ROGERSetelah Arsela tertembak aku mengalilipatkan kekuatan untuk melumpuhkan kekasihnya. Entah kekuatan dari mana hingga dalam waktu singkat pria itu terkapar tanpa daya.Setelah menelpon polisi, kubawa Arsela menuju rumah sakit terdekat. Untunglah peluru tak mengenai organ vital. Hanya saja, karena tubuh itu terlalu syok, dan darah banyak keluar, istriku keguguran.Tentu saja hilangnya bayi itu tak hanya memicu histeria Arsela. Papa dan papi langsung meradang saat tahu apa yang terjadi."Kau telah membunuh cucu kami!”Papi menunjuk tepat ke wajahku. Di sampingnya ada ayah mertua yang beraut sama merahnya. Kali ini mereka benar-benar murka. Namun, aku tak mungkin mengatakan kebenaran anak siapa yang dikandung Arsela. Meski kesal setengah mati, kasihan juga jika dia diamuk para lelaki otoriter itu.Si wanita penyihir itu kulihat matanya mendelik dengan bibir tersungging sebelah. Pastilah ia bahagia. Dasar bodoh, aku sudah punya anak dari Safna. Akan ada saatnya kusampaikan pada dunia
ROGER Ancaman Arsela kali ini tak bisa kuanggap main-main. Dia nekat sepertinya.Setelah menenangkan Safna, aku menghubungi seseorang untuk melaksanakan solusi yang baru saja terbersit di otak.Tak selang dua puluh menit pria kepercayaanku datang. Lelaki berjas biru salur dengan rambut klimis itu langsung duduk di sofa tanpa kupersilakan."Aku minta empat bodyguard, dua lelaki, dua perempuan untuk menjaga Nyonya Safna Alvendo selama dua puluh empat jam!" Dahinya mengerut, mencoba mencerna terkait nama nyonya baru mungkin.. "Jangan sampai Nyonya Arsela atau siapa pun menyakitinya!"Kedua alisnya terangkat. Sudah paham mungkin siapa Safna."Boleh aku bertemu Nyonya Safna?"Meski tak suka, harus kukabulkan permintaannya. Bagaimana mungkin ia bisa menjaga Safna jika tak tahu rupamya.Aku masuk sebentar untuk mengajak Safna menemui Reynaldi. Setelah berpakaian lengkap dengan kerudung kugandeng tangan mungil itu.Aku tahu Safna keheranan, hanya tak berani melontarkan tanya pada suaminya
ARSELABrengsek kau Roger! “ Aku membanting pintu rumah sialan itu sekeras mungkin. Aku melesatkan mobil mewah yang baru dimiliki wanita menyedihkan ini. Seperti kesetanan, mobil melaju dengan kecepatan di luar batas toleransi di jalanan. Jelas sekali Roger memiliki cinta tak terkira pada wanita kampung itu. Ia membelanya dengan segenap jiwa. Aku benar-benar murka. Rasanya dada ini hampir meledak“Kurang ajar! Matilah kalian!”Kutekan klakson untuk melampiaskan kemurkaan yang telah mencapai puncaknya. Ada kepuasan saat orang-orang berteriak agar aku menghentikan. Aku benar-benar butuh pelampiasan. Teriakan bergema begitu masuk kamar dan membanting pintu, keras. Menangis sejadi-jadinya seraya melempar barang apapun yang kugapai. Foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar tak luput dari amukan. Hingga serpihan kaca dan bingkai berserakan di lantai. “Brengsek kau, Roger!" Kulempar botol parfum tepat mengenai lemari kaca rias berukir indah.Tubuhku bergetar luruh di atas lantai,
ARSELALepas sarapan, aku melesatkan mobil merah Mercedes menuju kediaman papa. Ancamanku bukanlah main-main, saat ini juga lelaki paruh baya itu harus tahu, bahwa putrinya dikhianati sang suami. Beliau takkan terima putri tercintanya disakiti demikian rupa.Tak membuang waktu, begitu bertemu Papa, meluncur di bibir ini tentang pernikahaan siri Roger. Pengaduanku sukses membuat pria paruh baya itu murka."Kurang ajar kau, Roger!" umpat papa. Mukanya terlukis kegeraman yang amat sangat."Papa tahu, Roger mengancam akan menceraikanku. Aku benar-benar tidak dihargainya sebagai istri. Dia lebih memilih simpanannya dari pada aku yang sudah dua tahun menemaninya."Pemaparan yang ditambah sedikit rekayasa membuat rahang Papa semakin mengeras. Tangan terkepal kuat di kedua sisinya. "Keterlaluan. Berani sekali dia terus menyakiti putriku. Dasar rakus!" celanya lagi. Sumpah serapah pun keluar dari mulut papa."Pokoknya, papa harus mencegah Roger menceraikanku dan Roger harus menceraikan wanita
SAFNASeorang bodyguard wanita sewaan suamiku, mengabari ada tuan besar David Alvendo ingin bertemu, dan kini sedang menunggu di ruang tamu. Jantung seakan loncat dari tempatnya mendengar kabar itu. Di kepala ini muncul bayangan - bayangan mengerikan. Apakah ia datang untuk memisahkanku dari putranya? Atau akan menganiayaku sebab lancang telah menjadi istri dari putra Alvendo. Jantungku bertalu-talu seiring langkah yang kupijakan di undukan tangga. Pria yang sebagian rambutnya ditumbuhi uban itu tengah mengedarkan pandangan saat aku datang. Dia yang gurat ketampanan masih kentara meski usia di makan senja melemparkan sorot tajam saat menyadari kehadiranku. Tanpa senyum, tanpa binar cinta mertua pada menantunya.Tak sanggup beradu dengan sorot elang itu, aku menunduk. Jari-jari ini bertaut satu sama lain.Rasa yang sama sewaktu kedatangan nyonya Arsela kembali hadir. Sehelai demi sehelai tabir kehidupanku bersama Tuan Roger tersibak."Selamat siang, Tuan!" sapaku dengan ritme suara s
SAFNAAku wanita lemah, tetapi tak sudi harga diri ini diinjak sedemikian rupa. Tidak .... Kuberanikan memandang wajah calon kakek dari anak yang kukandung ini.Apakah tak ada pilihan yang lebih baik untukku, selain pilihan yang kejam itu. Raut wajah itu terlihat masam. Sorot matanya tajam. Sama sekali tak ada tatap persahabatan apalagi kasih sayang. “Kau menolak semua tawaranku? Kau pikir aku akan tinggal diam. Ingat, sampai kapanpun aku takkan pernah mengakui kau dan anakmu itu!“Rahang Tuan Alvendo mengeras, muka putihnya dipenuhi warna merah menyiratkan amarah yang menggelegak. Tangan terkepal memukul sandaran tangan kursi roda.Aku melakukan ini dengan menekan segala rasa yang berkecamuk dalam dada. Mengenyahkan kelemahan demi harga diri dan buah hati yang kujaga sepenuh jiwa.Tuan Alvendo pulang dengan tangan hampa membawa segunung kemarahan, pastinya. Tak berhasil membujukku bercerai dengan tuan Roger atau memenuhi perjanjian yang ia tawarkan supaya aku menyerahkan bayi ini b
SAFNARasa jenuh berkepanjangan berada di rumah bak istana ini jika Tuan Roger tak ada bersamaku. Ingin sekali-kali melihat dunia luar, tak perlu jauh, cukup ke supermarket terdekat saja. Tak ingin macam-macam, hanya sekedar melihat suasana luar. Aku ingin merasakan membeli keperluan sendiri tanpa menyuruh siapa pun. Kali ini aku nekad meminta tuan memberi izin untuk keluar rumah barang sebentar. Demi dikabulkan, terus menerus bujukan dilemparkan. Entah bawaan bayi mungkin, hasrat menghirup aroma dunia luar begitu menggebu. Nyatanya sang suami sangat keberatan dengan permintaan ini. Ia bahkan, akan akan bersuara tinggi ika keluar lagi pinta itu. Betapa susah meluluhkan hatinya. Atau menutup panggilan sebab sangat kesal pada istri yang merengek terus menerus. Aku tak menyerah, di waktu berikutnya menelpon lagi. Tema pembicaraannya sama, ingin keluar rumah. Ingin belanja keperluan sehari-hari secara langsung. Dan juga mau melihat bagaimana suasana ibukota saat ini. Awalnya sikap tua
ROGER"Apa kau bilang, Istriku hilang? Dasar bodoh! Apa saja kerja kalian?"Gemuruh di dada lebih hebat dari teriakanku pada wanita yang tengah tergagap di ujung telpon."Aku tidak mau tahu, cari sampai dapat atau nyawamu gantinya!" Kumasukkan ponsel ke saku jas dan segera berlari menuju lift.Aku berlari di sepanjang koridor hingga napas tersengal-sengal. Beberapa karyawan yang berlalu lalang hampir tertabrak.Di antara mereka ada yang minta maaf padahal jelas siapa yang salah. Mungkin karena posisiku adalah pimpinan.Aku melesatkan mobil ke tempat yang disebutkan bodyguard Safna. Menyalip kendaraan di depan , menikung kanan-kirinya. Melibas aspal, meninggalkan jejak suara gesekan yang tertelan klakson memekakkan telinga.Lepas memarkirkan mobil, aku kembali berlari-lari di sepanjang koridor 'Super Mega Mall'"Kami sudah mencari di seluruh penjuru Mall ini, Tuan. Nyonya tak ada."Cacian kulemparkan sebagai pelampiasan. Rasanya ingin kuhantam mereka yang telah lalai menjalankan kewaji
ROGER"Bawalah Safna pulang. Kau sudah waktunya mengurusi urusan pribadimu. Setelah dia melahirkan, adakan pesta pernikahan. Undang semua kolega dalam dan luar negeri. Tunjukkan bahwa perusahaan kita masih kokoh dan berjaya!" titah papi. Kondisi papi pulih seiring kembali stabilnya perusahaan. Inilah yang kutunggu, kata-kata darinya. Artinya restu itu sudah keluar secara sempurna. Tak perlu lagi ada keraguan membawa Safna kembali ke sisiku. Enam bulan sudah aku menitipkan Safna pada orang tuanya. Segala rindu kupenjara agar tak memberontak. Hari ini akan kubebaskan ia dari kekangan.Tidak terlukis rasa ingin berjumpa. Mendekap tubuhnya erat, menghapus jejak air mata. Aku juga ingin bicara pada bayi yang ada di perutnya. Akan kukatakan maaf padanya sebab tak mendampingi selama proses pertumbuhan di alam rahim. Juga telah menorehkan kepedihan di hati sang bunda. Janjiku, ini adalah perpisahan terakhir kami. Setelah itu kami akan senantiasa bersama menjalani hari-hari bahagia. Membesa
ROGERBergetar tangan ini membuka surat yang dikirim pengadilan agama. Gugatan cerai dari Arsela.Sekukuh itukah kau ingin pergi dariku Arsela?Apa kesungguhan permohonanku tak menggeser sedikit pun keputusanmu?Mengapa di saat aku ingin bersemayam di hatimu, kau menguncinya rapat-rapat.Mengapa Arsela?Kuhempaskan berkas itu hingga berserak di lantai. Mengacak rambut ini berulang, lalu mengusap wajah yang entah sekusam apa sekarang."Aaargh!"Lautan emosi di hati ini hanya bisa terluapkan dengan teriakan demi teriakan. Tak lebih.***Menapaki keramik keperakan di ruangan megah bergaya artistik Eropa. Langkah ini sebagai upaya akhir membuka hati Arsela.Pelayan keluarga Van Hoevel mengangguk hormat, memanduku menuju ruang Arsela berada. Papa tanpa seizinku membawa putrinya ke sini selepas keluar rumah sakit. Aku tak mampu menolak apalagi menentang. Pria itu sama kerasnya dengan papi, lebih ganas malah.Kuhampiri wanita yang tengah memandangi ikan-ikan di kolam yang terletak tiga meter
ARSELALima bulan pasca perceraian dengan Roger. Aku dapat berjalan dengan normal kembali. Senang dan haru bercampur aduk di hati. Tak lupa ucapan syukur kupajatkan pada pemilik nyawa ini. Sebab, selama ini, aku telah lalai dengan kewajibanku. Terlalu jauh melampaui batas. Mendapatkan ketenangan hati setelah kembali menjalankan perintah-perintah-Nya ampunan atas perbuatanku selama ini. "Ah, thank's ... God." Tak lupa juga kuucap terima kasih pada Bram yang dengan tulus selalu menjagaku. Perhatian dan sikapnya membuat hati ini luluh kembali. Dia lelaki yang tak pernah berhenti mencintaiku. Roger, mungkin dia telah berbahagia, hidup dengan wanita yang bertahta penuh di hatinya. Safna. Wanita itu pantas mendampingi Roger. Kuusap bulir bening yang mengalir di sudut netra kala mengingatnya. Bram mengajakku jalan-jalan malam ini. Hanya bisa menutup mulut kala sadat ke mana ia membawaku. 'Tokyo Bay Night Cruise, Tokyo' salah satu tempat teromantis yang biasa dikunjungi pasangan kekasih
ARSELA"Dengar, Arsela! Aku tak akan berhenti sampai mendapatkan hatimu lagi. Aku akan terus berjuang untuk itu." Bram mengusap sudut matanya yang mengembun. "Aku mencintaimu, sampai kapan pun itu. Bahkan sampai aku mati." "Pergi!" usirku. Keesokan hari, Bram datang kembali ke rumah ini. Aku sudah berpesan kepada penjaga rumah agar tak mengijinkannya masuk. Walau bagaimanapun, Bram pantas meraih kebahagiaannya dengan wanita lain, bukan denganku. Kuintip dari balik kaca setelah satu jam berlalu. Pria itu masih ada. Ah! Lelaki itu tetap pada pendiriannya. Tak akan pergi sebelum menemuiku. Bodoh memang. Malam hari hujan turun dengan derasnya. Kilatan-kilatan di langit menimbulkan suara menggeleggar. Menjalankan kursi roda melalui tombol otomatis menuju jendela. Ingin melihat hujan. Netraku menangkap seseorang yang berdiri menatap jendela kamarku. Ya Tuhan, Bram. Mengapa dia masih di situ.Jika terjadi apa-apa, bagaimana? Kalau Bram mati kedinginan bagaimana? Bram! Mengertilah. Ku
ARSELALumpuh? Aku lumpuh? Inikah hukuman atas kesalahanku? Mengapa tak mati saja? Mengapa Tuhan? Emosiku tak terkendali saat pertama mendengar vonis ini. Aku benar-benar merasa jadi manusia tak berguna. Hingga.... Menangis pun sudah tak berguna. Marah tak menyelesaikan masalah. Lalu.... Aku diam. Menerima realita dan segala konsekuensinya. Ditinggalkan Roger, hal pertama yang menjajah perasaan. Apalagi ia kini sudah memiliki wanita sempurna. Apalah aku dibanding dia? ***Aku melayangkan gugatan cerai pada Roger. Di luar dugaan ia menolak. Malah terus berupaya mendatangiku menawarkan hal sama. Menjalani bahtera rumah tangga bersamanya juga Safna. Ia berjanji akan berlaku adil. Akan berupaya membahagiakan kami berdua. Pernah hatiku terketuk. Nekat, ingin kuterima saja tawarannya. Namun, kala teringat kembali besarnya cinta Roger pada Safna membuatku meneguhkan kembali hati yang mulai goyah. Untuk apa bertahan jika aku tahu di hatinya hanya menyisakan sedikit tempat untukku.
SAFNASetelah mengenakan jilbab, langkah kuayunkan menuju ruang tamu di mana kata emak, Reyhan menunggu.Pemuda itu sedang berbincang dengan abah. Wajahnya cerah, terlihat bahagia.Tatapan kami bertemu, Rey mengangguk seraya mengatupkan tangan di depan dadanya. Kubalas dengan gerakan serupa.Pandangan Rey tertuju pada perutku yang membesar. Ada senyum di bibir itu.Kuraih kertas berwarna merah maron berpita gold berbungkus plastik transparan dari tangan Reyhan. Undangan."Ini undangan siapa, Rey?" tanyaku, membolak-balikan undangan tersebut. Lalu menatap lekat pria yang sedang tersenyum lebar itu."Punyaku. Aku sangat senang jika kalian mau datang di hari pernikahanku.""Masyaa Allah. Alhamdulillah, aku ikut bahagia, Rey."Mataku berkaca, menatapnya haru. Akhirnya kau mendapatkan apa yang tak kau dapatkan dariku, Rey.Reyhan mengangguk, dapat kulihat ada binar yang berbeda di mata itu. Kuyakinkan sisa cinta itu masih ada, hanya saja, takdir kita tak searah.Akhirnya nama pria yang ter
SAFNAAku mendorong kursi roda yang diduduki tuan menuju ruangan Nyonya Arsela dirawat. Suamiku meminta ingin bertemu istri pertamanya. Kukabulkan karena itu haknya.Tiba di hadapan tubuh Nyonya Arsela yang berbaring tak sadar, kutinggalkan tuan berdua dengannya. Tak ingin kehadiranku menghambat kata yang mungkin ingin dia sampaikan.Aku duduk di kursi tunggu, menajamkan pendengaran, siapa tahu tuan memanggil. Sekali-kali mata melirik pintu dengan hati resah.Setengah jam berlalu, tak jua kudengar suara tuan. Aku bangkit menghampiri pintu di mana daunnya dipasang kaca kecil memanjang ke bawah, dan tembus pandang ke dalam.Dapat kulihat dengan jelas aktivitas di dalam sana. Ada denyutan halus di hati ini. Tuan Roger menempelkan bibirnya di kening Nyonya Arsela, lalu menangis seraya meremas jemari lentik tanpa daya. Apa yang kusaksikan membawa kesadaran bahwa kehadiranku di antara mereka adalah kesalahan. Meski berseteru, sesungguhnya mereka saling cinta. ***Saat ini, aku berada di t
ROGER"Jangan pernah berkata begitu lagi. Aku tak suka. Kau tak perlu berkorban untuk hal yang bukan kewajibanmu menanggungnya."Emosiku sedikit tersulut dengan perkataan Safna. Solusi darinya tak memberi jalan keluar tepat. Yang ada menambah masalah di atas masalah. Apa dia pikir aku lelaki sejahat itu. Akan mudah melepasnya setelah kami melalui kisah berat bersama. Apalagi di rahimnya telah tumbuh Roger junior. Wanita ini mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Baginya satu kalimatku sudah cukup. Tak boleh ada bantahan. Ia takkan berani bicara lebih jauh. Cukup sekali, sudah mengerti harus bagaimana bersikap. Safna bukan Arsela yang akan menyerang jika dibantah. Ia cenderung patuh dan menerima apa saja perintahku. "Apa boleh sementara aku tinggal di rumah Abah sampai Mbak Arsela tenang."Kudekap tubuh itu tanpa peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar taman. Aku tahu Safna tertekan meski ia berusaha tegar. Posisinya dilema kini. Rasa bersalah pasti menyergapnya melihat Arsela hampir
ROGERSilau cahaya putih menerpa kornea. Kelopak kututup kembali kala ada denyut cukup nyeri di kening.Ingin kupijit pangkal hidung untuk mengurangi nyeri yang menghebat, tetapi tak ada kekuatan tangan untuk sekedar terangkat beberapa inchi saja."Alhamdulillah, kamu sadar, Mas!"Sayup terdengar suara yang sangat kukenal. Selanjutnya samar ada wajah yang mendekat.Ada yang basah di pipiku. Terjatuh dari mata bulat itu. Meski berat, kucoba mengangkat dua sudut bibir.Lalu, tangisannya makin jelas di telingaku. Ia pun menempelkan wajah di dada ini.Perlahan, aku bisa beradaptasi dengan kondisi tubuh setelah koma dua minggu. Safna amat telaten merawatku. Ia akan cerewet pada suster yang menurutnya lambat memeriksa.Sambil menyuapi ia akan menceritakan tentang yang terjadi selama aku dan Arsela koma. Gerahamku saling menekan kala mendengar cerita bahwa si penyihir itu mau membunuh Arsela, ingin menghilangkan saksi atas keterlibatannya mungkin.Di tengah obrolan, Papi datang mengunjungi.