"Apa Lo bilang, Bar?" Mas Arga menegakkan badannya sembari mencengkeram kerah kemeja yang Bara pakai. "Karen gugat Lo ke pengadilan. Puas Lo! Lo emang pantas digugat, Ga. Sudah berulang kali gue bilang, jaga dia baik-baik. Dia perempuan istimewa, tapi Lo justru sia-siakan dia. Kalau nggak sanggup buat bahagiakan dia, gue sanggup!" sentak Bara lalu menepis tangan Mas Arga. Aku tak ingin melihat kembali pertengkaran mereka. Kutinggalkan saja mereka tepat di saat kedua anak Dira menangis bersahutan melihat ayahnya terhuyung ke belakang saat Bara mendorongnya kasar. Jujur aku cukup shock kenapa Bara membocorkan masalah itu pada Mas Arga sekarang. Padahal aku sengaja menyembunyikannya agar dia shock saat mendapatkan undangan sidang nanti. Namun saat mendengar dan melihat sendiri bagaimana sikap Mas Arga yang jauh lebih percaya pada Dira dibandingkan aku, rasanya benar-benar sakit. Teganya dia mengatakan itu padaku. Buat apa selalu bilang cinta jika semua sikapnya seolah tak mendukung
POV : ARGA Benar kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh juga dan kini aku mengalami pepatah itu. Sekuat dan serapat apapun menyimpan pernikahanku dengan Dira, akhirnya Karen berhasil membongkarnya juga. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dan kuputuskan. Di satu sisi aku ingin memilih Karen apalagi saat ini dia tengah hamil darah dagingku, tapi di sisi lain Dira dan kedua anaknya juga belum bis aku tinggal. Mereka sangat membutuhkan aku sebagai pengganti Mas Rangga. Dira memnag terlihat jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, tapi sering kali dia tiba-tiba menangis entah karena apa. Mungkin dia mengingat sosok Mas Rangga yang dulu selalu memberinya cinta. Jelas cintaku da cinta Mas Rangga padanya teramat berbeda. Cinta ... ah, bukan. Aku menikahinya hanya karena permintaan terakhir kakakku saja, bukan karena hal lain. Soal nafkah lahir mungkin aku bisa adil, tapi nafkah batin jelas aku tak bisa. Aku nggak mungkin bisa membagi waktu yang adil anta
POV : ARGA "Ren ... kamu sudah bangun 'kan?" Kuketuk pintu kamar beberapa kali, berharap Karen segera membukanya dan aku bisa kembali ngobrol dengannya seperti biasanya. Cukup lama aku mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Pikiran semakin tak karuan. Berbagai kemungkinan dan ketakutan mulai menyesaki benak. Aku takut Karen kenapa-kenapa di dalam kamar. Mungkinkah dia pingsan?Buru-buru lari ke pintu samping untuk melihatnya dari jendela, tapi sayangnya Karen tetap tak menyahut. Berulang kali kuketuk jendela, tak ada jawaban apapun dari dalam. Kekhawatiranku semakin bertambah hingga mau tak mau kudobrak pintu kamar. Aku tercekat saat melihat Karen masih terbaring di atas ranjang sembari memakai selimut separuh badan. Dia tidur sambil memakai earphone, pantas saja tak mendengar panggilanku. Aku mendekat. Kuusap perlahan keningnya yang hangat. Merasa ada sentuhan di dahinya, Karen pun membuka kedua matanya perlahan. Dia cukup kaget saat melihatku sudah ada di samping ranja
[Dir, aku minta maaf selama tiga hari ke depan tak bisa datang ke rumah untuk jenguk si kembar. Ada urusan yang begitu mendesak yang harus segera kuselesaikan sebab jika tidak, semua akan hancur berantakan. Kamu hati-hati di rumah ya? Jaga Arvin dan Irvan dengan baik. Jangan pergi jauh-jauh sebab kamu belum terlalu tahu kota Jakarta. Takutnya kamu kenapa-kenapa] Sengaja kukirimkan pesan itu pada Dira agar dia yakin aku tak akan mengunjunginya tiga hari ke depan. Seperti permintaan Karen, aku akan mulai menyelidiki siapa sosok Dira sebenarnya. Apakah Dira memang memiliki dua wajah yang berbeda saat di depanku dan saat di belakangku, atau Karen hanya salah paham tentang sosok Dira hingga membuatnya berimajinasi tentang Dira sesuai khayalannya sendiri. Jujur saja aku tak bisa membela salah satu di antara mereka. Aku tak ingin salah menilai sebelum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.[Nggak apa-apa, Mas. Terima kasih ya, kamu sudah memberiku kabar sebelumnya. Jika tidak, pasti aku k
POV : ARGA "Lantas, rencana kamu selanjutnya apa, Dir?" Pertanyaan Rita kembali menyadarkanku untuk menajamkan pendengaran. "Tujuanku cuma satu, jika tak bisa mendapatkan Mas Arga, maka Karen pun tak boleh mendapatkannya," ucap Dira penuh penekanan. Aku kembali geleng-geleng kepala mendengar keegoisan Dira. Ternyata selama ini dia bermuka dua. Di depanku dan ibu nyaris begitu sempurna dengan kelembutan dan cinta yang dia punya, tapi di belakangku dia penuh duri. Tajam dan menghujam. Aku benar-benar tak menyangka jika Dira bisa memiliki sikap seegois itu bahkan tega menyakiti siapapun yang menghalangi cita-citanya. Aku tak mengira jika Dira bisa seambisius itu padahal selama ini terlihat begitu lemah dan tak berdaya di depanku semenjak kepergian Mas Rangga. "Aku mencintai Mas Arga, Rit. Cintaku tulus untuknya, tapi sepertinya dia lebih mencintai Karen dibandingkan aku. Dari segi waktu pun Karen memiliki jatah yang jauh lebih banyak, sementara aku dan anak-anak hanya sesempatnya sa
"Aku akan memaafkanmu asal ...." Sengaja kujeda kalimatku, ingin melihat keseriusan dalam tatap mata Dira. "Asal apa, Mas?" tanya Dira dengan mata berbinar. Aku tersenyum sinis melihat ekspresinya. Dia pikir bisa kembali menjerat hatiku, padahal tidak. Dia pasti akan shock mendengar syarat maaf dariku ini. "Asalkan kamu berlapang dada saat kuceraikan." Kalimatku itu membuat Dira tercekat. Dia mematung di sampingku tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Dia pasti tak pernah menyangka jika hari ini mungkin adalah hari terburuk setelah kepergian Mas Rangga dalam hidupnya. Detik ini, mungkin juga akan menjadi hari kepergianku dalam hidupnya. Hanya saja, aku dan Mas Rangga pergi dengan cara yang berbeda. Aku pergi membawa sakit hati yang teramat dalam sementara Mas Rangga pergi menciptakan duka mendalam."Ma-- maksudmu apa, Mas? Jangan ngomong sembarangan. Pamali," ucap Dira menahan guncangan isak dalam dadanya. Hanya air mata saja yang terlihat terus mengalir tiada henti sedari tadi.
"Jangan pergi, Mas! Atau kamu akan melihatku bersimbah darah di sini dan kamu akan menyesal seumur hidupmu!" Dira mengancam sembari mengacungkan pisau kecilnya ke pergelangan tangan. "Kamu mau ngapain, Dir? Mau potong tangan? Potong kaki? Potong leher atau potong bebek angsa?" balasku sembari menatapnya tajam. Rita terlihat histeris lalu mencoba melepaskan pisau itu dari tangan Dira. Dia tak tahu bagaimana Dira selama ini. Senjata itu selalu dia pakai untuk mengancamku. Bo dohnya aku selama ini yang selalu termakan oleh akting profesionalnya. Namun kali ini aku tak akan pernah terjebak oleh dramanya lagi. Semua sudah jelas. Dira hanya pura-pura lemah, padahal dia jauh lebih kuat dari yang kubayangkan. "Mas!" Teriaknya lagi saat aku membalikkan badan dan melangkah pergi sembari menstarter motor. "Kamu benar-benar ingin aku mati sekarang, Mas?" Dira kembali mengancam, sementara Rita terus memegangi kedua tangannya agar tak berdekatan apalagi bersentuhan. Pisau itu pun masih Dira pe
POV : ARGA [Ibu sama Dina ke Jakarta sore ini, Ga. Kita harus bicara. Jangan mengambil keputusan sepihak, jika kamu tak mau menyesal di kemudian hari. Dira sudah cerita semuanya pada ibu. Tak seharusnya kamu menjatuhkan talak padanya jika hanya karena masalah sesepele itu] Entah apa yang diceritakan Dira pada ibu hingga ibu seolah menyalahkanku atas keputusan itu. Dira seakan hanya melakukan kesalahan sangat kecil sampai ibu bilang 'sesepele itu'. "Dira pasti sudah ngomong macam-macam sama ibu," lirihku setelah layar kembali padam. Karen mendesah. Dia pasti lelah dengan semua drama ini. "Maafkan aku, Sayang. Kamu terpaksa harus ikut terjebak dalam masalah ini. Tapi kamu tak perlu risau, aku akan tetap memilihmu. Aku akan tetap bersamamu sebab memang kamulah yang aku cinta sejak dulu hingga detik ini. Hanya kesalahpahaman saja yang sempat membuat kita terpisah jarak dan waktu, padahal jelas kita tinggal di atap yang sama." Karen mengangguk. Genggaman di tanganku semakin erat kuras
Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Pov : KareenMalam ini aku menginap di kontrakan Dira untuk menemani Mbak Lina mengurus kedua anak kembar Dira. Namun, pagi ini aku harus berangkat kerja. Hari Senin adalah hari perdana yang akan menguras tenaga sebab weekend masih sangat lama. Ibu dan Dina baru sampai bakda subuh tadi dengan bus. Sekarang mereka masih terlelap di kamar, sementara Mbak Lina sudah mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan. "Mbak, sepertinya nanti Mas Arga akan minta Mbak Lina buat jagain Dira soalnya kami berdua harus kembali ke kantor. Mbak Lina nggak apa-apa 'kan kalau jaga Dira sendirian di rumah sakit? Malamnya gantian sama Mas Arga," ucapku pelan saat Mbak Lina masih sibuk menggoreng pisang. Aku pun menarik kursi makan lalu mendudukinya perlahan. Sepiring pisang goreng dan teh hangat sudah tersedia di atas meja makan. Gegas kutuangkan segelas teh hangat lalu mencomot pisang goreng untuk kunikmati. "Iya, Mbak Karen. Tadi Mas Arga sudah kirim pesan, saya harus siap-siap sebelum jam tujuh pag
POV : Arga "Mas, apa Dira depresi karena ancaman kita semalam?" Pertanyaan Karen membuatku menoleh ke belakang. "Ancaman agar tak selalu mengganggu rumah tangga kita?" Karen mengangguk pelan sembari menatapku lekat, sementara Bara masih fokus dengan laju mobilnya. "Wajar dong kalau kita ancam dia. Dia sudah keterlaluan, Sayang. Kurang sabar apa kita selama ini menghadapi dia? Seharusnya Dira sudah bisa memprediksi semuanya sejak dulu. Kalaupun saat ini dia depresi, dia juga nggak berhak menyalahkan kita." "Iya, aku tahu, Mas. Biasanya dia diancam apapun juga nggak berhenti. Ancaman kita cuma dianggap angin lalu saja. Cuma kemarin kurasa momennya berbeda. Saat reuni itu sepertinya dia benar-benar malu saat Bara menceritakan semuanya. Aku lihat wajahnya merah padam saat dia dibully bahkan ada yang memaki. Mungkin saat itu dia cukup shock dan kaget karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian, tapi kemarin dia justru mendapatkan hinaan. Boleh jadi dia pergi ke suatu tempat untuk m
POV : ARGA[Bar, Sorry ganggu pagi-pagi buta begini. Udah bangun 'kan Lo? Gue butuh bantuan Lo buat bantu cari Dira sekarang bisa, Bar? Dira hilang. Sejak reuni kemarin dia belum pulang. Lo 'kan tahu, mobil gue masih di bengkel. Karen mau ke kontrakan Dira buat bantu Mbak Lina jagain si kembar. Kasihan dia pasti kecapekan soalnya si kembar tantrum] Kukirimkan pesan itu pada Bara setelah pulang dari masjid untuk shalat berjamaah. Aku yakin Bara bisa membantu. Sejauh ini, Bara nyaris tak pernah menolak saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu siap sedia. Bara memang sahabat terbaik, tak pernah berubah meski aku dan dia sempat terpisah sekian lama. [Oke, Ga. Gue meluncur sekarang. Tunggu di rumah. Gue bakal bantu Lo buat cari Dira.] Aku bernapas lega setelah membaca pesan balasan dari Bara. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan. Lagi-lagi aku begitu bersyukur mendapatkan sahabat sepertinya. Dari golongan berada, tapi mau berbaur denganku yang biasa saja. Tak ada kesombongan dalam