sigap.Lani mengangguk, menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Ia duduk sebentar di kursi ro
Damar sudah berhari-hari menahan keinginannya. Rindu itu semakin menyesakkan, semakin tak tertahankan. Setiap malam ia melawan dorongan hatinya untuk kembali ke tempat Mira, memandangi wajahnya meski hanya dari kejauhan. Namun Vero, yang kini hamil besar, tak pernah lelah memata-matai gerak-geriknya. Kecurigaannya membuat Damar kian sulit mencari celah. Terakhir kali ia mencoba keluar malam-malam, Vero memergokinya dan memaksanya bersumpah tak akan macam-macam.Namun malam ini Damar tak sanggup lagi. Sore tadi ia bilang pada Vero bahwa ia hendak mencari ide baru untuk sovenir toko. Alasan itu cukup logis karena dia memang kerap memburu barang-barang unik untuk dijual di tokonya. Saat Vero mulai tertidur karena kelelahan, Damar segera bersiap. Namun putrinya yang tertidur, menggeliak."Papi, mau ke mana?" tanya Diandra."E, putri cantikku. Papi nggak mau ke mana-mana. Tidur lagi ya Sayang.""Tapi Dian pingin ditemani Papi."Damar mendesah. Untuk Diandra dia tak dapat menolak. Maka dia p