"Kamu gila, Arhand. kenapa kamu bawa aku ke sini?"Suara Agna melengking sambil menahan tangis. Dia memukul Arhand setelah terbangun."Aku tak punya pilihan, Agna. Kamu memaksa aku melakukan ini.""Memaksa? Kapan aku memaksamu?" Agna kembali menghentakkan tangannya ke dada Arhand, tapi pria itu tak bergeming. Air matanya mengalir deras. "Kamu sudah menghancurkan aku, apalagi yang kamu mau?"Arhand menarik Agna ke pelukannya, meskipun dia meronta sekuat tenaga. "Maafkan aku, Agna. Cemburuku melakukan ini padamu. Aku sama sekali tak menyangka, tiga bulan kamu menikah, kamu masih virgin." Suaranya rendah seperti berbisik.Agna kembali memukul dada Arhand dengan keras, berusaha menjauhkan diri. "Kamu menjijikkan, Arhand! Kamu telah merenggut sesuatu yang tak seharusnya menjadi milikmu. Sesuatu yang bisa aku jadikan alat untuk mendapatkan Alzam."Pernyataan itu membuat Arhand membeku. Dia menatap wajah Agna dengan terkejut. "Apa maksudmu?"Agna mengusap wajahnya yang basah dengan punggung t
"Sayang, tidak adakah makanan untukku?" tanya Alzam."Kalau makanan ada saja, sih, Mas. tapi, kalau nanti Agna membuat sarapan untukmu bagaimana?""Aku ingin kamu yang buatkan aku sambal trasi, Lani. Kamu kan pasti menyimpan tempe di kulkas, buatkan saja aku penyetan tempe itu." Alzam memang tau Lani mengkonsumsi tempe dengan cara di tem untuk perkembangan otak bayinya hinggah dia selalu menyimpan tempe di kulkas."Mas,.. bukannya aku ghak mau, tapi Agna nanti,..""Ayolah, aku mau makan sambal buatanmu." Sebuah kecupan di kening pun membuat Lani luluh.Dengan mendengus kesal, Lani akhirnya membuat apa yang diminta Alzam. Ikan asin kesukaannya pun telah disiapkan. Tak lama, Alzam sudah makan dengan lahapnya. Sampai tidak menoleh saat ada seseorang yang masuk.Agna membuka pintu rumah Lani tanpa mengetuk. Wajahnya memerah menahan amarah, dan langkahnya menghentak di lantai marmer. "Mas, kamu di sini rupanya!" serunya, suaranya penuh kemarahan.Alzam, yang sedang makan di dekat Lani,
"Lho, Mas, kenapa masih ke sini? Aku pikir tadi kamu sudah berangkat," ucap Lani sambil menyongsong Alzam yang terlihat masuk."Aku khawatir dengan kamu dan anak kita, Sayang. Apa bener dia baik- baik saja?""Aku sudah baik, Mas, ghak perlu khawatir. Aku bahkan bisa menaruh piring ini ke bak cucian, biar nanti Bu Saren yang masih bersih- bersih di sebelah, agak ringan kerjanya."Yakin jagoanku ghak kenapa-napa?" Alzam segera menundukkan wajahnya ke perut Lani lalu mencium perut Lani yang sudah sedikit terlihat menonjol. Setelah berdiri, ciumannya beralih ke keningnya."Ehem!" Dia baru menyadari kalau masih ada budenya tak jauh dari dapur.Alzam menatap Marni lalu menunduk malu. " Aku pikir Bude tadi di depan."Marni cuma tersenyum, untuk kesekian dengan senyumnya yang tulus setelah melihat penderitaan cinta Alzam dan Lani."Jaga dirimu baik-baik, Mas," ucap Lani dengan suara lembut. Tangannya terulur mengancingkan kerah seragam Alzam yang belum rapat."Justru aku yang harus mengucapk
Siang itu, suasana rumah terasa sunyi. Lani berjalan mondar-mandir di ruang tengah, sesekali melirik jam dinding. Alzam sudah berjanji akan pulang siang dengan WA singkatnya tadi, tapi entah kenapa hatinya gelisah. Pikirannya tak bisa lepas dari percakapan dengan Reynaldi tadi pagi.Langkah kaki Alzam terdengar di depan pintu belakang seperti yang dia sering lakukan jika ke rumah yang ditempati Lani. Lani segera membuka, menyongsong suaminya yang berdiri tegap dengan seragam dinas. Wajah Alzam terlihat lelah, tetapi senyumnya tetap terlukis hangat."Apa terjadi sesuatu sampai kamu meneleponku berkali-kali?" tanyanya, nada khawatir tercampur heran. Namun Lani masaih diam."Sayang,.. jagoanku kenapa? Atau kamu yang sakit?" lanjutnya bertubi-tubi, membuat Lani semakin tak kuasa menahan perasaan.Lani hanya menatapnya, matanya mengaca. Ia ingin bicara, tetapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokan. Tak mampu mengutarakan kata-katanya hinggah dia hanya merangkul Alzam dan membenamkan t
Lani menatap layar handphone-nya. Sejak kepergian Alzam kemarin, dia tak berhenti menatap layar alat itu. Dia juga mencoba menghubungi Alzam, tapi selalu tak aktif. Semalaman bahkan dia bangun berkali-kali dan memohon akan keselamatan suaminya. "Asalamualaikum, Bu," akhirnya Lani menelpon ibunya."Waalaikumussalam, Nak. Kamu di mana?""Di pabrik ini, Bu.""O, ya,.. kapan hari Mira diantar budemu ke sana.""Iya, Bu. Sekarang dia sepertinya bahagia kerja di sini," ucap Lani dengan menatap Mira di ruangannya. Dia bahkan terlihat cekatan."Sukurlah, Dhuk.""Tapi Lani ghak bisa bawa Mira tinggal di rumah Lani, Bu. Kamarnya cuma dua. Lagian ghak enak sama Mas Alzam. ""Iya, ghak apa, Dhuk.""Ada khabar Senja, Bu?" "Ghak ada, Dhuk. Tiap Ibu coba telpon nomernya ghak aktif.""Sepertinya dia tidak pakai nomer itu lagi, Bu. Saya juga sudah coba telpon Ummi, tapi Ummi bilang suruh biarkan Senja tenang duluh.""Kamu ghak usah banyak kikir, Dhuk. Dia akan baik-baik saja. Pikirkan saja anak yang
"Arhand?" Agna berdiri dengan wajah kaget, melihat sepupu suaminya itu berdiri di sana dengan santai, seperti tidak ada yang salah. Wajah tampannya bahkan menyunggingkan senyum."Selamat pagi, Agna. Cantik sekali seperti biasa," ucap Arhand sambil melangkah mendekat."Kamu ngapain di sini? Ini kantorku! Pergi sekarang juga sebelum aku panggil keamanan!" seru Agna, suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan akan malam itu yang mungkin akan diketahui orang kantornya. Walau di lingkungannya hal seperti itu juga bukan hal yang tabu dilakukan rekan-rekan kerjanya.Arhand tersenyum sinis. "Tenang, aku cuma mau ajak kamu ngoborol. Habisnya saat kamu aku telpon tidak kamu tanggapi. Padahal aku ingin sekai bisa bicara denganmu, Agna. Aku kangen. Apalagi setelah... kejadian malam itu."Wajah Agna memerah, baik karena malu maupun marah. "Kamu menjebak aku! Itu bukan sesuatu yang pantas dibanggakan dan dibicarakan, Arhand!""Panggil apa saja, jebakan, rencana, atau bahkan takdir," bala
"Hutan ini terlalu sunyi," ujar Reynaldi sambil mengintip dari balik pepohonan lebat. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. "Kamu yakin kita di jalur yang benar?"Alzam mengangguk, meski napasnya memburu setelah berlari sejauh itu. Telinganya terus waspada, mendengar derap langkah samar di belakang mereka. "Mereka pasti tahu kita di sini. Kita harus bergerak cepat."Rey mengangguk dan melanjutkan langkahnya, menelusuri jalan setapak yang nyaris tak terlihat. Di kejauhan, suara burung hantu sesekali memecah keheningan, membuat suasana semakin mencekam."Kamu lihat apa tadi di tenda itu?" tanya Rey, berhenti sejenak untuk memastikan tak ada yang mengintai.Alzam menyeka keringat di dahinya. "Dua sandera. Mereka diikat di pojok tenda. Ada empat penjaga, dua bersenjata lengkap. Kita harus mencari cara masuk tanpa menarik perhatian.""Dan kalau mereka tahu kita di sini?" Rey menatap tajam, jelas khawatir.Alzam tersenyum tipis, meski matanya penuh ketegangan. "Maka kita improvisasi."Lan
Langkah pria itu terdengar mantap di beranda. Hentakan sepatu hitamnya menciptakan irama tegas di teras rumah itu. Tak lama, terdengar bel dibunyikan. Mbok Saren, yang tengah menyiapkan makan malam, segera menghentikan gerakannya ketika pria itu kembali membunyikan bel. Mbok Sarem melangkah dengan pelan namun penuh kepastian di tengah keheranannya, menebak siapa yang betamu sore-sore begini."Permisi," suara bassnya terdengar saat Mbok Saren membuka pintu, memperlihatkan pria itu berdiri tegap, wajahnya mengulas senyum."Ada apa, Mas?" tanya Mbok Sarem, suaranya sedikit cemas. Walau lelaki dengan celana jeans dan kaos itu tersenyum ramah, namun wajahnya yang melongok ke dalam rumah, seolah mencari sesuatu, membuat Mbok Sarem sedikit waspada."Apakah Lani ada di rumah?" tanya pria itu singkat.Mbok Saren mengerutkan dahi, matanya mengamati wajah pria itu yang tampak rileks. Rumah Lani memang hampir tak pernah menerima tamu. Jika urusan pabrik selalu di pabrik. Jika urusan lain, selalu
Malam itu, langkah kaki Alzam terdengar berat saat ia memasuki rumah Lani. Pintu utama sudah terbuka, menandakan seseorang masih terjaga. Di dalam, suara TV samar mengisi keheningan.Wagimin, ayah Lani, duduk di ruang tengah, mengenakan sarung dan kaus oblong, memegang segelas teh hangat. Wajahnya sedikit terkejut melihat menantunya muncul dengan koper dan raut wajah yang sulit ditebak."Ada kejadian apalagi dengan kalian. Siang tadi Lani membawa koper besar, begitu pun sekarang kamu yang bawa koper. Memang kalian mau pindah ke rumah ini?" Agak menahan senyum Wagimin melihat menantunya itu tertunduk. Baru beberapa menit lalu dia begitu resah, walau secercah keyakinan yang tadi dia pendam itu kini telah tampak. Dia tau Alzam bukanlah orang yang tidak bertanggungjawab. Cintanya pada Lani telah teruji dengan banyak hal. Dan itu tak pernah menggoyahkan menantunya untuk tetap bersama putrinya.Lani memang hanya berkata kalau dia kangen tinggal di rumah mereka, namun dia tau, ada hal yang
"Jadi benar dia pergi, Mbok?" tanya Alzam setelah pulang dan segera menuju kamarnya, walau dia telah tau, satu dari beberapa point di perjanjian itu disebutkan, Lani harus meninggalkan rumahnya . Mbok Sarem mengangguk dengan air mata yang sudah tumpah. Alzam kembali ke kamar, menatap foto Lani dan diriny, setelah membaca surat yang ditinggalkan Lani. Kenapa kaulakukan ini padaku, Lani? Kenapa engkau tak sabar menungguku mendapatkan bukti itu? Aku tidak bisa hidup tanpa kamu, bahkan tidur pun, aku tak bisa tanpa melihatmu di sini. Walau itu hanya sekedar menatapmu. Alzam segera menanggalkan seragamnya dan berganti dengan busana kasual. Diraihnya jaket yang tergantung di almari. Namun belum juga melangkah, dia dikejutkan dengan datangnya Agna di pintu kamar itu."Kenapa kamu kemari? Kamu boleh menempati rumah itu, tapi bukan ke sini!" Raut muka Alzam memerah oleh kemarahan yang ditahannya."Rupanya kamu tidak membaca dengan jelas perjanjian itu, Mas."Prak! Alzam melemparkan kunci
Langkah Alzam terdengar berat saat memasuki ruangannya. Ia menutup pintu dengan keras, lalu meletakkan tangannya di meja sebelum tiba-tiba menggebraknya. Napasnya memburu. Pikirannya kacau. Apa yang telah dia rencanakan seolah luntruh begitu saja. Dandi yang baru kembali dari kantin langsung membuka pintu tanpa mengetuk. "Hei, kenapa ngamuk? Ada masalah?" tanya dengan memegang lengan alzam, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Alzam menatapnya tajam. "Masalah besar, Dan."Dandi yang masuk tapi matanya masih menatap penghuni markas yang lalu lalang, segera menutup pintu. "Ceritakan. Apa lagi kali ini? Ada yang aneh dari panggilan Komandan?"Alzam menekan pelipisnya. "Semua ini ulah Agna. Aku nggak habis pikir. Dia datang ke komandan, memohon supaya aku dikembalikan ke markas. Bahkan, dia bilang rela kalau aku menikahi Lani secara resmi."Dandi terperangah. "Serius? Itu niat baik banget. Tapi kenapa?""Apa aku bisa bebas dari Agna kalau ini tetap begini? Aku hanya ingin bebas darinya,
Lani melipat secarik kertas dengan hati-hati sebelum meletakkannya di meja rias, tepat di tempat biasa ia meninggalkan pesan untuk Alzam. Meski sebenarnya ini bukan sesuatu yang mendesak, ia merasa perlu memberitahukan niatnya."Bu Sarem," panggil Lani ketika keluar dari kamar. Ia melangkah menuju dapur, tempat wanita tua itu tengah sibuk menyiapkan makanan.Mbok Sarem menoleh sambil mengusap tangannya dengan kain lap. "Ada apa, Nduk? Wajahmu kok kelihatan seperti orang kepikiran."Lani mencoba tersenyum. "Aku mau ke rumah orangtua sebentar. Ibu bilang rindu, sudah lama aku nggak pulang."Mbok Sarem memandanginya sejenak, menatap koper besar yang dibawa Lani, lalu menyipitkan mata. "Rindu atau ada yang lain? Mbok ini sudah tua, tapi belum pikun, Lani. Ada apa sebenarnya? Jangan kamu kira Ibu bodoh dengan koper besar yang kamu bawa itu, Dhuk." Mbok Sarem mengusap pelunya. "Kamu akan lama di sana kan? Atau bahkan ada asesuatu yang membuatmu tak akan kembali ke sini?"Lani terdiam sesaa
"Mas, kamu udah siap?" tanya Lani begitu melihat Alzam memakai kembali seragam militernya.Alzam berbalik dari cermin dan menatap ke arah Lani. Sementara Lani membenarkan kancing bajunya, lelaki itu hanya menatapnya tanpa kedip."Mas, jangan terus memandangiku, apa kamu tidak bosan?""Apa kamu mau aku bosan kepadamu?" Alzam mulai meletakkan tangannya di pinggang Lani. Lalu mengusap perutnya. Lani hanya tersenyum. "Bukannya setiap satu tatapanku padamu akan menggugurkan dosa-dosa kita?""Ih, bisa ceramah kamu!" Alzam terkekeh. "Putraku, Ayah pergi duluh, ya. Tolong jaga Bunda baik-baik sampai Ayah kembali. Jangan biarkan dia ke mana-mana sebelum Ayah pulang."Lani sejenak tersentak dengan kata-kata Alzam. Apa yang dia rasakan? Apakah dia tau kalau aku akan pergi? bathin Lani bingung."Sayang, kamu kenapa?" Alzam mengangkat dagu Lani yang tertunduk. Sebuah ciuman dia daratkan di bibirnya."Enggak, Mas. Aku ikut bahagia dengan kebahagiaanmu ini.""Mudah-mudahan setelah ini kita akan ba
"Ayo, kita jalan-jalan sebentar. Aku butuh suasana baru." Alzam menarik Lani ke dalam pelukannya."Mau ke mana?" "Ke pasar sore," jawab Alzam sambil menatap Lani penuh cinta.Lani tersenyum tipis, meski hatinya masih bergelut dengan keputusan yang baru saja dia ambil. "Ke pasar sore?" tanyanya sambil melirik suaminya.Alzam mengangguk, matanya berbinar ceria seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. "Iya, aku mau potong rambut. Besok aku ada panggilan dari komandan. Barusan beliau telepon."Lani terdiam sejenak. Kabar itu membangkitkan perasaan campur aduk di dalam dirinya. Ada kebahagiaan untuk Alzam, tapi juga kegetiran yang sulit disembunyikan. "Kamu terlihat senang," komentarnya akhirnya.Alzam tertawa kecil, menggenggam tangan Lani erat. "Tentu saja. Ini kesempatan yang sudah lama aku tunggu-tunggu. Aku bisa meneruskan karierku, Lani. Naik pangkat itu bukan hal yang datang setiap hari, walau itu kini aku tak bisa terlalu berharap setelah kejadian ini.""Baik, aku
Kopi panas di cangkir Damar mengepul, aroma pahitnya samar bercampur harum teh melati yang dipesan Mira. Diandra duduk manis di kursinya, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan sedotan plastik dari es krimnya. Suasana hangat terjalin di antara mereka, meskipun ada ketegangan kecil yang sulit diabaikan.Mira diam. Lani hanya mengamati dengan tenang, membiarkan kedua orang itu berbicara."Tapi," suara Mira kembali terdengar. "Kamu tahu kan, Damar? Seberapapun besarnya cintamu untuk Diandra, seorang anak tetap butuh ibunya."Damar menatap Mira dalam. "Aku tahu, Mira. Tapi aku tidak ingin memberinya sosok ibu yang tidak benar-benar ada untuknya. Aku lebih baik sendiri daripada membiarkan Diandra mengalami hal yang sama lagi."Suara Damar terdengar berat, nyaris bergetar. Mira menunduk, mengusap telapak tangan yang berkeringat."Lalu, apa yang kamu harapkan dariku?" tanyanya pelan.Damar menarik napas panjang. Dia menoleh ke arah Diandra yang kini sibuk menggambar lingkaran kecil di me
"Mas," panggil Lani pelan.Alzam melipat koran dan menatapnya. "Ada apa?""Aku... mau keluar sebentar. Mira janji ketemuan di kafe sama Damar." "Kenapa nggak suruh dia ke sini saja?"Lani menggeleng. "Ada yang ingin dia bicarakan, dan sepertinya lebih nyaman di luar."Alzam terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Oke, aku antar.""Tapi aku sudah minta Pak Surip. Lagipula ini urusan biasa, nggak perlu repot-repot."Ada kerutan di dahi Alzam, tapi ia hanya menatap Lani beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kabari aku."Lani tersenyum tipis. "Terima kasih, Mas." Sebuah ciuman didaratkan Lani di pipi Alzam, membuat alzam malah menariknya dan menghadiai Lani ciuman di bibirnya.Mobil melaju pelan di jalan yang agak lengang. Pak Surip, supir pabrik yang biasa mengantar Lani untuk urusan kerja, duduk tenang di belakang kemudi. Sementara itu, Lani dan Mira berbincang ringan di jok belakang, sesekali tertawa kecil."Jadi, Damar ngajak ketemu lagi?" Mira men
Pagi baru saja merayap ketika Alzam keluar dari kamar mandi dengan handuk tergantung di bahunya. Ia berhenti sejenak, menatap Lani yang masih terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya hingga dada. Wajah Lani terlihat pucat di bawah sinar redup lampu tidur."Kamu sakit?" tanya Alzam, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia mendekat, duduk di sisi tempat tidur, lalu menyentuh kening Lani.Lani membuka mata perlahan, menatap Alzam dengan sorot lemah. "Nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing," jawabnya lirih."Apa karena Adik yang bikin kamu pusing?" Alzam memegang perut Lani "Adik, jangan nakal, ya. Kasihan Bunda kesakitan," ucapnya lalu terkekeh saat menyadari bayi yang dipegangnya bergerak. "Dia denger, Sayang."Lani ikut tersenyum melihat kekonyolan Alzam."Tunggu sebentar, aku ambilkan air hangat," kata Alzam sambil bangkit setelah memegang kening Lani dan tidak mendapati Lani demam seperti dugaannya."Mas," panggil Lani pelan, membuatnya berhenti di tengah langkah. "Nggak per