POV : KAREN[Kamu lagi ngapain, Sayang? Sudah makan?] [Sayang, sebentar lagi aku pulang. Ini masih bersihkan kontrakan Dira. Kamu minta sesuatu nggak?][Karen, kenapa nggak dibalas? Kamu lagi ngapain?][Kamu nggak setuju kalau Dira dan anak-anaknya ke Jakarta? Atau apa? Kenapa diam saja?] [Sayang, aku pulang sekarang] Pesan-pesan dari Mas Arga baru saja kubaca. Aku memang sengaja tak membalas pesan darinya sejak tahu dia mencari dan mendukung permintaan ibu agar Dira dan kedua anaknya itu tinggal di Jakarta. Sekota denganku. Dengan begitu dia bisa leluasa mengambil waktu Mas Arga kapan saja dia mau. Bahkan mungkin, dia bisa saja datang ke rumah ini saat permintaan atau mungkin pesan-pesannya pada Mas Arga diabaikan. Terlalu mudah bagi perempuan itu untuk membuat drama. Selama ini toh Mas Arga dan ibunya terlena bahkan selalu menjaga hatinya hanya dengan alasan tak tega membuatnya nelangsa. Nelangsa yang pura-pura hanya demi menyingkirkanku dari perhatian mereka saja. Sayangnya i
POV : KARENTiba-tiba aku terjaga, kulirik jarum jam menunjuk angka empat dini hari. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Tidurku lumayan nyenyak malam ini dan entah jam berapa pula aku mulai terlelap. Aku benar-benar tak ingat.Selepas makan malam tadi aku buru-buru ke kamar. Gegas shalat isya dan berbaring di atas ranjang. Sesekali menutup telingaku dengan bantal. Tak peduli dengan panggilan Mas Arga yang semakin membuatku sakit kepala. Aku tahu itu salah, tapi aku benar-benar kesal dengan sikapnya. Nanti aku akan minta maaf padanya jika memang dia benar-benar tak ridho dengan sikap cuekku itu. Aku tak ingin durhaka dan dilaknat Malaikat. Badan rasanya benar-benar sakit semua, flu pun mulai melanda. Mungkin karena kebanyakan menangis, jadi berimbas pada kepalaku yang terasa cukup berat. Mata pun terlihat sembab. Tak ada Mas Arga di sampingku. Aku tak tahu dia dimana. Mungkin marah padaku karena mengabaikan panggilannya semalam. Entahlah. Biasanya, sekesal apapun aku atau dia
POV : KAREN Hamil? Aku hamil? Pertanyaan itu terus menyesaki benak. Mas Arga justru tersenyum lebar saat menatapku lalu mengusap perutku. Perlahan kutepis tangannya lalu pamit ke kamar mandi. Entah berapa lama aku di sini. Terdiam di bawah guyuran shower. Berbagai kenangan mulai mengusik kalbu. Tentang Dira dan anak-anaknya, tentang ibu, tentang keromantisan dan cinta Mas Arga juga tentang kebohongannya. Mungkinkah aku hamil? Sebuah kabar yang dulu selalu kutunggu, tapi mengapa sekarang justru menjadi satu hal yang sedikit membuatku gelisah. Bukan masalah aku tak mampu membiayai hidupnya, InsyaAllah aku bisa toh aku juga sudah bekerja. Selain itu, aku punya tabungan cukup untuk hidupku beberapa bulan ke depan. Hanya saja, apakah aku bisa hidup sendiri di tengah kehamilan dan melahirkan nanti? Aku tak memiliki siapapun selain keluarga ini. Apakah keputusanku berpisah cukup adil untuk calon buah hatiku nanti?Suara ketukan kembali terdengar. Mas Arga pasti sangat cemas sebab aku tak
POV : KAREN[Sayang, kamu di mana? Kenapa nggak balas pesanku? Nggak angkat pula panggilan teleponku?][Karen, kenapa sekarang handphonemu mati? Kamu sebenarnya kenapa?][Kamu oke kan? Kamu sudah makan, Sayang? Ini nyaris jam makan siang loh, Ren] [Apa kamu sakit, Ren? Aku jemput pulang sekarang atau jam makan siang nanti ya?] Sederet pesan dari Mas Arga muncul di WhatsApp saat aku baru menyalakan handphone. Aku memang sengaja mematikan handphone saat mengurus berkas-berkas ke pengadilan tadi. Sekarang urusan gugatan sidang sudah beres. Waktunya makan siang sebelum kembali ke kantor. Kebetulan di depan pengadilan ada warung makan baru yang belum kucoba. Perut mulai keroncongan, sebab tadi baru kuisi dua potong roti dan air mineral sebelum mengurus semuanya. Tespek pun sudah kubeli sekalian. Aku juga penasaran dengan prediksi Mas Arga, benarkah aku hamil? Mungkinkah mual-mual dan lemas ini salah satu pertanda gejala kehamilan? Garis dua yang dulu selalu kutunggu, kini justru mence
"Kenapa Lo, Ga?" Sepertinya Bara juga sama sepertiku, merasakan ekspresi Mas Arga yang mendadak berbeda. "Dira, siapa?" Bara menoleh ke arahku setelah menyebutkan nama itu. Sepertinya perempuan itu kembali mengirimkan pesan tak enak didengar. Terlihat jelas Mas Arga begitu geram sembari terus melihatku dan Bara bergantian. "Kenapa Lo, Ga? Aneh banget sih." Bara kembali berkomentar. Mas Arga memejamkan mata beberapa saat lalu menghela napas panjang. Kulihat dia masih berusaha meredam emosinya yang tadi terlihat memuncak. Kupikir akan meledak seketika, tapi ternyata aku salah. Dia justru tersenyum tipis setelahnya. Menatapku dan Bara bergantian lalu tertawa. Entah apa yang ada dalam benak suamiku itu. Bisa-bisanya dia bercanda senorak ini. Menyebalkan! "Tegang banget wajah kalian berdua kaya lihat syetan. Gue sampai nggak bisa nahan tawa." Mas Arga kembali terkekeh saat Bara membulatkan mata ke arahnya. "Sia*an Lo, Ga. Gue kirain kenapa," ucap Bara dengan hembusan napas panjang.
Garis dua. Ternyata dugaan Mas Arga benar. Aku memang hamil. Bulan ini kupikir hanya telat haid seperti biasanya yang memang nggak teratur tanggalnya, namun ternyata kali ini berbeda. Satu hal yang dulu paling kutunggu, kini justru membuatku bingung. Mas Arga pasti tak akan membiarkanku menggugat cerai, tak mungkin membiarkanku pergi sementara ada janin dalam rahimku yang selama ini dia nanti. Namun, apakah dia akan membiarkan Dira pergi seperti yang aku harapkan selama ini? Percuma jika aku tetap tinggal, sementara Mas Arga tak pernah mau membiarkan Dira pergi dan mandiri. Alasannya macam-macam yang nyatanya hanya dibuat-buat oleh perempuan itu tanpa Mas Arga sadari. Kuletakkan tespek di atas rak sabun. Aku pun gegas membersihkan badan sekalian keramas, memejamkan mata di bawah guyuran shower setidaknya sedikit menenangkan batinku yang bergejolak tak menentu. Setelah merasa cukup, aku pun memakai daster rumahan dengan hijab senada. Terdengar gelak tawa di luar kamar. Entah apa ya
"Sayang, kamu hamil?" Mas Arga mengulangi pertanyaannya sembari melangkah tergesa ke arahku. "Kenapa bisa berpikir begitu, Mas?" Aku berusaha tetap tenang. Ada hal yang harus aku tanyakan lebih dulu padanya sebelum mengatakan yang sejujurnya tentang kehamilanku. "Loh, maksudmu gimana, Sayang? Jelas ini garis dua berarti kamu hamil 'kan?" ulangnya lagi lalu buru-buru duduk di tempatnya semula. "Kalau sudah lama kadang tespeknya sudah nggak akurat, Mas. Garis satu saja kadang bisa berubah jadi garis dua. Mungkin sudah kadaluarsa gitulah kalau kelamaan," balasku lagi. Mas Arga mengerutkan kedua alisnya seolah tak percaya.Dia kembali membolak-balikkan benda pipih di tangan lalu menyodorkannya ke atas meja. "Jadinya kamu hamil nggak, Rena?" Mas Arga masih bertanya dengan lembut. "Kalau nggak hamil, kamu gimana, Mas?" Aku bertanya tanpa menoleh ke arahnya. "Maksudnya gimana?" Aku menghela napas. "Kalau Allah belum mempercayakan malaikat kecilnya untuk kita ya nggak apa-apa, Sayang.
Kepergian Mas Arga beberapa menit lalu membuat suasana kamar kembali hening. Kuusap perut perlahan seraya melafalkan beberapa doa untuk janin yang ada dalam rahimku. Suara pintu yang berderit membuat lamunanku buyar. Tepat saat aku menoleh, perempuan itu sudah berdiri di ambang pintu menatapku dari tempatnya. Dia. Siapa lagi kalau bukan Dira. Perempuan culas yang bersandiwara sebagai bidadari. Menyebalkan sekali. Sudah cukup diamku selama ini. Jika terus mengalah, dia akan semakin semena-mena dan menganggapku perempuan lemah. Jadi, aku putuskan untuk mengikuti permainannya. "Arvin sama Irvan ikut Mbak Lina dulu ya? Mama mau jenguk Tante Karen," ucap Dira sembari melongok ke luar pintu. Ternyata dia sudah ada asisten di sini yang membantunya menjaga kedua buah hatinya. Aku yakin dia yang meminta pada Mas Arga untuk dicarikan asisten atau Mas Arga sendiri yang inisiatif menyiapkan asisten untuknya agar tak selalu meminta Mas Arga ini dan itu yang kadang perkara remeh. Dasar tak ta
Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Pov : KareenMalam ini aku menginap di kontrakan Dira untuk menemani Mbak Lina mengurus kedua anak kembar Dira. Namun, pagi ini aku harus berangkat kerja. Hari Senin adalah hari perdana yang akan menguras tenaga sebab weekend masih sangat lama. Ibu dan Dina baru sampai bakda subuh tadi dengan bus. Sekarang mereka masih terlelap di kamar, sementara Mbak Lina sudah mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan. "Mbak, sepertinya nanti Mas Arga akan minta Mbak Lina buat jagain Dira soalnya kami berdua harus kembali ke kantor. Mbak Lina nggak apa-apa 'kan kalau jaga Dira sendirian di rumah sakit? Malamnya gantian sama Mas Arga," ucapku pelan saat Mbak Lina masih sibuk menggoreng pisang. Aku pun menarik kursi makan lalu mendudukinya perlahan. Sepiring pisang goreng dan teh hangat sudah tersedia di atas meja makan. Gegas kutuangkan segelas teh hangat lalu mencomot pisang goreng untuk kunikmati. "Iya, Mbak Karen. Tadi Mas Arga sudah kirim pesan, saya harus siap-siap sebelum jam tujuh pag
POV : Arga "Mas, apa Dira depresi karena ancaman kita semalam?" Pertanyaan Karen membuatku menoleh ke belakang. "Ancaman agar tak selalu mengganggu rumah tangga kita?" Karen mengangguk pelan sembari menatapku lekat, sementara Bara masih fokus dengan laju mobilnya. "Wajar dong kalau kita ancam dia. Dia sudah keterlaluan, Sayang. Kurang sabar apa kita selama ini menghadapi dia? Seharusnya Dira sudah bisa memprediksi semuanya sejak dulu. Kalaupun saat ini dia depresi, dia juga nggak berhak menyalahkan kita." "Iya, aku tahu, Mas. Biasanya dia diancam apapun juga nggak berhenti. Ancaman kita cuma dianggap angin lalu saja. Cuma kemarin kurasa momennya berbeda. Saat reuni itu sepertinya dia benar-benar malu saat Bara menceritakan semuanya. Aku lihat wajahnya merah padam saat dia dibully bahkan ada yang memaki. Mungkin saat itu dia cukup shock dan kaget karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian, tapi kemarin dia justru mendapatkan hinaan. Boleh jadi dia pergi ke suatu tempat untuk m
POV : ARGA[Bar, Sorry ganggu pagi-pagi buta begini. Udah bangun 'kan Lo? Gue butuh bantuan Lo buat bantu cari Dira sekarang bisa, Bar? Dira hilang. Sejak reuni kemarin dia belum pulang. Lo 'kan tahu, mobil gue masih di bengkel. Karen mau ke kontrakan Dira buat bantu Mbak Lina jagain si kembar. Kasihan dia pasti kecapekan soalnya si kembar tantrum] Kukirimkan pesan itu pada Bara setelah pulang dari masjid untuk shalat berjamaah. Aku yakin Bara bisa membantu. Sejauh ini, Bara nyaris tak pernah menolak saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu siap sedia. Bara memang sahabat terbaik, tak pernah berubah meski aku dan dia sempat terpisah sekian lama. [Oke, Ga. Gue meluncur sekarang. Tunggu di rumah. Gue bakal bantu Lo buat cari Dira.] Aku bernapas lega setelah membaca pesan balasan dari Bara. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan. Lagi-lagi aku begitu bersyukur mendapatkan sahabat sepertinya. Dari golongan berada, tapi mau berbaur denganku yang biasa saja. Tak ada kesombongan dalam