ZAFRAN POV'BERTEMU DENGANMU ADALAH NASIB, TAK BISA BERSATU DENGANMU ADALAH TAKDIR YANG TAK BERUJUNG'Apa yang lebih pahit dari perpisahan?Aku harus merelakan anak dan istri jauh dariku karena haramnya hukum perkawinan kita.Nadira istriku dia adalah adikku, adik seayah denganku. Bagaimana Allah bisa memberikan takdir yang begitu mengguncang hidupku?Nadira gadis Ayu yang kutemui saat aku tengah belajar di Mekkah. Gadis dengan kesopanan di atas rata-rata. Memang tak bisa kusamakan dengan Asiyah sang mawar Padang Pasir, tetapi cukup membuat aku begitu jatuh hati.Kami hanya bertemu beberapa kali. Ia sama sepertiku sedang menuntut ilmu. Hingga kucari informasinya, tak disangka ia memiliki perasaan yang sama denganku.Kuutarakan niat untuk menghalalkannya. Ia menerima dengan senang hati.Aku pikir setelah menikahinya kehidupanku akan menjadi lebih baik, tetapi sayangnya tidak.Cobaan terus menghantam bahtera rumah tangga kami. Setelah tiga bulan pernikahan kami Nadira mengandung anak pe
Dokter kembali melihat kondisi Farhan. Pagi itu ditemani dengan Dokter Spesialis Kardiologi. Hatiku berdebar menunggu hasil pemeriksaan Farhan.Sore hari kami baru mendapatkan informasi tentang kondisi Farhan."Pak Zafran, bisa ikut kami,"Seorang perawat memanggilku, aku mengikutinya masuk keruangan Dr.Irawan Hanum Wibowo, Sp. Jp(K)"Duduk, Pak," ucapnya ramah. Hatiku berdebar kencang menunggu ia mengatakan hasil pemeriksaan Farhan."Anak bapak kekurangan Variasi DNA sehingga sistem tubuhnya akan selalu melemah. Kita hanya bisa berdoa dan berharap semoga ia dapat bertahan. Selain itu, Farhan memiliki penyakit jantung bawaan," ucap Dokter Irawan menjelaskan.Ia kembali membuka lembaran kertas yang ada di depannya."Sistem kekebalan tubuh tergantung pada komponen penting dari DNA yang disebut Major Histocompatibility Complex (MHC). MHC terdiri dari sekelompok gen yang bertugas sebagai penangkal penyakit. Kunci agar MHC bisa bekerja dengan baik melawan penyakit adalah memiliki keanekar
Haruskah aku menerima kehamilan Nadira yang tak kami rencanakan. "Astagfirullah, apa yang aku pikirkan," batinku.Anak adalah anugrah, apapun keadaannya dia adalah sesuatu yang harus kita jaga.Nadira menangis dalam pelukan umi, hatiku terasa pilu melihat kondisinya. Baru beberapa bulan aku melihat kebahagiaan di wajahnya, wajah baby face yang selalu terlihat seperti anak kecil ketika ia merajuk, kini lagi dan lagi di banjiri air mata.Kulantunkan dzikir, berharap anakku segera terbangun. Namun, Allah berkehendak lain. Pagi itu adalah hari terakhir kami bersama Farhan. Allah kembali memanggil buah hati kami dalam pangkuannya.Tubuhku luruh ke lantai, menatap Farhan yang tak lagi bernapas. Perawat sudah mulai melepaskan semua alat yang membantu hidupnya selama ini. Aku beranjak menghampirinya. Kucium dan kupeluk Farhan untuk terakhir kalinya. Hatiku sakit harus melepas kembali sesosok malaikat yang baru hadir dalam keluarga kecilku."Sabar, Zafran." Abi berusaha menenangkanku yang ma
Setelah menebus segala obat Nadira kami akhirnya pulang pagi ini.Aku membawa barang-barang Nadira di bantu ayah. Ia baru datang karena urusan bisnisnya baru selesai dan sempat mengalami keritis hingga ia tak dapat menunggu Nadira kemarin."Jalan pelan-pelan saja, Nduk."Ibu menggandeng tangan Nadira bersama Zelia."Iya, Bu."Nadira melangkah dengan sangat hati-hati.Aku dan Nadira naik mobil bersama ibu dan ayah, Zelia menyetir mobil Bang Zain sendiri.Zelia hendak mampir ke toko buku mencari buku untuk keperluan kuliahnya. Ia mengambil kuliah kedokteran tak mau mengikuti aku dan Bang Zain yang memilih mengambil ilmu keagamaan. Dia bilang jika ia terlalu pintar agama ia takut menyinggung suaminya esok. Alasan yang tidak logis, tapi mampu membuat abi luluh. Padahal abi dulu bersikeras ingin mengirimnya ke Kairo.Meskipun begitu, abi mewanti-wanti Zelia dengan begitu keras bahkan aku dan Bang Zain harus ikut andil dalam mengawasinya atas perintah abi. Abi bilang anak perempuan jika sat
Selama kehamilan Nadira yang keempat ini aku selalu menemaninya. Aku tak pernah meninggalkannya. Terkadang aku membawanya ke pesantren Bang Zain untuk membuat konten YouTubeku bersama Bang Zain jika ia tak sibuk di restorannya. Ia hanya mengecek di restoran karena memang sudah ada yang menghandlenya.Umi dan ibu juga bergantian datang ke rumah melihat keadaan Nadira. Kami tak ingin anakku yang akan lahir ini mengalami nasib serupa seperti kakak-kakaknya.Malam ini terasa dingin, Nadira sudah terlelap dengan perut buncitnya yang sudah membesar. Kuusap perutnya dan membacakan doa, meminta kepada sang pemberi hidup agar bayi kami baik-baik saja. Tiba-tiba Nadira terbangun dan memegang perutnya sambil medesis seperti menahan sakit."Bang, perutku sakit sekali," lirihnya. "Ayo ke rumah sakit, Dik." Aku menuntunnya menuruni tangga. Tak tega melihat ia menahan sakit. Aku segera mengeluarkan mobil dan kembali menuntun Nadira masuk ke mobil.Kulajukan dengan bismillah menuju rumah sakit terde
Bang Zain mengajakku duduk lebih dulu di depan ruang rawat Nadira."Tenangkan dulu dirimu. Ada apa, Zafran? Katakan, apa sesuatu terjadi pada anakmu?"Aku menundukkan kepala, mengusap kasar wajahku. Air mata jatuh di pipi."Dokter bilang anakku mengalami Albinisme, dan kemungkinan besar karena perkawinan sedarah," ucapku lirih."Apa!Bang Zain menggelengkan kepalanya."Apa Nadira anak kandung Ayah dan Ibu?"tanya Bang Zain penuh penekanan. Ia tak sabar menunggu jawabanku. Aku menatapnya penuh tanda tanya besar. Tentu saja Nadira anak kandung ibu dan ayah."Tentu saja, Bang. Bagaimana bisa tidak. Ayah tak pernah membahas itu, tapi tunggu—."Aku mengingat kembali saat kami melakukan ijab kabul, ayah hanya menggunakan nama belakangnya 'Abdilah' ia tak ingin aku menyebut nama lengkapnya."Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?"tanya Bang Zain penasaran."Abang ingat saat aku mengucapkan ijab, Ayah menantangku dengan keras menyebut nama lengkapnya dan hanya menggunakan bin Abdillah.""Astaga, Ba
Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Bagai dibidik ribuan timah panas di dadaku. Sakit dan sangat sakit.Bagaimana aku bisa menjalin bahtera rumah tangga yang kuharapkan mendapatkan surga sebagai balasannya. Namun, justru dosa yang kutimbun di balik rumah tanggaku."Argh!" aku berteriak mengeluarkan semua yang tertahan dalam hatiku. Kusandarkan kepala di setir mobil dan menangis dengan keras. Biarlah orang akan memandangku heran.Berat aku meninggalkan Nadira. Wanita yang sangat aku cintai. Jika ada pilihan selain berpisah dengan Nadira aku lebih memilihnya.Kutatap foto di dasbor, fotoku bersama Nadira dan juga Farhan mereka tersenyum manis."Haruskah aku meninggalkanmu?" ucapku lirih. Air mata terus membasahi pipi. Aku ingin berjuang tetapi bagaimana bisa aku memperjuangkan orang yang haram untuk kumiliki?Dengan cara apa aku harus menghapus rasa cintaku kepada Nadira?Aku kembali melajukan mobil menuju istanaku bersama Nadira, tempat kami selalu memadu kasih bersama.Menapa
LIMA TAHUN KEMUDIANKupandangi potret Hanum dan Najwa yang terbingkai besar di ruang keluarga.Senyum keduanya membuat hatiku terasa tentram. Memang benar jika kita sudah mempunyai cucu, mereka akan mengambil hati kita dari kedua orang tuanya.Zelia menggandeng gadis berusia lima tahun itu menghampiriku. Gadis kecil dengan balutan gamis pink dan hijab senada membuatnya begitu terlihat cantik. Mata biru dan hidung mancung ia terlihat begitu sempurna. Hanya saja ia tak seperti yang lainnya. Kulit putih pucat yang harus ia sembunyikan sejak kecil dari matahari memberikan kecacatan dari sebuah kesempurnaan.Setiap tiga bulan kami harus mengontrol perkembangan Hanum. Beruntung tak ada penyakit lain dalam tubuhnya, hanya penyakit kulit sesekali menyerangnya."Oma?"Ia memelukku dengan erat membawa setangkai bunga untuku."Makasih, Sayang."Ia mencium pipiku berkali-kali. "Umi di belikan banyak bunga oleh Abi Erzhan, Hanum dapat satu dan itu buat Oma saja. Malas sekali, masa Hanum cuma di k
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera