"Aku bisa pulang sendiri, Mas," ucapku pada Mas Arga saat dia melihatku berberes di kamar Dina. "Kita pulang sama-sama," balasnya singkat, tanpa menoleh ke arahku. "Kamu tahu, Mas. Aku masih sangat kesal dengan semua kebohonganmu. Maaf jika nanti aku tak bisa seperti dulu," balasku. "Nggak apa-apa, Karen. Aku paham dan sangat mengerti. Kamu berhak marah, kamu pantas kesal dan wajar kamu sakit hati. Cuma satu hal yang harus kamu tahu, jangan ambil keputusan untuk berpisah. Kita perbaiki semua dari nol okey?" Mas Arga menatapku lekat namun aku buru-buru mengalihkan pandangan. "Aku nggak tahu, Mas. Aku ingin istikharah terlebih dahulu. Ada banyak hal yang menjadi pertimbanganku." "Soal apa? Kesalahanku hanya satu, Karen. Menikah dengan Dira tanpa sepengetahuanmu, tapi cinta, kasih sayang dan rasa ini tetaplah untukmu. Percayalah," sambungnya lagi. "Sudahlah, Mas. Aku sudah terlalu sering mendengar kalimat itu dari bibirmu. Aku bosan." "Aku akan menceraikan Dira kalau dia sudah ben
Sejak kembali ke Jakarta seminggu lalu, entah mengapa hari-hariku terasa berbeda. Aku cukup gelisah saat di rumah. Beberapa kali shalat istikharah untuk memutuskan jalan hidupku, namun ternyata aku belum juga mendapatkan jawaban yang pas. Entahlah. Mungkin karena aku belum fokus dan ikhlas menjalankannya hingga jawaban terbaik untuk ini semua pun rasanya masih mengambang. Mendadak bimbang saat ingin melepaskan. Meski kutahu, rasa ini sering kali begitu menyakitkan. Seminggu belakangan, aku tetap tak mampu menutupi kecewaku. Semua jelas tak bisa sama seperti semula, tapi sikap Mas Arga tak pernah berubah. Dia masih saja seperti dulu yang manis dan selalu menebar senyum sekalipun aku tak pernah membalasnya. Dia tak pernah menyerah. Selalu berusaha menjadi Arga yang lebih baik dalam mencintaiku, meski kini semua terasa sedikit hambar. Ada rasa yang berbeda dalam dada yang jelas tak bisa seperti dulu.Tak ada lagi Karen yang selalu mengiriminya beragam pesan di jam-jam istirahatnya.
POV : DIRA Namaku Diandra Ramadhani. Panggil saja Dira. Seorang gadis yatim piatu yang begitu beruntung dipersunting seorang Rangga yang tampan, perhatian, sederhana dan bertanggungjawab pada keluarga. Pernikahanku dengannya berjalan sederhana. Aku mencintainya dengan tulus. Mas Rangga adalah cinta pertamaku sebab itulah aku begitu kesulitan untuk melupakannya dan menghapus jejaknya dalam hidupku. Aku dan Mas Rangga sama-sama yatim piatu. Namun ada yang membedakan di antara kami berdua. Mas Rangga memiliki keluarga angkat yang hangat. Dia memiliki ibu ibu dan dua saudara angkat yang saling sayang dan perhatian. Mereka pun begitu menghargai kehadiran dan menyayangiku. Cinta kasih dari keluarga yang selama ini tak pernah kurasakan, kini kudapatkan dari mereka. Itulah yang membuat hari-hariku semakin bahagia sejak menikah dengan Mas Rangga. Kebahagiaan semakin bertambah saat bulan kedua kuterima kabar dari bidan terdekat bahwa aku memang hamil. Saat itu aku merasa menjadi perempuan
POV : DIRA Kepergian Mas Arga kali ini semakin membuatku resah dan gelisah tak jelas. Pasalnya Karen sudah tahu bagaimana status dan hubunganku dengan Mas Arga. Dia sepertinya akan tetap mempertahankan Mas Arga dan tak akan membiarkanku mendapatkan cintanya seutuhnya. Haruskah aku minta tolong seseorang untuk mengawasi Karen di Jakarta? Tapi siapa? Soal uang, tak jadi soal sebab toko sembako grosiran yang diberikan Mas Arga untukku sangat cukup untuk membayar mata-mata itu. Jangankan hanya satu bahkan lima pun masih bisa kubayar. Selama ini aku nyaris tak pernah kekurangan uang selama menjadi istri Mas Arga. Dia paham soal nafkah lahir, tapi nafkah batin aku yang harus berjuang sebab dia sering kali tak berminat kecuali memang sengaja kumasukkan obat perang*ang ke dalam minumannya. "Put! Putri!" Aku memanggil Putri yang baru saja membuka pintu gerbang rumahnya. Putri adalah anak Rita, tetangga baru sekaligus sahabat terdekatku saat ini. Gadis cantik itu menoleh ke arahku lalu ber
Rita tak tahu bagaimana sakitnya aku menahan rindu. Dia tak paham bagaimana rasanya menjadi aku yang selalu dinomor duakan, aku yang harus memakai berbagai cara agar Mas Arga pulang dan bertahan sedikit lebih lama di rumah. Dia tak mengerti bagaimana rasa sakitnya batin ini yang harus sembunyi-sembunyi untuk sekadar menelpon suami sendiri. Terpaksa aku mengikuti permintaan Mas Arga dan keluarganya demi kebaikan bersama. Meski kini Karen sudah tahu kebenarannya, Mas Arga justru lebih membelanya. Dia lebih senang bersama Karen, dibandingkan denganku. Bahkan sekadar nafkah batin saja aku harus menggunakan obat perang*ang sebab dia seolah menjaga jarak ketika di rumah bersamaku. Berulang kali meminta, selalu penolakan yang kudapatkan dengan alasan dia belum siap. Entah sampai kapan. Yang pasti sejak enam bulanan ini aku sering diabaikan soal urusan ranjang. Kata maaf yang selalu Mas Arga ucapkan rasanya tak membuat batinku lega sebab bukan maaf yang aku inginkan, melainkan urusan nafs
POV : DIRA"Kamu benar-benar ingin membantuku, Rit?" Aku kembali bertanya keseriusan Rita. Apakah dia memang bisa mencari orang untuk memata-matai Karen dan Mas Arga. "Iya, Dira. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Tak kusangka nasibmu dan nasibku nyaris sama. Kita dipaksa untuk berbagi hati dengan perempuan lain. Rasanya aku ingin ikut menampar dan mengakar wajah perempuan-perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangga kita. Dasar mura*an. Tak bisakah mereka mencari lelaki lain yang masih lajang? Teganya menjadi duri dalam pernikahan orang lain!" Rita terlihat begitu geram dan emosi. Giginya sampai bergemeletuk saking kesalnya membayangkan para perempuan perebut suami orang itu. Sekarang aku semakin yakin jika Rita pasti membantuku sebab dia merasa nasibku tak jauh berbeda dengannya. Sama-sama disakiti oleh perempuan lain. "Aku sudah pisah sama suami karena ada orang ketiga diantara kami. Kamu pun sama. Bedanya Mas Arga tetap sayang, romantis dan tanggungjawab sama kamu dan
POV : KAREN Hari ini aku mulai bekerja sebagai staf marketing di sebuah kantor baru yang tak terlalu jauh dari kantor Mas Arga. Kurasa, keputusan ini sudah tepat. Mungkin dengan kembali bekerja, aku akan lebih tenang dan tak terlalu terbebani dengan masalah Mas Arga dan Dira. Jujur saja, terkuaknya pernikahan mereka membuat tingkat kepercayaanku pada Mas Arga menurun sekian persen. Aku jadi takut jika apapun yang dia lakukan selama ini hanyalah sandiwara belaka. Semua itu membuat sisi keromantisan yang selama ini terasa indah menjadi hambar. Aku tak menikmati tiap pujian ataupun hadiah-hadiah kecil yang dia berikan. Entahlah. Mungkin aku memang salah telah melakukan hal seperti ini pada suami, tapi hatiku benar-benar belum menerima segala kebohongannya selama ini sekalipun semua hanya demi wasiat atau karena terpaksa. "Sayang, aku sudah masak nasi goreng spesial untuk kita. Ayo makan," tawarnya saat aku baru membuka pintu kamar dengan berpakaian rapi dengan hijab abu tua. Kututup
"Ren!" panggil lelaki jangkung itu sembari melambaikan tangannya ke arahku. Bara. Iya, dia Bara. Playboy kelas kakap yang dulu cukup terkenal seantero kantor. Kapan dia balik ke sini? Setahuku, dia pamit ke luar beberapa bulan setelah menikah dengan Mas Arga. Tak kusangka akhirnya dia kembali ke tanah air. Bara. Lelaki itu masih sama seperti dulu. Kocak dan murah senyum. Bahkan setelah sekian lama tak bersua, dia tak merasa canggung saat bertemu denganku. Eh, tunggu dulu. Perusahaan ini miliknya? Wow, ternyata dia semakin sukses mengembangkan bisnisnya. Lebih tepatnya, mungkin meneruskan bisnis kedua orang tuanya hingga dia bisa membangun perusahaan sendiri. Ah, sepertinya begitu. Sok tahunya aku. "Gimana kabarnya, Ren? Sehat? Makin cantik Lo," ucapnya sembari menyodorkan telapak tangannya ke arahku. Sementara aku hanya menangkupkan kedua tangan ke dada sembari tersenyum tipis. "Oh iya lupa. Nggak boleh jabat tangan ya, Ren. Hahahah, sorry. Kebiasaan cipika-cipiki jadi lupa. Ngga
Raka Abidzar Syahputra. Nama spesial untuk anak lelakiku yang tampan. Anak Sholeh yang kini berusia satu minggu dan kami mengadakan acara aqiqah dan syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadirannya sebagai pelengkap bahagia dan pelita kedua orang tuanya. Dua kambing sudah terpotong. Pemilik catering membawakan nasi box lengkap dengan gulai dan sate di dalamnya untuk para tamu yang kebanyakan para tetangga. Keluarga Pak Darwin pun datang. Atasan Mas Arga itu datang dengan istri dan anak lelakinya yang kutaksir berusia sekita enam atau tujuh tahun.Mereka duduk lesehan berbaur dengan tamu yang lain. Ngobrol ke sana-sini begitu ramah, tak terlihat angkuh meskipun orang berada dan memiliki jabatan penting di kantor. Keluarga Pak Darwin memang patut diacungi jempol karena sangat humble dan merangkul semua orang, tak peduli bagaimana strata sosial mereka. "Mas, ibu beneran nggak bisa datang ya?" tanyaku lirih saat Mas Arga membuka pintu kamar dengan membawa segelas air putih dan kue se
Waktu terus bergulir. Semua terasa semakin indah jika aku menikmati takdir. Apapun itu, kuyakin semua yang terbaik dan indah. Beginilah hidupku sekarang, fokus dengan kehamilanku karena dilarang Mas Arga bekerja. Dia bilang, sudah waktunya aku berhenti berkarir di luar dan fokus dengan kehidupan di dalam rumah. Tak terasa syukuran empat dan tujuh bulan berlalu sedemikan cepat. Ibu sekeluarga sempat datang di acara tujuh bulanan lalu. Wajah Dira terlihat lebih segar dan cantik meski belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Tapi sangat banyak memori yang sudah diingatnya. Terutama soal Mas Rangga yang telah pergi ke sisiNya. Ibu dan Dina perlahan membantunya mengingat siapa dan kenapa Mas Rangga pergi. Mereka juga mengajak Dira ke makam almarhum suaminya tiap dua minggu sekali karena memang tak terlalu jauh dari rumah. Album foto pun dibuka lebar, dengan telaten ibu menceritakan semuanya perlahan. Begitulah yang diceritakan Dina waktu itu dan aku cukup bersyukur memiliki keluarga yang s
"Karen, aku di sini seminggu lagi saja ya? Sepertinya anak-anak sudah mulai dekat dengan kamu. Biar mereka tahu kalau kamu adalah tante yang baik dan penyayang, tak seburuk yang mereka bayangkan. Setelah semuanya membaik, aku akan minta Mas Arga untuk mengantar pulang. Dina bilang dia juga masih seminggu lagi liburnya, jadi nanti biar pulang bareng-bareng." Ucapan Dira seminggu lalu membuatku bahagia. Setidaknya aku memiliki waktu lebih untuk mengenal lebih dekat kedua anak tampannya itu. Aku tak mungkin membiarkan anak sekecil mereka membenciku membabi buta seperti itu kan?Aku yakin, dengan ketulusan akan lebih mudah mencuri hati anak-anak seperti mereka. Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter. Mereka cenderung polos dan peniru ulung akan apapun yang dilihat dan didengarnya. Oleh karena itu, setiap orang tua harus berhati-hati saat bicara atau bertingkah laku di depan anak-anak karena akan ditiru oleh mereka. Hal-hal baru yang mereka temukan di lingkungannya setiap hari
"Alhamdulillah kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang. Cuma shock aja tadi kena hantam vas itu," ucap Mas Arga sembari memijit lenganku. Sejenak kuedarkan pandangan. Ada ibu dan Dina di samping kiri, di sebelah kanan ranjang ada Mbak Lina dan Dira. Sementara anak-anak masih duduk di sofa di sudut kamar. Mereka menunduk dalam diam.Aku tak tahu apa yang terjadi setelah pingsan tadi. Mungkinkah si kembar diomeli Mas Arga? Entah. Namun yang kulihat sekarang, anak itu cukup ketakutan melihatku terbaring dengan perban menempel di kening. Dokter Aris yang tak lain tetanggaku, baru saja memeriksa dan memberikan vitamin untukku. Dia bilang aku anemia hingga diminta meminum beberapa butir pil penambah darah. "Sayang, lain kali nggak boleh kasar sama orang tua ya? Apalagi itu Tante Karen. Kasihan Tante sampai pingsan dan sakit begitu. Lihat deh, perut Tante Karen itu besar karena ada adik bayi di sana. Kalau kalian tendang-tendang, pukul atau lempar-lempar lagi ke tante, kasihan kan? Adik bayinya
Sepuluh hari Dira dirawat, akhirnya pagi ini diperbolehkan pulang. Dia semakin membaik meski ingatannya belum jua pulih. Tak apa, seiring berjalannya waktu semua akan kembali seperti semula. InsyaAllah jika DIA meridhoi semuanya. Dira duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Mas Arga untuknya sebelum dia berangkat kerja. Arvin dan Irvan pun begitu antusias menyambut kepulangan Dira. Meski akhirnya mereka kecewa dan menangis sebab Dira tak mengingat siapa pun termasuk kedua anaknya. "Mama kenapa? Mama nggak ingat sama Irvan?" Tangis Irvan pecah saat Dira menanyakan siapa nama anak lelaki di depannya detik ini. Arvin pun sama saja. Dia merangkul saudara kembarnya dan menangis bersamaan. Sungguh, tak tega melihat anak sekecil mereka harus merasakan kehilangan seperti ini. Kehilangan cinta mamanya untuk sementara karena amnesia. "Mereka anak kembar kamu dengan Mas Rangga, Dira. Mereka belahan jiwamu," ucap ibu menjelaskan. Dira masih saja bengong, tapi tak lama setelahnya senyum tipis
Hari ini adalah hari cukup bersejarah bagiku. Seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku dipermalukan di depan orang banyak, tapi tadi pagi hidupku serasa dijungkir balikkan seketika. Aku yang biasanya dimanja, dicinta dan dihujani perhatian, kini justru menjelma menjadi seorang perempuan yang memprihatinkan. Dihujat, dicaci maki dan ditertawakan. Tak hanya satu dua orang, tapi banyak orang. Sakit sekali rasanya, Ya Allah. Andai ada lubang di dalam bumi, rasanya aku ingin sembunyi di sana beberapa saat lamanya hingga keluar saat nyaliku sudah menyala kembali. Namun sayang, aku memiliki kehidupan lain yang harus tetap kuperjuangkan. Aku tak bisa semudah itu memilih pergi, sementara ada kedua malaikat kecilku di sana menanti. Bersama sepi, aku kembali merenungi semuanya. Mengingat kisah demi kisah lima tahun belakangan. Saat kepergian Mas Rangga ke sisiNya hingga akhirnya Mas Arga yang menggantikan posisinya. Tiap kali mengulang kisah itu, aku merasa begitu berdosa. Betapa tak bers
Pov : KareenMalam ini aku menginap di kontrakan Dira untuk menemani Mbak Lina mengurus kedua anak kembar Dira. Namun, pagi ini aku harus berangkat kerja. Hari Senin adalah hari perdana yang akan menguras tenaga sebab weekend masih sangat lama. Ibu dan Dina baru sampai bakda subuh tadi dengan bus. Sekarang mereka masih terlelap di kamar, sementara Mbak Lina sudah mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan. "Mbak, sepertinya nanti Mas Arga akan minta Mbak Lina buat jagain Dira soalnya kami berdua harus kembali ke kantor. Mbak Lina nggak apa-apa 'kan kalau jaga Dira sendirian di rumah sakit? Malamnya gantian sama Mas Arga," ucapku pelan saat Mbak Lina masih sibuk menggoreng pisang. Aku pun menarik kursi makan lalu mendudukinya perlahan. Sepiring pisang goreng dan teh hangat sudah tersedia di atas meja makan. Gegas kutuangkan segelas teh hangat lalu mencomot pisang goreng untuk kunikmati. "Iya, Mbak Karen. Tadi Mas Arga sudah kirim pesan, saya harus siap-siap sebelum jam tujuh pag
POV : Arga "Mas, apa Dira depresi karena ancaman kita semalam?" Pertanyaan Karen membuatku menoleh ke belakang. "Ancaman agar tak selalu mengganggu rumah tangga kita?" Karen mengangguk pelan sembari menatapku lekat, sementara Bara masih fokus dengan laju mobilnya. "Wajar dong kalau kita ancam dia. Dia sudah keterlaluan, Sayang. Kurang sabar apa kita selama ini menghadapi dia? Seharusnya Dira sudah bisa memprediksi semuanya sejak dulu. Kalaupun saat ini dia depresi, dia juga nggak berhak menyalahkan kita." "Iya, aku tahu, Mas. Biasanya dia diancam apapun juga nggak berhenti. Ancaman kita cuma dianggap angin lalu saja. Cuma kemarin kurasa momennya berbeda. Saat reuni itu sepertinya dia benar-benar malu saat Bara menceritakan semuanya. Aku lihat wajahnya merah padam saat dia dibully bahkan ada yang memaki. Mungkin saat itu dia cukup shock dan kaget karena selama ini dia selalu mendapatkan pujian, tapi kemarin dia justru mendapatkan hinaan. Boleh jadi dia pergi ke suatu tempat untuk m
POV : ARGA[Bar, Sorry ganggu pagi-pagi buta begini. Udah bangun 'kan Lo? Gue butuh bantuan Lo buat bantu cari Dira sekarang bisa, Bar? Dira hilang. Sejak reuni kemarin dia belum pulang. Lo 'kan tahu, mobil gue masih di bengkel. Karen mau ke kontrakan Dira buat bantu Mbak Lina jagain si kembar. Kasihan dia pasti kecapekan soalnya si kembar tantrum] Kukirimkan pesan itu pada Bara setelah pulang dari masjid untuk shalat berjamaah. Aku yakin Bara bisa membantu. Sejauh ini, Bara nyaris tak pernah menolak saat aku membutuhkan bantuannya. Dia selalu siap sedia. Bara memang sahabat terbaik, tak pernah berubah meski aku dan dia sempat terpisah sekian lama. [Oke, Ga. Gue meluncur sekarang. Tunggu di rumah. Gue bakal bantu Lo buat cari Dira.] Aku bernapas lega setelah membaca pesan balasan dari Bara. Dia memang sahabat yang bisa diandalkan. Lagi-lagi aku begitu bersyukur mendapatkan sahabat sepertinya. Dari golongan berada, tapi mau berbaur denganku yang biasa saja. Tak ada kesombongan dalam