Aku termenung mendengar ucapan Bang Adnan, ia ingin pernikahan rahasia? Padahal aku ingin sekali mengabarkan kepada dunia aku telah memiliki suami yang tampan dan seorang ustaz. Ah, sekarang dia justru memintaku untuk menutup semua akses media, itu sangat berbanding terbalik denganku. Sebenarnya aku au ingin memberontak, aku ingin dunia tahu dia milikku, tetpai apa boleh buat, demi mendapatkan hatinya aku harus menurut kepadnaya. Akupun tak ingin kehilangannya.Aku masih menatap Bang Adnan yang meneguk habis teh hangat yang telah kuberi obat perangsang itu, aku menelan ludah sendiri melihat ia sudah berjalan ke sofanya. Sesuai rencana gegas aku berganti pakaian, lingerie merah yang selalu menjadi favoritku, itu pasti akan menantangnya. Keluar dari kamar mandi dengan baju mini itu, tetapi Bang Adnan sama sekali tak melirik, ia masih sibuk membaca bukunya. Aku menghampiri meja rias dan duduk di depan cermin besar, menyisir rambutku perlahan, memoles gincu dengan war
Pagi-pagi sekali Mbak Zahra dan ibu sudah datang ke rumah membawakan makanan untukku dan Bang Adnan, kebetulan sekali aku memang belum mencari pembantu untuk mengurus rumah karena memang aku tak pandai memasak. jika Bang Adnan keluar aku akan memesan makanan lalu menyajikannya seolah akulah yang memasak semuanya. Ia menikmati tanpa sedikitpun rasa curiga.“Makasih Bu,” ucapku manja sambil menerima bingkisan dari ibu mertua tercintaku itu.“Dumana Adnan?” tanya ibu.“Ada di halaman belakang lagi nelpon istrinya,” jawabku sambil berlalu menuju dapur bersiap memindahkan semua makanan yang dibawa ibu.“Pagi-pagi udah nelpon Kinan, bener-bener nggak menghargai kamu banget Adnan,” ucap Mbak Zahra kesal.“Kamu yang sabar, pelan-pelan aja ambil hati Adnan. Nanti juga dia bakalan jatuh di pelukan kamu, palingan enggak lama, kalau kalian udah punya anak pasti dia makin cinta sama kamu,” tutur ibu yang membuat aku semakin bersemangat untuk merebut hati Bang Adnan.“Tapi aku sedikit kesel sama Ba
Sebelum aku mengatakan apapun Bang Adnan sudah meninggalkanku bersama bubur yang tak lagi hangat itu, aku hanya mendengus kesal. Ingin rasanya aku merajuk dan membiarkan ia pulang ke rumah istri tuanya itu, tetapi hatiku sebagian tak terima. Bagaimanapun aku tidak boleh kalah dengannya.Kubawa kembali bubur yang tidak disentuh oleh Bang Adnan ke dapur, kubuang teh yang sudah dingin. Setelah itu aku keluar berniat menyusul Bang Adnan yang pergi keluar, tetapi sampai di luar tak kudapati Bang Adnan di ruang keluarga maupun di halaman, mungkin ia pergi batinku.Sampai malam Bang Adnan belum juga kembali, aku masih setia duduk di ruang televisi, tetapi hampir jam sepuluh dia belum kunjung pulang. Pikirku dia sudah kembali ke rumah istrinya. Beberapa saat kemudian terdengar suara motor memasuki halaman rumah, kulihat dari balik jendela ternyata Bang Adnan yang datang menggunakan ojek, ia memang tak membawa mobil ke rumah ini. Mungkin takut jika istrinya akan curiga karena ia beralasan ada
Aku menangis tersedu di bahu Mbak Zahra, setelah menghubunginya tadi ia dengan cepat datang bersama ibu, menenangkanku yang lmasih terus menangis.“Udah, nanti biar Ibu yang ngomong sama Adnan,” bujuk ibu sambil membelai lembut kepalaku.“Tapi kan kita cuma nikah siri Bu, jatuh talak berarti kami udah cerai,” ucapku.“kalau Adnan bilang rujuk kan kalian udah rujuk,” jawab Mbak Zahra.Aku tak mengerti dengan hukum agama karena fakirnya ilmu keagamaan, semuanya kuserahkan kepada ibu dan Mbak Zahra.…..Beberapa hari setelah Bang Adnan menjatuhkan talak kepadaku tak ada hubungan komunikasi diantara kami, ia memblokir semua kontak. Mungkin ia terlalu kecewa kepadaku. Aku mendengus kesal dan kembali terduduk di pinggir ranjang. Mungkin akhirnya aku akan melepas Bang Andan, pikirku setelah tak ada lagi niat baiknya untuk memaafkanku meski berulang kukirim permintaan maaf kepadanya. Meminta bertemu untuk bicara.Lelah dengan usahaku yang mungkin hanya sebiji jagung, mungkin aku perlu libura
“Apa yang tidak kuberi untukmu? Semuanya kuberikan dan kamu justru mengkhianatiku dengan lelaki itu, lelaki yang selama ini menumpang hidup denganku?” tanya papa.“Dia lebih segalanya darimu Mas, kamu aja yang enggak tahu dia seperti apa. Dia memberikan kehangatan yang tidak pernah kamu berikan, dan sekarang dia lebih kaya dibanding kamu,” jawab mama lantang. Seharusnya mama diam dan meminta maaf saja kepada papa agar semuanya tak semakin runyam, rupanya ego dan kepentingannya tak mengingat apa yang telah papa lakukan untuknya.Sekali lagi kudengar benda jatuh dan suara tamparan. “Bunuh saja aku, bunuh!” seru mama di sela-sela suara benda terjatuh.Aku tidak ingin papa mendekam di penjara jika sesuatu terjadi kepada mama, pintu yang semula terbuka sedikit perlahan kudorong, gambaran keduanya beradu tangan semakin jelas di depan mataku.“Papa, sudah,” lirihku bersama isak tangis.Papa tak mendengar, ia kalap dengan emosinya. Ia semakin gencar memukul mama, saat papa lengah karena mung
Pagi-pagi papa membawaku ke rumah nenek, rumah yang tidak semegah rumah papa tetapi cukup asri. Nenek menyambut kami dengan air mata, mungkin ia tahu masalah yang menimpa papa. Sudah lama kami tak berkunjung ke rumah nenek, terakhir kami berkunjung saat aku lulus TK, sudah lama sekali. Semenjak papa sibuk memang jarang datang ke rumah nenek. Papa hanya mengirim uang, itu pun terkadang sering ribut dengan mama, meski begitu papa tetap mengirim jatah nenek setiap bulannya. Papa selalu memberitahuku agar aku tahu, uang mungkin tidak terlalu berarti tetapi jika kita sudah mampu jangan lupa dengan kehidupan orang tua.“Lulu udah makan, Nak?” tanya nenek, aku menggeleng memang sejak tadi aku belum makan. Perjalanan yang memakan waktu lima jam tak seikitpun papa membelikan makanan untukku. Papa mengganti roti dari ia menjual jam tangannya yang mahal tetapi hanya diganti dengan dua buah roti dan minuman. Meskipun aku masih kecil aku mencoba mengerti keadaan papa saat ini, dan aku tak ingin me
“Papa kenapa Mama jahat?” tanyaku, aku sudah berdiri diantara keduanya. Pertanyaan itu tak dapat lagi kusembunyikan.“Lulu….” Papa terkejut melihatku yang sudah berdiri tak jauh darinya. Papa meraih tubuhku dalam dekapannya. “Mama enggak jahat Sayang,” jawab papa mencoba mengukir senyum dan menghapus air matanya.“Terus kenapa Mama jahat sama Nenek?”Nenek mendekatiku. “Mama enggak jahat Sayang, bagaimanapun dia tetap mamanya Lulu, Nak,” jawab nenek.Aku tahu papa dan nenek hanya tidak mau aku membenci mama, tetapi penghianatan mama kepada papa dan nenek membuatku semakin membencinya. Mulai saat ini sudah kupastikan aku hanya mempunyai papa dan nenek, mama bukan lagi siapa-siapa bagiku.….Lima tahun kemudian, kehidupanku dan papa semakin membaik, meski kami tak bergelimang harta seperti dulu. Perlahan kami bangkit dari keterpurukan, disini tak ada yang tahu jika papa bangkrut karena tuduhan penggelapan dana yang sebenarnya hanya fitnah belaka. Mereka hanya tahu aku dan papa kembali k
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera