Alamak! Ingin rasanya Irene berbalik lalu kabur, andai tak ingat wajah mamak dan bapaknya. Sudah dua tahun dia tidak pulang, sejak lulus kuliah lalu bekerja di Dreamcatcher.Rindu sekali dia pada mamaknya. Tapi kenapa sekalinya pulang, dia justru berhadapan dengan orang yang sangat ingin dia hindari."Senang bertemu denganmu, Ren. Bagaimana kabarmu? Kebetulan sekali aku juga sedang pulang. Bagus sekali kita bisa bertemu."Seorang pria berparas cindo, menyapa Irene yang seketika salah tingkah."Ngapain datang? Mau nagih utang? Aku bayar." Tanya Irene tanpa basa basi.Dia bukan Irene yang tidak punya uang macam dulu. Hingga untuk kuliah keluarganya terpaksa berhutang pada keluarga pria di depannya."Bukan begitu maksud kami. Sebenarnya ...."Lelaki di depan Irene tampak bingung. Dia menoleh ke arah sang ibu yang langsung menjelaskan."Sebenarnya kami ke sini untuk melamar. Utang itu dianggap tidak pernah ada kalau kalian menikah. Itung-itung kami biayai calon istri Lendra."Bola mata Ir
Bola mata Agra melebar melihat layar ponsel keesokan harinya. Pria itu lekas menekan icon telepon guna menghubungi nomor yang baru saja membuka blokirannya."Bek, angkat teleponnya, Bek."Di ujung sana, seorang anak sedang bermain dengan ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja. Si empunya telepon sedang main ke sawah."Halo, iki sopo?" Agra mengerutkan dahi. Kok bukan Irene yang mengangkat teleponnya. Malah suara laki-laki dengan logat jawa kental plus suara putus-putus yang membalas sapaannya."Halo, yang punya telepon mana? Ini siapa?"Agra sedikit paham bahasa Jawa. Sebab Yuda sering menggunakannya di kantor."Lah malah balik nanya. Yang punya telepon lagi main."Ha? Main? Main apa? Bukannya berpikir positif, otak dua satu plus Agra justru mengambil alih."Main sama siapa?""Sama bapaknya."What? Agra makin nethink dibuatnya. Saat pria itu masih menerka-nerka jenis permainan apa yang bisa dimainkan bersama 'bapaknya'. Satu suara terdengar dari arah belakang."Febri! Kau ap
Lea menghentakkan kakinya kesal seraya menatap tajam pada Heri. "Dia minta tolong padaku, ingin dipertemukan denganmu. Dia bilang ingin minta maaf. Aku lihat dia sungguh-sungguh menyesal." Heri coba menjelaskan situasinya. Tentu setelah Agra pergi dari ruangan Heri. Lelaki itu berusaha bersikap senetral mungkin. Tidak ingin memihak atau menyalahkan sang teman. "Aku memang marah padanya, muak kalau lihat mukanya. Tapi aku lebih cemas sama Irene. Bagaimana kalau si brengsek itu cuma mau mempermainkan Irene saja. Ndak terima aku." "Aku pikir kali ini seorang Agra Atharva sudah ketemu batu sandungannya." "Maksudnya?" "Ya, dia kapok. Sudah menemukan apa yang dia mau, dia inginkan. Dengan kata lain, Agra sudah bertemu tipe yang klop dengan angannya." Lea terdiam mencerna ucapan Heri. "Dia kan yang namanya Irenewati. Terus ini kamu sama Nika. Lihat, kalau digabung." Lea membulatkan mata memandang simulasi andai wajahnya dan Nika dijadikan satu. "Lah bisa mirip gitu," Lea tercengan
Irene memandang sadis pada Jono, sang kakak ipar yang baru saja menoyor kepalanya. "Gak usah nyolot kalau yang kukatakan benar!""Jangan mulai ribut!" Bapak memberi peringatan."Dia yang mulai, Pak." Jono membela diri."Aku gak mulai ya. Aku cuma nerusin!" Irene mana pernah mau mengalah, apalagi sama Jono, kakak ipar yang ia nilai tak worth it sama sekali."Kayak dia bakal punya lakik jutawan aja. Kalau kau nikah sama Lendra sama aja punya suami kuli, kerja sama orang lain."Irene melipat tangan, menatap sinis Jumiana. "Kuli pun bayaranya jutaan, setidaknya aku masih bisa jalan sama belanja.""Kalau begitu nikah saja sana. Biar mulutmu gak pedes amat waktu ngomongin orang.""Yang kukatakan fakta, Mbak Jum. Bukan rekayasa!" Irene membalas manis cibiran sang kakak."Pantas saja umur segitu belum nikah, mulut kayak petasan injak gitu." Jono masih punya muka makan jajan pasar di atas meja. Hasil Irene berburu ke pasar pagi. Benar-benar tak punya malu. Lelaki itu sudah tidak bekerja, tida
"Apa yang kau lakukan di sini? Kehabisan stok perempuan?" Lea bertanya dengan punggung tegak sambil melipat tangan.Memandang lelaki yang berdiri di depannya. Aldo Rivaldi, mantan tunangan Rina secara mengejutkan muncul di depan Lea dan yang lainnya."Bosan Nya, tidak ada yang digodain." Aldo mengedipkan sebelah mata sebelum ikut duduk di depan Lea, tanpa menunggu persetujuan pemilik tempat."Ke mana semua buntut yang biasa ngekorin kamu?" Puspa bertanya sinis. Mereka bertiga tentu tak lupa bagaimana kelakuan Aldo yang play boy tak tertolong. "Sudah kubilang aku bosan. Coba yang kukencani satu dari kalian bertiga. Pasti seru dan aku tidak akan pernah bosan, aduhh. Galak bener sih."Aldo meringis saat tiga kaki serentak menendangnya di bawah meja. "Kau tahu siapa yang sedang kau goda. Dia Nyonya Abimana, dia Nyonya Alkanders. Kau ganggu mereka, siap-siap kau gulung tikar," Puspa memberi info."Kalau begitu kau saja.""Kau ingin Yohan Aditya melubangi kepalamu. Berani sekali kau meng
"Wehh, aku bukan papamu, manis. Orang tuamu mana?" Aldo manut saja ketika si bocil minta gendong padanya. Lelaki itu celingak celinguk, menoleh kiri dan kanan. Mencari orang tua si bocah. "Ibu lagi terima barang, jadi Bela main sendiri." "Anak cantik namanya Bela, rumahnya mana. Tak anter pulang." Jari mungil Bela menunjuk sebuah rumah bercat pink tak jauh dari Aldo berdiri. Menyeberang jalan itu, berarti masuk perumahan kelas menengah. "Walau lagi kerja, harusnya orang tuamu kudu tetap jagain kamu. Gak boleh main di jalan sendirian." "Balon, Pa." "Om bukan papamu. Emang papamu mana?" "Ndak punya." "Hush, kamu pasti punya papa. Gak mungkin kamu nongol kalau gak ada papa." "Tapi di rumah adanya Ibu doang. Ndak ada mama, papa juga ndak ada." Aldo mengerutkan dahi. Ibu? Mungkinkah Bela memanggil mamanya dengan sebutan ibu. Oke, dia paham sedikit sekarang. "Papamu kerja? Pulangnya malam?" "Ndak pernah pulang." Bang toyib nih bapaknya bocah. Sayang sekali anak
"Oh oke, aku paham. Bye Yuda." Agra abaikan umpatan sang asisten di seberang. Pria itu nekad melanggar aturan Yuda yang kudu stand by sampai besok di kantor.Agra berbalik menghadap Irene yang memandangnya tajam, lalu pada Lendra yang setia menunduk. Lantas beralih pada beberapa barang yang menumpung di atas meja."Kok bisa telepon?" Irene pandang paras Agra yang sudah kembali mulus. Hebat sekali skin care pria itu, sempurna menutup bekas luka juga lebam di wajah."Bisalah, emang hapemu. Itu apa?"Irene mendengus kesal mendengar ledekan Agra. Setelahnya pandangan Irene berubah bingung ketika Agra bertanya pasal barang yang Lendra."Kayak barang hantaran? Dia ngelamar kamu?" Telunjuk Agra terarah pada Lendra yang langsung pias."Maunya begitu, tapi aku tolak.""Bagus, dan kau jangan pernah mimpi buat nikahin dia. Dia ini bebek sawah kesayangan aku."Lendra kali ini memberanikan diri memandang Agra. "Tapi, Pak ....""Kok dia manggil kamu bapak, dia anakmu. Aduhh, sakit burhan!"Irene m
Suara langkah kaki mendekat, membuat semua orang berhenti bicara."Oh, maaf jika saya mengganggu acara kalian." Suara itu terdengar lembut tapi tegas. Setelahnya perempuan tersebut menjauh dari ruangan tadi. Tahu kalau kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Di belakangnya derap langkah lain mengikuti."Kamu tahu kan acara hari ini apa? Kamu sengaja ingin mengacaukannya?"Lea, nama perempuan tadi berbalik arah saat tangannya di cekal. Dia tampak memandang pria yang berdiri di depannya, padahal sejatinya dia tidak bisa melihat."Aku pulang apa itu salah, Mas Rian?" "Sudah bilang kalau aku akan menikah dengan Vika.""Kalau begitu ceraikan aku, Mas! Agar aku bisa pergi dari sini!""Aku akan melakukannya jika ayah mengizinkannya!""Sayang, kamu ngapain?" Suara lain terdengar. Lea dengan segera menepis cekalan tangan suaminya. Perempuan itu menjauh pergi, langkahnya tenang meski dia tidak bisa melihat. Wanita barusan, Lea membencinya. Dia musuh dalam selimut yang baru dia sadari belak
"Oh oke, aku paham. Bye Yuda." Agra abaikan umpatan sang asisten di seberang. Pria itu nekad melanggar aturan Yuda yang kudu stand by sampai besok di kantor.Agra berbalik menghadap Irene yang memandangnya tajam, lalu pada Lendra yang setia menunduk. Lantas beralih pada beberapa barang yang menumpung di atas meja."Kok bisa telepon?" Irene pandang paras Agra yang sudah kembali mulus. Hebat sekali skin care pria itu, sempurna menutup bekas luka juga lebam di wajah."Bisalah, emang hapemu. Itu apa?"Irene mendengus kesal mendengar ledekan Agra. Setelahnya pandangan Irene berubah bingung ketika Agra bertanya pasal barang yang Lendra."Kayak barang hantaran? Dia ngelamar kamu?" Telunjuk Agra terarah pada Lendra yang langsung pias."Maunya begitu, tapi aku tolak.""Bagus, dan kau jangan pernah mimpi buat nikahin dia. Dia ini bebek sawah kesayangan aku."Lendra kali ini memberanikan diri memandang Agra. "Tapi, Pak ....""Kok dia manggil kamu bapak, dia anakmu. Aduhh, sakit burhan!"Irene m
"Wehh, aku bukan papamu, manis. Orang tuamu mana?" Aldo manut saja ketika si bocil minta gendong padanya. Lelaki itu celingak celinguk, menoleh kiri dan kanan. Mencari orang tua si bocah. "Ibu lagi terima barang, jadi Bela main sendiri." "Anak cantik namanya Bela, rumahnya mana. Tak anter pulang." Jari mungil Bela menunjuk sebuah rumah bercat pink tak jauh dari Aldo berdiri. Menyeberang jalan itu, berarti masuk perumahan kelas menengah. "Walau lagi kerja, harusnya orang tuamu kudu tetap jagain kamu. Gak boleh main di jalan sendirian." "Balon, Pa." "Om bukan papamu. Emang papamu mana?" "Ndak punya." "Hush, kamu pasti punya papa. Gak mungkin kamu nongol kalau gak ada papa." "Tapi di rumah adanya Ibu doang. Ndak ada mama, papa juga ndak ada." Aldo mengerutkan dahi. Ibu? Mungkinkah Bela memanggil mamanya dengan sebutan ibu. Oke, dia paham sedikit sekarang. "Papamu kerja? Pulangnya malam?" "Ndak pernah pulang." Bang toyib nih bapaknya bocah. Sayang sekali anak
"Apa yang kau lakukan di sini? Kehabisan stok perempuan?" Lea bertanya dengan punggung tegak sambil melipat tangan.Memandang lelaki yang berdiri di depannya. Aldo Rivaldi, mantan tunangan Rina secara mengejutkan muncul di depan Lea dan yang lainnya."Bosan Nya, tidak ada yang digodain." Aldo mengedipkan sebelah mata sebelum ikut duduk di depan Lea, tanpa menunggu persetujuan pemilik tempat."Ke mana semua buntut yang biasa ngekorin kamu?" Puspa bertanya sinis. Mereka bertiga tentu tak lupa bagaimana kelakuan Aldo yang play boy tak tertolong. "Sudah kubilang aku bosan. Coba yang kukencani satu dari kalian bertiga. Pasti seru dan aku tidak akan pernah bosan, aduhh. Galak bener sih."Aldo meringis saat tiga kaki serentak menendangnya di bawah meja. "Kau tahu siapa yang sedang kau goda. Dia Nyonya Abimana, dia Nyonya Alkanders. Kau ganggu mereka, siap-siap kau gulung tikar," Puspa memberi info."Kalau begitu kau saja.""Kau ingin Yohan Aditya melubangi kepalamu. Berani sekali kau meng
Irene memandang sadis pada Jono, sang kakak ipar yang baru saja menoyor kepalanya. "Gak usah nyolot kalau yang kukatakan benar!""Jangan mulai ribut!" Bapak memberi peringatan."Dia yang mulai, Pak." Jono membela diri."Aku gak mulai ya. Aku cuma nerusin!" Irene mana pernah mau mengalah, apalagi sama Jono, kakak ipar yang ia nilai tak worth it sama sekali."Kayak dia bakal punya lakik jutawan aja. Kalau kau nikah sama Lendra sama aja punya suami kuli, kerja sama orang lain."Irene melipat tangan, menatap sinis Jumiana. "Kuli pun bayaranya jutaan, setidaknya aku masih bisa jalan sama belanja.""Kalau begitu nikah saja sana. Biar mulutmu gak pedes amat waktu ngomongin orang.""Yang kukatakan fakta, Mbak Jum. Bukan rekayasa!" Irene membalas manis cibiran sang kakak."Pantas saja umur segitu belum nikah, mulut kayak petasan injak gitu." Jono masih punya muka makan jajan pasar di atas meja. Hasil Irene berburu ke pasar pagi. Benar-benar tak punya malu. Lelaki itu sudah tidak bekerja, tida
Lea menghentakkan kakinya kesal seraya menatap tajam pada Heri. "Dia minta tolong padaku, ingin dipertemukan denganmu. Dia bilang ingin minta maaf. Aku lihat dia sungguh-sungguh menyesal." Heri coba menjelaskan situasinya. Tentu setelah Agra pergi dari ruangan Heri. Lelaki itu berusaha bersikap senetral mungkin. Tidak ingin memihak atau menyalahkan sang teman. "Aku memang marah padanya, muak kalau lihat mukanya. Tapi aku lebih cemas sama Irene. Bagaimana kalau si brengsek itu cuma mau mempermainkan Irene saja. Ndak terima aku." "Aku pikir kali ini seorang Agra Atharva sudah ketemu batu sandungannya." "Maksudnya?" "Ya, dia kapok. Sudah menemukan apa yang dia mau, dia inginkan. Dengan kata lain, Agra sudah bertemu tipe yang klop dengan angannya." Lea terdiam mencerna ucapan Heri. "Dia kan yang namanya Irenewati. Terus ini kamu sama Nika. Lihat, kalau digabung." Lea membulatkan mata memandang simulasi andai wajahnya dan Nika dijadikan satu. "Lah bisa mirip gitu," Lea tercengan
Bola mata Agra melebar melihat layar ponsel keesokan harinya. Pria itu lekas menekan icon telepon guna menghubungi nomor yang baru saja membuka blokirannya."Bek, angkat teleponnya, Bek."Di ujung sana, seorang anak sedang bermain dengan ponsel yang tergeletak begitu saja di atas meja. Si empunya telepon sedang main ke sawah."Halo, iki sopo?" Agra mengerutkan dahi. Kok bukan Irene yang mengangkat teleponnya. Malah suara laki-laki dengan logat jawa kental plus suara putus-putus yang membalas sapaannya."Halo, yang punya telepon mana? Ini siapa?"Agra sedikit paham bahasa Jawa. Sebab Yuda sering menggunakannya di kantor."Lah malah balik nanya. Yang punya telepon lagi main."Ha? Main? Main apa? Bukannya berpikir positif, otak dua satu plus Agra justru mengambil alih."Main sama siapa?""Sama bapaknya."What? Agra makin nethink dibuatnya. Saat pria itu masih menerka-nerka jenis permainan apa yang bisa dimainkan bersama 'bapaknya'. Satu suara terdengar dari arah belakang."Febri! Kau ap
Alamak! Ingin rasanya Irene berbalik lalu kabur, andai tak ingat wajah mamak dan bapaknya. Sudah dua tahun dia tidak pulang, sejak lulus kuliah lalu bekerja di Dreamcatcher.Rindu sekali dia pada mamaknya. Tapi kenapa sekalinya pulang, dia justru berhadapan dengan orang yang sangat ingin dia hindari."Senang bertemu denganmu, Ren. Bagaimana kabarmu? Kebetulan sekali aku juga sedang pulang. Bagus sekali kita bisa bertemu."Seorang pria berparas cindo, menyapa Irene yang seketika salah tingkah."Ngapain datang? Mau nagih utang? Aku bayar." Tanya Irene tanpa basa basi.Dia bukan Irene yang tidak punya uang macam dulu. Hingga untuk kuliah keluarganya terpaksa berhutang pada keluarga pria di depannya."Bukan begitu maksud kami. Sebenarnya ...."Lelaki di depan Irene tampak bingung. Dia menoleh ke arah sang ibu yang langsung menjelaskan."Sebenarnya kami ke sini untuk melamar. Utang itu dianggap tidak pernah ada kalau kalian menikah. Itung-itung kami biayai calon istri Lendra."Bola mata Ir
"Pagi sayang." Zio mendekat ke arah Lea yang masih meringkuk di bawah selimut. Lelah dia rasakan, setelah aktivitas panas mereka tadi. "Capek," balas Lea dengan mata setengah terpejam. Zio hanya menggetarkan tawa. Bagaimana tidak lelah, ketika Lea mengambil peran lebih banyak pagi ini. Zio hanya kebagian menyelesaikan setelah Lea lemas tak berdaya. "Makan dulu kalau begitu." Lea bangun dengan malas. "Mama nanyain gak? Pasti dikiranya aku perempuan manja. Suka malas-malasan." "Lah memangnya aku nyuruh kamu lakuin apa? Aku nyari istri bukan pembantu. Tugasmu melayaniku, terutama di kasur. Kamu gak tahu aja papa dulu treat mama kayak apa. Jadi dia gak heran kalau kamu jam segini belum keluar kamar. Dia tahulah apa yang habis kita lakuin." "Aku kan jadi malu." "Malu ya bajunya dipakai, jangan malah diumbar, bikin pengen lagi aja." Lea lekas menunduk, dengan segera dia menaikkan selimut, menutupi dadanya yang terbuka. Merona pipi Lea, malu dengan keadaannya. "Dia sendiri yang b
"Aku mau jadi prioritas, bukan cadangan."Ucapan Irene terus terngiang di kepala Agra. Menambah deret kesakitan yang ia rasa. Ke mana dia harus mencari?Dengan wajah babak belur macam korban KDRT, Agra melajukan mobilnya menuju apartemen Irene. Dari satpam, Agra mendapat info kalau Irene sudah keluar sejak pagi buta."Dia ambil cuti? Kamu gak tahu?" Arch yang tidak tahu pasal peristiwa semalam, memberi Agra kabar yang mengejutkan."Cuti? Dia gak ada di apart-nya?" "Ya iyalah, dia gak ada di apart-nya. Orang dia pulkam jenguk mak bapaknya."Bengong Agra dibuatnya. Bebek sawahnya pulang kampung. Irene beneran ngambek padanya, sampai nomornya diblokir segala."Kampungnya di mana?" Yang ditanya mengerutkan dahi. "Kamu pacarnya bukan sih, sampai gak tahu kampungnya ceweknya di mana?""Kan kita baru jadian. PDKT-nya aja yang lama. Aku belum sempet ngorek info soal dia."Pandai sekali Agra bermain lidah, membuat Arch tidak sadar telah membantu kakak Raisa.Senyum Agra mengembang. "Mau put