Maaf ya karena sibuk banget hari ini, baru up lagi malam-malam. Itu pun karena Kak Diah Alfiani. Untuk yang lainnya, Terimakasih sudah mau baca ceritaku yang jauh dari sempurna ini.
"Mas, jangan beliin aku baju lagi, ya. Baju yang kemarin aja," suara Lani terdengar lembut saat tangannya merapikan kancing kemeja Alzam.Alzam hanya tersenyum kecil, membiarkan dirinya dimanja. Dia duduk di tepi tempat tidur agar Lani yang tubuhnya jauh dari tubuhnya yang tinggi itu bisa mengancingkannya."Kamu ini, manja banget. Kancing sendiri saja nggak mau," canda Lani."Mumpung masih bisa bermanja. Sebentar lagi perhatianmu bakal terpecah buat putra kita," balas Alzam. Tangannya menyentuh perut Lani yang semakin membesar, lalu membisikkan sesuatu. "Nak, cepatlah keluar. Biar Ayah bisa rebut perhatian Bunda lagi."Lani terkekeh, tapi tubuhnya menegang saat merasakan gerakan dari dalam. Bayinya merespons suara ayahnya.Alzam tersenyum puas, tangannya masih di perut Lani. Seakan itu cara mereka berkomunikasi.Selesai mengancing kemeja suaminya, Lani tak sempat menghindar saat Alzam merengkuhnya. Bibir pria itu mengecup pelan pipinya."Aku sebenarnya mau ambil baju yang kapan hari a
Lani melangkah dengan Alzam di sampingnya, diikuti Rey. Tamu sudah ramai. Lampu-lampu gantung menerangi halaman rumah Dandi yang kini berubah menjadi tempat ramah tamah."Aku harus ngomong sesuatu." Rey masih berguman.Alzam menatapnya. "Apa?""Minggu aku mau temui Mira."Lani dan Alzam saling berpandangan."Jangan Minggu, Rey."Rey mengernyit. "Kenapa?"Lani menggigit bibir."Pokoknya jangan Minggu," ujar Alzam, nada suaranya lebih tegas.Rey menajamkan tatapannya. "Ada apa? Mira baik-baik saja, kan?"Sebelum ada jawaban, suara Bu Prasasti terdengar. Dia adalah istri komandan Alzam dan Dandi, Pak Bara. Wanita itu datang mengenakan sarung songket dan kebaya pres di badannya yang berisi dan tinggi. Sanggul medern melengkapi penampilan cantiknya. Begitu pantas menyandang istri dari seorang komandan angkatan darat."Jadi ini yang namanya Lani, Pi?"Pak Bara mengangguk lalu bersalaman dengan Rey dan Alzam. Demikian juga dengan Rey yang menyalami istri Pak Bara dan Alzam mengatupkan kedua
Tukiran berdiri di depan meja kayu panjang, matanya mengamati beragam hidangan yang tersusun rapi. Piring-piring berisi kue tradisional seperti klepon, lemper, kue lapis, dan onde-onde tersaji di atas taplak putih bersih. Di sisi lain, nampan kaca berisi brownies kukus, bolu pandan, dan macarons warna-warni ikut meramaikan meja."Duh, Bune. Jangan sampai kurang, lho. Ini keluarga Damar mau datang," gumamnya.Marni masih diam, wajahnya mendung sejak kemarin. Tangannya sibuk menyusun gelas di meja, tapi pikirannya entah ke mana.Towirah, yang sejak tadi membantu, melirik saudaranya. "Mikirin apa, Yuk? Kok kayak nggak semangat?"Marni menghela napas. "Mikirin Mira.""Kenapa lagi? Sudah mau lamaran, lho.""Aku lihat dia datang ke resepsi bareng Rey. Ada yang beda di wajahnya."Towirah tersenyum tipis. "Kamu masih berharap Mira sama Rey?"Marni menatap lurus. "Seharusnya begitu. Aku bisa lihat, Ra. Mira nggak seutuhnya [antas buat Damar. Aku takut ada sesuatu dengan anaknya. bagaimanapun a
Alzam refleks menangkap Rey sebelum tubuhnya benar-benar jatuh ke lantai. Lelaki itu seperti kehilangan tenaga, seakan semua yang menopangnya lenyap dalam sekejap."Mira..." Rey masih berusaha berkata, tapi suaranya lirih.Mata Mira berkabut. Jantungnya berdegup begitu kencang sampai terasa menyakitkan. Rey... Dia belum pernah melihat lelaki itu seterpuruk ini. Rey yang selama ini ceria, selalu penuh canda, kini berdiri di hadapannya dengan mata yang begitu dalam, penuh luka.Kata-kata Rey tadi terus terngiang di kepalanya.Udara di sekelilingnya terasa menekan. Seluruh tubuhnya gemetar. Dia menggeleng, tak ingin mendengar lebih lanjut. Dia memilih berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu.Langkahnya terburu-buru. Setiap derap yang dia tinggalkan di tanah seperti menyisakan jejak luka yang lebih dalam. Sampai di rumah, dia menghempaskan diri ke tempat tidur, menarik selimut menutupi wajahnya, seolah bisa bersembunyi dari kenyataan.Dadanya naik turun. Napasnya berat. Otaknya penuh
Rumah besar itu sudah penuh dengan sanak saudara, tetangga, dan tamu yang datang untuk menghadiri lamaran Damar dan Mira. Di teras, meja panjang telah disiapkan dengan hidangan khas yang menggugah selera. Kue tradisional seperti onde-onde, lemper, dan kue lapis berjejer rapi berdampingan dengan bolu gulung, cheese cake, dan aneka jajanan modern lainnya.Towirah dan Bu Lastri mondar-mandir di dapur, memastikan semua makanan tersaji dengan baik. Dari kemarin mereka sibuk membantu Marni, ibu Mira, mengurus persiapan. Namun, berbeda dengan kegembiraan para tamu, Marni tampak muram di sudut ruangan.Tukiran, suaminya, memperhatikannya dari jauh sebelum akhirnya mendekat."Sudah selesai, Bune, persiapannya?" tanyanya, berusaha mencairkan suasana.Marni tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada meja hidangan, tetapi pikirannya jauh dari sana."Hmm," gumamnya pendek.Tukiran menghela napas. Dia paham betul apa yang dirasakan istrinya."Mau sampai kapan kamu begitu?" lanjutnya pel
"Aku balik aja, Zam," ucap Rey lemas."Ghak singgah duluh?" tawar Alzam."Aku nggak sanggup lama-lama di sini." Rey segera mengeluarkan kunci dan beranjak ke mobilnya di depan rumah Lani.Wagimin, yang sejak tadi berdiri di dekat gerbang, langsung menghampiri begitu mengenali siapa yang datang."Eh, Rey, Alzam! Masuk, masuk!" serunya antusias. "Masuk ke urmah sini duluh, biar bisa mencicipi hidasngan lamaran di sini."Alzam tersenyum tipis, sementara Rey hanya berdiri canggung."Nggak usah, Pak. Saya mau pulang saja," ujar Rey pelan.Wagimin tertawa kecil. "Duh, nggak ada acara pulang duluh sebelum mencicipi makanan lamaran, biar kamu segera ketularan. Masuk dulu, makan sini," ajaknya ngotot.Rey menggeleng. "Saya sudah kenyang. Tadi sudah makan di resepsinya Dandi.""Ayolah, Rey. Nggaj baik nolak. Lagian kamu tadi juga belum makan apapun. Padahal biasanya nasi sebakul kamu habiskan." Alzam berusaha membujuk dengan candanya. Walau itu tak membuat Rey tersenyum.Wagimin menepuk bahunya
Di dalam ruangannya, Agna duduk dengan wajah kusut. Angka-angka di layar laptop seolah menari, semakin lama semakin menekan pikirannya. Setiap kali dicocokkan dengan catatan manual, hasilnya tetap sama—keuntungan bulan ini tidak mencukupi.Tangan kanannya mencengkeram kepalanya, sementara tangan kiri menggenggam pulpen yang sudah hampir patah karena ditekan terlalu kuat."Mira!" suaranya menggema.Tak lama, pintu terbuka. Mira muncul dengan ekspresi waspada."Ya, Mbak?"Agna melempar buku catatan ke meja. "Ini semua berantakan! UMKM dan pegawai harus dibayar, tapi pemasukan nggak cukup. Pemesanan berkurang. Distributor pun mundur.""Bagaimana nggak mundur, Mbak. Harga sirup Mbak naikkan, jadi mereka pikir-pikir mau ambil dari tempat lain saja. Sementara kulaitas sirup Mbak kurangi.""Itu karena Sajad itu yang memasok ke kita jauh dari yang kita butuhkan.""Iya, Pak Sajad memang marah, Mbak nggak mau bayar lebih bagus untuk petani.""Semua ini karena Alzam brengset itu. Sajad hanya sur
"Assalamualaikum!" Semua yang ada di gudang serentak menjawab salam. Gudang pengepulan jeruk tampak lebih lengang dari biasanya. Biasanya, sejak pagi, suara petani berteriak-teriak membawa hasil panen mereka dan menimbangnya. Gudang akan semerbak, bercampur aroma jeruk segar yang memenuhi udara. Hari ini, hanya beberapa orang yang sibuk memilah buah. Tidak ada tumpukan jeruk yang melimpah seperti dulu.Pak Sajad berdiri di dekat timbangan, wajahnya muram. Tia dan Laras duduk di meja administrasi, catatan keuangan berserakan di depan mereka. Beberapa petani berkumpul di sudut, membicarakan sesuatu dengan nada kesal.Alzam melangkah masuk. Matanya menyapu keadaan sekitar. "Bagaimana perkembangannya, Pak?"Pak Sajad menoleh, menarik napas berat. "Nggak baik, Mas. Petani mulai beralih ke tempat lain. Harga yang kita tawarkan terlalu rendah buat mereka."Tia menambahkan, "Padahal harga jeruk memang turun di pasar, tapi mereka lebih pilih jual ke pengepul lain yang berani kasih spekulasi
"Assalamualaikum!" Semua yang ada di gudang serentak menjawab salam. Gudang pengepulan jeruk tampak lebih lengang dari biasanya. Biasanya, sejak pagi, suara petani berteriak-teriak membawa hasil panen mereka dan menimbangnya. Gudang akan semerbak, bercampur aroma jeruk segar yang memenuhi udara. Hari ini, hanya beberapa orang yang sibuk memilah buah. Tidak ada tumpukan jeruk yang melimpah seperti dulu.Pak Sajad berdiri di dekat timbangan, wajahnya muram. Tia dan Laras duduk di meja administrasi, catatan keuangan berserakan di depan mereka. Beberapa petani berkumpul di sudut, membicarakan sesuatu dengan nada kesal.Alzam melangkah masuk. Matanya menyapu keadaan sekitar. "Bagaimana perkembangannya, Pak?"Pak Sajad menoleh, menarik napas berat. "Nggak baik, Mas. Petani mulai beralih ke tempat lain. Harga yang kita tawarkan terlalu rendah buat mereka."Tia menambahkan, "Padahal harga jeruk memang turun di pasar, tapi mereka lebih pilih jual ke pengepul lain yang berani kasih spekulasi
Di dalam ruangannya, Agna duduk dengan wajah kusut. Angka-angka di layar laptop seolah menari, semakin lama semakin menekan pikirannya. Setiap kali dicocokkan dengan catatan manual, hasilnya tetap sama—keuntungan bulan ini tidak mencukupi.Tangan kanannya mencengkeram kepalanya, sementara tangan kiri menggenggam pulpen yang sudah hampir patah karena ditekan terlalu kuat."Mira!" suaranya menggema.Tak lama, pintu terbuka. Mira muncul dengan ekspresi waspada."Ya, Mbak?"Agna melempar buku catatan ke meja. "Ini semua berantakan! UMKM dan pegawai harus dibayar, tapi pemasukan nggak cukup. Pemesanan berkurang. Distributor pun mundur.""Bagaimana nggak mundur, Mbak. Harga sirup Mbak naikkan, jadi mereka pikir-pikir mau ambil dari tempat lain saja. Sementara kulaitas sirup Mbak kurangi.""Itu karena Sajad itu yang memasok ke kita jauh dari yang kita butuhkan.""Iya, Pak Sajad memang marah, Mbak nggak mau bayar lebih bagus untuk petani.""Semua ini karena Alzam brengset itu. Sajad hanya sur
"Aku balik aja, Zam," ucap Rey lemas."Ghak singgah duluh?" tawar Alzam."Aku nggak sanggup lama-lama di sini." Rey segera mengeluarkan kunci dan beranjak ke mobilnya di depan rumah Lani.Wagimin, yang sejak tadi berdiri di dekat gerbang, langsung menghampiri begitu mengenali siapa yang datang."Eh, Rey, Alzam! Masuk, masuk!" serunya antusias. "Masuk ke urmah sini duluh, biar bisa mencicipi hidasngan lamaran di sini."Alzam tersenyum tipis, sementara Rey hanya berdiri canggung."Nggak usah, Pak. Saya mau pulang saja," ujar Rey pelan.Wagimin tertawa kecil. "Duh, nggak ada acara pulang duluh sebelum mencicipi makanan lamaran, biar kamu segera ketularan. Masuk dulu, makan sini," ajaknya ngotot.Rey menggeleng. "Saya sudah kenyang. Tadi sudah makan di resepsinya Dandi.""Ayolah, Rey. Nggaj baik nolak. Lagian kamu tadi juga belum makan apapun. Padahal biasanya nasi sebakul kamu habiskan." Alzam berusaha membujuk dengan candanya. Walau itu tak membuat Rey tersenyum.Wagimin menepuk bahunya
Rumah besar itu sudah penuh dengan sanak saudara, tetangga, dan tamu yang datang untuk menghadiri lamaran Damar dan Mira. Di teras, meja panjang telah disiapkan dengan hidangan khas yang menggugah selera. Kue tradisional seperti onde-onde, lemper, dan kue lapis berjejer rapi berdampingan dengan bolu gulung, cheese cake, dan aneka jajanan modern lainnya.Towirah dan Bu Lastri mondar-mandir di dapur, memastikan semua makanan tersaji dengan baik. Dari kemarin mereka sibuk membantu Marni, ibu Mira, mengurus persiapan. Namun, berbeda dengan kegembiraan para tamu, Marni tampak muram di sudut ruangan.Tukiran, suaminya, memperhatikannya dari jauh sebelum akhirnya mendekat."Sudah selesai, Bune, persiapannya?" tanyanya, berusaha mencairkan suasana.Marni tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada meja hidangan, tetapi pikirannya jauh dari sana."Hmm," gumamnya pendek.Tukiran menghela napas. Dia paham betul apa yang dirasakan istrinya."Mau sampai kapan kamu begitu?" lanjutnya pel
Alzam refleks menangkap Rey sebelum tubuhnya benar-benar jatuh ke lantai. Lelaki itu seperti kehilangan tenaga, seakan semua yang menopangnya lenyap dalam sekejap."Mira..." Rey masih berusaha berkata, tapi suaranya lirih.Mata Mira berkabut. Jantungnya berdegup begitu kencang sampai terasa menyakitkan. Rey... Dia belum pernah melihat lelaki itu seterpuruk ini. Rey yang selama ini ceria, selalu penuh canda, kini berdiri di hadapannya dengan mata yang begitu dalam, penuh luka.Kata-kata Rey tadi terus terngiang di kepalanya.Udara di sekelilingnya terasa menekan. Seluruh tubuhnya gemetar. Dia menggeleng, tak ingin mendengar lebih lanjut. Dia memilih berbalik dan berlari meninggalkan tempat itu.Langkahnya terburu-buru. Setiap derap yang dia tinggalkan di tanah seperti menyisakan jejak luka yang lebih dalam. Sampai di rumah, dia menghempaskan diri ke tempat tidur, menarik selimut menutupi wajahnya, seolah bisa bersembunyi dari kenyataan.Dadanya naik turun. Napasnya berat. Otaknya penuh
Tukiran berdiri di depan meja kayu panjang, matanya mengamati beragam hidangan yang tersusun rapi. Piring-piring berisi kue tradisional seperti klepon, lemper, kue lapis, dan onde-onde tersaji di atas taplak putih bersih. Di sisi lain, nampan kaca berisi brownies kukus, bolu pandan, dan macarons warna-warni ikut meramaikan meja."Duh, Bune. Jangan sampai kurang, lho. Ini keluarga Damar mau datang," gumamnya.Marni masih diam, wajahnya mendung sejak kemarin. Tangannya sibuk menyusun gelas di meja, tapi pikirannya entah ke mana.Towirah, yang sejak tadi membantu, melirik saudaranya. "Mikirin apa, Yuk? Kok kayak nggak semangat?"Marni menghela napas. "Mikirin Mira.""Kenapa lagi? Sudah mau lamaran, lho.""Aku lihat dia datang ke resepsi bareng Rey. Ada yang beda di wajahnya."Towirah tersenyum tipis. "Kamu masih berharap Mira sama Rey?"Marni menatap lurus. "Seharusnya begitu. Aku bisa lihat, Ra. Mira nggak seutuhnya [antas buat Damar. Aku takut ada sesuatu dengan anaknya. bagaimanapun a
Lani melangkah dengan Alzam di sampingnya, diikuti Rey. Tamu sudah ramai. Lampu-lampu gantung menerangi halaman rumah Dandi yang kini berubah menjadi tempat ramah tamah."Aku harus ngomong sesuatu." Rey masih berguman.Alzam menatapnya. "Apa?""Minggu aku mau temui Mira."Lani dan Alzam saling berpandangan."Jangan Minggu, Rey."Rey mengernyit. "Kenapa?"Lani menggigit bibir."Pokoknya jangan Minggu," ujar Alzam, nada suaranya lebih tegas.Rey menajamkan tatapannya. "Ada apa? Mira baik-baik saja, kan?"Sebelum ada jawaban, suara Bu Prasasti terdengar. Dia adalah istri komandan Alzam dan Dandi, Pak Bara. Wanita itu datang mengenakan sarung songket dan kebaya pres di badannya yang berisi dan tinggi. Sanggul medern melengkapi penampilan cantiknya. Begitu pantas menyandang istri dari seorang komandan angkatan darat."Jadi ini yang namanya Lani, Pi?"Pak Bara mengangguk lalu bersalaman dengan Rey dan Alzam. Demikian juga dengan Rey yang menyalami istri Pak Bara dan Alzam mengatupkan kedua
"Mas, jangan beliin aku baju lagi, ya. Baju yang kemarin aja," suara Lani terdengar lembut saat tangannya merapikan kancing kemeja Alzam.Alzam hanya tersenyum kecil, membiarkan dirinya dimanja. Dia duduk di tepi tempat tidur agar Lani yang tubuhnya jauh dari tubuhnya yang tinggi itu bisa mengancingkannya."Kamu ini, manja banget. Kancing sendiri saja nggak mau," canda Lani."Mumpung masih bisa bermanja. Sebentar lagi perhatianmu bakal terpecah buat putra kita," balas Alzam. Tangannya menyentuh perut Lani yang semakin membesar, lalu membisikkan sesuatu. "Nak, cepatlah keluar. Biar Ayah bisa rebut perhatian Bunda lagi."Lani terkekeh, tapi tubuhnya menegang saat merasakan gerakan dari dalam. Bayinya merespons suara ayahnya.Alzam tersenyum puas, tangannya masih di perut Lani. Seakan itu cara mereka berkomunikasi.Selesai mengancing kemeja suaminya, Lani tak sempat menghindar saat Alzam merengkuhnya. Bibir pria itu mengecup pelan pipinya."Aku sebenarnya mau ambil baju yang kapan hari a
"Mira,.." Rey masih menatap ke arah pintu.Mira baru saja pergi.Suaranya masih terngiang di telinga—langkah tergesa-gesa, suara napas tertahan, dan sorot mata yang sulit dijelaskan.Di satu sisi, nalurinya ingin mengejar. Tapi di sisi lain, Agna masih duduk di hadapannya. Perempuan itu baru saja menyingkap sesuatu yang cukup mengejutkan.“Aku mau melepas Alzam…”Rey menoleh. “Maksudnya?”Agna menatap ke luar jendela, mengamati lampu-lampu jalan yang berpendar di trotoar basah. Kopi di depan Rey sudah kosong, hanya saja pikirannya yang justru penuh dengan bayangan Mira dan hatinya yang tak mau diam setelah menatap kembali wanita itu. Bahkan dia seperti tak fokus dengan apa yang dikatakan Agna."Aku udah mutusin sesuatu," kata Agna akhirnya.Rey mendongak, berusaha mencerna apa yang dikatakan Agna walau dari tadi dia tak fokus."Aku bakal pisah dari Alzam," lanjutnya. "Tapi setelah dia resmi menikah sama Lani."Rey terdiam. Kalimat itu sederhana, tapi beban di dalamnya begitu besar.Ag