Kami bercanda ria hingga sore. Aku harus ikut tersenyum menutupi perasaanku yang sakit ini, tak apa ini demi anakku dan juga membongkar siapa yang ikut menutupi semuanya.
Ketika tengah asyik mengobrol ibu datang bersama Mbak Zahra juga Raihan anak angkatnya yang baru berumur dua tahun.
"Assalamualaikum?" ibu dan Mbak Zahra mengucap salam.
"Walaikum sallam," kami menjawab salam bersama.
"Biar Abang buka."
Bang Adnan membukakan pintu untuk ibu, aku tetap duduk diruang tv bersama Zain.
"Wah, keponakan ganteng Abi." Bang Adnan mengambil Raihan dari gendongan Mbak Zahra.
Memang Bang Adnan membiasakan keponakannya itu dengan sebutan abi. Ibu bilang kasihan ia tak punya Ayah sementara suami Mbak Zahra yang seorang pelaut pulangnya setahun sekali. Aku sih tak peduli, terserah saja yang penting tidak mengusikku.
"Kok, Raihan mirip Abi, ya?"
"Uhukkk uhuuuk."
Pertanyaan Zain membuat Bang Adnan yang sedang minum tersedak.
"Kenapa, Bang? Kalau minum pelan-pelan."
"Kamu ini Zain, ada-ada aja. Mana ada Raihan mirip abimu?"
"Tapi kalau dilihat-lihat memang benar loh, Mbak. Tahi lalatnya, alisnya, juga bibirnya mirip Bang Adnan?"
Aku mulai memperhatikan Raihan.
"Halah, kamu ini bilang aja gk suka anakku dekat dengan Adnan!"
"Loh, tante kenapa kesal? Kan umi cuma memberikan pendapat"
Zain mulai membelaku.
"Sudah... sudah! Begini saja jadi ribut!"
Bang Adnan menengahi perseteruan kami.
"Ini minum teh dulu, Bu."
Aku meberikan teh kepada ibu dan mbak Zahra.
Ibu hanya tersenyum sinis sama saja seperti mbak Zahra
"Ada apa, Bu? Tumben sekali ke sini?"
tanya Bang Adnan, karena memang ibu tak pernah ke sini karena membenciku. Dia biasa ke sini jika rindu dengan Zain saja.
"Besok kamu ke Jogja, Nan? Ibu ikut, ya?"
"Untuk apa ibu ikut?"
"Ibu Rindu sama... Em.. ibu ada janji dengan teman ibu yang lama. Kan lumayan kalo sama kamu gak bawa mobil sendiri, mbakmu mana mau."
"Sama Mbak Zahra dan Raihan juga?"
"Ya, iya lah, Nan, Mbak juga kan pengen jalan-jalan."
"Terserahlah."
Ibu tersenyum gembira begitu juga dengan Mbak Zahra.
Aku tidak tau kenapa mereka masih membenciku padalah kami tak semiskin dulu. Aku pun sudah berusaha sekuat tenagaku membahagiakan mereka, tetapi tidak ada benarnya. Jika aku tak memberi aku tak pernah dipandang oleh mereka.
"Ini aku tadi belikan baju untuk ibu dan tas untuk Mbak Zahra."
"Waaaah, gitu dong nyenengin orang tua."
Aku hanya tersenyum. Ibu dan Mbak Zahra membukanya, mereka tampak kegirangan.
"Makasih ya, Kinan. Ibu pulang dulu mau siap-siap biar besok pagi gak repot. Zain besok juga berangkat, ya? Cucu pintar Nenek."
Ibu memeluk Zain dan mengacak rambutnya.
"Iya, Nek. Cuma dua pekan, lepas itu berangkat ke Kairo."
"Alhamdulilah, Sudah besar cucu Nenek. Nenek pamit, ya?"
Zain mengambil tangan ibu dan Mbak Zahra kemudian menciumnya, kami mengantar sampai teras.
Malam ini aku tak bisa tidur membayangkan tiket yang ada di koper Bang Adnan. Haruskah aku mengikutinya?
Aku mengotak atik ponsel. Mencari nama temanku dan bertanya pendapatnya melalui media sosial, kemudian memesan tiket yang sama dengan Bang Adnan melalu penjualan tiket online. Aku sudah memutuskan untuk mengikutinya, hanya mengikutinya pikirku. Dengan tergesa aku menutup ponselku saat Bang Adnan masuk kekamar.
"Sudah tidur Zafran, Bang?"
Bang Adnan yang nenidurkan Zafran tadi, dia selalu seperti itu jika hendak berpergian.
"Sudah, Dik."
Bang Adnan masih memandangiku yang masih setia berada di depan cermin meja rias.
"Ada apa, Bang?"
"Abang rindu, Dik?"
Memang setelah melahirkan Zafran hingga dua bulan aku belum memberikan hak Bang Adnan.
"Tunggulah Abang pulang dari Jogja."
Aku tersenyum manja kepada Bang Adnan, ini adalah jurus andalanku jika meminta atau menolak sesuatu dari Bang Adnan.
Maafkan aku, ya Allah. Jika aku berdosa. Sungguh aku ingin memastikan terlebih dahulu ada apa dibalik ini semua.
Bang Adnan menghembuskan nafasnya, kemudian memelukku dari belakang.
"Maafkan abang, ya, Dik."
"Untuk apa Abang meminta maaf? Adakah sesuatu yang Abang sembunyikan dariku."
"Em, tidak. Abang hanya tak ingin berpisah darimu."
Aku berbalik dan menatap wajahnya kemudian tersenyum manis.
"Kenapa Abang begitu cemas? Allah selalu punya rencana, bukankah abang pernah berkata kepadaku, syukuri apa yang kita miliki jika kita tidak serakah Allah tak akan mengambilnya."
Bang Adnan menunduk entah apa yang ia pikirkan.
"Jika Abang berbuat kesalahan, apakah kamu mau memaafkan Abang?"
Aku kembali berbalik dan menatap cermin.
"Apa yang Abang perbuat? Abang, lelaki sempurna. Tahu ilmu agama, rajin bersembahyang, paham ajaran Allah, kesalahan apa yang akan abang perbuat? Jika abang tau itu dosa tak mungkin akan abang lakukan kan?"
"Agama dan ajaran serta sembahyang adalah kewajiban umat muslim dik, tapi Abang hanya manusia biasa bukan malaikat."
"Aku semakin penasaran apa yang tengah Abang lakukan hingga berfikir aku akan meninggalkan Abang?"
Aku terus memancing Bang Adnan siapa tau dia mau jujur dan keluar dari perbuatan dustanya.
"Tidak ada Dik. Abang takut tak akan menjadi imam yang baik untukmu."
"Semua itu tergantung, Bang. Jika Allah sudah merencanakan semuanya, apalah kita yang hanya menjalankan skenarionya."
Aku mengusap pipinya, mungkin ini akan jadi akhir aku berbuat manis kepadamu bang jika nanti semua terbongkar aku bisa saja meninggalkanmu.
"Sudahlah, Bang. Ayo kita tidur. Untuk apa kita membahas perpisahan yang tidak kita inginkan."
Bang Adnan hanya mengangguk dan mengikutiku berbaring. Ia tidur dengan memelukku sangat erat, sampai aku hendak bangun saja susah, takut membangunkannya.
Berlahan aku singkirkan tanganya yang masih di pinggangku, dengan sangat hati-hati aku turun untuk mengambil ponsel Bang Adnan. Tak ada pola atau kunci pada layar,begitupun chat media sosialnya, tak ada yang mencurigakan.
Aku sempat bingung jika benar wanita itu dan Bang Adnan ada hubungan, lalu bagaimana mereka berkomunikasi? Selama di rumah tak ada aku melihat Bang Adnan menjawab telepon dari orang lain kecuali dari pengurus-pengurus acara yang hendak berlangsung atau orang yang mengatur jadwalnya, Mas Seno.
Lalu tiket itu untuk siapa? Jelas di situ paket perjalanan honey moon. Aku meletakan kembali ponsel Bang Adnan, kemudian berjalan menuju kamar putra-putraku. Aku hanya melihatnya dari balik pintu, kedua putraku tengah tertidur lelap. Aku kembali kekamar untuk melanjutkan istirahatku agar aku punya tenaga untuk mengungkap segalanya.
Sarapan sudah aku siapkan juga bekal untuk Bang Adnan dan Zain. Bang Adnan dan Zain tengah melakukan olahraga kecil di halaman rumah.Setelah membersihkan peralatan masak yang tadi aku gunakan, rumah juga sudah rapi aku putuskan untuk memandikan Zafran yang tengah asyik bermain dalam strollernya.Zafran sudah rapi, aku panggil Bang Adnan dan Zain untuk bersiap, setelah itu baru sarapan, aku pun akan membersihkan diriku dulu."Abang, Zain, sudah siang. Ayo, bersiap?Abang Adnan dan Zain berlari menghampiriku dan Zafran."Ganteng Abi, sudah wangi rupanya," ucap Bang Adnan."Iya dong, memang Abi masih asem."Aku meninggalkanya dengan sedikit ledekan. Zain sudah berlalu untuk bersiap. Tak berapa lama Zain turun sudah mengenakan jaz dari pesantren."Zain, Umi titip Zafran, ya? Umi mau mandi sebentar.""Iya, Umi."Zain mengambil Zafran d
Aku memesan taxi online menuju Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah. Aku tak memberitahukan kepulanganku kepada bunda Salamah. Sudah satu tahun aku tak berkunjung ke sana. Aku hanya mengobrol lewat telepon untuk menanyakan kabar kepada Bunda Salamah. Dari jauh kulihat Bunda Salamah dengan beberapa anak tengah menyapu halaman."Assalamualaikum," ucapku membuat semua orang menoleh kepadaku."Walaikum sallam," serempak mereka menjawab salamku."Ya Allah, Kinan? Kenapa tidak telpon dulu, Nak?"Aku memeluknya Air mataku tumpah dalam pelukannya."Ada apa, Kinan? Sebentar Bunda ijin dulu kita pulang ke rumah bunda saja."Aku mengangguk.Banyak anak-anak melihat ke arahku. Aku menyapa mereka dengan senyuman. Bunda Salamah mengambil Zafran dari gendonganku kemudian membawanya masuk. Aku menunggu dan bermain bersama anak-anak panti. Mengingat dulu aku besar dan tumbuh di sini, di bawah kasih sayang Bunda Salamah.Beliau bilang ada seseorang yang memasrahkan dan memohon untuk mengurusku, tetapi ia
Tiga hari berada di rumah Bunda Salamah mebuat pikiranku sedikit tenang. Hari-hari aku hanya bermain dan berbagi cerita dengan anak yatim. Menyumbangkan begitu banyak buku-buku untuk mereka, dan membaca banyak buku dengan mereka. Selama tiga hari aku belajar sedikit demi sedikit bahasa Inggris. Mbak Naumi menawarkan bantuannya ketika aku hendak ke Jepang nanti sebagai penerjemah melalui telepon.Hari ini aku akan berangkat ke Jepang akupun sudah memesan tiket dari Jepang kembali ke Indonesia. Zafran aku titipkan ke bunda. Beruntung, karena Zafran anak yang anteng jadi aku tak begitu khawatir."Bunda, aku titip Zafran. Aku tidak lama setelah tau semuanya aku akan kembali.""Kamu hati-hati, Nak. Berdoa sama Allah meminta perlindungan."Bunda memeluku."Iya, Bunda. Assalamualaikum?""Walaiukum sallam."Aku terbang langsung dari solo ke Tokyo. 12 jam perjalanan aku sampai di Tokyo. Aku melihat aplikasi pelacak, mencari di mana Bang Adnan berada sekarang, ternyata dia ada di Yoyogi Park.
Sampai di bandara aku menuju ruang Arrivals, kemudian melakukan Check-in untuk melakukan pendaftaran ulang. Setelah itu, aku dipersilahkan naik pesawat kemudian memberikan kartu pengenal. Aku lega, karena sudah berada di dalam pesawat. Saat pesawat hendak lepas landas aku kembali melihat ponsel yang belum dimatikan. Kulihat pesan-pesan dari Bang Adnan. Menghapusnya begitu saja dan tak ingin tahu apa yang ia kirimkan. Selama dua belas jam perjalanan aku hanya termenung mencoba mengistirahatkan tubuh dan otak, tetapi mata tak mau terpejam. Aku memasang headset mendengarkan lagu-lagu sholawat hingga tak sadar dalam tangis aku tertidur. Aku bermimpi Bang Adnan akan mengambil anak-anak jika aku tak menerima istri barunya. Hingga dalam tidur aku menangis sampai sesak, beruntung ada wanita baik yang duduk di sebelahku kemudian membangunkanku."Apakah Anda mimpi buruk?" kata wanita itu bertanya. Setelah itu ia memberikan aku segelas air. Aku hanya mengangguk."Takdir ada di tangan Tuhan, t
Kupandangi jalanan ramai orang berlalu lalang, hingga mobil yang aku sewa sampai depan rumah. Aku melihat Bang Adnan tengah duduk di kursi teras menunggu dengan raut wajah khawatir. Aku turun dari mobil memberikan selembar uang kertas berwarna merah kepada sopir, Bang Adnan yang melihatku kemudian menghampiri."Dik, kamu dari mana malam-malam begini? Di mana Zafran?"Aku tak menjawab ucapannya, berlalu meninggalkan ia menuju ke rumah Mbak Naumi. Bang Adnan mengekor mengikutiku ke rumah Mbak Naumi."Assalamualaikum, Mbak?" Kuketuk pintu rumahnya."Waalaikumsalam, sebentar,"terdengar jawaban salam dari dalam rumah Mbak Naumi."Sudah sampai, Kinan? Zafran sudah tidur sedang dijaga Bang Leo. Sebentar aku jemput, ya?""Terimakasih, Mbak."Mbak Naumi tersenyum dan meninggalkan kami untuk mengambil Zafran.Tak berapa lama ia datang sambil menggendong Zafran yang tengah terlelap."Biar Abang yang gendong, Dik"Lagi-lagi aku lebih memilih diam, Mbak Naumi menyerahkan Zafran kepada Bang Adnan,
Sayup-sayup kudengar Bang Adnan mengetuk pintu dan memanggilku. Kulirik jam dalam ponsel ternyata sudah subuh."Dik, bangun. Ayo shalat Subuh, Dik?"Aku tak menjawabnya dan duduk di pinggir ranjang."Dik, apa belum bangun?" Bang Adnan kembali bertanya dari luar. Aku beranjak membuka pintu, terlihat Bang Adnan membawa sebuah nampan berisi susu dan roti."Shalat dulu, Dik. Minum susunya, badanmu terlihat sangat kurus."Aku melangkah meninggalkannya begitu saja, masuk ke kamar dan bersiap untuk mandi. Setelah selesai mandi aku putuskan untuk menyusul Bang Adnan di ruang shalat. Terlihat ia sudah rapi bersiap hendak melakukan ibadah, aku berdiri di belakangnya tanpa ada pembicaraan. Seberapa bencinya aku, dia masih imamku. Di hadapan Allah aku tak boleh membencinya.Setelah shalat selesai, aku masih mencium tanganya meskipun aku tak mengeluarkan sepatah kata, aku tetap menyambut uluran tangannya.Saat hendak menarik tanganku, Bang Adnan memegangnya dengan erat. Menatap mataku sontak aku
"Kinan!"Aku yang tengah menidurkan Zafran kaget mendengar suara teriakan ibu mertua dari luar. Bang Adnan sedang tak berada di rumah. Ia tadi izin hendak mengantar Lulu periksa ke dokter. Meskipun sakit hati ini, aku tetap memberinya izin. Ia bilang hanya ingin menjadi ayah yang baik, aku tak peduli. Toh aku hanya mengulur waktu untuk menceraikannya, menyusun rencana agar masa depan anak-anakku tak ada ancaman."Kinan! Kinan! Buka pintunya menantu durhaka kamu!" serunya tak henti dan terus mengetuk pintu dengan keras.Aku tidak tahan mendengar teriakan ibu memilih mengalah dan membukakan pintu."Astaga, Ibu yang terhormat bisakah Ibu biasakan berucap salam. Aku takut jika ada reporter yang lewat kemudian merekam aksi tidak terpuji Ibu, nanti mencoreng nama baik putra tersayang Ibu," sindirku."Halah, banyak bicara kamu! Maksudmu apa menyuruh Adnan menceraikan Lulu setelah ia melahirkan? Mau membuat Ibu malu di depan keluarganya?""Lebih baik malu di depan manusia daripada di depan tu
Ponselku berdering panggilan dari asrama Zain tinggal. Aku mengatur nafas agar tak terdengar tengah menangis. Kuucapkan salam setelah menggeser tombol ponsel berwarna hijau. Jawaban salam terdengar dari seberang telepon serta Zain yang tak sabar menanyakan kabar."Alhamdulillah, Zain. Umi rindu, Nak? Zain, apa kabar, Sayang?" jawabku."Zain sehat, Umi. Bagaimana dengan Umi dan Abi?""Alhamdullillah, Umi dan Abi sehat, Nak.""Alhamdulillah. Umi, baik-baik saja, kan?""Iya, Nak. Umi tidak apa-apa.""Maaf, Umi. Pasti sulit menghubungi Zain?""Tidak apa-apa, Nak. Yang penting Zain di sana jaga diri baik-baik.""Iya, Umi. Kalau begitu Zain tutup. Zain akan telpon lagi kalau ada waktu senggang.""Iya, Sayang. Assalamualaikum.""Walaikumsallam, Umi."Aku kembali terisak membayangkan bagaimana hancurnya hati anakku ketika pulang mendapati abi dan uminya telah berpisah, tapi mau bagaimana lagi aku tak mungkin melanjutkan pernikahan yang sudah tak sehat ini. Lebih baik aku mengalah, berharap Za
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera