Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Bagai dibidik ribuan timah panas di dadaku. Sakit dan sangat sakit.Bagaimana aku bisa menjalin bahtera rumah tangga yang kuharapkan mendapatkan surga sebagai balasannya. Namun, justru dosa yang kutimbun di balik rumah tanggaku."Argh!" aku berteriak mengeluarkan semua yang tertahan dalam hatiku. Kusandarkan kepala di setir mobil dan menangis dengan keras. Biarlah orang akan memandangku heran.Berat aku meninggalkan Nadira. Wanita yang sangat aku cintai. Jika ada pilihan selain berpisah dengan Nadira aku lebih memilihnya.Kutatap foto di dasbor, fotoku bersama Nadira dan juga Farhan mereka tersenyum manis."Haruskah aku meninggalkanmu?" ucapku lirih. Air mata terus membasahi pipi. Aku ingin berjuang tetapi bagaimana bisa aku memperjuangkan orang yang haram untuk kumiliki?Dengan cara apa aku harus menghapus rasa cintaku kepada Nadira?Aku kembali melajukan mobil menuju istanaku bersama Nadira, tempat kami selalu memadu kasih bersama.Menapa
LIMA TAHUN KEMUDIANKupandangi potret Hanum dan Najwa yang terbingkai besar di ruang keluarga.Senyum keduanya membuat hatiku terasa tentram. Memang benar jika kita sudah mempunyai cucu, mereka akan mengambil hati kita dari kedua orang tuanya.Zelia menggandeng gadis berusia lima tahun itu menghampiriku. Gadis kecil dengan balutan gamis pink dan hijab senada membuatnya begitu terlihat cantik. Mata biru dan hidung mancung ia terlihat begitu sempurna. Hanya saja ia tak seperti yang lainnya. Kulit putih pucat yang harus ia sembunyikan sejak kecil dari matahari memberikan kecacatan dari sebuah kesempurnaan.Setiap tiga bulan kami harus mengontrol perkembangan Hanum. Beruntung tak ada penyakit lain dalam tubuhnya, hanya penyakit kulit sesekali menyerangnya."Oma?"Ia memelukku dengan erat membawa setangkai bunga untuku."Makasih, Sayang."Ia mencium pipiku berkali-kali. "Umi di belikan banyak bunga oleh Abi Erzhan, Hanum dapat satu dan itu buat Oma saja. Malas sekali, masa Hanum cuma di k
Hari ini kami akan berangkat ke pulau Sumatera. Segalanya sudah dipersiapkan. Kami tertawa bahagia. Semua anggota keluarga ikut bersama kami termasuk Erzhan.Aku sudah tidak sabar untuk bertemu anakku Zafran. Setelah penerbangan dari Jakarta ke Sumatra yang memakan waktu hampir dua jam kami kini telah menginjakkan kaki di Padang.Tanpa menunggu lama kami menuju alamat yang telah dikirimkan oleh Zafran. Hamparan pantai terbentang luas. Kuhirup napas dalam-dalam. Menatap takjub lautan ciptaan yang maha kuasa. Anak-anak tak henti-hentinya memuji keindahan alam yang ada di depan kita.Air mata menetes, sebentar lagi aku akan berkumpul dengan anakku dan lengkaplah keluarga kami."Nanti kita main ke pantai dulu, ya? Kan, lumayan bisa sekalian liburan."ucap Zelia dengan senyum lebar mengembang.Ah, tentramnya melihat kebahagiaan anak cucuku.Bang Fatur memberikan alamat yang dikirim Zafran kepada supir.Gapura desa pariangan menjadi penyambut kami yang paling utama. Sejauh mata memandang h
ZAFRAN POVLima tahun silam aku bertahan dalam asa dan rasa. Memandangi gunung yang di kelilingi pohon begitu rimbun, embun pagi membelai pipi. Menahan setiap gejolak rindu yang bersarang di hati sebesar gunung merapi yang berdiri kokoh.Entah di mana kini aku berada. Kemarin kubaca tanda penunjuk arah masih di Bangka Belitung mentap matahari terbit di pantai dengan banyak bebatuan dan entah bagaimana aku bisa berada di desa yang begitu indah ini.Aku hanya terus menjalankan mobil ke mana jalan membawa. Semalaman aku hanya menatap gunung yang berdiri dengan gagah. Memandangi sekeliling, jauh mata memandang hamparan padi terbentang luas. Rumah-rumah warga dengan bentuk panggung, aku mulai menyadari telah sampai di Padang, ranah Minang dengan berbagai pesonanya. Susunan rumah warga yang bertingkat dengan jejeran yang sangat rapi. Ah, indah sekali.Aku turun dari mobil membentang kedua tangan dan berteriak dengan kencang. Aku tak peduli jika ada pasang mata yang menatap heran.Aku menang
Alarm pada ponsel berbunyi. Aku segera meraihnya dan mematikannya. Suara murotal Qur'an sudah ramai. Beranjak mengambil air wudhu hendak melakukan kewajiban dua rakaat.Setelah selesai melakukan ibadah aku kembali duduk di pinggir dipan. Mengambil ponsel yang tergeletak sekedar melihat wajah Nadira yang ada pada layar telepon.Dalam hati ingin sekali mendengar suaranya membangunkanku dengan kecupan lembut dan panggilan tersayangnya yang sedikit manja. Ah, manis sekali jika mengingat masa-masa indah itu.Aku kembali meletakan ponsel dan bersiap hendak keluar. Bagaimanapun aku harus melanjutkan hidup. Tak mungkin terus terdiam sementara aku dengan sadar meminta hunian kepada orang asing.Cahaya matahari sudah mulai menampakkan wajahnya di dataran yang begitu indah ini. Bunga-bunga bermekaran di pinggir jalan, kicauan burung menjandi penyambut pagi hari.Kuketuk pintu kayu milik Pak Somad dan mengucap salam, jawaban salam langsung terdengar dari dalam.Pak Somad keluar sudah memakai capi
Setiap hari aktifitasku selalu sama bersama Pak Somad. Hingga sudah satu tahun aku tinggal di pondok Pak Somad. Berkas-berkasku tertinggal di Jakarta jadi aku tak bisa melamar pekerjaan.Aku menjual mobil untuk membeli sawah dan kebun. Menyambung hidup sebagai petani biasa. Aku mulai bangkit dari rasa kehilangan. Meskipun tak semudah yang aku bayangkan belajar bertani cukup menyita waktu sehingga aku tak terlalu ingat dengan Nadira dan putriku.Aku sesekali mengabari umi, tapi tak kuberitahu di mana keberadaanku kini. Aku dan umi tak pernah membahas Nadira ketika menelpon.Aku tak tau bagaimana keadaannya, aku takut hatiku akan semakin sakit jika mendengar ia menderita. Aku takut imanku tak lagi kuat. Aku sudah rapuh.Sore ini kupandangi senja yang sudah mulai menampakkan sinar kuningnya. Aku duduk seorang diri di belakang pondok. Tanganku asik memainkan ranting kayu. Kupandangi hamparan sawah milik Pak Somad yang sudah menguning. Padi-padi menunduk, karena keberatan isi.Pak Somad da
Pikiranku tak fokus, aku terus menatap di mana Alina duduk saat mengajar ngaji. Suara indah itu tak terdengar dan aku sudah rindu suara yang selalu melantukan ayat suci Al-Quran dengan merdu. Jika mendengar suaranya hatiku terasa tentram seolah sakit yang aku rasakan selama ini tak lagi bersarang di lubuk hatiku."Zafran?"Hamid menepuk pundakku, lelaki itu memandangku heran karena sedari tadi aku tersenyum sendiri memandang tempat di mana Alina selalu duduk."Apa kamu jatuh cinta,"tanya ustaz muda berpeci putih dengan sorban di bahunya itu. Ia seumuran denganku dan memiliki dua orang putra. Kadang aku iri melihatnya berjalan menggandeng putra kembarnya saat ke masjid."Ah, apa yang kamu katakan. Aku tak pantas untuk merasakan itu," ucapku lirih. Aku menunduk melihat barisan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang tercetak rapi. Mungkinkah secepat ini Allah merangkai ayat-ayat cinta dalam hatiku? Aku menggelengkan kepala mengingat kembali Nadira yang mungkin saja belum melupakan cinta kami."J
Tak ada lagi pembicaraan antara aku dan Alina setelah acara lamaranya hingga ia menikah dengan pemuda yang bernama Yoga itu. Setelah pernikahan mereka tiga bulan lalu, Alina ikut bersama Yoga ke kota. Tinggalah aku bersama Pak Somad, sementara Laila berada di pesantren. Aku sering tidur di rumah Pak Somad menemaninya ketika malam. Sekedar bercerita tentang masa lalu.Malam ini hujan begitu deras, aku masih menemani Pak Somad menonton televisi. Kulihat jam sudah pukul sebelas, tetapi Pak Somad belum beranjak dari depan tv biasanya jam sembilan ia sudah berbaring bersamaku di dipan kayu depan televisi.Pak Somad bilang perasaannya tak enak, hatinya tak tenang hingga ia tak dapat memejamkan mata. Akupun menemaninya mengobrol sambil menonton TV.Pintu rumah di ketuk Berkali-kali."Siapa yang bertamu malam-malam saat hujan, Pak?" tanyaku pada Pak Somad yang menggelengkan kepalanya."Biar aku buka."Aku berjalan cepat menuju pintu kayu itu dengan cepat menarik daun pintu karena tamu itu s
Setelah dua hari menunggu papa di rumah sakit, siang ini kuputuskan untuk menemui Om Andi di kantornya. Dua hari ini aku dan Om Andi hanya berhubungan lewat telepon. Ia ingin menjenguk papa tetapi aku melarangnya karena papa belum menerimanya.Kubawakan makanan kesukaannya, datang ke kantor tanpa mengabari lebih dulu. Senyum mengembang di bibirku setelah sampai di depan pintu ruangan Om Andi. Aku berencana akan memberikan surprise untuknya, kubuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah pintu terbuka pandangan di depan mataku membutaku tersenyum sinis.“Lulu,” panggil Om Andi setelah melihatku membuka pintu, dengan cepat ia jatuhkan seorang wanita yang semula di pangkuannya. Menutup kancing kemeja dan celananya sedikit gagap, rupanya benar kata papa, lelaki di depanku itu tidak baik untukku.“Lanjutin aja, aku cuma nganter makanan sekalian mau kasih tahu kalua mulai sekarang kita enggak ada hubungan apa-apa. Aku akan suruh sopir buat ambil barang-barangku.” Kuletakkan makan di meja da
“Sayang kamu enggak papa?” Om Andi menghampiriku yang masih terus terisak di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuhku.“Papa? Apa Papa sudah buta, mereka telah bermain di belakang Papa dan Papa masih mau sama dia!”“Apa maksudmu Clara, suamimu telah memaksa Lulu, dan kamu yang salah membawa lelaki itu ke rumah ini.”Clara ternganga mendengar jawaban Om Andi, yang meraka tidak tahu adalah kukirim pesan kepada Om Andi. hanya pesan suara minta tolong, rekaman suara yang sudah kupersiapkan sebelum menggoda Hans.“Aku takut Mas.” Kupeluk erat Om Andi.Di balik punggungnya aku tersenyum menatap Clara dan Hans yang sudah babak belur.Geram melihat tingkahku Clara melepas paksa pelukanku pada Om Andi kemudian menamparku berkali-kali. Aku hanya bisa menjerit tanpa berniat melawannya, membiarkan ia terus menjabak rambutku.“Hentikan Clara!” Om Andi menampar wajah Clara dan mendorongnya hingga jatuh.Begitulah mama dulu mendorongku, bagaimana rasanya? Hans dengan cepat meraih tubuh
Permainan yang begitu panas, keringat membasahi tubuh kami, desahan menggema di ruangan besar tempat kami memadu kasih. Om Andi begitu perkasa di ranjang, entah berapa menit kami saling bergumul diatas ranjang besar ini. Aku hanya bisa pasrah saat Om Andi menyerangku begitu ganasnya, mungkin karena berbulan-bulan kami tak melakukannya sehingga nafsu begitu besar.Om Andi mengerang setelah mencapai puncaknya, lalu terbaring lemas di sampingku."Makasih Sayang,” lirihnya dan mengecup keningku. “Mau hadiah apa?” sambungnya dengan mata terpejam mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya, dan melayang hingga ke langit ketujuh menikmati sisa-sisa surga dunia yang telah kuberikan.“Emm… rumah udah, mobil udah, apa ya?” Aku sendiri bingung mau minta apa lagi kepadanya, pasalnya semua sudah ia berikan kepadaku.Tak ada jawaban dari Om Andi, kulirik sekilas rupanya ia sudah terlelap. Aku tersenyum menatapnya, kenapa aku jadi jatuh cinta kepada lelaki di sampingku ini? Tak ingin tidur d
Kupastikan Om Adi menceraikan mama, tetapi aku enggan untuk dijadikan istrinya. Aku ikut mengantar Om Andi ke persidangan cerainya dengan mama, saat aku hendak pergi ke toilet tidak sengaja berpapasan dengan mama, setelah kejadian ia melabarakku mama selalu ingin bertemu denganku, tetapi aku selalu menolak. Aku malas meladeni air matanya, aku malas mendengar curhatnya.“Lulu,” panggil mama lirih.Kuputar badan dan menghadap mama dan menyunggingkan sudut bibirku. “Ada Apa?” jawabku datar.“Kenapa kamu lakuin ini sama Mama? Apa sekarang kamu sudah puas melihat Mama hancur?” Aku terbahak mendengar ucapannya, mama katanya. Dulu saat aku ingin memnaggilnya mama, mati-matian ia menolak dan sekarang ia mengatakan itu. “Bagaimana rasanya? Sakit?”“Mama minta maaf kalau Mama nyakitin kamu, ninggalin kamu, tapi Mama enggak bermaksud.…”“Lalu maksud Anda apa?” Kurapatkan tubuh kami nyaris tak berjarak, kupandang matanya yang sudah mulai mengembun. “Maksud Anda bagaimana? Anda menghancurkan hidu
“Kamu dulu pernah bilang kenal istriku dan bilang dia itu mamamu.” Om Andi melihatku begitu lekat, pandangnya tak membiarkanku sedikitpun berpaling.Sejenak aku terdiam, aku pikir ia tak ingat akan kejadian itu, atau tak akan mengenali aku. Rupanya aku salah, atau mungkin ia baru ingat karena bertengkar dengan mama.Aku tersenyum mengusap pelan pahanya. “Saat itu aku masih kecil, masih labil. Aku kehilangan Mama dan Mama itu mirip banget sama Bu Ratna, itu sebabnya aku sempat berpikir bahwa itu Mama,” kilahku.Namun, Om Andi tak bereaksi dengan jawabanku, ia masih setia menatapku tanpa sedikitpun berkedip. Aku harus mencari cara agar ia percaya. “Apa Om gak percaya denganku,” senyum yang semula di bibirku perlahan memudar berganti dengan rajukan manja.Dan tara… begitu mudahnya mengelabui buaya tua itu, dengan mudah ia percaya dengan ceritaku.“Syukurlah, karena jika itu kamu Om tidak akan bisa berpisah darimu.” Perlahan Om Andi membelai rambut dan pipiku. “Kamu selalu ada untuk Om,
“Clara.” Masih kupandang gadis yang sedang di gandeng mesra oleh Hans. Keduanya tampak bahagia di tengah pesta ulang tahun Hans. Aku pikir akulah yang akan memberikan kejutan kepada Hans, ternyata aku salah, justru aku yang di beri kejutan olehnya. Kulangkahkan kaki menuju keduanya yang sedang saling tersenyum satu sama lain.“hHns, apa-apaan ini?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.Hans memutar badan melihatku yang menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. Pasalnya sudah satu minggu ia tak menghubungiku, terakhir ia mengatakan akan keluar negeri dan kembali sebulan lagi. Nyatanya sekarang ia membuat pesta di apartemennya dan untunglah Anin tahu serta segera mengabariku, kupikir mungkin pesta kejutan untukku.“Ah, Lulu… kebetulan sekali kamu sudah datang tanpa diundang di pesta pertunanganku dengan Clara,” ucapnya dengan senyum manis. Kakiku gemetar mendengar jawabannya, aku tak pernah main-main dengannya, cintaku tulus padanya meskipun ia seringkali meminta banyak barang mewah
“Rais,” ucap lelaki itu memperkenalkan diri. Rupanya dia anak satu-satunya ibu mecca. Kami saling berkenalan, wajah tampan cocok sekali dengan namanya. Kupikir ia akan bersikap angkuh karena aku dan papa tak membawa apa-apa saat datang ke rumahnya. Namun, aku salah, ia dan Bu Mecca memperlakukanku dengan sangat baik. Selama tinggal dengan Bu Mecca dan Bang Rais mereka sangat menyayangiku dan papa. Papa ikut mengelola perusahaan milik Bu Mecca hingga berkembang pesat. Sejak saat itu kehidupanku berubah, aku kembali sebagai ratu yang dimanjakan banyak harta. Abang tiri yang sangat menyayangiku, begitu juga dengan Bu Mecca yang sangat memanjakanku. Meskipun ia lebih tua dari papa tetapi hubungan mereka sangat harmonis, kami saling berbagi cinta satu sama lain.Namun, yang tidak kuketahui adalah, dibalik sikap memanjakanku dan sayangnya Bang Rais, ada maksud yang tidak pernah kusangka. Puncaknya saat papa dan Bu Mecca pergi berlibur ke luar negri. Tinggalah aku dan Bang Rais berdua di r
Acara kelulusan sekolah hanya papa dan nenek yang hadir untuk melihat prestasi yang kuberikan untuk sekolah. Banyak piala lomba kesenian yang telah kuberikan, aku mendapat gelar siswa berprestasi di bidang seni. Papa tersenyum bangga begitu juga nenek, aku berusaha keras untuk mereka. Papa semakin tua, terlihat dari wajahnya yang dulu tampan sekarang makin banyak kerutan dan wajah yang semakin menghitam karena teriknya matahari, semua demi aku, agar aku tetap bisa pergi sekolah seperti teman-temanku.Setelah hari kelulusan beberapa pekan kemudian papa mengantar untuk mendaftar ke sebuah sekolah menengah tinggi. Sekolah yang bisa dibilang cukup elit di kota, sebenarnya aku enggan sekolah di kota, di desa juga tidak mengapa, tetapi papa bersikeras karena ingin mengganti masa SMP yang hanya kuhabiskan di desa nenek. Kami pergi menaiki sepeda motor milik papa, sampai di halaman sekolah mobil mewah berjejer milik wali murid.“Maaf ya, Lu,” ucap papa setelah kami berdiri di depan gerbang.“
Aku pikir setelah lama tak bertemu mama akan memeluk erat diriku, setidaknya menanyakan kabarku atau sebagaimana mestinya seorang ibu kepada anaknya yang tidak ia jenguk lebih dari tiga tahun lamanya. Nyatanya, ia justru tidak menganggap aku ini putri yang dulu ia dilahirkan dari rahimnya, putri kecil yang dulu ia timang dan manja, yang selalu ia kecup mesra dan nyanyikan lagu indah.Kukepalkan tangan. “Aku benci Mama, aku benci Mama, aku benci Mama.” Sepanjang perjalanan hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku. Meski air mata yang sudah menyeruak hendak jatuh berselancar di mataku tetapi aku enggan mengakui bahwa aku sangat mengharap ia memeluk dan menciumku.“Lulu,”panggil nenek lirih. Aku sampai lupa kalau tangan nenek tak lagi berada di genggaman tanganku.Kuhentikan langkah dan memutar badan, memasang senyum yang manis untuk wanita renta yang masih berdiri di belakangku. Aku tidak ingin ia semakin sedih jika melihatku menangis.“Jangan benci mamamu,” ucap nenek setelah bera