Sarapan sudah aku siapkan juga bekal untuk Bang Adnan dan Zain. Bang Adnan dan Zain tengah melakukan olahraga kecil di halaman rumah.
Setelah membersihkan peralatan masak yang tadi aku gunakan, rumah juga sudah rapi aku putuskan untuk memandikan Zafran yang tengah asyik bermain dalam strollernya.
Zafran sudah rapi, aku panggil Bang Adnan dan Zain untuk bersiap, setelah itu baru sarapan, aku pun akan membersihkan diriku dulu.
"Abang, Zain, sudah siang. Ayo, bersiap?
Abang Adnan dan Zain berlari menghampiriku dan Zafran.
"Ganteng Abi, sudah wangi rupanya," ucap Bang Adnan.
"Iya dong, memang Abi masih asem."
Aku meninggalkanya dengan sedikit ledekan. Zain sudah berlalu untuk bersiap. Tak berapa lama Zain turun sudah mengenakan jaz dari pesantren.
"Zain, Umi titip Zafran, ya? Umi mau mandi sebentar."
"Iya, Umi."
Zain mengambil Zafran dari gendonganku. Aku meninggalkannya dan bergegas kekamar untuk mandi.
Kulihat Bang Adnan tengah mematut dirinya, aku melewatinya begitu saja langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Mandi terburu-buru takut Zain akan kelamaan menungguku. Mematut diri di cermin dengan baju rumahan seperti ibu-ibu biasanya. Kulihat Bang Adnan tengah membaca buku. Melihatku yang sudah selesai, Bang Adnan menghampiriku. Seperti biasa dia memelukku dari belakang mengecup pucuk kepalaku.
"Dik, bagaimana kalau kita ikut mengantar Zain sampai Kairo besok?"
"Terserah Abang saja," jawabku singkat.
"Atau kamu ingin kita ke Negri Sakura? Seperti keinginanmu dulu?"
Aku terdiam, dulu aku memang bermimpi pergi bersamanya ke sana. Menghabiskan waktu berdua di bawah guguran bunga Sakura, tapi sayang impian yang seharusnya kau hadiahkan untukku lebih dulu akan kau berikan keorang lain.
"Tidak lah, Bang. Aku sudah tak menginginkan itu. Aku malu dengan anak-anak kita, tak patut lagi rasanya kita berbulan madu."
"Kita bersama anak-anak, Sayang."
Aku hanya terdiam membayangkan dirinya akan bersenang-senang dengan maduku yang ia rahasiakan.
"Ayo kita sarapan, Bang. Nanti kesiangan."
Bang Adnan mengikutiku turun untuk sarapan.
Kami sarapan bersama, Bang Adnan selalu menyuruhku makan terlebih dulu sedangkan ia bermain bersama Zafran, begitu juga saat Zain masih kecil.
"Zain harap keluarga kita akan tetap seperti ini,"
sontak ucapan Zain membuat aku tak lagi berselera makan. Bagaimana bisa kaca yang sudah pecah menyatu kembali? Maafkan Umi, Nak. Jika nanti Allah lebih menyetujui perpisahan kami.
"Tentu saja, Zain. Kita akan selalu seperti ini,"
Bang Adnan menjawab tanpa melihatku ataupun melihat Zain.
Setelah selesai sarapan aku menyiapkan segala keperluan Bang Adnan dan Zain, koper mereka sudah Bang Adnan masukan bagasi, aku menyerahkan bekal mereka.
"Umi, Zain tinggal, ya? Umi baik-baik di rumah jangan terlalu memikirkan apapun. Zafran ganteng abang titip umi, ya."
Aku mengulurkan tangan yang disambut Zain lalu ia menciumnya.
"Abang berangkat ya, Dik. Baik-baik di rumah, Abang upayakan pulang lebih cepat."
Aku mengangguk menanggapi ucapan Bang Adnan. Bang Adnan mengulurkan tangannya yang kemudian kusambut dan kucium. Ia memeluk dan mengecup pucuk kepalaku.
Aku melambaikan tangan kepada dua lelakiku,
yang mulai menjauh dari halaman rumah.
Setelah semuanya pergi, aku tinggal seorang diri di rumah. Aku bergegas menidurkan Zafran dan merapikan meja makan bekas sarapan kami tadi. Setelah semuanya selesai aku kembali naik ke atas hendak merapikan tempat tidur Zain.
Saat hendak merapikan buku-bukunya, aku melihat sebuah surat bertuliskan 'Untuk Umi' aku membuka perlahan surat tersebut.
"Umi, maafkan Zain. Zain tak pernah membicarakan ini kepada Umi. Zain tau sepandai-pandai menyimpan bangkai pasti akan tercium juga baunya. Tiga tahun lalu saat Zain tengah cuti dan menginap di tempat nenek, abi datang menjemput. Zain mendengar pertengkaran abi dan nenek.
Nenek menginginkan abi menikah kembali dengan seorang wanita, tetapi abi menolak. Hingga nenek mengancam tak akan pernah berbuat baik ataupun menerima umi. Zain tidak tau apa arti semua itu, Umi. Zain benar-benar tidak mengerti. Yang Zain tau bagaimana cara Zain menjaga perasaan umi, sampai kemarin Zain melihat umi tengah memegang sebuah foto dan tiket. Mungkin ini sudah waktunya umi tau semuanya, Zain tidak mengerti apa-apa, Umi. Zain pikir jika Zain tetap diam tak akan terjadi apa-apa dengan keluarga kita. Umi akan tetap bahagia, abi pun masih tetap menyayangi kita, tetapi melihat kepedihan umi, Zain sekarang mengerti. Jika dulu Zain memberitahu umi, mungkin umi tak akan sesakit ini. Maafkan Zain, Umi. Zain sangat mencintai umi"
Aku menagis membaca surat dari Zain. Apakah penghianatan ini sudah berjalan begitu lama? Ya Allah, andai itu benar, kenapa Bang Adnan tega melakukan itu semua kepadaku. Aku menangis hanya bisa menagis. Kulangkahkan kaki gontai ke kamar mengambil ponselku, membuka pesan berwarna hijau, ternyata dari Mbak Naumi.
[Kinan, maafkan Aku. Aku tak dapat membantumu menjaga Zafran, mertuaku masuk rumah sakit. Aku tak tega jika harus membawa Zafran ke rumah sakit. Kamu sabar sebentar, yang penting aplikasi pelacak yang Aku katakan kepadamu semalam sudah kamu pasang keponsel Bang Adnan. Nanti kalau Aku pulang kamu bisa menyusulnya.]
[Iya, Mbak. Terimakasih atas semuanya.]
Kukirim balasan kepada Mbak Naumi.
Semalam aku bercerita melalui chat kepada Mbak Naumi. Aku tak punya teman yang baik selain dia. Dia membantuku mencari informasi tentang paket honeymoon di sana. Anak satu-satunya sudah berkeluarga dan tinggal di Malaysia sehingga ia sangat sayang dengan Zafran.
Aku beruntung pasporku masih aktif jadi tak begitu ribet harus mengurusnya lagi.
Aku kembali ke kamar Zafran melihatnya masih tidur terlelap. Air mata kembali menetes, sakit,sesak. Bagaimana mungkin?
Bagaimana bisa?
Ingin aku tanyakan semuanya kepada Bang Adnan. Haruskah nanti aku mencakar wajahnya? Menjambak rambutnya?
Ya, semua bermula dari keluarga Bang Adnan. Merekalah perusak rumah tanggaku, lalu wanita itu, siapa dia mau menjadi madu? Apakah dia tidak tau jika haram mengambil milik orang tanpa ridho pemiliknya?
Kugendong Zafran yang masih terlelap. Membawanya ke rumah bunda. Kuputuskan untuk menginap di sana. Aku mencari tiket pesawat melalui booking online. Kupersiapkan segala keperluan Zafran dan aku sendiri. Setelah dirasa cukup, aku putuskan untuk berangkat ke bandara Soekarno Hatta.
Aku menunggu dengan hati berdebar, kulihat ponsel, ternyata Bang Adnan belum menghubungiku. Aku menguatkan tekatku apapun yang terjadi aku harus kuat.
Waktu penerbangan sudah tiba. Sebelum masuk bandara aku membooking tiket ke Jepang. Berapapun harganya, aku tak peduli. Untuk apa semua uang ini jika kebohongan tak terungkap. Setelah penerbangan kurang lebih 1 jam 15 menit aku sampai di Bandara Solo atau Adi Sumarmo.
Aku memesan taxi online menuju Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah. Aku tak memberitahukan kepulanganku kepada bunda Salamah. Sudah satu tahun aku tak berkunjung ke sana. Aku hanya mengobrol lewat telepon untuk menanyakan kabar kepada Bunda Salamah. Dari jauh kulihat Bunda Salamah dengan beberapa anak tengah menyapu halaman."Assalamualaikum," ucapku membuat semua orang menoleh kepadaku."Walaikum sallam," serempak mereka menjawab salamku."Ya Allah, Kinan? Kenapa tidak telpon dulu, Nak?"Aku memeluknya Air mataku tumpah dalam pelukannya."Ada apa, Kinan? Sebentar Bunda ijin dulu kita pulang ke rumah bunda saja."Aku mengangguk.Banyak anak-anak melihat ke arahku. Aku menyapa mereka dengan senyuman. Bunda Salamah mengambil Zafran dari gendonganku kemudian membawanya masuk. Aku menunggu dan bermain bersama anak-anak panti. Mengingat dulu aku besar dan tumbuh di sini, di bawah kasih sayang Bunda Salamah.Beliau bilang ada seseorang yang memasrahkan dan memohon untuk mengurusku, tetapi ia
Tiga hari berada di rumah Bunda Salamah mebuat pikiranku sedikit tenang. Hari-hari aku hanya bermain dan berbagi cerita dengan anak yatim. Menyumbangkan begitu banyak buku-buku untuk mereka, dan membaca banyak buku dengan mereka. Selama tiga hari aku belajar sedikit demi sedikit bahasa Inggris. Mbak Naumi menawarkan bantuannya ketika aku hendak ke Jepang nanti sebagai penerjemah melalui telepon.Hari ini aku akan berangkat ke Jepang akupun sudah memesan tiket dari Jepang kembali ke Indonesia. Zafran aku titipkan ke bunda. Beruntung, karena Zafran anak yang anteng jadi aku tak begitu khawatir."Bunda, aku titip Zafran. Aku tidak lama setelah tau semuanya aku akan kembali.""Kamu hati-hati, Nak. Berdoa sama Allah meminta perlindungan."Bunda memeluku."Iya, Bunda. Assalamualaikum?""Walaiukum sallam."Aku terbang langsung dari solo ke Tokyo. 12 jam perjalanan aku sampai di Tokyo. Aku melihat aplikasi pelacak, mencari di mana Bang Adnan berada sekarang, ternyata dia ada di Yoyogi Park.
Sampai di bandara aku menuju ruang Arrivals, kemudian melakukan Check-in untuk melakukan pendaftaran ulang. Setelah itu, aku dipersilahkan naik pesawat kemudian memberikan kartu pengenal. Aku lega, karena sudah berada di dalam pesawat. Saat pesawat hendak lepas landas aku kembali melihat ponsel yang belum dimatikan. Kulihat pesan-pesan dari Bang Adnan. Menghapusnya begitu saja dan tak ingin tahu apa yang ia kirimkan. Selama dua belas jam perjalanan aku hanya termenung mencoba mengistirahatkan tubuh dan otak, tetapi mata tak mau terpejam. Aku memasang headset mendengarkan lagu-lagu sholawat hingga tak sadar dalam tangis aku tertidur. Aku bermimpi Bang Adnan akan mengambil anak-anak jika aku tak menerima istri barunya. Hingga dalam tidur aku menangis sampai sesak, beruntung ada wanita baik yang duduk di sebelahku kemudian membangunkanku."Apakah Anda mimpi buruk?" kata wanita itu bertanya. Setelah itu ia memberikan aku segelas air. Aku hanya mengangguk."Takdir ada di tangan Tuhan, t
Kupandangi jalanan ramai orang berlalu lalang, hingga mobil yang aku sewa sampai depan rumah. Aku melihat Bang Adnan tengah duduk di kursi teras menunggu dengan raut wajah khawatir. Aku turun dari mobil memberikan selembar uang kertas berwarna merah kepada sopir, Bang Adnan yang melihatku kemudian menghampiri."Dik, kamu dari mana malam-malam begini? Di mana Zafran?"Aku tak menjawab ucapannya, berlalu meninggalkan ia menuju ke rumah Mbak Naumi. Bang Adnan mengekor mengikutiku ke rumah Mbak Naumi."Assalamualaikum, Mbak?" Kuketuk pintu rumahnya."Waalaikumsalam, sebentar,"terdengar jawaban salam dari dalam rumah Mbak Naumi."Sudah sampai, Kinan? Zafran sudah tidur sedang dijaga Bang Leo. Sebentar aku jemput, ya?""Terimakasih, Mbak."Mbak Naumi tersenyum dan meninggalkan kami untuk mengambil Zafran.Tak berapa lama ia datang sambil menggendong Zafran yang tengah terlelap."Biar Abang yang gendong, Dik"Lagi-lagi aku lebih memilih diam, Mbak Naumi menyerahkan Zafran kepada Bang Adnan,
Sayup-sayup kudengar Bang Adnan mengetuk pintu dan memanggilku. Kulirik jam dalam ponsel ternyata sudah subuh."Dik, bangun. Ayo shalat Subuh, Dik?"Aku tak menjawabnya dan duduk di pinggir ranjang."Dik, apa belum bangun?" Bang Adnan kembali bertanya dari luar. Aku beranjak membuka pintu, terlihat Bang Adnan membawa sebuah nampan berisi susu dan roti."Shalat dulu, Dik. Minum susunya, badanmu terlihat sangat kurus."Aku melangkah meninggalkannya begitu saja, masuk ke kamar dan bersiap untuk mandi. Setelah selesai mandi aku putuskan untuk menyusul Bang Adnan di ruang shalat. Terlihat ia sudah rapi bersiap hendak melakukan ibadah, aku berdiri di belakangnya tanpa ada pembicaraan. Seberapa bencinya aku, dia masih imamku. Di hadapan Allah aku tak boleh membencinya.Setelah shalat selesai, aku masih mencium tanganya meskipun aku tak mengeluarkan sepatah kata, aku tetap menyambut uluran tangannya.Saat hendak menarik tanganku, Bang Adnan memegangnya dengan erat. Menatap mataku sontak aku
"Kinan!"Aku yang tengah menidurkan Zafran kaget mendengar suara teriakan ibu mertua dari luar. Bang Adnan sedang tak berada di rumah. Ia tadi izin hendak mengantar Lulu periksa ke dokter. Meskipun sakit hati ini, aku tetap memberinya izin. Ia bilang hanya ingin menjadi ayah yang baik, aku tak peduli. Toh aku hanya mengulur waktu untuk menceraikannya, menyusun rencana agar masa depan anak-anakku tak ada ancaman."Kinan! Kinan! Buka pintunya menantu durhaka kamu!" serunya tak henti dan terus mengetuk pintu dengan keras.Aku tidak tahan mendengar teriakan ibu memilih mengalah dan membukakan pintu."Astaga, Ibu yang terhormat bisakah Ibu biasakan berucap salam. Aku takut jika ada reporter yang lewat kemudian merekam aksi tidak terpuji Ibu, nanti mencoreng nama baik putra tersayang Ibu," sindirku."Halah, banyak bicara kamu! Maksudmu apa menyuruh Adnan menceraikan Lulu setelah ia melahirkan? Mau membuat Ibu malu di depan keluarganya?""Lebih baik malu di depan manusia daripada di depan tu
Ponselku berdering panggilan dari asrama Zain tinggal. Aku mengatur nafas agar tak terdengar tengah menangis. Kuucapkan salam setelah menggeser tombol ponsel berwarna hijau. Jawaban salam terdengar dari seberang telepon serta Zain yang tak sabar menanyakan kabar."Alhamdulillah, Zain. Umi rindu, Nak? Zain, apa kabar, Sayang?" jawabku."Zain sehat, Umi. Bagaimana dengan Umi dan Abi?""Alhamdullillah, Umi dan Abi sehat, Nak.""Alhamdulillah. Umi, baik-baik saja, kan?""Iya, Nak. Umi tidak apa-apa.""Maaf, Umi. Pasti sulit menghubungi Zain?""Tidak apa-apa, Nak. Yang penting Zain di sana jaga diri baik-baik.""Iya, Umi. Kalau begitu Zain tutup. Zain akan telpon lagi kalau ada waktu senggang.""Iya, Sayang. Assalamualaikum.""Walaikumsallam, Umi."Aku kembali terisak membayangkan bagaimana hancurnya hati anakku ketika pulang mendapati abi dan uminya telah berpisah, tapi mau bagaimana lagi aku tak mungkin melanjutkan pernikahan yang sudah tak sehat ini. Lebih baik aku mengalah, berharap Za
Pintu maaf kini tertutup rapat. Kesalahan yang mendalam tertinggal jauh dalam jejak perjalanan. Semua yang terjadi tak mungkin bisa diulang kembali, hanya kata maaf atas khilaf yang kukulakukan dapat kuucapkan.Tujuh belas tahun bersama akhirnya aku gores dengan luka hati seorang wanita yang mampu menemani kala hidupku hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain. Ia dengan sabar dan lapang dada menerima semua kekuranganku, tapi semua harus berakhir karena kebodohanku.Semua berawal dari pertengkaran dengan ibu yang meminta aku menikahi kembali anak temannya, dengan alasan ia sudah berjanji ketika ayah masih hidup ibu telah menjodohkan kami terlebih lagi dia seorang janda. Ibu menggunakan dirinya sebagai kelemahanku untuk mengikuti semua egonya.Bukan aku langsung menerimanya kembali. Aku sudah menolak, tetapi kegigihan ibu untuk membuatku rujuk dengan wanita itu akhirnya membuat hatiku luluh. Pun ibu berjanji setelah aku menikahi Lulu ia akan menyayangi Kinan istriku. Akhirnya aku da
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera