Di dalam ruangannya, Agna duduk dengan wajah kusut. Angka-angka di layar laptop seolah menari, semakin lama semakin menekan pikirannya. Setiap kali dicocokkan dengan catatan manual, hasilnya tetap sama—keuntungan bulan ini tidak mencukupi.Tangan kanannya mencengkeram kepalanya, sementara tangan kiri menggenggam pulpen yang sudah hampir patah karena ditekan terlalu kuat."Mira!" suaranya menggema.Tak lama, pintu terbuka. Mira muncul dengan ekspresi waspada."Ya, Mbak?"Agna melempar buku catatan ke meja. "Ini semua berantakan! UMKM dan pegawai harus dibayar, tapi pemasukan nggak cukup. Pemesanan berkurang. Distributor pun mundur.""Bagaimana nggak mundur, Mbak. Harga sirup Mbak naikkan, jadi mereka pikir-pikir mau ambil dari tempat lain saja. Sementara kulaitas sirup Mbak kurangi.""Itu karena Sajad itu yang memasok ke kita jauh dari yang kita butuhkan.""Iya, Pak Sajad memang marah, Mbak nggak mau bayar lebih bagus untuk petani.""Semua ini karena Alzam brengset itu. Sajad hanya sur
"Assalamualaikum!" Semua yang ada di gudang serentak menjawab salam. Gudang pengepulan jeruk tampak lebih lengang dari biasanya. Biasanya, sejak pagi, suara petani berteriak-teriak membawa hasil panen mereka dan menimbangnya. Gudang akan semerbak, bercampur aroma jeruk segar yang memenuhi udara. Hari ini, hanya beberapa orang yang sibuk memilah buah. Tidak ada tumpukan jeruk yang melimpah seperti dulu.Pak Sajad berdiri di dekat timbangan, wajahnya muram. Tia dan Laras duduk di meja administrasi, catatan keuangan berserakan di depan mereka. Beberapa petani berkumpul di sudut, membicarakan sesuatu dengan nada kesal.Alzam melangkah masuk. Matanya menyapu keadaan sekitar. "Bagaimana perkembangannya, Pak?"Pak Sajad menoleh, menarik napas berat. "Nggak baik, Mas. Petani mulai beralih ke tempat lain. Harga yang kita tawarkan terlalu rendah buat mereka."Tia menambahkan, "Padahal harga jeruk memang turun di pasar, tapi mereka lebih pilih jual ke pengepul lain yang berani kasih spekulasi
Alzam berdiri di depan pintu, menatap sosok yang memantul di permukaan kaca. Dada berdegup tak menentu. Hari ini, akhirnya semua akan sah.Lani menoleh, lalu berdiri, mengenakan gaun putih yang jatuh lembut hingga menyapu lantai. Cahaya pagi masuk melalui jendela, menyorot wajahnya yang berseri. Alzam menahan napas."Saya permisi duluh." Seorang perias berserta asistennya merasa malu melihat tatapan mesra mereka dan segera pamit keluar dari kamar itu."Kamu cantik sekali," bisiknya, hampir tanpa sadar.Lani tersenyum kecil, menunduk malu. Jemarinya meremas kain gaun yang dipakai. "Terima kasih."Alzam melangkah mendekat, mengulurkan tangan, lalu menggenggam jemari istrinya dengan erat. "Maaf, aku nggak bisa memenuhi impian kita dulu. Nggak ada pedang pora, nggak ada gemuruh rekan-rekan pasukan yang mengangkat pedang menghormati pernikahan kita."Lani menggeleng pelan. "Yang penting kita sampai di titik ini, Mas. Aku sudah bersyukur. Bapak juga kenapa dia memanggil tukang rias sama pela
Suasana hening. Semua mata tertuju ke arah Alzam yang duduk di depan penghulu. Wajahnya tenang, tapi jemari yang saling menggenggam erat di pangkuan menunjukkan ketegangan yang tertahan.Pak Kyai Abduh menatapnya lekat, lalu mengulang pertanyaan sakral itu dengan suara tegas dan berwibawa."Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan."Alzam menarik napas dalam, lalu menjawab dengan lantang, suara bulat dan mantap."Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan."Hening sejenak.Lalu, gemuruh suara takbir dan ucapan syukur menggema."Sah!""Alhamdulillah!"Beberapa orang bahkan menepuk paha atau bahu mereka sendiri saking gembiranya. Senyum merekah di wajah Wagimin dan Towirah yang berdiri di samping penghulu. Keduanya tak henti-hentinya mengucap syukur, seolah beban yang selama ini mereka tanggung luruh begitu saja.Salma yang sejak tadi menahan haru, akhirnya tak bisa lagi membendung air matanya. Ia merangkul Towirah erat, bahunya bergetar."Selamat, Mbak... Akh
"Ya Allah, Le, aku kira siapa tadi yang tiba-tiba nongol di dekatku," ucap Marni sambil menyambut uluran tangan Rey.Lelaki itu terkekeh, duduk di sebelah Marni. Dilihat selintas mereka cocok jadi Ibu dan anak, sama-sama besarnya. Hanya Marni besarnya tak terbentuk seperti Rey. Banyak lemaknya.Atik menoleh, dahinya mengernyit. "Siapa dia, Mbak?"Marni terkekeh, menepuk pundak Rey. "Calon mantu yang belum pasti."Rey hanya tersenyum miring. "Insya Allah bisa terlaksana, Bu."Tapi, matanya tetap menatap lurus ke satu arah—ke Mira yang tengah duduk dengan Damar.Damar sadar betul tatapan Rey yang sejak tadi tak lepas dari Mira. Karena itu, tangannya sengaja menggenggam tangan Mira lebih erat. Bahkan, dengan gerakan yang seolah tanpa maksud, ia mengambil sepotong kue kecil dari piring, lalu menyuapkannya langsung ke mulut Mira.Mira tersenyum. Tapi senyumnya hambar. Tatapannya tak sepenuhnya pada Damar. Matanya melirik ke arah lain, sesekali menangkap ekspresi Rey yang kini menatapnya d
"Rey, bisakah kamu menolongku?" Terdengar suara Agna gemetar.Rey yang tengah duduk di beranda rumahnya mengernyit. Ia baru saja menikmati kopi panas ketika ponselnya bergetar. Suara Agna terdengar bergetar, seperti menahan sesuatu."Ada apa?" tanyanya."Nanti kamu juga tahu," jawab Agna cepat. "Cepatlah kemari. Aku takut."Suara di latar belakang terdengar riuh. Rey bisa mendengar dentuman keras, suara orang-orang berteriak, bahkan bunyi seperti sesuatu dipukul berkali-kali.Ia langsung bangkit."Aku ke sana sekarang."Tanpa menunggu jawaban, ia memasukkan ponsel ke saku dan melangkah ke garasi.Sementara itu, di depan rumah Agna, puluhan orang berdiri di halaman rumah Alzam yang ditempatinya. Wajah-wajah mereka penuh amarah. Beberapa bahkan mengetuk pintu dengan keras."Keluar!""Jelaskan uang kami!"Dari dalam, Agna melangkah ke pintu dengan rahang mengeras. Ia menarik napas dalam sebelum membukanya sedikit."Mau apa kalian datang dengan marah-marah begini?""Urusan gaji, Bu!"Seor
"Biadab kamu, Arhand!" Umpatan dan cacikn berhamburan dengan barang yang terlempar dari segala penjuru. Tangisan pun tak dapat dibendung lagiAgna melempar vas ke dinding. Suara pecahan terdengar tajam, menghantam keheningan rumah itu. Tangannya gemetar, napas memburu.Bi Ani berlari masuk, wajahnya panik. "Nona, apa yang terjadi?"Agna tak menjawab. Kepalanya penuh dengan ingatannya sebulan yang lalu, saat lelaki itu datang lewat jendela dan memaksakan kehendaknya pada Agna di saat Agna tak sadarkan diri oleh bekamannya yang dicampuri sesuatu. Agna mencengkeram baju di dada, seperti ingin merobek kenyataan yang baru saja ia terima.Tespek itu masih tergeletak di meja. Dua garis merah terang setelah Dandi keluar membelinya ke apotik dan ingin memastikan dugaannya benar, kalau Agna sedang mengandung."Tidak. Ini tidak mungkin!" raungnya memenuhi ruangan, tak lama setela h Rey dan Dandi pamit keluar sebentar, katanya kangen dengan sungai tempat mereka mancing dahulu.Agna segera mengam
Butik itu tampak lengang saat Yasmin melangkah masuk bersama Arhand dan Manda. Aroma lembut lavender memenuhi ruangan berpendingin udara, sementara berbagai gaun pengantin tergantung rapi dalam lemari kaca berlampu redup.Seorang wanita paruh baya dengan setelan rapi menghampiri mereka dengan senyum profesional. "Selamat datang, Bu Manda. Tuan Arhand." Matanya kemudian beralih ke Yasmin. "Dan ini calon pengantinnya? Waw... sungguh cantik."Manda mengangguk kecil. "Kami ingin memastikan gaun ini sempurna untuk hari besarnya. Makanya jauh-jauh hari kami ke sini."Pemilik WO itu menepuk tangannya dua kali. Seorang pegawai segera datang, membungkuk sopan. "Silakan pilih gaunnya, Nona Yasmin. Kami sudah menyiapkan beberapa pilihan sesuai permintaan sebelumnya."Yasmin mengangguk, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa gelisah. Ia mengikuti pegawai butik menuju rak panjang yang dipenuhi gaun putih dengan berbagai desain. Tangannya menyusuri kain-kain lembut itu, sementara matanya mene
Menjelang pagi, suasana rumah Lani dan Alzam perlahan kembali hening setelah malam penuh kebahagiaan. Namun pagi itu juga menjadi momen yang berat bagi Mira. Ia harus berpamitan."Lani...," suara Mira lirih, menahan air mata. "Aku pamit ya. Seperti yang kita rencanakan, aku resign. Lagian, kehamilanku udah masuk tujuh bulan. Kayaknya waktunya istirahat dan fokus siapin semuanya."Lani memeluk Mira erat. "Kamu yakin? Aku belum siap kehilangan kamu, Mir. Excel juga pasti cari-cari."Alzam menghampiri dengan senyum hangat. "Tenang aja, Lani. Kita bisa sering main ke sana. Lagi pula rumah Rey juga kan deket, cuma dua jam lebih dikit. Rey juga bisa mancing di sini."Mbok Sarem menenteng tas kecil sambil mengelus perut Mira. " Mbok doakan lancar sampai lahiran. Tapi ya itu, nanti kalau kamu lahiran, Mbok boleh ke sana, kan?"Mira tertawa kecil. "Wajib, Mbok. Nggak lengkap rasanya tanpa kehadiran Mbok."Excel yang baru bisa merangkak cepat, tiba-tiba menghampiri Mira sambil menyodorkan botol
Sore mengendap di antara sela-sela pepohonan di halaman belakang rumah Arhand yang dipenuhi harum rempah dan suara tawa. Tapi tak ada yang bisa menyaingi keharuan yang hadir hari itu.Di bawah naungan tenda sederhana berhiaskan lampu-lampu kecil, Arhand dan Agna duduk bersisian. Seorang kyai sepuh dari pesantren dekat rumah memimpin akad nikah yang syahdu, hanya dihadiri oleh keluarga, Evran, Arman, Manda, Thoriq, Salma, Elmi, Aksa, Alzam dan Lani. Tak ketinggalan, Arya dan istrinya yang kini telah berdamai dengan masa lalu.Mereka memang menggelar acara itu di halaman belakang rumah yang luas namun tertata rapi, para tamu keluarga duduk di atas tikar pandan, menyaksikan prosesi kecil yang begitu sakral. Tak ada gaun mewah, tak ada undangan bertumpuk, hanya kehadiran orang-orang terkasih yang telah menemani perjalanan panjang Arhand dan Agna.Evran duduk di sisi depan, menggenggam tangan Arman erat. Di sebelah mereka, Manda tak mampu menahan air mata saat melihat putranya berdiri teg
Menjelang maghrib, sebuah mobil boks putih bertuliskan nama catering ternama berhenti tepat di depan rumah Alzam. Beberapa pekerja turun dengan sigap, membongkar kotak-kotak makanan, mengangkat panci besar, dan menurunkan nampan berisi hidangan lengkap. Tak lama kemudian, satu per satu terop berdiri di halaman rumah. Warga mulai berdatangan, heran dan penasaran dengan suasana yang tiba-tiba ramai ini.Lani, yang sedang menidurkan Excel, langsung keluar begitu mendengar suara gaduh. "Mas, ini semua apa?" tanyanya dengan nada bingung.Alzam hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, pura-pura tak tahu. "Aku juga baru lihat ini, Lani. Mungkin ada orang yang salah alamat?""Mas... jangan bercanda. Ini rumah kita. Lihat itu, teropnya sudah hampir jadi."Mbok Sarem yang baru saja selesai menyiapkan camilan untuk semua orang, ikut keluar dan berdiri di samping Lani. "Masya Allah, ini ada acara apa, to, Mas Zam? Kok kayak mau mantenan aja."Lani memutar-mutar ponselnya, mencoba menghubungi Mira.
Arhand dan Agna saling berpandangan ketika suara dari ponsel membuat mereka terdiam. Arhand mengernyit, mencoba mengenali nada bicara itu—terdengar lelah, namun juga penuh tekanan."Maaf, apa benar ini nomornya Mas Arhand?""Iya. Ini saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"Dari seberang sana, terdengar helaan napas berat sebelum suara lain, jauh lebih familiar namun dibalut amarah dan kekhawatiran, mengambil alih sambungan."Arhand! Astaghfirullah, kamu ke mana aja? Kami tunggu dari kemarin sore di Munding Wangi. Kamu ke mana? Omahmu ini udah nyaris sesak karena semua nanya kamu di mana!""Oma?" Arhand langsung berdiri, panik. Ia memutar langkah ke arah jendela, mencoba menjauh dari Agna agar percakapan lebih tenang. "Oma, maaf... aku—aku...""Apa kamu sama perempuan itu, hah? Oma bisa terima kamu memang sudah sah menurut negara, tapi menginap, satu apartemen? Ya Allah, Arhand... jangan cemari darah keluarga kita dengan aib!" Suara Oma Evran meninggi, dan di latar belakang terdengar suara M
Arhand merapatkan pelukannya. Hawa malam yang sejuk dari jendela balkon tetap terasa hangat di antara mereka. Agna merebahkan kepalanya di bahu Arhand, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Aroma parfum lembut yang ia kenali sejak dulu masih melekat di kemeja pria itu."Aku nggak nyangka... kita bisa begini," lirih Agna."Kenapa? Kamu nggak suka?" tanya Arhand pelan, hampir seperti berbisik di telinga."Suka... Tapi takut," jawab Agna jujur."Takut kenapa?""Takut kita kelewatan. Kita bawa diri ke tempat yang terlalu nyaman, lalu kita kehilangan kendali."Arhand menarik napas panjang, tapi tak menjauh. Sebaliknya, ia justru menyentuh pipi Agna dengan lembut, menatap wajah perempuan itu dengan serius."Aku bawa kamu ke sini bukan buat itu, Agna. Aku cuma pengen kita bisa bicara dari hati ke hati, jauh dari ributnya dunia luar. Tapi aku juga manusia, aku... aku nggak bisa bohong, rasa untuk itu ada. Aku lelaki normal, di dekatmu aku seperti hilang kendali. Agna, aku,.."Agna m
"Mir, kamu kenapa?"Mira makin mengeratkan pelukannya, bahkan mencium Rey dengan begitu saayangnya. Binar ceria nampak tergambar di matanya."Mira, jangan bikin aku takut kayak gini, dong."Mira makin terkekeh dan mengajak Rey bercanda dan bermanja.Malam semakin larut ketika aroma embun mulai merambat dari sela jendela kamar yang terbuka sedikit. Lampu redup menemani keheningan malam di rumah Alzam yang kini kembali tenang setelah membahas soal keramaian resepsi siang tadi. Kamar yang biasanya hanya ditempati Mira kini terasa lebih hangat—bukan hanya karena Rey yang kini hanya di kamar, tapi juga karena kehadiran cinta yang tak terbendung di antara mereka.Rey duduk di tepi ranjang, sementara Mira bersandar di bahunya. Tangannya yang besar membelai pelan rambut istrinya, seperti mencoba menghapus kelelahan yang masih menggantung di wajah cantik itu."Kamu ngapain mandangin aku terus?" Mira melirik."Lagi jatuh cinta, Mir. Sama istri orang."Mira mencubit lengan Rey pelan. "Istrimu se
Kota Makassar malam itu gelap tanpa bintang. Awan menggantung rendah, seolah tahu ada yang sedang gundah turun dari pesawat malam. Arhand menapakkan kakinya di bandara dengan langkah berat, membawa koper kecil dan tas selempang yang lebih berisi kegelisahan daripada barang-barang.Baru beberapa langkah keluar dari pintu kedatangan, sebuah tangan menarik pergelangan tangannya. Lembut, tapi membuat jantungnya berdegup."Bukan aku ingin menghianati janjiku, Arhand," suara Agna lirih namun tegas. Matanya menatap Arhand, dengan kelopak yang lelah, seperti habis menangis.Arhand berhenti, menatap perempuan yang kini berdiri di hadapannya. Ada syal panjang membalut kepala Agna. Tidak seperti biasanya. Bukan hijab penuh, tapi semacam penyesuaian. Agna mencoba, meski belum yakin."Tapi setelah aku bertemu ibumu tadi... aku takut, Hand. Takut aku tak akan bisa menjadi menantu yang baik untuk beliau. Dia membenciku. Tatap matanya seolah tak sudi padaku."Arhand tidak langsung menjawab. Ia hanya
Keluarga besar Arhand sudah lebih dulu tiba di Munding Wangi, membiarkan Arhand bicara dengan mertuanya. Mereka sejak belum selesai acara sudah ingin pulang. Bukan hanya Thoriq dan Salma yang mendengar perbincangan tak enak di kalangan orang besar itu, khususnya di kalangan partai yang dinaungi Agna. Walau mereka berusaha bungkam dengan seolah tak terjadi apa-apa, sampai waktu mereka dipakai untuk menimang cucu mereka, Excel, mereka tak bisa menutup telinga."Ternyata dengan menggelar pesta pun takkan membuat orang lain kagum, justru makin mengumpulkan orang untuk membicarakan aib pengantin," ucap Lani berbisik pada suaminya."Bener, Lani. Mereka kan nggak kenal aku sama Rey, hinggah mereka enak aja ngobrol soal yang kini berdiri di pelaminan dengan tak melihat kami yang makan sambil memperhatikan mereka. Bener kan, Rey?""Apa?""Rey, kamu ini gimana sih, dari tadi kita ngomong banyak hal, kamu cuma merhatiin Mira saja," timpuk Alzam yang merasakan beban yang ditanggung nenek juga tan
Pesta pernikahan Agna dan Arhand digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Bunga mawar dan lili putih mendominasi dekorasi, sementara lampu-lampu gantung kristal menciptakan kilauan mewah di setiap sudut ruangan. Musik alunan saxophone dari panggung utama melantun lembut, menyambut para tamu undangan yang datang berbusana formal nan elegan.Agna duduk di pelaminan, mengenakan gaun rosegold berpotongan longgar berhias renda halus dan mutiara kecil yang dijahit tangan. Hijab satin senada melingkupi rambutnya, sementara riasan wajahnya natural dan lembut. Namun, sorot matanya tak sepenuhnya bahagia. Ia mencoba tersenyum pada setiap tamu yang menyalami, meski jauh di dalam dadanya, ada sesak yang tertahan. Sejak bertemu dengannya, keluarga Arhand tak menampakkan keramahannya. Manda bahkan sering berpaling saat dia menatapnya. "Baru juga di sini mereka seperti ini. Bagaimana jika aku nanti jadi ikut ke sana? Bahan aku seolah tak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku lakukan untuk menghad