POV : Arga"Ka-- Karen?!" Aku makin gelagapan saat melihat Karen sudah ada di rumah ibu. Dia berdiri di samping pintu sembari menatapku dan Dira yang masih membisu di halaman. Tak lama kemudian, terdengar suara ibu dan Dina yang bersahutan. Dina muncul di ambang pintu dengan tatapan entah. Melihatku sekilas lalu beralih ke arah Karen yang masih mematung di sampingnya. "Ayo masuk, Mas," ajak Dira di belakangku. Dia melangkah perlahan mendahuluiku yang masih membeku. Aku bingung, apa yang akan kulakukan sekarang? Kulihat Dira berhenti sejenak di depan Karen yang masih menatapnya tajam, lalu masuk ke dalam rumah diiringi teriakan anak-anak memanggil ibunya. "Siapa yang sakit, Mas? Saudaramu atau istrimu?" tanya Karen tak berkedip saat melihatku. Sementara Dina merasa tak enak hati hingga dia kembali ke dalam rumah setelah menatap kami bergantian. "Duduk dulu, Sayang. Aku akan jelaskan semuanya," ucapku berusaha menenangkan. Kulingkarkan tanganku ke lengannya, namun Karen berusaha me
POV : ArgaAku tahu, itu adalah senyum untuk menertawakan dirinya sendiri atau mungkin menertawakan ucapanku saja. Senyum pasrah yang terpaksa sebab tak bisa berbuat apa-apa. "Kamu lupa dengan semua janjimu pada bapak, Mas. Dan itu membuatku sangat sakit. Jika sejak awal kamu bilang sejujurnya, mungkin aku tak terlalu mencintai dan menyerahkan seluruh hatiku padamu. Sayangnya, kamu menipuku sejak awal menikah bahkan hingga tiga tahun setelahnya," ucapnya lirih. Aku menelan saliva. Kutahu perasaannya detik ini. Dia pasti kecewa. Semua memang salahku. Aku tak mampu menceritakan padanya tentang masalah ini sejak awal menikah dulu sebab aku terlalu takut kehilangan dia. Aku terlalu mencintainya. Rasanya nggak sanggup jika harus melihatnya pergi hanya karena masalah ini. Pernikahanku dengan Dira bukan karena cinta, hanya karena aku menghormati wasiat Mas Rangga saja. Aku pikir, setelah Dira bisa menata hati dan hidupnya lebih baik, aku akan meninggalkannya. Dengan begitu aku tak terlal
POV : Karenina Perjalanan panjang dalam hidupku akhirnya berada di titik ini. Titik di mana aku merasa terlalu sakit dan rapuh. Benar kata bapak, jika kita terlalu mencintai dan berharap pada manusia yang ada hanya kecewa sebab hati manusia memang sering kali terbolak-balik. Namun jika memasrahkan semua padaNya, tentu hati aman ikhlas dan tenang sebab percaya apapun yang akan terjadi, itulah yang terbaik untuk hidup kita sekalipun menurut kita itu tak ada sisi baiknya. Allah tahu apa yang kita butuhkan, bukan sekadar kita inginkan. Berulang kali bapak memberi nasehat agar aku tak terlalu 100% mempercayai seseorang, sebab bisa saja dia akan berubah seiring berjalannya waktu. Nafsulah yang akan mengubahnya. Namun dulu aku tak percaya jika cintaku pada Mas Arga akan membuatku sekecewa ini. Setiaku, cintaku dan pengorbananku selama ini untuknya, ternyata dibalas dengan sebuah sandiwara. Itu menyakitkan meski cinta dan kasih sayangnya selalu tercurahkan. Kejadian di rumah sakit itu be
"Maksudmu apa, Karen?" Mas Arga membulatkan kedua matanya. Aku yakin, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya jika aku akan mengambil keputusan ini. "Aku nggak bisa jika harus berbagi hati. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa," balasku lagi. Kuseka air mata yang menetes ke pipi lagi dan lagi. "Karen ... kita hanya butuh waktu agar Dira mandiri dan bisa merawat anak-anaknya sendiri. Dengan begitu aku tak akan dihantui rasa bersalah seumur hidupku jika meninggalkannya. Percayalah, aku tetap memilihmu sebab hanya kamu yang ada dalam hatiku saat itu, detik ini dan kapan pun." Mas Arga kembali mengiba dan memohon. Tak tahukah dia, dengan ucapannya itu sudah membuktikan bahwa dia memang belum pantas beristri dua. Dia masih berat sebelah dan itu terlalu ketara. "Aku tahu, Mas. Karena itu pula aku tak ingin memaksamu. Aku ingin kita berpisah secara baik-baik. Kita bisa bersilaturahmi selayaknya saudara." Aku menatap kedua matanya yang basah. Kucoba mengatakannya sekalipun rasa
POV : Karenina Mas Arga dan ibu gegas ke dalam rumah, meninggalkanku sendiri di teras. Aku tak terlalu peduli, bahkan saat Dina keluar dan memintaku untuk ikut masuk. "Ayo, masuk dulu, Mbak. Mbak baru aja sampai, pasti sangat capek. Istirahat di kamarku yuk," ajak Dina sembari tersenyum tipis. Seperti biasanya, Dina memang selalu melakukan hal yang sama tiap kali aku datang ke Jogja. Tak ada yang berubah darinya. Tetap perhatian, manja dan lembut. Ibu pun sebenarnya sama. Tak ada yang berbeda. Hanya saja saat ini aku merasa tak dihargai. Mereka mengabaikan perasaanku yang kecewa dan terluka. Apakah mereka tak sepeduli itu padaku? Seakan menganggapku akan tetap baik-baik saja dengan segala sandiwara mereka selama ini. Apakah hanya perasaan Dira dan anak-anaknya saja yang harus dijaga sedemikian rupa? Sementara aku ... seakan dibiarkan begitu saja. Entahlah. Aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku saja atau memang mereka sengaja mengiyakannya. Yang pasti hingga detik ini hanya Din
"Ayo masuk dulu, Mbak. Biarlah Mbak Dira sama ibu, Mbak Karen sama aku aja yuk. Kita ngobrol-ngobrol seperti biasanya. Aku masih kangen loh, Mbak. Masa udah mau pulang, sekalian bareng Mas Arga saja pulangnya," rengek Dina lagi. Tak tega membuatnya kecewa, aku pun mengiyakan saja. Aku penasaran apa yang dilakukan Dira dan Mas Arga di dalam. Kenapa Mas Arga nggak keluar lagi sekadar memintaku masuk ke rumah. Di ruang keluarga hanya nampak ibu yang masih memijit lengan Dira, sementara Mas Arga tak ada di sana. Kamar ibu sedikit terbuka, mungkin dia masih menidurkan anak sambungnya di sana. Suara mereka tak terdengar lagi setelah tadi cukup histeris, menangis bersahutan. "Ren ... istirahat di kamar Dina dulu ya? Dira barusan pingsan. Jadi ibu menemaninya sebentar. Kamu nggak apa-apa sama Dina aja kan?" tanya ibu saat menoleh ke arahku. Perempuan itu sudah sadar, tapi masih terbaring di sofa sementara ibu duduk di sofa single di depannya sembari memijit lengan dan keningnya. Aku da
POV : Karenina"Jangan pernah berpikir aku akan terus diam, Karen. Dulu aku tak peduli sebab aku memang belum menyukai Mas Arga, tapi sekarang kondisinya berbeda. Kelembutan, tanggungjawab dan keikhlasan Mas Arga membuatku semakin mencintainya. Dia adalah ayah SMA ung terbaik untuk anak-anakku. Jadi, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan cintanya. Bertahanlah kalau kamu mau berbagi hati, kalau nggak sanggup mundurlah daripada terus sakit hati," ucap perempuan itu lagi setelah aku sampai depan pintu kamar mandi. "Ternyata dugaanku benar tentangmu, Dira. Kamu tak sepolos yang mereka kira. Kamu culas. Kamu licik dan kamu-- "Cukup! Tahu apa kamu tentang hidupku. Kamu hanyalah benalu dalam rumah tanggaku dan Mas Arga. Ingat statusmu yang kedua. Kamu tahu apa artinya kedua? Itu artinya kamu sengaja hadir dalam hidup kami!" ucapnya lagi sembari tersenyum sinis. "Aku banyak tahu tentangmu, Dira. Jangan kamu pikir aku tak tahu apa-apa!" sentakku tak mau kalah. "Tahu apa?"
"Mbak Dira memang baik. Dia perhatian padaku dan ibu sekalipun dulu dia tak mencintai Mas Arga. Namun entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan, Mbak. Entah apa. Rasanya berbeda saat aku bersamanya dengan saat aku bersamamu. Aku bisa merasakannya," ucap Dina sembari menyandarkan punggungnya ke sofa, sama sepertiku saat ini. "Beda gimana, Din?" Aku mulai mengorek isi hati Dina. Barang kali aku dan dia bisa kerja sama untuk membongkar Topeng Dira yang selama ini selalu ditutupinya. "Kaya ada yang ditutupi, Mbak. Ada rasa canggung dan nggak enak aja gitu." Dina menatapku beberapa saat lalu menganggukkan kepala. Berharap aku mempercayai ceritanya. "Kenapa kamu merasa begitu, Din? Mas Arga dan ibu sepertinya nggak curiga apa-apa. Mereka sangat menyayangi Dira kan?" Aku kembali berusaha mengorek kecurigaan Dina tentang iparnya itu. "Ibu dan Mas Arga terlalu polos. Sementara aku udah lurik, Mbak." Dina tertawa. Aku pun ikut tertawa mendengar jawabannya. "Aku merasa sela
Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Pov : KareenMalam ini aku menginap di kontrakan Dira untuk menemani Mbak Lina mengurus kedua anak kembar Dira. Namun, pagi ini aku harus berangkat kerja. Hari Senin adalah hari perdana yang akan menguras tenaga sebab weekend masih sangat lama. Ibu dan Dina baru sampai bakda subuh tadi dengan bus. Sekarang mereka masih terlelap di kamar, sementara Mbak Lina sudah mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan. "Mbak, sepertinya nanti Mas Arga akan minta Mbak Lina buat jagain Dira soalnya kami berdua harus kembali ke kantor. Mbak Lina nggak apa-apa 'kan kalau jaga Dira sendirian di rumah sakit? Malamnya gantian sama Mas Arga," ucapku pelan saat Mbak Lina masih sibuk menggoreng pisang. Aku pun menarik kursi makan lalu mendudukinya perlahan. Sepiring pisang goreng dan teh hangat sudah tersedia di atas meja makan. Gegas kutuangkan segelas teh hangat lalu mencomot pisang goreng untuk kunikmati. "Iya, Mbak Karen. Tadi Mas Arga sudah kirim pesan, saya harus siap-siap sebelum jam tujuh pag
POV : Arga "Mas, apa Dira depresi karena ancaman kita semalam?" Pertanyaan Karen membuatku menoleh ke belakang. "Ancaman agar tak selalu mengganggu rumah tangga kita?" Karen mengangguk pelan sembari menatapku lekat, sementara Bara masih fokus dengan laju mobilnya. "Wajar dong kalau kita ancam dia. Dia sudah keterlaluan, Sayang. Kurang sabar apa kita selama ini menghadapi dia? Seharusnya Dira sudah bisa memprediksi semuanya sejak dulu. Kalaupun saat ini dia depresi, dia juga nggak berhak menyalahkan kita." "Iya, aku tahu, Mas. Biasanya dia diancam apapun juga nggak berhenti. Ancaman kita cuma dianggap angin lalu saja. Cuma kemarin kurasa momennya berbeda. Saat reuni itu sepertinya dia benar-benar malu saat Bara menceritakan semuanya. Aku lihat wajahnya merah padam saat dia dibully bahkan ada yang memaki. Mungkin saat itu dia cukup shock dan kaget karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian, tapi kemarin dia justru mendapatkan hinaan. Boleh jadi dia pergi ke suatu tempat untuk m
POV : ARGA[Bar, Sorry ganggu pagi-pagi buta begini. Udah bangun 'kan Lo? Gue butuh bantuan Lo buat bantu cari Dira sekarang bisa, Bar? Dira hilang. Sejak reuni kemarin dia belum pulang. Lo 'kan tahu, mobil gue masih di bengkel. Karen mau ke kontrakan Dira buat bantu Mbak Lina jagain si kembar. Kasihan dia pasti kecapekan soalnya si kembar tantrum] Kukirimkan pesan itu pada Bara setelah pulang dari masjid untuk shalat berjamaah. Aku yakin Bara bisa membantu. Sejauh ini, Bara nyaris tak pernah menolak saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu siap sedia. Bara memang sahabat terbaik, tak pernah berubah meski aku dan dia sempat terpisah sekian lama. [Oke, Ga. Gue meluncur sekarang. Tunggu di rumah. Gue bakal bantu Lo buat cari Dira.] Aku bernapas lega setelah membaca pesan balasan dari Bara. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan. Lagi-lagi aku begitu bersyukur mendapatkan sahabat sepertinya. Dari golongan berada, tapi mau berbaur denganku yang biasa saja. Tak ada kesombongan dalam