pagi teman-teman, selamat hari minggu
Helaan napas terdengar dari arah Lea. Sudah tiga hari ini dia dipaksa menemani Zio berendam di kolam mini. Belum banyak kemajuan yang Lea alami, perempuan itu hanya merasa sedikit "akrab" dengan air.Jika dulu level permusuhan Lea dengan air adalah tingkat tinggi, mungkin sekarang strip-nya berkurang satu. Not bad, komen Zio.Setidaknya pola pikir Lea perlahan mulai berubah. Perempuan itu mulai bisa mengubah sudut pandangnya, air tak selalu jahat. Air tak selamanya membunuh.Lea cukup terharu dengan effort Zio dalam mengatasi fobia yang hampir sepuluh tahun dia derita. Sudut bibirnya tertarik. Lea merasa bahagia akhir-akhir ini.Setelah dia bisa mengatasi rasa cemburu dan rasa bersalahnya pada Nika. Lea merasa hidupnya lebih ringan, damai dan tentu saja ... sempurna.Punya suami sekaliber Zio, siapa yang tidak bakal happy luar dalam. Kebutuhan lahir dan batinnya terpenuhi, itu bisa dipastikan.Lea sekarang bisa berpikir lebih santai. Dia bukannya abai pada ancaman yang akan selalu men
Angel memandang tangan Lea yang terulur padanya. Baru kali ini ada orang yang melakukannya saat dia merasa terpuruk. Maya Carson, perempuan yang nota bene adalah ibu kandungnya bahkan seolah tak peduli padanya."Kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Sekarang hidupmu kamu bilang hancur, tapi kamu masih punya kesempatan untuk menatanya ulang," kata Lea dengan senyum tipis terbit.Satu hal yang membuat paras sang wanita tampak teduh menenangkan. Memberi Angel sebuah perasaan tenang juga nyaman. Rasa yang tak pernah dia dapatkan dari keluarganya sendiri.Pantas saja Arch dan Zico mati-matian membela dan melindungi wanita ini. Aura Lea seolah mengajak untuk membangun rumah tangga eh mengajak menjalani hidup lebih baik."Caranya?" Tanpa sadar Angel bertanya. Sebuah pertanyaan yang menyiratkan ketertarikan sang remaja pada ucapan Lea.Lea makin melebarkan senyum. Sugesti kecilnya berhasil mengalihkan fokus Angel dari bunuh diri yang ingin dia lakukan."Ada banyak cara untuk memperbaikinya.
Lea merasa kegelapan mulai menyergap dirinya. Memutus rantai kesadarannya, memenjarakan Lea dalam sebuah ketakutan. Takut kejadian buruk yang akan menderanya. Tubuh istri Zio kian terseret masuk dalam sungai. Dia tak lagi berada di permukaan air. Lea mulai tenggelam. Rungu Lea sejak tadi sudah kehilangan fungsi pun dengan indera yang lain. Bahkan napasnya mulai tak teratur. Berapa banyak air yang sudah dia telan. Lea tak ingat. Pun dia juga tak peduli. Lea masuk fase pasrah. Dia sungguh berpikir, air akan membunuhnya. "Sama seperti emak," batin Lea dengan mata terpejam makin rapat. Kilasan kejadian yang berlaku beberapa waktu terakhir berputar di kepala Lea. Sudut bibirnya tertarik, setidaknya dia pernah bahagia walau hanya sebentar. "Andai aku bisa, aku ingin berbuat hal baik lebih banyak. Tapi ... sepertinya tidak bisa." Lanjut Lea masih bermonolog dalam hati. "Lea!" Si empunya nama hanya menipiskan bibir. Bahkan ketika dia hampir mati, melayang dalam kegelapan air yang menye
Suasana tegang masih mewarnai tepian sungai yang makin sesak dengan kerumunan orang. Mereka memadati tempat itu saat seseorang mengenali wajah Zio sebagai pemilik AK Corp yang tersohor.Makin ditelusuri mereka jadi tahu kalau Lea, perempuan yang nyaris tenggelam saat ingin menyelamatkan Angel adalah istri pengusaha itu. Kian hebohlah pemberitaan di jagat media sosial."Ampun, Om. Zico. Jangan usik mamaku. Kami sudah tidak punya apa-apa," mohon Angel dengan suara bergetar."Cih, sekarang saja mohon-mohon. Lu gak ingat waktu mama elu menghina kakak ipar gue. Dia bisa maafin kalian, tapi gue enggak. Gue pastiin, elu bakal terima balasannya." Kata Zico yang entah kenapa jadi ikut membenci Angel. Padahal dulu, remaja beranjak dewasa itu hanya sekedar tidak suka pada Angel.Angel menunduk kian dalam, tangis masih melandanya. Dia pasrah, merasa tak memiliki apa-apa untuk melawan Zico. Tuan putri itu sudah berubah jadi gadis biasa tanpa harga.Zico baru kembali ingin memaki Angel ketika suar
"Aku hanya ingin tahu. Mereka bilang dia tenggelam." Rian memandang lurus melewati punggung Zio guna melihat Lea. Jantungnya berdebar kencang ketika kabar berhembus istri pengusaha Alkanders nyaris tenggelam setelah menolong seorang remaja."Dia baik-baik saja. Dan akan selalu begitu. Aku akan pastikan itu." Balas Zio dengan tatapan tak lekang dari mantan suami istrinya.Perhatian Rian seketika beralih pada Zio. Agaknya Rian sadar kalau kalimat Zio sengaja lelaki itu ucapkan untuk menyindirnya. "Maaf, aku hanya mencemaskannya," ucap Rian pada akhirnya."Kau diberi waktu dua tahun untuk melakukannya, tapi kau menyia-nyiakannya. Sekarang dia milikku, kau sama sekali tidak punya hak untuk mencemaskannya. Azalea Graziela Alkanders adalah istriku. Dia akan selalu bahagia berada di sisiku, aku bisa menjaminnya," tegas Zio.Rian menunduk, dia akui semua kesalahannya. Dia mengaku tak pernah memperlakukan Lea dengan baik. Sekarang Rian bisa menyaksikan mantan istrinya hidup jauh lebih baik d
Beberapa waktu sebelumnya, emosi Zico terpatik. Kemarahannya muncul ketika Abian melapor soal Raisa. "Apa elu tahu cewek lu adiknya Agra Attarva? Setahu gue elu benci banget sama keluarga Attarva."Laporan dari Abian disusul deretan foto berisi Agra dan Raisa yang sedang makan bersama. Dibarengi sebuah foto sebuah kartu keluarga. Meski buram, Zico masih bisa membaca kalau Agra dan Raisa berada di kartu keluarga yang sama dengan status adik kakak.Amarah remaja tanggung itu meledak. Agra Attarva, adalah nama yang Zico benci sampai ke ulu hati. Sama seperti Zio. Dua pria Alkanders tersebut bisa kompak membenci satu nama. Alasannya hanya keduanya yang tahu.Saat ini, waktu emosi menguasai kepalanya, Zico yang melihat kerapuhan Angel, seolah dirasuki pikiran jahat. Dia punya rencana untuk memanfaatkan Angel. Intinya, Zico sedang mencari pelampiasan kemarahan.Padahal Raisa pun tak tahu pertikaian antara kakaknya dan keluarga Alkanders. Pun dengan Angel yang tidak ada hubungan apapun deng
Zio mengulas senyum, bibirnya tak henti melengkung, menampilkan gurat bahagia yang sejak tadi mengisi hati. Dalam pelukannya ada Lea yang kembali tidur pulas. Sementara Lea sendiri memeluk Arch yang balik mendekap sang mama posesif.Melihat hal itu senyum Zio luntur. Berganti sebal bersamaan ujung jarinya menoyor dahi Arch yang sama sekali tidak merespon. "Dasar bocil," maki Zio.Wajahnya kesal tapi hatinya penuh bunga. Pemandangan Lea memeluk Arch dengan dirinya mendekap keduanya membuat hidup Zio terasa lengkap. "Andai punya dua lagi, perempuan dan laki-laki hasil kecebongku sendiri," gumam Zio absurd.Kepala lelaki itu sudah dipenuhi bayangan dua anak yang sepertinya akan tampak lucu, walau sekaligus berpotensi menaikkan tensi.Lihat saja tingkah Arch yang kadang membuat Zio dan orang-orang di sekitarnya naik darah."Terima kasih, tidak meninggalkanku saat aku tenggelam."Suara itu mengalihkan Zio dari angan tidak jelasnya. Dia melihat Lea yang ternyata sudah membuka mata."Bilan
Lea tercenung melihat sebuah buku dengan sampul berwarna biru, plus gambar timbul capung menghiasi bagian depan. "Apa aku disebut lancang kalau membacanya," gumam Lea memandang ragu buku yang ada di tangannya.Sedetik, dua detik, tiga detik. Lea terdiam. Pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak. Semua bisa dia selesaikan, jadi Lea punya sedikit waktu untuk bersantai.Perempuan itu bimbang, satu sisi bilang jangan. Sisi lain pula mengompori, "Kan yang punya sudah tidak ada. Jadi bebas dong dibaca."Didorong oleh rasa penasaran, Lea membuka benda persegi panjang itu. Lea heran juga, masih ada ya manusia di era ini yang suka menulis di buku, di banding di media modern yang bisa lebih terjaga kerahasiaan.Halaman pertama tak ada yang membuat Lea terusik. Istri Zio terus membolak balik buku tersebut, hingga dia menemukan bagian yang dia rasa menarik."Aku tidak sebaik yang kamu lihat. Aku punya cacat dan banyak kesalahan di masa lalu. Bahkan sampai aku pergi, mungkin aku tidak sanggup membe
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch."Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya.Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun.Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu."Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?""Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini."Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing.Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang juga mu
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut