Zio dan Lea tak mampu menahan tangis haru, kala bayi laki-laki mereka diletakkan di atas dada sang ibu. Dari menangis, bayi itu langsung berhenti dengan mulut bergerak-gerak lucu mencari sesuatu."Saingan Papa ini mah," canda Zio di tengah tangannya yang sibuk mengusap kepala sang anak, juga air mata di pipi.Rasanya makin tak terlukiskan kala si bayi kini beralih ke gendongan Zio. Buah hati yang dia tunggu sekian lama akhirnya berada dalam pelukannya."Sudah, Tuan?" Dokter Niken bertanya.Zio mengangguk setelah ritual adzan dan iqamat dia lantunkan. "Boleh gak babynya sama saya aja," pinta Zio masih dengan mata penuh air mata."Boleh, tapi nanti ya. Kami perlu periksa debay-nya lebih detail. Ingat, dia nongol lebih awal dari jadwal, jadi kami perlu pastikan dia baik-baik saja."Awalnya Zio ingin mendebat tapi ketika nyeri di lengannya kembali menyengat, dia tahu untuk sementara harus berpisah dulu dengan putranya."Arcelio Ethan Alkanders, sampai jumpa sebentar lagi."Lea sangat terh
"Ming! Ming! Dia bapakmu tahu!" Ceplos Zico. Dan pria itu kembali dapat warning dari mamanya. Bukan getokan di kepala, tapi cubitan ekstra keras di pinggang.Bisa dibayangkan bagaimana reaksi Zico. Ingin mengumpat tapi mama sendiri yang menganiaya. Pada akhirnya Zico hanya berdesis-desis macam orang kepedesan."Bapak apanya? Kata Mama dia sudah meninggal," sergah James tak percaya begitu saja."Ciee, dia anak mama juga to." Kali ini Zico kabur lebih dulu sebelum digetok, dicubit atau apalah itu oleh Inez. Zico pilih sembunyi di balik punggung Tiger yang duduk bersandar di kursi tinggi.Kehadiran Tiger di sana lekas menarik perhatian James. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dibawa kemari. Dan mereka, mereka siapa?" Jari James menunjuk lima pria berpakaian hitam yang mengawalnya sejak turun pesawat. Adapun Mike cuma diam di pojokan. Tanpa berani ikut campur."Biar Mama jelaskan," Anita mengambil alih. Dia tahu putranya bingung. Biasanya hanya dia yang akan James dengarkan jika
"Pelan-pelan, Lea." Puspa membantu Lea yang ingin duduk. Istri Han ikut stand by di rumah sakit ketika sang suami dipanggil Zio."Operasinya lama bener," keluh Lea yang sampai setengah jam dipindahkan ke ruang perawatan, belum juga melihat Zio.Dua orang itu rencananya akan ditempatkan di satu ruangan yang sama. Supaya lebih mudah bertemu satu sama lain."Sebentar lagi. Namanya juga operasi kadang cepat, kadang molor. Tenang saja, jangan stres nanti ASI-nya susah keluar. Kayak Agni."Lea menghembuskan napasnya pelan. Coba menenangkan diri. Mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang sempat mampir di kepalanya."Lapar, Pa," kata Lea. Baru kali ini terasa perutnya keroncongan.Puspa sigap mencari paper bag yang tadi ditinggalkan Han. "Jangan protes ya. Full sayur, demi anak." Puspa mengulurkan wadah makanan dengan logo restoran ternama.Isinya nasi, daging, dengan sayur capcay banyak. Tanpa banyak protes Lea makan sayurnya lebih dulu. Lea menggulung senyum melihat Puspa ikut makan bersam
Perjalanan menuju Midnight Blue diwarnai emosi James yang memuncak. Dia hampir balik untuk menghajar Tiger. Pria itu rupanya yang sudah melecehkan Yifan."Tenang, James. Tiger sudah memberitahu kalau dia dijebak. Semua ulah orang ini.""Tetap saja, Yah. Dia yang menghancurkan Yifan. Susah payah kami jaga dia, sebab prinsip Yifan begitu."James meraup wajahnya kasar, memukul tempat duduknya berkali-kali. Tidak peduli pada Zico yang sibuk main game. Dan Mike yang mengemudikan mobil.Dua mobil mengiringi mereka. Semua anak buah Triad Li yang diutus Miguel untuk menjaga keselamatan Mattias dan yang lainnya.Zico jelas syok begitu nama Miguel disebut sebagai pemimpin Triad Li. Dia tak pernah menyangka jika papa kandung Arch adalah mafia."Pantas dia kekeuh membiarkan Arch jadi anaknya Zio," komen Zico saat itu."Sangat beresiko andai musuh tahu soal kehidupan pribadi kami. Karena itu aku mendukung apa yang tuan De Leon lakukan. Putranya lebih aman bersama kalian. Meski ya, aku yakin dia sa
Fakta Mattias memiliki anak. Dan dia adalah James Liu, membuat Li Chong Wei berang. Dia tidak sudi mengalah apalagi mengaku kalah. Dia sudah menunggu lama hingga hari ini tiba.Mempersiapkan diri untuk merebut kepemimpinan Triad Ming juga memiliki Midnight Blue. Tempat hiburan dengan keuntungan paling besar saat ini.Chong Wei tidak akan mundur. Dia akan pertahankan apa yang sudah dia miliki. Triad Ming dan Midnight Blue. Dua hal yang sangat Li Chong Wei damba.Dia pilih war dengan Mattias. Lagi pula, anak buahnya jelas lebih terlatih di banding pria berseragam hitam yang melindungi Mattias. Pria itu tak tahu siapa yang jadi backingan Mattias.Jeritan San tidak Li Chong Wei hiraukan. Dia tidak peduli apa yang James lakukan pada orang yang telah lama jadi sekutunya. Bedanya San punya motif berbeda saat memutuskan membantu Li Chong Wei merebut Midnight Blue.San hanya menginginkan Yifan. Dia ingin Yifan jadi miliknya. Jadi hari itu San memang menculik Yifan, tapi perbuatannya diketahui
Suara Li Chong Wei tercekat di tenggorokan. Matanya melotot saat sebutir peluru merenggut nyawanya. Benda itu menancap tepat di dahinya. Hidupnya berakhir hari itu juga, sama dengan ambisi gilanya untuk melengserkan Mattias dan memiliki Midnight Blue. James lekas ditarik menjauh oleh anak buah Miguel, sebelum tubuh Li Chong Wei rubuh ke lantai. Mungkin pria itu tak pernah menyangka pemimpin Triad Li yang tersohor itu akan muncul di hadapannya. Guna menghabisi nyawanya. Miguel memang nyaris tak terekspose di kalangan dunia bawah. Beda dengan Mattias yang kerap berbaur dengan mereka yang berasal dari dunia mereka. Miguel totally menjalankan kehidupannya sebagai pengusaha. Hanya perintah dan mata-matanya saja yang terus memantau aktivitas kelompoknya. Berita buruknya, jika lelaki itu sampai menampakkan diri, maka kematian dalam jumlah besar akan terjadi. Dan benar saja. Selang beberapa detik dari kematian Li Chong Wei, satu perintah meluncur dari lisan Miguel. "Habisi anak buah L
Zio melotot saking syoknya. "Mamanya James. Si biang kerok itu. Kok bisa dia ada di sini. Oh tunggu! Siapa tadi dia istri Zafran Mattias Al ...." "Adik kembar papamu." What?! Adik kembar papanya. Zio kok tidak tahu. Tunggu sebentar. Ingatan Zio melayang ke berpuluh tahun lalu. Saat seorang pria memperkenalkan diri sebagai saudara papanya. Yang Zio ingat, wajah mereka memang mirip. "Lelucon macam ini. Jadi James itu ... sepupuku?" "Iya. Dia tidak tahu, jadi ya begitulah. Salah paham terjadi. Tapi tenang saja. Semua sudah selesai. Dia akan kembalikan tanah itu ke mama. Mau dibangun sekolahan sama taman bermain." Jelas Inez singkat. "Sudah ya. Maafkan mereka. Ini benar-benar hanya salah paham." Zio terdiam, tangannya mengusap punggung Arch yang bergerak tak nyaman. "James dan Mattias akan menyusul. Mereka harus mengurus tanah itu lebih dulu. Setelah beres baru ke sini." Dalam sehari, Zio menghadapi banyak kejadian yang membuat dia mendadak merasa lelah. Sebagian karena rasa terke
Semua orang melihat ke arah Zico yang merentangkan tangan seolah ingin mereka memeluknya. Namun sayangnya, tak ada seorangpun yang melakukannya."Kagak ada ni yang rindu sama gue?" Tanyanya putus asa."Arch rindu kok Om, tapi lagi asyik main sama Andra," balas sang ponakan.Kalimat Arch menarik perhatian Zico. "Wiih, anak sape tu?""Eittss, cuci tangan dulu. Ganti baju dulu. Baru elu boleh pegang anak gue. Guangzhou sini, siapa tahu elu bawa virus copid versi terbaru," Egi turun tangan."Ah elah. Pak CEO Abinawa Grup, gue jamin diri gue ini steril dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dari bagian paling luar, sampai yang terdalam. Boleh ya cium Dek Andra, dikit doang." Zico membuat kode sedikit dengan jarinya, ditambah ekspresi imut menggemaskan, berharap Egi memberinya izin menyentuh Andra."Kagak boleh. Mandi dulu sana. Tante, ini anaknya susahnya dibilangin," lapor Egi pada Inez."Astaganangka, gitu aja ngadu sama emak gue. Iya, iya, gue mandi ini. Mama, baju ada gak?""Lah kopermu
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut