Bagian paling berat adalah meyakinkan Maya jika Kelvin sungguh ingin menikahi Angel. Zio dan Lea harus berhati-hati saat bicara dengan Maya. Mengingat perempuan itu pasti trauma dengan pernikahan.Semua hal disiapkan Lea dibantu teman lainnya. Hingga dalam satu hari barang yang diperlukan Kelvin untuk lamaran sudah siap.Satu yang membuat Kelvin terharu adalah ketika Lea menolak uang yang sedianya Kelvin berikan guna mengganti pembelian barang untuk Angel."Kak, aku serius. Aku punya uang." Kelvin terus mengejar Lea saat mereka ada di apartemen."Kakak tahu. Tapi lebih baik kamu simpan saja. Anggap Kakak mewakili atau menggantikan mereka untuk menikahkanmu. Boleh?"Bisa dibayangkan bagaimana sebak memenuhi dada Kelvin. Sampai sedemikian rupa Zico dan keluarganya menganggap dirinya saudara."Terima kasih. Terima kasih, Kak," ujar Kelvin dengan kepala tertunduk. Dia menangis, benar-benar menitikkan air mata.Sampai tepukan di bahu membuat pria itu kembali mengangkat kepalanya."Kamu he
Lea sedang berendam di kolam mini di kamar mereka. Beberapa hari terakhir sangat melelahkan. Lea sendiri sudah mengalami banyak peningkatan soal hubungannya dengan air. Berendam di jacuzzi atau kolam mini seperti ini tidak membuat phobianya kambuh.Di tengah keasyikannya menikmati pijatan lembut dari air kolam, dia mendengar percakapan Zio dari ruang kerja yang pintunya tidak tertutup rapat."Iya, bisa dilanjutkan persiapannya. Aku mau dua minggu lagi siap. Jadi aku bisa tunjukkan padanya."Dahi Lea berkerut, apa lagi itu. Apa yang mau ditunjukkan, pada siapa mau ditunjukkan. Lagi-lagi overthinking mengambil alih. Tidak tahu kenapa perasaan Lea akhir-akhir ini sangat sensitif. Mudah terpancing dengan tingkat kecemburuan meningkat drastis.Lea sangat takut andai Zio sampai tergoda wanita lain. Dia nyata jatuh cinta pada pria berparas bule tersebut. Sepertinya Lea akan mulai menyelidiki hal ini. Dia tidak mau dirundung curiga terus menerus. Lea harus tahu apa yang Zio lakukan.Pikiran L
Dua minggu kemudian."Rame amat. Kek ada yang nikahan," gumam Lea yang memakai masker juga kaca mata. Memandang keheranan ke arah bangunan megah di hadapannya.Grand Century, sebuah hotel yang terkenal mewah dengan predikat layanan bintang lima. Baru kali ini Lea melihatnya secara nyata. Sebelumnya dia hanya melihat Grand Century, melalui review tempat yang menjadi salah satu pilihan venue pernikahan paling diminati kaum jetset.Tapi selama ini, Lea belum pernah masuk ballroom Grand Century, dia sebatas meng-handle pekerjaan dari jauh. Entah kebetulan atau bagaimana. Namun hari ini, dia yang sejak tadi menguntit sang suami agaknya harus ikut masuk, memastikan dengan siapa Zio bertemu. Zio setuju melakukan pertemuan di hotel saja sudah membuat Lea berpikir yang tidak-tidak.Dasar perempuan, seharusnya Lea pikirkan hal yang penting saja. Tidak perlu mengurusi hal remeh yang tidak berguna. Sebab hal seperti itu terkadang justru membuat kita salah paham.Seperti saat Lea sudah berada di
Rona merah tak jua hilang dari wajah Lea. Bahkan ketika dia sudah setengah jam lebih di-make up. Hasil dari kelancangan Lea masuk ke kamar 1502 membuat semua orang menghirup napas lega.Yang dicari secara tidak langsung datang sendiri ke venue. Meski awalnya Lea sempat marah-marah. Dia langsung menuduh Zio begini dan begitu. Untungnya Zio sigap membawa Lea ke kamar untuk diajak bicara.Perempuan itu tetap saja menuduh Zio selingkuh, apalagi ketika dia masuk, dilihatnya Rain sedang memakaikan dasi, hingga kesannya perempuan itu tengah memeluk leher sang suami.Lea baru berhenti mengoceh ketika dia disodori sebuah undangan di mana namanya dan nama Zio tertera sebagai pasangan suami istri yang akan mengadakan pesta."Jadi ...." "Aku berencana memberimu kejutan, tidak tahunya aku malah dituduh mendua." Zio melipat tangan sambil melihat Lea melalui cermin berlampu."Maaf," lirih Lea. Meski bibirnya berucap maaf, mata hazelnya tak lekang dari Rain yang sejak tadi tak berhenti memandang Z
Surprise! Berapa tahun Rain tidak melihat Arthur Lawrence. Lelaki yang pamit untuk melanjutkan study-nya ke Oxford lewat jalur beasiswa. Arthur bukan berasal dari keluarga kaya. Namun kepintaran membuat Lawrence punya peluang untuk mengubah nasib.Dan lihatlah, berjalan beriringan bersama Han, Lawrence terlihat sangat menawan juga berkharisma. Rain sampai lupa cara bernapas juga berkedip andai Han tidak menegurnya."Nona Rain bagaimana persiapan Nyonya Alkanders?"Rain tergagap saat menjawab. Saat itulah tatapan Lawrence bertemu dengan netra gugup Rain. Pria itu memandang lama pada Rain sebelum kembali mengikuti Han."Dia kembali. Tidak, dia sudah lama kembali." Detak jantung Rain berlarian kala dia menyimak profil Arthur Lawrence, pria yang diketahui memiliki firma hukum cukup besar dengan klien berdatangan dari kalangan atas.Pria yang juga secara resmi ditunjuk sebagai pengacara untuk AK Corp dan jaringannya. Dengan begitu, hubungan Lawrence dan Zio pastinya dekat.Rain mendesah be
"Selamat atas pernikahannya. Meski terlambat kami akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian berdua ke depannya." Ucapan Rainer Prasetyo mewakili semua kolega bisnis AK Corp. Dengan Zio seketika membungkukkan badan sebagai ucapan terima kasih. "Semoga kita bisa terus menjalin kerjasama yang solid untuk jangka panjang." Kalimat Zio disambut ratusan gelas yang diangkat ke atas sebagai simbol persetujuan. Fokus AK Corp memang menciptakan iklim kerjasama yang memungkinkan dua belah pihak bisa mendapat keuntungan maksimal tanpa merugikan sisi lain. Dalam usaha mewujudkan hal tersebut tentu bukan hal yang mudah. Semua dimulai sejak ayah Zio memimpin. Ketika pria itu meninggal, semua usaha dilanjutkan oleh Zio. Di era kepemimpinan Zio semua yang diimpikan sang ayah bisa terwujud. Lea meneguk jus jeruknya, dia minta itu dibanding minuman merah pekat yang dia takuti. Konsep resepsi Lea memang lebih ke ramah tamah dengan semua tamu. Pelaminan Lea berada di tengah venue pesta dengan banyak
"Bisa kita bicara sebentar." Suara tadi membuat Rain menoleh. Dia sedang mengemasi beberapa alat yang tadi dia gunakan saat membantu Lea memakai gaunnya.Perempuan itu seketika minder, Lea benar-benar sempurna saat berdiri di samping Zio. Aura keduanya seolah saling melengkapi satu sama lain.Namun lebih mengejutkan lagi, ketika dia melihat Lawrence berdiri di depannya. Bukannya ikut menikmati pesta di ball room. "Maaf, saya sedang sibuk.""Akan aku bantu." Lawrence sigap bergerak memasukkan sejumlah benda ke dalam kotak yang Rain pegang.Rain sesaat tercenung. Bagaimana bisa Lawrence bisa bersikap biasa saja setelah hampir delapan tahun meninggalkannya."Kenapa?""Apanya?""Kenapa kamu kembali? Kenapa kamu begini ke aku? Kamu tahu gak sih delapan tahun kamu pergi ....""Aku gak ninggalin kamu Rain. Aku pamit, aku kasih tahu ke mana tujuanku pergi. Sekarang aku kembali."Rain menangis, air mata yang sejak tadi dia tahan, akhirnya luruh juga."Aku pulang enam bulan lalu. Aku langsung
"Mau ke mana sih, Pa. Arch masih ngantuk."Arch menggerutu dengan kepala terkulai di pundak sang ayah. Dia tidak tahu kenapa Zio tiba-tiba memaksanya ikut bepergian sepagi itu. Tidaklah pagi sangat, jam enam lebih.Namun Arch yang kadung di-setting libur otaknya tentu menganggap jam segitu masih pagi. Padahal jika sekolah, jam enam Arch sudah harus siap."Temani Papa mengantar teman ke bandara," kata Zio setelah memakaikan seat bealt di tubuh bongsor sang putra."Yang mau pergi kan teman Papa kenapa gak ngajak Mama.""Mama masih tidur." Zio melajukan mobil keluar parkiran hotel."Arch juga masih ngantuk," bibir Arch mencebik lucu."Arch boleh lanjut tidur. Yang penting Arch temani Papa. Oke?"Arch sungguh lanjut tidur apalagi setelah minum susu, dia pasti ngantuk. Benar saja, dalam hitungan menit netra Arch kembali terpejam. Dia tidak tahu berapa lama perjalanan dari Grand Century ke air port. Dia juga tidak tahu, berapa lama dia tertidur. Yang Arch tahu, dia samar-samar mendengar or
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut